728x90 AdSpace

  • Latest News

    27 May 2013

    Seandainya Eduard Douwes Dekker Masih Hidup

    Catatan Sumyati

    Hari Jumat tanggal 11  mulai menyambut ulang tahun MAX HAVELAAR. Hari ini bakalan kedatangan rekan-rekan Pak Ubai yang di mana-mana. Oh, iya hampir saja aku lupa bahwa hari ini ada drama Saijah dan Adinda. Mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita semua walaupun dramanya itu aja setiap ulang tahunnya. Aku ini gak bakalan bosan. Akan siap semangat saja. Ikh. Aku sudah gak kuat pengen kenalan sama rekan-rekan Pak Ubai.

    Akhirnya reading Max Havelaar selesai juga ya. Mungkin dengan sekarang sudah tamat dua kali. Alangkah bahagianya aku ini. Aku akan benar-benar berjuang demi memperjuangkan bangsa kita semua dan negara Indonesia.

    Drama pun sudah dimulai. Aku benar-benar gak enak badan, tapi aku rela walaupun badan aku gak enak gak apa-apa. Sekarangmah baju untuk dramanya sudah bagus-bagus. Oh, iya aku punya kabar gembira dan akan terlaksana. Aku ini pengen ketemu sama Mas Dori yang sudah ditinggal oleh ibu.

    Aku kasihan banget sama Mas Dori. Padahal Mas Dori masih membutuhkan ibu dan pelukan yang hangat. Mungkin sudah takdirnya Mas Dori harus ditinggalkan oleh ibu yang sudah pergi ke tempat peristirahatan. Semoga kesalahannya bisa dimaafin dan amal kebaikannya diterima juga. Amin. Oh, iya mas, Sumyati lupa menanyakan kabar Mas Dori gimana baik?

    Maaf ya, mas. Sumyati gak langsung menanyakan kabar dengan secara langsung. Sumyati malu hanya bisa menanyakan kabar Mas Dori di buku harian aku. Maaf ya, Mas Dori. Mungkin ini yang dinamakan tak sopan.

    Dear diary, ini kegembiraan aku yang sangat menyenangkan. Di setiap ulang tahun MAX HAVELAAR aku selalu gembira. Seandainya Eduard Douwes Dekker masih hidup pasti dia sangat senang karena setiap tahun di ulang tahunkan oleh orang-orang. Makasih.

    Sabtu, 12.05.2012

    Pagi-pagi aku bangun. Aku langsung membuka baju. Tapi tiba-tiba aku sakit kepala. Oh, ya aku baru ingat kalau sekarang akan diadakan jalan-jalan ke Badui. Tapi aku merasa ragu banget mana aku lagi flu. Pasti aku gak kuat ya gitu deh. Walaupun sakit aku akan memaksanya untuk jalan supaya panasnya turun.

    09.00 Aku sama Pak Ubai berangkat ke Badui. Memang matahari sudah sorot, tapi kami mempertahankan kehausan ini. Aku sama Ida jalan dari rumah sampai ke Cikadu. Banyak yang dianterin oleh kakak, bapak, dll. Aku pengen nangis lihat teman Pak Ubai yang kelihatannya sangat lelah. Karena teman Pak Ubai gak biasa jalan naik turun. Wajar saja lelah juga.
    Oh, iya salah satu teman aku yang menanyakan mobil. Eh, memang mobilnya nunggu di mana? Sorry kalau gak salah katanya nungguin kita. Katanya di Rasamala. Waduh masih jauh, ya. Aku bingung menghadapi tanjakan Cikadu yang sangat panjang. Sama aku juga teman-teman. Walaupun jauh kita harus semangat aja. Gak boleh lelah dan lesu.

    Sudah sampai di Rasamala aku merapikan kerudung yang tak benar. Aku memanggil Ida dulu supaya Ida memegang bros aku. Aku tidak menyadari mobil yang akan ditumpangi sudah banyak yang naik ke atas mobilnya.

    Ya ampun, istri Pak Ubai kelihatannya lelah dan pipinya yang putih kemerahan. Itu saking capeknya, ya. Sudah kumpul semuanya mobil pun sudah siap mau berangkat. Tapi aku gak naik mobil. Aku mau naik motor aja. Soalnya aku suka muntah-muntah kalau numpang sama mobil. Sebenarnya hepi naik mobil daripada naik motor.

    Jam 12.00 kami semua sudah sampai ke Cijahe. Tapi mobil yang satu lagi belum datang. Pas kami selesai makan mobil yang satu lagi baru datang. Yang datang duluan sudah hilang capeknya. Langsung mengambil buku untuk siap-siap mencatat yang kita lihat selama di perjalanan.

    Oh, ya ada Mas Prama Prabu yang mau mengasih penjelasan. Juga ngajarin supaya di perjalanan tidak sepi. Dihibur dengan nyanyian yang berbunyi atau disebut jingle.

    Siapa yang suka baca tepuk tangan 2x
    Siapa yang suka baca pasti jadilah pintar
    Siapa yang suka baca tepuk tangan

    Sesudah diberi jingle oleh Mas Prama Prabu langsung disuruh dinyanyikan oleh kami semua. Hidupku terasa terhibur oleh jingle itu. Aku akan mengenangnya hingga aku dewasa. Aku akan selalu ingat sama jingle yang diberi oleh Mas Prama Prabu.

    Jam dua belas lebih pun sudah tiba. Aku sama rekan-rekan sudah siap-siap berangkat ke Badui. Pas datang ke jembatan. Jalan diantri dulu. Soalnya jalan ke jembatan menuju ke Badui tidak layak dipakai lagi.

    Di perjalanan aku lihat Kang Doni yang sedang makan kerupuk rasa pedas. Aku merasa lelah banget dan kaki merasa bengkak-bengkak. Kulihat orang Badui 3 orang yang sedang memegang sair yang berisi pisau, daun pisang, dan lain-lain.

    Memangnya jalan ke Badui itu naik turun. Wajar banyak yang lelah juga haus lagi dan banyak yang gak ikut saking jauhnya.

    Wow, ternyata jembatan yang harus aku lewat ada 3! Memang jembatan orang Badui itu membuat orang takut untuk menyeberangi. Juga entah kenapa aku merasa takut. Karena membikin jembatannya tidak menggunakan paku. Menggunakan yang ada di hutan seperti injuk.

    Perjalanan masih jauh dan belum terbagi dua mana haus. Memang aku sudah pegang air aqua dapat minta dari Kang Rumdi. Tetapi sayangnya gimana untuk meminumnya sedotannya juga gak ada. Mas Tomas bertanya.
    “Lo, kok airnya gak diminum?”
    “Gak ada sedotannya.”
    “Nih, saya punya!”
    “Terima kasih, Pak.”
    Aku aneh banget sama Mas Tomas kubilang, pak, malah tertawa. Jadinya aku malu deh.

    Di perjalanan aku menghitung tempat padi orang Badui. Seluruhnya ada 85 penyimpanan padi. Oh, ternyata di kampung Badui juga banyak pedagang. Kukira gak bakalan ada. Rumah orang Badui tak seperti kita. Beda.

    Bedanya. Di dalam rumah orang Badui itu langsung saja lincak bambu. Tidak ada tempat masak. Aku (mengintip) di pintunya. Ternyata di dalam rumah orang Badui ada tumpukan tikar yang terbuat dari anyaman bambu. Ada juga di luar rumah orang Badui tempat penyimpanan air minum yang diberi nama kele. Kele terbuat dari bambu.

    Waduh kunjungannya sekarang mah ke Cibeo. Kalau ke Cikartawana ke lewat. Ntar aja kalau lewat kita mampir dulu, ya.

    Mari, lanjutkan kisahnya!
    Pekerjaan orang Badui itu hanya membikin atap dan apa saja yang ia bisa. Rumah di Cibeo banyak. Kalau rumah di Cikartawana sedikit. Halaman rumah di Cikartawana bersih. Tidak ada sampah satu pun.

    Memang hiburan yang menyenangkan. Hepi selalu. Puisi waktu ke Badui

    Kulihat Gunung yang Menjulang

    Kulihat gunung-gunung yang tinggi
    Begitu menyeramkan
    Oh, alamku yang indah
    Dan kau penuh dengan pepohonan
    Sembari diiringi dengan burung yang berkicauan
    Angin pun menghembus pohon-pohon

    Perjalanan yang menyenangkan
    Aku akan mengenangnya hingga
    Aku dewasa nanti
    Kaulah perjalanan yang menyenangkan
    Dan menakjubkan

    Walaupun perut lapar
    Demi perjalanan bareng-bareng
    Kaki bengkak-bengkak tak dirasakan


    Itulah puisi dari aku.

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Seandainya Eduard Douwes Dekker Masih Hidup Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top