728x90 AdSpace

  • Latest News

    27 May 2013

    Mengukir Nama di Cikartawana

    Catatan Elah Hayati

    Jumat, 11 Mei 2012
     Pukul 12.13 tepatnya sesudah dzuhur aku tiduran di rumah. Tiba-tiba ada Sumyati dan Teh Rohanah.
    “Elah, Elah dramanya sudah mau dimulai.”
    Aku keluar menghampiri mereka. Lalu Sumyati tidak membawa baju kostumnya dan …
    “Elah, aku minjam baju kostumnya, ya.”
    “Ya, bentar aku cari dulu.”
    Aku cari kostum drama itu di lemari. Setelah menemukannya aku langsung berangkat ke MI Al Hidayah Ciseel. Di perempatan Taman Baca Multatuli, Bu Linda, istri Pak Ubai nongol dan mengajak bareng-bareng. Di jalan aku dan mereka bertemu tamu yang membawa lesung. Lalu Pak Ubai menyuruh Nurdiyanta menggantikannya. Tamu itu merasa kaget melihat Nurdiyanta manggul lesung itu sendirian.
    “Gak kebayang ya harus bawa lesung sendirian,” kata yang satu tamu.
    “Ya…!” Kata temannya.
    Aku tak tahu namanya. Makanya aku hanya menyebutkan dengan nama tamu itu (tamu itu).

    Sabtu, 12 Mei 2013
    “Siapa yang suka baca tepuk tangan 2x”
    “Siapa yang suka baca pastilah pintar”
    “Siapa yang suka baca tepuk tangan”

    Lirik lagu kesemangatan.

    Sebelum berangkat menyusuri lorong Cibeo aku duduk di beranda rumah Azis karena kemarin sudah janji jalan bareng sampai lapangan Cikadu tempat mobil menunggu. Kudengar suara Elis memanggilku.
    “Elah…”
    Aku tak menjawab.
    Elis menghampiriku dengan tasnya yang sudah ada isinya dan mengajak aku tukeran tas. Hal ini langsung disetujui olehku. Lalu aku mengoprek isi tasku dan memindahkannya k etas Elis. Begitu pula Elis. Setelah itu kami berangkat. Pas di gorong-gorong aku bertemu Teh Nurhalimah dan aku pun diajak jalan bareng. Lalu aku nanya pada Teh Nurhalimah.
    “Teh Nur mau naik motor, ya?”
    “Ya.” Jawabnya. Lalu aku nanya lagi. “sama siapa?”
    “Sama Kak Dedi.”
    Kami terus jalan bersama Elis, Maryam, Rukanah, dan Mas …. Di perjalanan Mas …. Nanyain aku dan teman-teman.
    “Ade ini kelas berapa?” tanyanya dan kujawab.
    “Oh saya dan yang pakai baju hijau itu kelas satu SMP.” Kataku sambil nunjuk Rukanah.  Ia bertanya lagi pada Elis.
    “Kalau kamu?”
    “Saya kelas enam.”

    Kami melewati jalan berbatu. Tiba di Cikadu aku melewati jembatan gantung. Aku dipegangin Nurdiyanta karena takut jatuh. Tapi Alhamdulillah tidak apa-apa. Aku tak mengenal lelah. Aku terus berjalan. Di pematang/tanjakan tinggal aku dan Nurdiyanta berjalan berdua. Sementara rombongan Pak Ubai belakangan dan teman-teman lain sudah pada dibonceng. Lalu kulihat Sanadi yang menuju arah sini. Aku disuruh Nurdiyanta naik. Tapi aku tak mau karena Nurdi sendirian dan aku kasihan. Nurdi memaksaku naik dan aku pun menuruti apa kata Saudaraku ini. Aku menengok ke belakang dan Nurdi menggunakan kepala. Tiba di lapangan Cikadu tempat mobil nunggu aku turun dan berlari pada teman-temanku.

    Tidak lama rombongan Pak Ubai datang dan kami langsung naik mobil dan melewati jalan, pasar, dan yang lainnya. Di mobil kami nyanyi jadi gak kesal. Apalagi ada Teh Pipih. Ia menyanyikan lagu-lagu pendek hasil idenya sendiri.

    Tiba di Cijahe kami semua turun dari mobil dan teman-teman ada yang langsung duduk di tempat yang lumayan teduh. Ada juga yang langsung membuka timbel dan makan. Ada Pak Ubai, Mas Tomas, dan yang lainnya.

    Setelah lama istirahat dan makan kami disuruh Mas Sigit dan Mas Rama Prabu menulis sebuah lagu dan bunyinya seperti yang aku tulis di awal. Begitulah bunyinya. Eh, tahu-tahu sebelum itu kami ditanya oleh Mas Rama Prabu.
    “Siapa yang pernah menulis puisi dan cerpen acungkan tangannya?”
    Anak-anak tak ada yang menjawab.
    “Belum mungkin, ya,” sambung Mas Rama Prabu.
    Lalu Mas Rama Prabu ngomong lagi. “tahu-tahu nanti kalian ada yang jadi novelis, penulis puisi, dan cerpen.”

    Setelah beberapa lama kami berangkat ke Badui/Cibeo yang tempatnya cukup jauh dari sini dan jalannya juga jelek banget tahu nggak, turun-naik, turun-naik, bulak-belok. Uh! Pokoknya ampun deh juga melelahkan lutut dan membuat lemas. Kami melewati jembatan tiga kali. Sungguh seram kalau lihat ke bawah. Hamparan batu dan air yang dalam dan kelihatan hijau. Nun dekat di bawahku dan teman-temanku.

    Tiba di kali tanpa jembatannya kami istirahat bersama semuanya. Di sana airnya dingin sekali. Kami mencuci kaki dan muka karena keringat membandel di wajah teman-teman semuanya.

    Ketika kami mencuci kaki bersama Elis ada yang mau meminjam tali rambut dan itu ternyata Mas… yang rambutnya panjang dan ikal. Dia itu ganteng loh teman-teman. Kayak artis sinetron yang bernama Rafi Ahmad. Hehe…

    Ada juga yang kembar loh, mau tau namanya siapa? Namanya … mereka pada imut-imut bibir dan matanya. Ada juga Mas Dory. Dia itu tukang sulap. Ibunya sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Aku menulis puisi untuk menghiburnya. Judulnya: Turut Berduka Cita. Teman-teman yang lain ada yang menulis kata-kata dan yang lainnya.

    Tidak lama kami istirahat di situ. Kami melanjutkan perjalanan menuju Cibeo yang hanya beberapa waktu lagi sampai di tempat tujuan. Perjalanan kami lalui hingga tiba dekat jembatan bambu yang talinya dari ijuk, tetapi kuat juga ya. Ketika kami mau menginjak jembatan itu ada dua anak yang berjalan entah menuju ke mana. Lalu Ida berkata kepada kedua anak itu.
    “Wah, mau ke mana?/Nek ka mana, Ceng?”
    “Mau ke kebun/ Nek ka kebon.”

    Di pinggang anak itu terselip golok. Padahal mereka masih kecil tapi sudah membawa golok. Mungkin itulah kebiasaan orang-orang Cibeo. Setelah melewati jembatan kami melihat ada lumbung atau leuit. Kami berjalan untuk menghitung lumbung itu. Tadi waktu di perjalanan menuju Cibeo ini aku hitung ada 31 buah dan yang di sini lebih banyak. Sampai-sampai tak terhitung olehku dan ini menurut perkiraanku di jalan tadi ada 31 ditambahkan dengan yang di sini hingga mencapai 100 lebih karena sampai ke ujung sana semakin banyak lumbungnya. Di sini kami ada Sumyati, aku, Elis, dan Ida.

    Kami berjalan-jalan lagi sampai di depan rumah penduduk orang Cibeo. Di sana banyak pedagang seperti di kampungku saja. Eh, di Badui ini kalau membuang sampah jangan sembarangan. Harus pada tempatnya. Makanya kampungnya selalu bersih terawat tak seperti di kampung lainnya. Kebanyakan teman-teman yang buangnya sembarangan.

    Aku duduk di dekat Pak Acang. Lalu Teh Nurhalimah mengajak kami keliling kampung Cibeo. Kami pun mulai mendatangi salah satu rumah yang penghuninya akan siap-siap pergi entah ke mana dia membawa kedua anaknya yang satu perempuan dan yang satu lagi laki-laki. Kulihat seorang ibu membawa api di dalam bambu dan masuk ke dapurnya. Mungkin api itu untuk masak. Juga tumpukan kayu di kolong-kolong rumah mereka. Lalu kami kembali lagi ke deretan rumah-rumah yang tinggi dan di beranda rumahnya ada para pedagang. Mereka menghamparkan gelang yang bertuliskan Badui. Ada juga sendok yang terbuat dari batok kelapa yang dihaluskan. Ada beberapa teman yang membelinya tetapi aku tidak. Padahal harganya hanya empat ribu.

    Setelah itu kami berjalan lagi bersama Mas Rama Prabu dan juga Pak Ubai. Kulihat ada tiga bapak-bapak sudah agak tua rambutnya sudah putih. Di depan mereka ada sebuah batok kelapa yang ada arangnya. Asapnya mengepul tinggi. Kami terus berjalan hingga kulihat beberapa ibu sedang memukul lesung berisi padi (keur narutu tutunggulan). Seperti di cerita Saijah dan Adinda ketika Saijah dan Adinda saling berjanji. Adinda mengucapkan kata.
    “Moal kadenge meureun keur narutu tutunggulan.”

    Begitulah waktu anak-anak taman baca drama Saijah dan Adinda. Aku melihat anak-anak mereka diayun di sisi tempat menumbuk padi itu. Diam-diam aku merasa jijik dengan bayi mereka. Wajahnya pada kumal dan kotor. Kata seorang bapak, menumbuk padinya di jadwal. Mungkin seperti piket di kelas ya. Aku tidak tahu nama bapak itu dan bapak itu asyik ngobrol sama Mas Prabu. Entah ngobrol tentang apa. Aku dan Sumyati ngikutin Mas Prabu aja karena takut ketinggalan dan tidak tahu jalan kembali. Di sisi kampung ini ada sungai dan di sisi sungai itu banyak pohon kelapa dan bambu.

    Ketika kami kembali lagi yang lain lagi asyik-asyik memilih aksesoris suku Cibeo. Namun yang dagangnya orang-orang Cikeusik dan Cijahe. Aku lurus saja menuju ke jembatan yang udaranya sejuk sambil mencatat/menulis bersama Ida dan Sumyati serta teman-teman yang lain. Tapi ada juga yang masih di alun-alun Cibeo.
    “Pulang duluan, yuk?” ajak Sumyati
    “Tapi teman-teman yang lain?” jawab aku dan Ida.
    “Gak apa-apa. Aku juga dulu waktu ke Badui Dalam pulangnya duluan sama Pak Wawan.”
    “Oh, ya deh. Ayo.”
    Lalu kami berjalan di jembatan menuju ke seberang sana. Kadang-kadang kami berhenti dan jalan lagi. Melangkahkan kaki yang masih kuat untuk berjalan menuju Cijahe. Mungkin teman-teman yang mabok dan tidak ikut menyusuri suku Cibeo ini sedang tiduran enak di rumah panggung warga Cijahe yang paling ujung dari sini. Di sana ada Maryam, Iis, Suarsih, Nurdiyanta, Herti, Mas Dori, Mariah, dan sopir mobil rombongan. Dan aku dengar-dengar kemarin katanya di sana ada rombongan dari Jerman menginap.

    Tiba di kali yang tadi kami berhenti dan foto-foto. Tapi aku dan Ida tidak ikutan karena sibuk mengkomat-kemit balpoin di tangan dan bukunya disandarkan di kaki (jongkok). Baru dapat selembar nulis, teman-teman lain pada datang. Kami melanjutkan perjalana pulang ke Cijahe. Tiba di jalan pilihan kiri dan kanan. Kami memilih ke kanan. Tiba-tiba Pak Acang berteriak di jalan sebelah kiri.
    “Woooy! Hey…. Di sini!”
    Seruan Pak Acang hinggap di telinga kami. Ternyata jalan itu menuju Cikartawana. Kakiku mulai sakit dan aku membuka selopku berjalan sambil nyeker. Kulihat kakiku kelihatan merah dan rasanya panas sekali.
    “Sakit, ya, De?” pertanyaan Mas Sigit mengagetkan aku.
    “Ya, nih sakit!” jawab aku kian berjalan.

    Di jalan menuju Cikartawana banyak sekali Daun Patat yang biasa dipakai nimble. Ada beberapa teman yang memetiknya dan dibuat topi-topian, lancip seperti topi kurcaci. Tiba di Cikartawana Suryati berkomentar tentang tanah merah di Cikartawana ini.
    “Seperti padang pasir, ya?”
    “Ya,” jawabku.

    Lalu aku mengukir nama di sana dengan menggunakan kaki telanjang. Lalu mengekor Mas Rama Prabu ke alun-alun Cikartawana. Di sana sedang ada yang meronda namanya Pak Sardi. Dia berjalan ke arah kami dan berkata.
    “Anu ti marana, ieu?”

    Aku tidak menjawab. Mungkin Mas Prabu kali yang menjawab pertanyaan Pak Sardi itu. Pak Sardi juga seperti bapak yang waktu di Cibeo di wawancarai Mas Rama Prabu.
    “Anak-anak nama Bapak ini Kardi,” kata Mas Rama.
    “Tulis…tulis!”
    Seru Mas Sigit. Sibuk-sibuk-sibuk menuliskan nama di buku yang baru di sebelahnya.
    “Ck…ck…kck… udah deh nulisnya. KARDI.”

    Cikartawana ini lebih bersih daripada Cibeo yang tadi banyak batunya. Seperti rumah batu saja. Setelah puas menjelajahi sebagian Kampung Cikartawana. Lalu Pak Acang member tahu jalan baliknya ke sebelah kanan kampung. Jalan itu mungkin jalan pintas. Aku pulang agak duluan bersama Elis dan Pak RT Acip serta beberapa teman yang lain.

    Tiba di jalan perbatasan antara Cikartawana dan Cibeo aku melihat Mas Tomas dan kawannya ada di sana. Mungkin mereka tidak ikut ke Cikartawana. Niah dan Jana langsung duduk di tanjakan kecil. Lalu dari salah satu kawan Mas Tomas menegurnya.
    “De, duduknya jangan di sana. Di sini saja!”
    Niah dan Jana pun berjalan ke arah sana diikuti yang lainnya. Kulihat Mas Tomas menambal kakinya dengan hansaplas. Aku berpikir kalau kaki Mas Tomas bengkak-bengkak. Dia menawarkan hansaplas itu pada yang membutuhkan.
    “Ade-ade siapa yang mau dihansaplas?” tanyanya.
    “Boleh juga nih aku.”
    Kata kawan Mas Tomas yang pakai kaus hitam dan sepatunya putih. Aku tak tahu namanya. Tidak lama kami berangkat lagi menuju Cijahe. Di jalan aku berjalan di depan Mas… yang waktu di sungai Cibeo mau minjam tali rambut. Tapi tali rambutnya gak ada. Aku juga dengar sekilas dia bernyanyi begini. Bunyinya.
    “Never you… I Love you… and miss you.”
    Entah itu lagu apa? Suaranya enak didengar tapi aku tak tahu namanya.

    Langkah demi langkah. Akhirnya sampai juga di Cijahe. Ketika aku berjalan santai tiba-tiba.
    DOR. Aku sampai kaget. Suara apa itu, ya? Ternyata suara petasan. Kak Doni yang membakarnya. Sumyati kian berlari ke arahku dan berkata.
    “Kak Doni mah mengagetkan aja!”

    Aku mulai menaiki jembatan dan akhirnya nongol juga di pasar Cijahe. Teman-teman yang lain mampir di warung-warung untuk jajan dan membeli air minum bersoda. Aku juga mampir beli Mizone dan Coca Cola. Lalu aku melanjutkan perjalanan ke tempat mobil parkir. Jalannya agak nanjak sedikit dan berbatu. Tiba-tiba ada kambing yang seperti kuda. Namanya kambing Etawa. Ketika aku dekat dengan kambing itu dan ada salah satu rumah orang Cijahe di berandanya ada dua orang anak yang ketakutan si kambing sampai nangis. Aku terus melewatinya, tiba-tiba.
    “Dela…Dela!” seruan orang memanggil nama seseorang.
    “Elah, ada yang memanggilmu!” Elis berkata kepadaku. Lalu kujawab.
    “Mana?”
    Ternyata orang itu memanggil si kambing tadi yang diberi nama DELA.
    “Gila bener! Kambing itu namanya Dela.”

    Tiba di tempat tujuan. Aku melihat teman-teman yang tidak ikut ke Cibeo atau Badui Dalam. Mereka pada duclak aja di mobil. Aku duduk di hamparan jampang kecil sambil bersandar di tiang listrik. Di Cijahe ini sekarang sudah ada tower baru. Mungkin banyak jaringan di layar HP hanya berdiri satu sinyal. Tower itu menjulang tinggi ke atas. Warna catnya merah dan putih. Seperti bendera merah-putih Indonesia.

    Sambil duduk aku minum Mizone yang tadi aku beli. Juga tukeran minum sama teman-teman dan rasanya beda-beda. Sudah lama kami istirahat tetapi rombongan Pak Ubai belum juga datang. Lalu Pak Acip menyuruh Kak Doni menjemput Bu Linda—istri Pak Ubai. Kak Doni pun segera melaju sebentar saja sudah sampai lagi. Kulihat teman-teman yang nggak ke Cibeo pada medok-medok.

    Mas Douri mondar-mandir. Mau lihat catatan waktu di Cibeo. Tapi semuanya bilang sama dia kalau catatannya belum selesai. Tak mungkin ada kekecewaan di hati dia. Maksudnya Mas Douri. Setelah beberapa jam kami istirahat di sana kami disuruh Pak Ubai naik ke mobil. Pak Ubai mengatur teman-teman agar naik mobilnya tidak sedekan. Peserta cowok naik truk yang kuning. Sementara ceweknya naik losbak.

    Mas Sigit kalau naik mobil selalu jadi ekornya atau paling belakang. Aku mempersilakan Mas Sigit duduk di tengah karena di sisi sudah penuh. Aku lihat tangan Mas Sigit tidak pegang gula aren lagi. Mungkin sudah habis. Kalau aku makan sedikit saja kepala jadi pusing dan ingin muntah.

    “Nggggngggg…” Mobil meraung. Pertama jalan mobil kijang disusul losbak ini. Di bagian ketiga mobil truk. Melaju dengan kecepatan 10 kemungkinan. Aku tidak terlalu tahu. Lalu kami nyanyi sayonara. Terus ganti lagi dengan lagu band dan dangdut. Tapi Mas Sigit maunya Apuse. Mas Sigit juga tidak bisa lagu-lagu band dan dangdut.

    Tiba di Cikane di belakang mobil yang ditumpangi kami ada Teh Pipih dan Kak Gapuy alias Mulyadi. Mungkin teman-teman ingat waktu naik mobil bareng Teh Pipih dan berseru.
    “Bersama Gapuy, Cie…!”
    “Bersama Gapuy, Cie…!”

    Mas Sigit tidak ketinggalan, tapi tahu nggak? Mas Sigit itu mengatakan gapuynya salah. Kan teman-teman nyebutnya Gapuy tapi Mas Sigit “Kapuk”. Lucu ya.
    “Bersama Kapuk, Cie…!”
    Mas Sigit mengulang-ulang kata ‘kapuk’ itu. Lalu teman-teman dan aku memberitahunya.
    “Mas Sigit bukan kapuk tapi gapuy.”
    “Oh, gapuy. Itu apa, De?”
    “Itu nama gaul.”
    Semuanya tertawa riang menertawakan Mas Sigit. Lalu Ida nyanyi band Sirna. Yang bunyinya begini.

    Sudah sekian lama aku menunggu
    Jawaban darimu kasih
    Yang sangat aku cintai

    Mas Sigit termenung. Mungkin lagu itu menyayat di lubuk hatinya. Semua lagu yang kami hapal telah dinyanyikan hingga semua mabok dan kelelahan karena nyanyi terus. Akhirnya semuanya diam. Di Cisimeut, Kak Udil menelepon dia bilang ia menunggu di Ciminyak. Lalu aku pindah ke depan karena di belakang rasanya ingin muntah.

    Mas Sigit mencari sinyal dan mengarahkan ke arah tower. Membuat lucu saya. Tiba di Ciminyak aku turun dan naik motor bersama Kak Udil yang sedang nunggu. Di sana sudah adzan maghrib. Lalu Kak Udil nanyain Dede. Lalu kubilang sudah duluan karena naik truk kuning rombongan akan lelaki.

    Tiba di Rasamala aku melambaikan tangan ke Mas Sigit. Mas Sigit pun membalasnya. Di sana kulihat Ida dan Elis turun dari mobil. Ternyata di sana ada Kang Acip, Sanadi, Rojali menunggu Maryam. Mungkin mereka mau naik motor. Setiba di lapangan Cikadu, Kak Udil memberhentikan motornya dan mencari Dede. Ternyata Dede sudah jalan. Kami lalu menyusulnya. Lalu Dede pun naik ditumpuk. Dede di tengah dan aku di belakang. Aku tak melihat kawan lain mungkin hanya kami yang pulang duluan. Setibanya di Ciseel aku ditanyain orang tua teman-teman.
    “Elah di mana Radi?” Tanya Teh Hindun.
    “ Di belakang.” Jawabku.

    Tiba di rumah aku langsung mandi dan setelah mandi pakai baju. Karena kecapean aku langsung tidur. Akhir catatan pengalaman kedua kalinya. Selamat membaca catatan saya di tahun 2012. Mohon maaf bila ada tulisan yang tidak dimengerti. Wassalam.

    Kenang-kenangan dari Cibeo adalah mengingat kampungnya dan nama kampungnya.
    Cibeo dalam kenangan
    Cibeo dalam khayalan
    Cibeo dalam impian
    Cibeo dalam keraguan
    Cita-cita tak tersampaikan
    Terima kasih.


    Puisi
    Petualangan Seribu Langkah

    Bagai melihat api di angkasa
    Menyemburkan ludahnya yang merah asam
    Aku melangkah-langkahkan kaki
    Untuk menggapai kampung Cikartawana

    Melewati jembatan tanpa paku
    Melewati jalan-jalan gelombang
    Bagai rempah tanpa angkutan
    Pohon-pohon kecil berbaris rapi
    Untuk menyambut kedatanganku

    Menjulang ke pertengahan pohon karet
    Saling berpegangan
    Angin yang tak enak dinikmati
    Karena kalah oleh sang mentari
    Yang membuat gerah si petualang

    Mencari pengalaman
    Dan menaburkan tinta ke dalam buku
    Kaki-kaki bersuara nyaring
    Petualangan banyak orang
    Petualangan seribu langkah

    Menemukan hal yang tak pernah
    Kutemukan sebelumnya
    Suatu hal dalam kenangan
    Suatu biji di dalam saku baju

    Yang ingin menimbun diri dalam tanah
    Lumbung padi yang berbentuk aneh
    Memakai kalung dupa arang
    Yang tersimpan di batok kelapa
    Pohon-pohon bambu tinggi dan besar.

    Sesosok kampung yang akan dijelajahi
    Tidak mengerti maksud tertentu
    Membanggakan kehidupannya
    Yang layak untuk dihargai dan
    Kenangan manis di dalamnya

    Gelombang jalan yang semakin jauh
    Di bawah tontonan awan putih
    Baju-baju dua warna yang kumal
    Dan tak berani ku memakainya.

    Nama dunia yang sempurna
    Telah Allah ciptakan untuk kebahagiaan
    Yang menyatukan hati sanu bari
    Yang menyatukan semua kebajikan

    Perjalanan ini sungguh kukagumi
    Jalan-jalan berbagi rasa
    Merasakan keasingan bersama
    Memadu kegembiraan yang teguh

    Menyambut seisi keagungan
    Mengenal karya-karya besar
    Suatu keresahan kutinggalkan
    Dalam detik-detik waktu ini

    Sangat dimengerti bila dipahami
    Suatu kepentingan
    Yang namanya petualangan seribu langkah
    Memejamkan mata dan membukanya kembali
    Dalam suasana yang gemilang
    Hm… kurasakan hal ini
    Dan tak kurasakan hal itu.
     
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Mengukir Nama di Cikartawana Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top