Oleh: Ragil Nugroho[1]
Sastra yang Membuka Kesadaran Nasionalisme: Max Havelaar
Tahun 1860, publik Belanda digegerkan oleh novel berjudul Max Havelaar of de Koffijveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappj (Max Havelaar Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda). Novel ini ditulis oleh seseorang bernama Multatuli—berarti Akulah yang Menderita—nama pena E. Douwes Dekker. Kisahnya tentang kondisi Hindia Belanda dimasa gencar-gencarnya Tanam Paksa setelah kas Belanda terkuras akibat perang Jawa, yang membuat geger anak manusia di negeri Kincir Angin sana; bagai palu godam yang dipukulkan dengan keras pada kepala nilai-nilai kemanusiaan yang dianut bangsa Eropa.
Sebagai mantan asisten residen di Lebak, dengan kepala, telinga dan matanya sendiri, Multatuli mampu menangkap kondisi penduduk pribumi yang diperas habis-habisan oleh tangan-tangan penjajahan; dua tangan sekaligus: kekuasaan Belanda dan para penguasa feodal. Penjajahan yang menimpa Hindia Belanda memang unik. Feodalisme tidak dihancurkan oleh bangsa penjajah, melainkan dimanfaatkan untuk memeras habis penduduk pribumi. Hak penguasa feodal ini dipulihkan secara resmi ketika Gubernur Jendral Van de Boch berkuasa. Dengan legitimasi tersebut feodalisme semakin dikokohkan.
Ketika masih menjabat sebagai asisten residen di Lebak, Multatuli melihat tangan kedua—penguasa feodal—yakni Bupati Lebak yang didukung tangan pertama—kolonialisme Belanda—telah melakukan pemerasan terhadap rakyat. Tindakan ini, menurutnya, bertentangan dengan moral Eropa yang menempatkan manusia sebagaimana inti slogan Revolusi Prancis yang agung: persamaan, kebebasan dan persaudaraan. Maka, diadukanlah tingkah polah sang bupati kepada atasan. Namun, sang atasan tidak menggubris, sebaliknya justru memihak sang bupati, bahkan menonaktifkan Multatuli dari jabatan sebagai asisten residen. Dengan kekecewaan luar biasa, Multatuli kemudian pulang ke negeri Belanda, dan melahirkan novel Max Havelaar di sana.
Multatuli menggunakan bahasa sastra untuk menumpahkan rasa kecewanya sekaligus melakukan perlawanan. Karya yang ditulis selama masa-masa sulit itu menguak tabir nasib tragis sebidang bumi yang dijajah agar diketahui masyarakat Belanda dan Eropa. Salah satu bagian dalam Max Havelaar yang sering dikupas hingga saat ini adalah Saija dan Adinda, yang dengan jernih menggambarkan kondisi rakyat Hindia Belanda pada masa itu:
“Waktu kerbau ini dirampas kepala distrik Parang Kudjang, ia sangat berdukatjita, berkata-kata ia tak suka, sampai berhari-hari lamaja. Karena, waktu meluku sudah tiba, dan alangkah menakutkan kalau sawah tak tergarap pada musimnja, sampai nanti musim menyebar benihpun lewat berlalu, dan achirnja tiada sebatang padipun bakal ditunai buat disimpan didalam lumbung.
Maka diambil olehnja sebilah keris pusaka peninggalan ajahja. Tidak begitu indah memang, tapi ada pengikat-pengikat perak melingkari sarungnja, dan selembar perak terhias pada udjungnja. Didjualnja keris pusaka itu pada seorang Tionghoa jang tinggal diibukota distrik, dan kembali ia pulang membawa dua puluh enpat rupiah, dan dengannja ia beli kerbau baru.
Saidja telah meningkat sembilan tahun, dan Adinda enam tahun mendjelang kerbau baru ajah Saidja dirampas lagi oleh kepala distrik Prang Kudjang.
Ajah Saidja jang sangat miskin, kini mendjual sepasang sangkutan klambu dari perak kepada seorang Tionghoa; sangkutan klambu pusaka peninggalan orang tua istrinja, delapan belas rupiah. Dan dengan itu dibelinja kerbau baru.”[2]
Kondisi penduduk pribumi begitu miskin. Harta mereka dirampas penjajah, kemerdekaan pun tiada akibat belenggu kolonialisme yang mengikat kuat kebebasan mereka. Keluarga Saija tak mampu lagi membeli kerbau baru karena harta sudah dirampok tangan-tangan kolonial. Tak ada alat untuk membajak; tanah pun terlantar. Artinya, kemiskinan semakin merantai. Penderitaan semakin menujam.
Lewat Max Havelaar, Multatuli menggugat kondisi tersebut. Ia menentang praktek-praktek busuk kolonial. Lewat karya sastra ia berhasil menggoncang negeri Belanda, membangunkan orang-orang sebangsanya yang tidak peduli pada kondisi tanah jajahan; bahwa mereka hidup di atas kesengsaraan bangsa lain. Gugatannya begitu menggores tajam. Suaranya menusuk jantung kemanusiaan. Publik pun terpikat dan mulai berpikir tentang negeri yang telah memberi kemewahan kepada mereka.
Novel Multatuli tidak hanya dibaca oleh orang-orang Belanda, pun golongan terpelajar di Hindia Belanda, termasuk Kartini. Ketika membaca Max Havelaar, Kartini masih muda. Sebagai anak bupati, ia beroleh kesempatan belajar bahasa Belanda sehingga bisa membaca buku-buku yang ditulis dalam bahasa negeri tersebut, Max Havelaar salah satunya.
Kartini begitu tergugah ketika membaca Max Havelaar: “Max Havelaar aku punja, “katanja, “karena aku sangat, sangat suka Multatuli.”[3] Kartini pun mengikuti jejak Multatuli: menulis. Memang, Kartini tidak menulis novel, tapi lewat surat-suratnya ia melanjutkan apa yang telah diperjuangkan oleh Multatuli. Kartini tidak hanya sebatas tokoh pejuang emansipasi, sebagaimana yang ditahbiskan zaman Orde Baru kepadanya, tetapi sebenarnya ia sangat gigih melawan kolonialisme. Surat-suratnya berisi kecaman keras terhadap tindakan penjajah yang telah merenggut kemerdekaan penduduk pribumi. Sebagai perempuan belia ketika itu, Kartini sudah sadar bahwa pangkal kesengsaraan bangsanya adalah kolonialisme yang berpilin dengan feodalisme.
Ada kesamaan antara Multatuli dan Kartini: mereka menyuarakan protes melalui pena. Suara hati mereka dituangkan menjadi barisan kata-kata tertulis yang kemudian dibaca oleh orang lain; masa ketika tulisan memegang peranan penting dalam membuka kesadaran kebangsaan untuk melawan penjajahan. Politik Etis Belanda—walaupun sebetulnya bertujuan manipulatif—sedikit-banyak telah memberi kesempatan kepada rakyat pribumi, khususnya kaum terdidik kelas atas, untuk membaca beragam pemikiran yang terserak dalam berbagai buku berbahasa Belanda. Kesadaran untuk mengenal kondisi mereka sendiri, pun kondisi masyarakat, perlahan mulai tumbuh.
Masuknya Belanda sebagai bangsa penjajah ke Hindia Belanda, selain membawa sistem ekonomi baru, yaitu kapitalisme, juga membawa hasil dari revolusi industri di Eropa, salah satunya mesin cetak. Sebelum masa itu, tulisan ditatah di atas batu, yang dalam perkembangan selanjutnya ditulis di atas lontar.
Belanda membutuhkan alat pencetak untuk melipatgandakan aturan hukum. Selain itu, percetakan juga digunakan oleh para misionaris Gereja Protestan. Literatur Kristen dalam berbagai bahasa daerah dan Al Kitab bisa digandakan dengan cepat jika menggunakan mesin cetak.[4]
Tak hanya pemerintah kolonial dan gereja yang dimudahkan oleh hadirnya mesin cetak, bangsa terjajah pun mereguk manfaat dari keberadaan alat tersebut, yaitu sebagai alat pencetak surat kabar Seperti halnya mulut, surat kabar digunakan sebagai sarana untuk menyurakan gugatan terhadap pemerintah kolonial. Medan Prijaji adalah salah satu surat kabar yang menetas pada periode ini. Sebagai surat kabar pribumi pertama, Medan Prijaji mulai terbit pada tahun 1904, dengan akta notaris Simon. Medan Prijaji didirikan oleh N.V. Javaanshe Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften Medan Prijaji. Kantornya terletak di Jalan Naripan, Bandung. Modal awal pendiriannya sebesar F. 75.000.[5]
Pendiri Medan Prijaji adalah Raden Mas Tirtoadisoerjo (Tirto) yang sempat mengenyam pendidikan di STOVIA. Keturunan Bupati Bojonegoro ini lahir pada tahun 1875 dan meninggal pada tanggal 17 Agustus 1918. Tirto dikenal sebagai wartawan Hindia Belanda pertama yang menggunakan surat kabar sebagai media pembentuk pendapat umum. Lewat surat kabar, ia menyebarluaskan sejumlah tulisan berisi kecaman pedas terhadap pemerintah kolonial, baik kekuasaannya yang diwakili oleh penduduk pribumi maupun Belanda. Tak heran, disebabkan kritik-kritik tajamnya, Tirto lantas diasingkan oleh Belanda.[6]
Tirto merupakan seorang Multatulian. Dalam memahami denyut nadi penduduk pribumi, ia mengaku dipengaruhi pemikiran-pemikiran Multatuli. Tirto jelas pembaca Max Havelaar. Tirto pernah membuat sebuah artikel yang berjudul Oleh-oleh dari Tempat Pembuang, yang ditulisnya dua bulan setelah dibuang dari Teluk Betung karena perkara presdelic. Berikut sedikit isi artikelnya:
“Bulan Mei belum lama kenyap, ya, bulan Mei sewaktu orang sopan merayakan cukup 50 tahun umur karangan Multatuli, buku yang sudah bikin terkejut seantero orang Nederland, buku beralamat Max Havelaar, yang menceritakan bagaimana seorang Gouverneur-Generaal dan seorang resident sudah memihak pada seorang bupati yang sudah memijit dan memeras keringat, ya, darah Anak Negeri! Nyaring suara pengunci buku Multatuli yang ditunjukkan pada Sri Baginda Raja Nederland...”[7]
Dengan getas, Tirto mengungkapkan pengaruh Multatuli atas dirinya, yang telah membantu membuka kesadarannya dalam melihat kondisi masyarakat pribumi yang “dipijat” dan “diperas” oleh penjajahan; kondisi yang masih dialami oleh dirinya dan seluruh penduduk Hindia Belanda persis 50 tahun setelah Max Havelaar terbit. Sebagai seorang Multatulian, Tirto juga menulis artikel yang berjudul Kekejaman di Banten. Gugatannya terasa tajam. Baginya, setelah 50 tahun Max Havelaar terbit di negeri Belanda, kondisi tanah jajahan belum beranjak lebih jauh; rakyat masih teraniaya:
“...50 tahun yang sudah, nyata dalam karangan Multatuli yang beralamat Max Havelaar, bahwa tanah Lampung sudah menjadi tempat pembuangan sukarela untuk orang-orang yang teraniaya oleh pijatan dan pemerasan.
Apa yang diceritakan Multatuli kurang lebih 50 tahun yang lalu itu tidak saja benar, hal-hal serupa atau lebih dari itu juga masih terdapat pada masa ini.
Jangan kaget, pembaca kita di Nederland, jangan kaget, dan jangan lantas terburu-buru memaki dan mencaci kita, karena kita sudah berani bilang yang hal-hal sebagaimana diceritakan oleh Multatuli masih didapat pada masa ini di Karesidenan Banten....”[8]
Semangat Multatuli begitu dipahami oleh Tirto. Sebagaimana Multatuli dan Kartini, Tirto pun menggunakan pena dalam perjuangannya. Selain menulis artikel di surat kabar, ia juga menghasilkan sejumlah cerpen panjang yang berkisah tentang kondisi Hindia Belanda pada zamannya. Semangat humanisme Multatuli menjadi napas dalam karya-karyanya. Bagi Marco Kartodikromo, Tirto merupakan tokoh penggoncang pribumi dari tidurnya; sama dengan Multatuli di Belanda.
Kesadaran Tirto terus berderap maju. Kesadaran baru pun bertumbuh dalam dirinya—kekuatan akan berlipat apabila ada yang mengikat, yaitu organisasi. Maka, berdirilah Sarikat Prijaji. Organisasi ini dipelopori oleh Tirto. Seperti namanya, Sarikat Prijaji bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan kaum priyayi, lapisan atas dalam struktur feodalisme. Pada akhirnya, organisi ini pupus; tak mampu mekar; tak bisa menemukan tulang punggung yang kokoh untuk menyangga. Kaum priyayi ternyata sekumpulan orang beku yang hanya peduli pada dunianya sendiri, dunia kasta dan para dewa, bukan dunia lumpur dan keringat rakyat pribumi.
Begitu api Sarikat Prijaji padam, lahirlah Sarikat Dagang Islam (SDI). Organisasi baru ini diikat oleh dua hal: pedagang dan Islam. Lagi-lagi, Tirto menjadi salah satu pionir pendirinya. Kaum pedagang yang bekerja dengan mengandalkan kreativitas diharapkan mampu menjadi ujung tombak dalam memutar baling-baling organisasi. Sementara itu, Islam sebagai agama mayaroritas digunakan untuk menyatukan segala potensi kekuatan yang ada untuk melawan.
SDI memang bukan organisasi revolusioner, tapi lebih sebagai cikal bakal munculnya organisasi revolusioner berikutnya: Sarikat Islam Merah. Jago-jago kiri dalam sejarah pergerakan Indonesia, di antaranya Marco Kartodikromo, Haji Misbach dan Semaoen, lahir dari rahim Sarikat Islam Merah. Mereka adalah angkatan muda baru yang mulai berkenalan dengan ajaran komunis. Bisa dikatakan, Sarikat Islam Merah merupakan cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagaimana tercatat dalam sejarah, PKI dikenal sebagai kekuatan politik pertama yang melancarkan pemberontakan pada Belanda (1926-1927). Meskipun gagal, pemberontakan ini telah mengajarkan satu hal baru: keberanian untuk melawan secara terorganisir.
Demikianlah, jabaran di atas dengan jelas memperlihatkan pengaruh Max Havelaar dalam menumbuhkan kesadaran rakyat Hindia Belanda untuk melawan, yang kelak berujung pada pemberontakan PKI, sebelum berlanjut pada revolusi 1945. Sebagaimana disampaikan Albert Camus, pemberontakan merupakan usaha untuk membuka sumbat saluran yang mampet agar bisa menjadi pancuran yang deras.[9] Dalam kasus penjajahan di Indonesia, salah satu pembuka saluran itu adalah karya sastra: Max Havelaar.
Max Havelaar: Perdebatan dan Pengaruhnya
Akhir Oktober 1859, Max Havelaar selesai ditulis. Novel tersebut ditulis rapi dan dijilid. Walaupun belum diterbitkan, Max Havelaar telah menimbulkan kehebohan. Van Hasselt, seorang ahli hukum yang pernah dititipi surat Dekker untuk Van Twist, memberikan kesaksian:”Sekiranya separoh saya pun yang benar dari apa yang disampaikan kepada saya (yakni orang memberikan informasi kepada Van Hasselt), saya berpendapat buku itu harus segera dicegah penerbitannya.”[10] Lantas, Van Hasselt menulis surat kepada Rochussen, seorang menteri Daerah Jajahan, memberitahukan perihal Max Havelaar. Suratnya berbunyi: “Barangkali penerbitan buku ini bisa dicegah. Saya kira yang memaksa pengarang itu menulis, hanyalah mau mencari makan.”
Van Hansselt kemudian berhasil mendapatkan naskah Max Havelaar tiga hari setelah kelar ditulis. Setelah membacanya, ia mengirimkan naskah tersebut kepada Jacob Van Lennep. Di sinilah usaha-usaha untuk “membungkam” Max Havelaar dimulai. Ketiga orang tersebut—Van Hasselt, Van Lennep dan Rochussen—merupakan pihak pertama yang berusaha menekan pengaruh Max Havelaar agar tidak memberikan goncangan besar. Dalam surat menyurat mereka terbaca bahwa Van Lennep akan menggunting data-data dalam naskah tersebut. Menurutnya, data-data harus dikeluarkan, sementara penutupnya harus dibuang.[11]
Hingga akhir kematiannya, Dekker tidak pernah mengetahui akal bulus Van Hasselt, Van Lennep, dan Rochussen. Tanpa curiga, ia menganggap mereka sebagai orang-orang yang mau membantunya menerbitkan Max Havelaar dengan tulus. Karena kepercayaan yang begitu besar itulah Dekker bersedia menyerahkan hak cipta novel tersebut kepada Van Lennep.
Berhasil mengelabui Dekker, Van Lennep mulai mencorat-coret isi Max Havelaar. Untungnya, bagian-bagian yang diotak-atik Van Lennep tidak terlalu banyak. Bagian penutup batal dihilangkan. Lewat berbagai usaha untuk meredamnya, Max Havelaar akhirnya terbit dalam bentuk buku pada tanggal 14 Mei 1860. Namun, usaha untuk menenggelamkan Max Havelaar ternyata masih berlanjut. Agar novel tersebut tidak tersebar luas, Van Lennep sengaja mencetaknya dalam jumlah terbatas, dan dijual dengan harga tinggi. Tentu saja, ia berharap peredaran Max Havelaar bisa dikendalikan. Sensor terhadap karya sastra ternyata telah dimulai sejak kelahirannya.[12]
Pertama-tama setelah terbitnya, Max Havelaar lebih banyak dibicarakan sebagai pamflet politik ketimbang sebagai karya sastra. Hal ini tentu berkaitan dengan isinya, sehingga yang muncul kemudian adalah usaha untuk mencocok-cocokkan isi Max Havelaar dengan riwayat penulisnya. Para pembahas memfokuskan pada kesesuaian Max Havelaar dengan kenyataan di daerah jajahan.[13]
Nieuwenhuys menyampaikan bahwa pendapat Dekker dalam Max Havelaar tidak benar. Ia menganggap Dekker tidak memahami kondisi masyarakat Hindia Belanda. Menurut pendapatnya, situasi di tanah jajahan dengan struktur feodal yang masih ada tidak bisa disamakan dengan situasi Eropa. Masih menurut Nieuwenhuys, para penguasa feodal adalah penguasa rakyat dan semua benda yang berada dalam wilayah kekuasaan mereka.[14]
Pendapat serupa disampaikan pula oleh Gerard Termorshuizen. Ia menuduh Dekker tidak terlalu memahami “hukum adat”. Ia mengutip Vollenhoven: “Di samping hukumnya orang-orang Barat yang dibukukan oleh para ahli hukum terdapat pula ‘hukum rakyat’ yang dijunjung tinggi oleh para penduduk lainnya.” Sementara De Kock menyerang pribadi Dekker untuk menjatuhkan isi Max Havelaar.[15] Ia mengatakan, Dekker tidak berhak menyerang pemerintah Belanda karena dirinya sendiri tidak bermoral bagus. De Kock menyebutkan hutang-hutang Dekker yang menumpuk, tidak mampu mengurus keluarga, serta sejumlah petualangannya dengan banyak perempuan. Komentar J. Saks pun tidak kalah sadis ketika ia mengatakan bahwa Dekker telah menunjukkan gejala-gejala penyakit urat saraf.[16]
Ringkasnya, dari pihak yang menentang novel Max Havelaar, mereka berusaha mencari-cari alasan dengan berkata bahwa apa yang disampaikan Multatuli tidak semuanya benar, dan bahwa si penulis kurang memahami situasi tanah jajahan. Mereka berusaha memadamkan pengaruh Max Havelaar secara politik. Sebaliknya kubu lain berusaha memenangkan Max Havelaar secara politik pula. Situasi ini memang sulit dielakkan, apalagi jika mengingat situasi di Belanda pada masa itu yang tengah dimarakkan oleh pertarungan sengit antara kubu konservatisme dan kubu liberal (di dalamnya bergabung kelompok-kelompok progresif). Pada akhirnya, secara politik, Max Havelaar dinilai berhasil memicu dihapusnya Tanam Paksa—yang berarti kemenangan kelompok liberal.
Kupasan Max Havelaar sebagai karya sastra dilakukan belakangan.
Dari sudut sastra, A.L Sotemann menulis De Struktuur Van Max Havelaar. Menurutnya, dalam Max Havelaar, si pengarang seolah-olah tidak memerhatikan struktur penulisan. Dan, Multatulis sebagai pengarang pun menyadari hal tersebut: “ruwet...terbengkelehi, tidak beraturan, pengaranya mengejar sensasi, gayanya buruk, tidak nampak keahlian;....tidak ada bakat, tidak ada metode....Baik, baik, .....semuanya benar....tapi orang Jawa dianiaya!” Namun, dari pengakuannya sendiri, Multatuli seolah tidak memedulikan bentuk, melainkan hanya mengandalkan isinya: orang Jawa dianiaya.
Benarkah demikian?
Berdasarkan pengkajian Subagio Sastrowardoyo, Max Havelaar bukanlah novel tanpa struktur. Menurutnya, novel tersebut ditulis dengan struktur cerita berbingkai. Umum diketahui, gaya penulisan dengan struktur berbingkai bisa ditemui dalam sastra lama, semisal Seribu Satu Malam, Kalila dan Dimnah. Struktur tersebut diambil dari gaya penceritaan lisan yang berkembang di masyarakat. Polanya memang kelihatan rumit, tapi sebetulnya tersusun secara teratur.
Dalam pengkajian yang dilakukan oleh Subagio pula ditemukan bahwa tokoh Multatuli menduduki posisi bingkai terluar. Tokoh ini sengaja diletakkan dalam bingkai pertama karena merangkum semua batang tubuh novel. Multatuli adalah penulis novel itu sendiri, yang kelak pada bagian akhir karangan masuk menjadi tokoh: “Cukuplah, Stren yang baik. Aku Multatuli mengangkat pena. Anda tidak terpanggil melukiskan sejarah hidup Havelaar. Aku menghidupkan anda...cukuplah Stren, anda boleh pulang.” Multatuli juga mengambil peranan Droogstoppel: “Stop, hasil celaka nafsu mata duitan yang kotor dan kemunafikan yang menghujah Tuhan! Akulah yang menciptakan anda....anda membesar menjadi makhluk yang dahsyat di bawah penaku,...aku jijik dengan bikinanku sendiri,...terbenamlah dalam kopi, dan pergilah!”
Bingkai kedua adalah kisah Droogstoppel. Ia diletakkan pada bingkai ini agar ia dapat menuturkan keberadaan tokoh-tokoh lain, seperti Sjaalman, pemuda Stren, juga Havelaar. Bingkai ketiga diduduki oleh Havelaar. Ia memiliki kisah penting tersendiri dalam novel yang keberadaannya diceritakan oleh Droogstoppel, berdasarkan naskah yang diberikan Sjaalman. Adapun bingkai terakhir diduduki oleh kisah Saija dan Adinda.
Sementara itu, dari tinjauan gaya bahasa, Max Havelaar dipandang sebagai perombak gaya bahasa sastra Belanda yang telah ada sebelumnya. Lewat gaya bahasanya, Multatuli berhasil mencairkan kebekuan sastra Belanda yang pada masa itu didominasi gaya penceritaan didaktis, hingga akhirnya menjadi gaya bahasa yang lentur, jujur, sekaligus menyentuh. Lewat gaya bahasanya pula, Multatuli berhasil membangunkan masyarakat Belanda yang tertidur. Max Havelaar juga dinilai mempunyai pengaruh sastra pada generasi sastrawan Belanda berikutnya. Mereka yang dikenal dengan gerakan delapanpuluh merupakan pelanjut sastra Multatuli. Mereka antara lain Van Deyssel dan Kloos, dengan gaya penulisan yang terbuka dan apa adanya.
Lantas, bagaimana gema Max Havelaar di tanah jajahan, Hindia Belanda?
Max Havelaar sampai ke Jawa pada tanggal 27 Oktober 1860. Bataviaasch Niewsblad mulai memberikan ulasan panjang lebar tentang novel tersebut dengan judul: Multatuli’s Grieven (Ketidakpuasan Multatuli). Lewat tulisan tersebut, berita tentang Multatuli dan karyanya mulai dikenal publik Hindia Belanda. [17]
Seperti yang telah diuraikan di atas, Kartini dan Tirtoadisoerjo membaca Max Havelaar. Selain mereka, tentunya banyak lagi yang membaca novel karangan Multatuli ini. Dari segi sastra, karya Haji Moekti yang berjudul Hikayat Siti Mariyah memperlihatkan pengaruh Multatulian.[18] Haji Moekti merupakan nama pena seorang Indo, yang dalam karyanya menyuarakan penderitaan penduduk pribumi di tengah kepungan perkebunan-perkebunan Belanda yang rakus. Tak jauh berbeda dari karya Haji Moekti, Tirtoadisoerjo juga menggemakan suara Multatulian lewat karangannya, Njai Permana, yang menentang pejabat korup dan kebejatan moralitas feodal.
Pengaruh Multatuli juga bisa dilacak pada angkatan Pujangga Baru. Kisah-kisah yang ditulis sejumlah novelis angkatan ini menunjukkan pengaruh pengisahan ala Max Havelaar, khususnya kisah Saija dan Adinda. Pun, jejak Multatuli bisa didapatkan dalam karya angkatan setelah Pujangga Baru. Sebagai contoh, dalam novel Atheis karya Akhdiat terdapat kesamaan struktur penulisan dengan Max Havelaar.[19]
Multatuli dan Pram: Akulah yang Menderita
Berdasarkan pengakuannya, Pramoedya Ananta Toer (Pram) mengenal Multatuli sekitar tahun 1930-an. Awalnya, ia sendiri heran ketika mengetahui Multatuli adalah orang Belanda yang membela pribumi. Geliat nasionalisme yang sedang mekar-mekarnya menempatkan orang-orang Belanda sebagai “musuh”. Saat itu, Multatuli muncul di dalam kepala Pram yang masih belia: “itu orang Belanda, kan, dan semua orang Belanda musuh yang ganas.” Namun, tanda tanya tersebut akhirnya berubah menjadi penghormatan ketika pengetahuan Pram tentang Multatuli semakin banyak.
Layaknya Tirtoadisoerjo, Pram menempatkan Multatuli sebagai sosok penting dalam sejarah Indonesia. Pram bahkan mengusulkan membangun patung Multatuli dengan alasan:
“Saya masih berpendapat bahwa Multatuli besar jasanya kepada bangsa Indonesia, karena dialah yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka dijajah. Sebelumnya, di bawah pengaruh Jawaisme, kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak merasa bahwa mereka dijajah.”[20]
Itulah penghormatan Pram terhadap Multatuli yang disebutnya sebagai penyadar rakyat Indonesia; bahwa sebenarnya mereka tengah dirantai oleh belenggu penjajahan—terlepas dari status si penulis sebagai orang Belanda. Wajarlah, Pram merasa kecewa dengan penolakan Soekarno. Walaupun begitu Pram masih yakin, suatu saat nanti patung Multatuli pasti akan didirikan.[21]
Selain sebagai tokoh penyadar, Pram juga melihat Multatuli sebagai pendorong timbulnya kesadaran nasionalisme. Ia mengatakan:
“Pertama kali karena dia adalah pendorong kebangkitan kesadaran para intelektual itu. Ia menyadarkan mereka bahwa mereka punya tanah air, bahwa mereka punya bangsa dalam penjajahan, dan bahwa ada seorang Belanda menentang perlakuan terhadap bangsanya itu. Saat itu, mulai timbul kesadaran, melalui Multatuli.”[22]
Itulah hutang budi bangsa Indonesia terhadap Multatuli, menurut Pram. Bagi Pram, politikus yang tidak mengenal Multatuli, tidak akan mengenal humanisme:
“Seorang politikus yang tidak mengenal Multatuli praktis tidak mengenal arti humanisme, humanisme secara modern. Dan politikus yang tidak mengenal Multatuli bisa menjadi politikus yang kejam. Pertama, karena tidak kenal sejarah Indonesia, kedua karena dia tidak mengenal perikemanusian, humanisme secara modern, dan bisa menjadi kejam.”[23]
Menyadari posisi penting tersebut, Pram semakin serius memperkenalkan pemikiran Multatuli. Sewaktu menjadi pemuka Lekra dan redaktur Lentera (1962-1965), Pram mulai menerjemahkan Max Havelaar, yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di Bintang Timur. Pram juga giat melakukan pengkajian yang serius tentang pemikiran Multatuli, dengan menuliskan esai panjang tentang tokoh tersebut. Selan itu, Pram juga dikenal sebagai pelopor berdirinya Akademi Sastra Multatuli.[24]
Penghormatan Pram terhadap Multatuli tetap konsisten. Dalam pidato penerimaan Wertheim Award pada tahun 1995, Pram menyatakan: “Multatuli adalah seorang besar, humanis Belanda paling hebat yang menyatakan, ‘Pekerjaan manusia harus manusiawi.’” Pram juga selalu ingat pada Multatuli setiap kali ia berbicara tentang ketidakadilan. Dalam bukunya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendeles, ketika sampai pada daerah Serang, Pram menuliskan:
“Di sini pengarang Belanda Multatuli mendapatkan inspirasinya untuk menulis karya abadinya, Max Havelaar, yang memberikan kesaksian historis betapa orang Jawa teraniaya oleh penjajahan Belanda. Multatuli yang nama aslinya Edward Douwes Dekker tidak bisa menerima watak birokrat penjajah bangsanya dan sikap acuh tak acuh terhadap rakyat jajahan yang menderita.”[25]
Pramoedya terus mendengung-dengungkan Multatuli.
Ditinjau dari sejarah hidupnya, Multatuli dan Pramoedya banyak memiliki kesamaan. Sejarah hidup Multatuli diwarnai dengan kegetiran sehingga ia menyebut dirinya “Akulah yang Menderita”. Sejak dipecat sebagai asisten residen, Multatuli hidup luntang-lantung di negeri Belanda. Dalam kemiskinan harta dan di tengah pengucilan orang-orang terdekat, ia mulai menulis karyanya. Dalam suratnya kepada Marie Anderson, Multatuli menulis: “Terus terang: aku tidak bisa hidup, artinya dalam hal keuangan.” Ketika meninggal pada tanggal 19 Februari 1887, Multatuli meninggalkan hutang kepada seorang petani kol (120 Mark), beberapa toko buku (100 Mark), tukang daging (140 Mark), dan sejumlah orang lainnya. Saat jasadnya dikremasi, beberapa orang Belanda yang hadir antara lain, Mimi dan saudara laki-lakinya, Braunius Oeberius dan istri, serta dua orang muda dari Middelburg: Ghijsen dan Wibaut.[26]
Pramoedya juga bisa disebut sebagai “Akulah yang Menderita”. Ia pernah merasakan hidup dalam penjara Belanda, pemerintahan Soekarno, dan Orde Baru. Hampir sepertiga usianya dihabiskan dalam dunia sempit kurungan. Bahkan, setelah bebas dari Pulau Buru, Pram (dan tapol lain) masih diperlakukan diskriminatif dalam segala aspek kehidupan. Rumah tangga Pram pun serupa dengan Multatuli: tidak mulus. Perkawinannya yang pertama kandas ketika krisis keuangan mendera. Sebagian waktunya habis dipenjara sehingga menyebabkannya jauh dari anak-anaknya, yang kemudian mendorongnya melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Multatuli: menulis surat.
Bila ditinjau dari karya sastra Multatuli dan Pramoedya, nasib keduanya pun tidak terlalu berjauhan. Begitu terbit, Max Havelaar sudah berusaha dibungkam suaranya. Sejak tahun 1930, Max Havelaar menghilang dari pengajaran sastra Belanda. Usaha pembungkaman dan penyensoran juga bisa dilihat dari sedikitnya fragmen-fragmen yang ada di dalam novel tersebut; bagian-bagian yang dianggap tidak berbahaya saja yang diperkenalkan. Tak heran, terjemahan lengkap Max Havelaar tidak ditemukan pada zaman kolonial.[27]
Karya-karya Pram juga mengalami nasib serupa. Karangannya pernah dirampas Belanda ketika ia ditangkap pada tahun 1947. Sementara itu, Hoakiau di Indonesia menyebabkan Pram ditangkap lagi oleh tentara, sebelum kemudian dijebloskan ke dalam penjara Cipinang. Dan tentu saja, semua karya-karya yang ditulisnya di Pulau Buru dilarang beredar—sampai kini belum ada pencabutan larangan tersebut secara resmi. Tak kalah mengenaskan, semasa Orde Baru, karya-karya Pramoedya dilarang diajarkan di sekolah-sekolah—persis seperti nasib Max Havelaar.
Menyangkut Multatuli dan Pramoedya, A.Teeuw menulis: “Demikian pula bila kita meninjau riwayat hidup Pramudya, kita sering teringat akan Multatuli—manusia yang senantiasa memprotes, pejuang cita-cita yang baik, tetapi malangnya sering bercampur aduk dengan kepentingan diri sendiri.”[28]
Dua manusia itu kini telah tiada, tapi karyanya masih terus dibaca.
Max Havelaar dan Tetralogi Buru: Dua Karya Tentang Manusia dan Kemanusiaan
“...walaupun saya tidak suka gayanya, saya juga menyukai Multatuli (1820-1887) karena humanismenya tanpa kompromi apapun. Dia itu tipikal Hollander. Kalau dia menulis pada abad ini, efek karyanya pasti lebih dahsyat.”(Pramoedya Ananta Toer)
Seperti pengakuannya tersebut, Pram tidak menyukai gaya tulisan Multatuli. Yang ia kagumi adalah semangat humanismenya. Ia memuji salah satu bagian dalam Max Havelaar, Saija dan Adinda, sebagai kisah percintaan rakyat yang abadi dan tak tertandingi:
“Dalam salah satu bagian karya tersebut [Max Havelaar], dengan latar pemberontakan rakyat Banten tehadap penjajahan, digambarkan kisah percintaan yang terjadi di antara gadis dan pria dari rakyat jelata. Dan sampai sekarang kisah Saija dan Adinda tersebut satu-satunya cerita percintaan rakyat yang belum pernah tertandingi.”[29]
Dari pengakuan tersebut, jika kita membaca karya-karya Pram, maka akan menemukan jejak humanisme Multatuli. Subagio Satrawardoyo mengungkapkan: ”Belakangan ini kita lihat juga pengaruh Max Havelaar di balik roman....dan Anak Semua Bangsa Pramoedya Ananta Toer, kalau tidak dalam bentuk karangannya, setidak-tidaknya pada semangat yang meresapi roman-roman Indonesia ini.”[30]
Seperti yang umum diketahui, Tetralogi Buru karya Pramoedya terdiri dari empat novel: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Karya ini berkisah tentang kurun kebangkitan Indonesia dengan mengambil tokoh sentral Minke.
Serupa Max Havelaar, Tetralogi Buru menimbulkan kehebohan begitu diterbitkan. Publik pembaca di Indonesia terbelah antara yang pro dan kontra. Dalam sejarah kesusaatraan di Indonesia, inilah karya sastra yang mampu memantik perbebatan panjang—baik karya sastranya sendiri maupun pengarangnya. Dalam buku Analisa Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer,[31] paling tidak sekitar 30-an lebih artikel membahas tentang polemik terhadap Bumi Manusia. Tokoh-tokoh terkenal dalam sastra Indonesia, seperti Rendra, Goenawan Mohamad, Wiratmo Sukito, Sori Siregar, dan beberapa tokoh lain dari kalangan kritikus hingga pembaca biasa, memberikan sorotan terhadap Bumi Manusia.
Parakitri menulis: “Dengan novel ini [Bumi Manusia] Pramoedya dengan sekali hantam telah mencairkan kebekuan sastra Indonesia yang belakangan ini hanyut berputar-putar dalam inovasi-inovasi teknik, berpilin-pilin dalam kegelisahan dan kekosongan jiwa perseorangan...”[32] Sementara Yakop Sumarjo menyatakan: “Dengan karyanya yang pertama setelah pengarangnya hampir selama 15 tahun lenyap dari percaturan budaya dan sastra Indonesia (lantaran ditahan selama itu), maka ia membuktikan dirinya bahwa Pramoedya Ananta Toer tetap novelis milik Indonesia sampai saat ini.”[33]
Pendapat yang seirama dengan Parakitri dan Yakop Sumarjo tidak sedikit jumlahnya, demikian pula dengan yang berseberangan. Umumnya, pendapat yang berseberangan menghubungkan isi Tetralogi Buru dengan latar belakang Pram sebelum ia ditahan di Pulau Buru. Umar Junus dengan tandas mengutuk novel Pramoedya berbau Marxist. Menurut Junus, tokoh-tokoh dalam Bumi Manusia dimotivasi oleh paham tentang kelas, tanpa konsep dosa dan banyak adegan amoral. Ia mencontohkan beberapa bagian dalam novel tersebut, seperti hubungan seks Minke dan Annelis sebelum menikah, sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku; penolakan Nyai Ontosoroh terhadap orangtuanya dinilai sebagai anti Pancasila. Kata-kata terakhir dalam Bumi Manusia—“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”—oleh Junus ditangkap sebagai adegan yang mengacu pada kegiatan PKI di Indonesia.[34] Oleh karena itu, Umar Junus mencap Bumi Manusia sebagai novel yang berbahaya bagi generasi muda. Menurutnya, generasi muda yang tidak mempunyai pengalaman dengan kejahatan komunisme bisa terpengaruh oleh Bumi Manusia.[35]
Sementara itu, Kejaksaan Agung dan Makamah Agung sebagai perpanjangantangan penguasa secara resmi pada masa itu tak kalah keras memberikan tuduhan. Kejagung menuding Rumah Kaca bernuansa provokatif. Komentar Pangemanann dianggap sebagai kritik terhadap Indonesia:“Semua ikan besar busuk mengelompok jadi pelaksana kekuasaan. Semua ikan kecil busuk bertebaran dalam kehidupan dan ikut membusuk.” Adapun renungan Pangemanann tentang upah dianggap berbau Marxist: “Dalam setiap sektor kerja produksi dan jasa bermunculan pribadi-pribadi yang mengajarkan, bahwa tenaga manusialah yang terpenting...”[36] Dengan semua “kegawatan” tersebut, sikap anti-Pancasila, ajaran yang berbau Marxist, amoral dan lain sebagainya, maka Tetralogi Buru haruslah dilarang.
Benarkah Tetralogi Buru segawat itu?
Bumi Manusia dan Anak Bangsa memang banyak menyoroti kondisi objektif Hindia Belanda pada masa itu. Minke sangat terkagum-kagum dengan kemajuan yang dicapai bangsa Eropa: dimulai sejak ditemukannya mesin cetak, baksil, hingga mesin uap. Kata “modern” berputar-putar dalam kepalanya. Ia pun terus mencari-cari makna kata tersebut. Di kepingan lain, di luar lingkup sekolah, Minke mendapatkan kondisi yang berbeda. Kenyataan menyadarkannya bahwa feodalisme dan kolonialisme berpilin menjerat kehidupan rakyat. Pertemuan dengan sang ayah, yang membuatnya harus merangkak, juga membuat mata Minke terbuka dalam memandang semboyan Revolusi Prancis yang ia kagumi; ternyata hanya utopia di bumi Hindia Belanda. Adapun melalui pertemuanya dengan Trunodongso—petani yang tanahnya dirampas oleh perkebunan tebu—Minke menarik kesimpulan bahwa bangsa-bangsa Eropa hanya memperjuangkan kebebasan di negara mereka sendiri, sementara di luar itu mereka bersatu merampas kemerdekaan wilayah lain. Dan, dari pertemuannya dengan Ter Haar, Minke mengenal lebih gamblang kata “modern” yang berhubungan dengan modal. Modal inilah yang berkuasa.
Setelah diperkenalkan dengan kondisi dan persoalan kehidupan Hindia Belanda, pada Jejak Langkah dan Rumah Kaca, pembaca kemudian diajak mengikuti perkembangan kesadaran nasionalisme; mulai dari berdirinya Sarikat Priyanyi, Sarikat Dagang Islam sampai Boedi Oetomo; munculnya tokoh-tokoh pergerakan, seperti Marco, Samanhudi, Ki Hajar Dewantara, Sutomo; peristiwa-peristiwa perlawan di berbagai daerah. Tentu saja dengan segala problem dan persoalannya, pada akhirnya kita akan menemukan bahwa untuk memunculkan kesadaran nasionalisme dibutuhkan proses yang panjang. Periode krusial tersebut merupakan usaha untuk memperjuangkan kemanusian dan keadilan di atas bumi manusia, yang harus ditempuh dengan berbagai perdebatan dan pemikiran yang tajam.
Bisa pula dikatakan, tokoh Minke dalam Tetralogi Buru adalah Havelaar dalam wujud lain. Perjuangan Minke dan Havelaar mewakili perjuangan demi menegakkan humanisme. Keduanya menggugat feodalisme dan kolonialisme. Keduanya melawan. Dengan cara masing-masing, mereka mengajak manusia untuk menghargai kemanusiaan dimana pun tempatnya. Setiap usaha untuk merobohkan kemanusiaan harus dilawan dengan berbagai cara, termasuk lewat tulisan. Dan, pada akhirnya, mereka bersama-sama menjadi: Akulah yang Menderita; Havelaar yang dikucilkan dan Minke yang mengalami goncangan mental menjelang kematiannya, bahka makamnya berusaha dilenyapkan.
Minke memang pengagum Multatuli. Dalam kesempatan dialog antara Minke dengan Miriam dan Sarah dalam Bumi Manusia, kutipan kata-kata Multatuli sempat disebut-sebutnya. Kedua perempuan tersebut terkejut ketika Minke mengatakan bahwa ia mendapatkan pengetahuan tentang Multatuli dari seorang guru.[37] Dari gurunya di HBS Minke diperkenalkan dengan Max Havelaar. Minke memang anak rohani Multatuli, sebagaimana dikatakan Ten Haar dalam Anak Semua Bangsa: “kan Tuan menggunakan nama Max Tollenaar untuk mendekati karya Multatuli Max Havelaar? Dari situ orang dapat mengetahui Tuan anak rohani Multatuli. Kemanusiaan Tuan kuat.”[38]
Uraian di atas memperlihatkan jejak-jejak Max Havelaar dalam Tetralogi Buru yang begitu nyata. Selain pada isi dan semangatnya, jejak tersebut juga terdapat dalam strukturnya. A.Teeuw memberikan uraian bahwa ciri yang menonjol pada Max Havelaar dan Tetralogi Buru terletak pada the dialogue structure. Menurutnya, esensi bahasa adalah keragaman, sedangkan fungsi utama penggunaannya adalah dialog, diskusi, konfrontasi. Dengan mengutip Bakthtin, Teeuw berpendapat bahwa novel yang bagus haruslah bersifat polifonis. Baik Max Havelaar maupun Tetralogi Buru, keduanya mengandung unsur itu: kaya akan keragaman suara dan pencerita.[39]
Dalam Max Havelaar terdapat suara-suara pedagang kopi, pegawai pamong praja Belanda, Frits (tokoh pemuda yang romantis). Ada pula sejumlah tokoh dalam cerita Saija dan Adinda serta Pemahat Batu Jepang, dengan problemnya masing-masing; ada puisi dalam berbagai bahasa; situasi Amsterdam dan situasi Hindia Belanda. Tetralogi Buru pun serupa; ada bahasa Melayu-Cina dalam adegan penangkapan Babah Ah Tjong; ada cerita dalam cerita; ada dunia orang Cina lewat Ang San Mei, dunia Indo lewat Haji Moekti, dunia Islam, dunia priyayi, dunia birokrat. Semua kompleksitas tersebut, menurut Teeuw, memperlihatkan kesamaan antara Max Havelaar dan Tetralogi Buru. Ditambah lagi, adegan Pangemanann ketika berusaha mendapatkan naskah Minke, dalam Rumah Kaca, mengingatkan pada adegan tokoh Pak van Sjaalman dalam Max Havelaar.[40]
Pertemuan dua karya sastra—Max Havelaar dan Tetralogi Buru—telah memperkaya khasanah sastra dunia; dua karya yang sampai saat ini masih terus dibaca dan dikaji.
Penutup: Sastra dan Politik
Mengenal sosok Multatuli dan Pramoedya, salah satunya akan bermuara pada pembincangan sastra dan politik. Pada tahun 1950-1960, perbincangan sastra dan politik mempertemukan Lekra vs Manikebu secara berhadap-hadapan—walaupun ada pandangan lain di luar kedua kubu tersebut, tapi tidak begitu dominan. Saat itu, Realisme Sosialis Lekra berbenturan dengan Humanisme Universal Manikebu.
Peristiwa 30 September 1965, sebagaimana dikatakan Keit Foulcher, merupakan titik robohnya Orla, yang bukan hanya sebagai batu pijakan kejayaan Orba, juga sebagai penanda kemenangan Humanisme Universal dengan pahlawannya Manikebu. Sejak saat itu, sastra dipisahkan dari politik.[41] Maka, karya-karya pengarang eks lawan Manikebu tidak akan lagi ditemukan di dalam rak-rak perpustakaan sekolah, kampus, instansi pemerinah, dan toko buku. Sastra “haram” tersebut harus dijauhkan dari rakyat karena dicap berbahaya, merongrong Pancasila, dan menganggu stabilitas nasional.
Namun, “kemenangan” Manikebu pada perkembangannya menciptakan kejenuhan. Humanisme Universal kembali digugat. Empat tahun setelah terbitnya Bumi Manusia, Arief Budiman dan Ariel Hariyanto menggelontorkan “sastra kontekstual” dalam acara Sarasehan Kesenian pada tahun 1984 di Surakarta. Arief Budiman, salah satu tokoh kubu Manikebu, menyampaikan gagasannya tentang karya sastra yang tidak bisa lepas dari konteks sosialnya. Menurut Arief Budiman, ide sastra kontekstual lahir dari sikapnya: “dalam menanyakan kebaikan dan kebenaran sastra kapitalis, sastra Humanisme Universal.” Menurut Arief Budiman pula, sastra seperti itu merupakan sastra yang salah.[42]
Sebelum memaparkan konsepnya tentang sastra kontekstual, Arief Budiman sempat bertemu sastrawan kawakan dari Jerman, Gunter Grass. Pada pertemuan tanggal 11 September 1983 itu, Arief Budiman bertanya pada Gunter Grass tentang hubungan sastra dan politik. Grass menjawab, ia melakukan kedua-duanya.[43]
Kemunculan Bumi Manusia sama seperti kemunculan Max Havelaar, menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak, tak terkecuali kalangan sastrawan sendiri. Budi Darma dalam pidato penerimaan Hadiah Sastra DKJ pada tahun 1984 menyampaikan: “Masyarakat sastra sudah terlalu banyak menuntut hendaknya sastra tidak terlepas dari kondisi sosial...sebagai warga negara, setiap warga negara memang mempunyai kewajiban untuk committed terhadap kondisi sosial...Tapi sebagai pengarang...dia mempunyai kewajiban yang berbeda.”[44] Jelaslah, menurut Budi Darma, sastra harus dipisahkan dari politik.
Sedangkan Pram sendiri sejak awal dikenal sebagai penentang Humanisme Universal. Awalnya, ia sempat mengikuti H.B Jassin, tapi merasa kecewa sehingga berpaling pada sastra yang progresif—yang kemudian dinamainya realisme sosialis. Bagi Pram, sastrawan tidak bisa terlepas dari politik, misalnya, proses mengurus KTP yang sudah merupakan bagian dari politik. Dengan pandangan seperti itu, tentu saja karya-karya Pram, termasuk Tetralogi Buru, tidak bisa dilepaskan dari nuansa politik. Karya-karyanya mewakili sastra yang berlawan. Dengan teguh, ia mengikuti Multatuli.
Lereng Merapi, 11/05/2011
Daftar Bacaan:
Adam, Ahmat.
2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesian.
Jakarta: Hasta Mitra.
Allen, Pamela.
1995. Membaca, dan Membaca Lagi, Reinterprestasi Fiksi Indonesia
1980-1995. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Asmara, Ady.
1981. Analisa Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Bumi Manusia
Pramoedya Ananta Toer. Yogyakarta: CV Nur Cahaya.
Camus, Albert.
2000: Pemberontak. Yogyakarta: Bentang. 2000.
den Boef, August Hans, dan Snock, Kees.
2008. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir. Jakarta: Komunitas Bambu.
Hariyanto, Ariel.
1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali.
Hermans, Willem Frederik.
1988. Multatuli yang Penuh Teka-Teki. Jakarta: Djambatan.
1973.Kian Kemari: Indonesia dan Belanda dalam Sastra. Jakarta: Djambatan..
Moekti, Haji.
1985. Hikayat Siti Mariyah. Jakarta:Hasta Mitra.
Multatuli.
1972. Max Havelaar. Jakarta: Djambatan
Raditya, Iswara N dan Dahlan, Muhudin.
2008. Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo, Yogyakarta: I:Boekoe
Rosidi, Ajip.
1977. Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rosidi, Ajip(ed).
1997. Asrul Sani:70 Tahun. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sastrowardoyo, Subagio.
1990. Sastra Hindia Belanda dan Kita.Jakarta: Balai Pustaka.
----------1989. Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan, seberkas catatan
sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
Serikat Surat Kabar Djakarta.
1958.Sekilas Sejarah Perjuangan Pers Suratkabar Sebangsa. Jakarta: Serikat
Perusahaan Surat Kabar Djakarta.
Teeuw, A.
1980. Sastra Baru Indonesia 1.Ende: Nusa Indah.
Toer, Pramoedya Ananta.
1962. Panggil Aku Kartini Sadja. Jakarta: Nusantara.
---------1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.
---------1981. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra.
---------1985. Jejak Langkah. Jakarta: Hasta Mitra.
---------1985. Rumah Kaca. Jakarta: Hasta Mitra.
---------1985. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra.
---------2005. Jalan Raya Pos, Jalan Deandeles. Jakarta: Lentera
Dwipantara.
Vltchek, Andre & Indira, Rossie.
2006. Saya Terbakar Amarah Sendirian. Jakarta: KPG.
[1] Tinggal di Jogja
[2] Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Sadja, Nusantara, 1962
[3] ibid
[4] Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesian, Hasta Mitra, 2003.
[5] Sekilas Sejarah Perjuangan Pers Suratkabar Sebangsa, Serikat Perusahaan Surat Kabar Djakarta, 1958
[6] Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Hasta Mitra, 1995; Iswara N Raditya dan Muhudin Dahlan, Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo, I:Boekoe, 2008. Lebih banyak tentang Tirto bisa dibaca dari kedua buku ini.
[7] Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Hasta Mitra, 1995.hal: 283
[8] Ibid.hal.223
[9] Albert Camus, Pemberontak, Bentang, 2000.hal: 27.
[10] Willem Frederik Hermans, Multatuli yang Penuh Teka-Teki, Djambatan, 1988.
[11] Ibid.
[12] Ibid
[13] Subagio Sastrowardoyo, Sastra Hindia Belanda dan Kita, Balai Pustaka, 1990.hal: 44
[14] Op.cit.
[15] Kian Kemari: Indonesia dan Belanda dalam Sastra, Djambatan, 1973.hal: 8
[16] Subagio Sastrowardoyo, Sastra Hindia Belanda dan Kita, Balai Pustaka, 1990.hal: 41
[17] Willem Frederik Hermans, Multatuli yang Penuh Teka-Teki, Djambatan, 1988. hal:
[18] Lebih mendalam tentang kisah Hikayat Siti Mariyah bisa dibaca dalam Hikayat Siti Mariyah, Hasta Mitra, 1985.
[19] Urain lebih lanjut bisa dibaca dalam Pendekatan Pada Roman Atheis dalam Laut Biru Langit Biru, Pustaka Jaya, 1977. hal. 94-98. Pengaruh lebih lanjut tentang Max Havelaar terhadap sastra Indonesia juga bisa di baca dalam: A. Teeuw, Hubungan Sastera Indonesia dengan Sastera Belanda (artikel dalam buku Asrul Sani:70 Tahun), Pustaka Jaya, 1997.
[20] Andre Vltchek &Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian, KPG, 2006.hal: 15
[21] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Deandeles, Lentera Dwipantara, 2005.hal: 39
[22] August Hans den Boef dan Kees Snock, Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir, Komunitas Bambu, 2008. hal: 171
[23] Ibid. hal: 171
[24] A. Teeuw, Hubungan Sastera Indonesia dengan Sastera Belanda (artikel dalam buku Asrul Sani:70 Tahun), Pustaka Jaya, 1997. hal:189
[25] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Deandeles, Lentera Dwipantara, 2005.hal: 38
[26] Willem Frederik Hermans, Multatuli yang Penuh Teka-Teki, Djambatan, 1988. hal:
[27] A. Teeuw, Hubungan Sastera Indonesia dengan Sastera Belanda (artikel dalam buku Asrul Sani:70 Tahun), Pustaka Jaya, 1997. hal:
[28] A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1, Nusa Indah, 1980.hal: 242
[29] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Deandeles, Lentera Dwipantara, 2005.hal: 38
[30] Subagio Sastrowardoyo, Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan, seberkas catatan sastra, Balai Pustaka, 1989.
[31] Ady Asmara, Analisa Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, CV Nur Cahaya, 1981.
[32] Ibid. hal: 46-47
[33] Ibid.hal: 38
[34] Dr. Pamela Allen, Membaca, dan Membaca Lagi, Reinterprestasi Fiksi Indonesia 1980-1995, Indonesia Tera, 2004.hal: 56.
[35] Ibid.hal: 57
[36] Ibid.hal: 58
[37] Pramoedya, Bumi Manusia, Hasta Mitra, 1980.
[38] Pramoedya, Anak Semua Bangsa, Hasta Mitra, 1981.
[39] A. Teeuw, Hubungan Sastera Indonesia dengan Sastera Belanda (artikel dalam buku Asrul Sani:70 Tahun), Pustaka Jaya, 1997. hal:197-8
[40] Ibid.hal: 198-9
[41] Ariel Hariyanto, Perdebatan Sastra Kontekstual, Rajawali, 1985.hal: 58
[42] Ibid.hal: 327
[43] Ibid.hal: 388
[44] Ibid.hal: 42
Catatan: Tulisan ini akan dibincangkan di acara Sastra Multatuli hari kedua, Minggu, 14 Mei 2011 pukul 21.00 WIB di Taman Baca Multatuli.
Sastra yang Membuka Kesadaran Nasionalisme: Max Havelaar
Tahun 1860, publik Belanda digegerkan oleh novel berjudul Max Havelaar of de Koffijveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappj (Max Havelaar Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda). Novel ini ditulis oleh seseorang bernama Multatuli—berarti Akulah yang Menderita—nama pena E. Douwes Dekker. Kisahnya tentang kondisi Hindia Belanda dimasa gencar-gencarnya Tanam Paksa setelah kas Belanda terkuras akibat perang Jawa, yang membuat geger anak manusia di negeri Kincir Angin sana; bagai palu godam yang dipukulkan dengan keras pada kepala nilai-nilai kemanusiaan yang dianut bangsa Eropa.
Sebagai mantan asisten residen di Lebak, dengan kepala, telinga dan matanya sendiri, Multatuli mampu menangkap kondisi penduduk pribumi yang diperas habis-habisan oleh tangan-tangan penjajahan; dua tangan sekaligus: kekuasaan Belanda dan para penguasa feodal. Penjajahan yang menimpa Hindia Belanda memang unik. Feodalisme tidak dihancurkan oleh bangsa penjajah, melainkan dimanfaatkan untuk memeras habis penduduk pribumi. Hak penguasa feodal ini dipulihkan secara resmi ketika Gubernur Jendral Van de Boch berkuasa. Dengan legitimasi tersebut feodalisme semakin dikokohkan.
Ketika masih menjabat sebagai asisten residen di Lebak, Multatuli melihat tangan kedua—penguasa feodal—yakni Bupati Lebak yang didukung tangan pertama—kolonialisme Belanda—telah melakukan pemerasan terhadap rakyat. Tindakan ini, menurutnya, bertentangan dengan moral Eropa yang menempatkan manusia sebagaimana inti slogan Revolusi Prancis yang agung: persamaan, kebebasan dan persaudaraan. Maka, diadukanlah tingkah polah sang bupati kepada atasan. Namun, sang atasan tidak menggubris, sebaliknya justru memihak sang bupati, bahkan menonaktifkan Multatuli dari jabatan sebagai asisten residen. Dengan kekecewaan luar biasa, Multatuli kemudian pulang ke negeri Belanda, dan melahirkan novel Max Havelaar di sana.
Multatuli menggunakan bahasa sastra untuk menumpahkan rasa kecewanya sekaligus melakukan perlawanan. Karya yang ditulis selama masa-masa sulit itu menguak tabir nasib tragis sebidang bumi yang dijajah agar diketahui masyarakat Belanda dan Eropa. Salah satu bagian dalam Max Havelaar yang sering dikupas hingga saat ini adalah Saija dan Adinda, yang dengan jernih menggambarkan kondisi rakyat Hindia Belanda pada masa itu:
“Waktu kerbau ini dirampas kepala distrik Parang Kudjang, ia sangat berdukatjita, berkata-kata ia tak suka, sampai berhari-hari lamaja. Karena, waktu meluku sudah tiba, dan alangkah menakutkan kalau sawah tak tergarap pada musimnja, sampai nanti musim menyebar benihpun lewat berlalu, dan achirnja tiada sebatang padipun bakal ditunai buat disimpan didalam lumbung.
Maka diambil olehnja sebilah keris pusaka peninggalan ajahja. Tidak begitu indah memang, tapi ada pengikat-pengikat perak melingkari sarungnja, dan selembar perak terhias pada udjungnja. Didjualnja keris pusaka itu pada seorang Tionghoa jang tinggal diibukota distrik, dan kembali ia pulang membawa dua puluh enpat rupiah, dan dengannja ia beli kerbau baru.
Saidja telah meningkat sembilan tahun, dan Adinda enam tahun mendjelang kerbau baru ajah Saidja dirampas lagi oleh kepala distrik Prang Kudjang.
Ajah Saidja jang sangat miskin, kini mendjual sepasang sangkutan klambu dari perak kepada seorang Tionghoa; sangkutan klambu pusaka peninggalan orang tua istrinja, delapan belas rupiah. Dan dengan itu dibelinja kerbau baru.”[2]
Kondisi penduduk pribumi begitu miskin. Harta mereka dirampas penjajah, kemerdekaan pun tiada akibat belenggu kolonialisme yang mengikat kuat kebebasan mereka. Keluarga Saija tak mampu lagi membeli kerbau baru karena harta sudah dirampok tangan-tangan kolonial. Tak ada alat untuk membajak; tanah pun terlantar. Artinya, kemiskinan semakin merantai. Penderitaan semakin menujam.
Lewat Max Havelaar, Multatuli menggugat kondisi tersebut. Ia menentang praktek-praktek busuk kolonial. Lewat karya sastra ia berhasil menggoncang negeri Belanda, membangunkan orang-orang sebangsanya yang tidak peduli pada kondisi tanah jajahan; bahwa mereka hidup di atas kesengsaraan bangsa lain. Gugatannya begitu menggores tajam. Suaranya menusuk jantung kemanusiaan. Publik pun terpikat dan mulai berpikir tentang negeri yang telah memberi kemewahan kepada mereka.
Novel Multatuli tidak hanya dibaca oleh orang-orang Belanda, pun golongan terpelajar di Hindia Belanda, termasuk Kartini. Ketika membaca Max Havelaar, Kartini masih muda. Sebagai anak bupati, ia beroleh kesempatan belajar bahasa Belanda sehingga bisa membaca buku-buku yang ditulis dalam bahasa negeri tersebut, Max Havelaar salah satunya.
Kartini begitu tergugah ketika membaca Max Havelaar: “Max Havelaar aku punja, “katanja, “karena aku sangat, sangat suka Multatuli.”[3] Kartini pun mengikuti jejak Multatuli: menulis. Memang, Kartini tidak menulis novel, tapi lewat surat-suratnya ia melanjutkan apa yang telah diperjuangkan oleh Multatuli. Kartini tidak hanya sebatas tokoh pejuang emansipasi, sebagaimana yang ditahbiskan zaman Orde Baru kepadanya, tetapi sebenarnya ia sangat gigih melawan kolonialisme. Surat-suratnya berisi kecaman keras terhadap tindakan penjajah yang telah merenggut kemerdekaan penduduk pribumi. Sebagai perempuan belia ketika itu, Kartini sudah sadar bahwa pangkal kesengsaraan bangsanya adalah kolonialisme yang berpilin dengan feodalisme.
Ada kesamaan antara Multatuli dan Kartini: mereka menyuarakan protes melalui pena. Suara hati mereka dituangkan menjadi barisan kata-kata tertulis yang kemudian dibaca oleh orang lain; masa ketika tulisan memegang peranan penting dalam membuka kesadaran kebangsaan untuk melawan penjajahan. Politik Etis Belanda—walaupun sebetulnya bertujuan manipulatif—sedikit-banyak telah memberi kesempatan kepada rakyat pribumi, khususnya kaum terdidik kelas atas, untuk membaca beragam pemikiran yang terserak dalam berbagai buku berbahasa Belanda. Kesadaran untuk mengenal kondisi mereka sendiri, pun kondisi masyarakat, perlahan mulai tumbuh.
Masuknya Belanda sebagai bangsa penjajah ke Hindia Belanda, selain membawa sistem ekonomi baru, yaitu kapitalisme, juga membawa hasil dari revolusi industri di Eropa, salah satunya mesin cetak. Sebelum masa itu, tulisan ditatah di atas batu, yang dalam perkembangan selanjutnya ditulis di atas lontar.
Belanda membutuhkan alat pencetak untuk melipatgandakan aturan hukum. Selain itu, percetakan juga digunakan oleh para misionaris Gereja Protestan. Literatur Kristen dalam berbagai bahasa daerah dan Al Kitab bisa digandakan dengan cepat jika menggunakan mesin cetak.[4]
Tak hanya pemerintah kolonial dan gereja yang dimudahkan oleh hadirnya mesin cetak, bangsa terjajah pun mereguk manfaat dari keberadaan alat tersebut, yaitu sebagai alat pencetak surat kabar Seperti halnya mulut, surat kabar digunakan sebagai sarana untuk menyurakan gugatan terhadap pemerintah kolonial. Medan Prijaji adalah salah satu surat kabar yang menetas pada periode ini. Sebagai surat kabar pribumi pertama, Medan Prijaji mulai terbit pada tahun 1904, dengan akta notaris Simon. Medan Prijaji didirikan oleh N.V. Javaanshe Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften Medan Prijaji. Kantornya terletak di Jalan Naripan, Bandung. Modal awal pendiriannya sebesar F. 75.000.[5]
Pendiri Medan Prijaji adalah Raden Mas Tirtoadisoerjo (Tirto) yang sempat mengenyam pendidikan di STOVIA. Keturunan Bupati Bojonegoro ini lahir pada tahun 1875 dan meninggal pada tanggal 17 Agustus 1918. Tirto dikenal sebagai wartawan Hindia Belanda pertama yang menggunakan surat kabar sebagai media pembentuk pendapat umum. Lewat surat kabar, ia menyebarluaskan sejumlah tulisan berisi kecaman pedas terhadap pemerintah kolonial, baik kekuasaannya yang diwakili oleh penduduk pribumi maupun Belanda. Tak heran, disebabkan kritik-kritik tajamnya, Tirto lantas diasingkan oleh Belanda.[6]
Tirto merupakan seorang Multatulian. Dalam memahami denyut nadi penduduk pribumi, ia mengaku dipengaruhi pemikiran-pemikiran Multatuli. Tirto jelas pembaca Max Havelaar. Tirto pernah membuat sebuah artikel yang berjudul Oleh-oleh dari Tempat Pembuang, yang ditulisnya dua bulan setelah dibuang dari Teluk Betung karena perkara presdelic. Berikut sedikit isi artikelnya:
“Bulan Mei belum lama kenyap, ya, bulan Mei sewaktu orang sopan merayakan cukup 50 tahun umur karangan Multatuli, buku yang sudah bikin terkejut seantero orang Nederland, buku beralamat Max Havelaar, yang menceritakan bagaimana seorang Gouverneur-Generaal dan seorang resident sudah memihak pada seorang bupati yang sudah memijit dan memeras keringat, ya, darah Anak Negeri! Nyaring suara pengunci buku Multatuli yang ditunjukkan pada Sri Baginda Raja Nederland...”[7]
Dengan getas, Tirto mengungkapkan pengaruh Multatuli atas dirinya, yang telah membantu membuka kesadarannya dalam melihat kondisi masyarakat pribumi yang “dipijat” dan “diperas” oleh penjajahan; kondisi yang masih dialami oleh dirinya dan seluruh penduduk Hindia Belanda persis 50 tahun setelah Max Havelaar terbit. Sebagai seorang Multatulian, Tirto juga menulis artikel yang berjudul Kekejaman di Banten. Gugatannya terasa tajam. Baginya, setelah 50 tahun Max Havelaar terbit di negeri Belanda, kondisi tanah jajahan belum beranjak lebih jauh; rakyat masih teraniaya:
“...50 tahun yang sudah, nyata dalam karangan Multatuli yang beralamat Max Havelaar, bahwa tanah Lampung sudah menjadi tempat pembuangan sukarela untuk orang-orang yang teraniaya oleh pijatan dan pemerasan.
Apa yang diceritakan Multatuli kurang lebih 50 tahun yang lalu itu tidak saja benar, hal-hal serupa atau lebih dari itu juga masih terdapat pada masa ini.
Jangan kaget, pembaca kita di Nederland, jangan kaget, dan jangan lantas terburu-buru memaki dan mencaci kita, karena kita sudah berani bilang yang hal-hal sebagaimana diceritakan oleh Multatuli masih didapat pada masa ini di Karesidenan Banten....”[8]
Semangat Multatuli begitu dipahami oleh Tirto. Sebagaimana Multatuli dan Kartini, Tirto pun menggunakan pena dalam perjuangannya. Selain menulis artikel di surat kabar, ia juga menghasilkan sejumlah cerpen panjang yang berkisah tentang kondisi Hindia Belanda pada zamannya. Semangat humanisme Multatuli menjadi napas dalam karya-karyanya. Bagi Marco Kartodikromo, Tirto merupakan tokoh penggoncang pribumi dari tidurnya; sama dengan Multatuli di Belanda.
Kesadaran Tirto terus berderap maju. Kesadaran baru pun bertumbuh dalam dirinya—kekuatan akan berlipat apabila ada yang mengikat, yaitu organisasi. Maka, berdirilah Sarikat Prijaji. Organisasi ini dipelopori oleh Tirto. Seperti namanya, Sarikat Prijaji bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan kaum priyayi, lapisan atas dalam struktur feodalisme. Pada akhirnya, organisi ini pupus; tak mampu mekar; tak bisa menemukan tulang punggung yang kokoh untuk menyangga. Kaum priyayi ternyata sekumpulan orang beku yang hanya peduli pada dunianya sendiri, dunia kasta dan para dewa, bukan dunia lumpur dan keringat rakyat pribumi.
Begitu api Sarikat Prijaji padam, lahirlah Sarikat Dagang Islam (SDI). Organisasi baru ini diikat oleh dua hal: pedagang dan Islam. Lagi-lagi, Tirto menjadi salah satu pionir pendirinya. Kaum pedagang yang bekerja dengan mengandalkan kreativitas diharapkan mampu menjadi ujung tombak dalam memutar baling-baling organisasi. Sementara itu, Islam sebagai agama mayaroritas digunakan untuk menyatukan segala potensi kekuatan yang ada untuk melawan.
SDI memang bukan organisasi revolusioner, tapi lebih sebagai cikal bakal munculnya organisasi revolusioner berikutnya: Sarikat Islam Merah. Jago-jago kiri dalam sejarah pergerakan Indonesia, di antaranya Marco Kartodikromo, Haji Misbach dan Semaoen, lahir dari rahim Sarikat Islam Merah. Mereka adalah angkatan muda baru yang mulai berkenalan dengan ajaran komunis. Bisa dikatakan, Sarikat Islam Merah merupakan cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagaimana tercatat dalam sejarah, PKI dikenal sebagai kekuatan politik pertama yang melancarkan pemberontakan pada Belanda (1926-1927). Meskipun gagal, pemberontakan ini telah mengajarkan satu hal baru: keberanian untuk melawan secara terorganisir.
Demikianlah, jabaran di atas dengan jelas memperlihatkan pengaruh Max Havelaar dalam menumbuhkan kesadaran rakyat Hindia Belanda untuk melawan, yang kelak berujung pada pemberontakan PKI, sebelum berlanjut pada revolusi 1945. Sebagaimana disampaikan Albert Camus, pemberontakan merupakan usaha untuk membuka sumbat saluran yang mampet agar bisa menjadi pancuran yang deras.[9] Dalam kasus penjajahan di Indonesia, salah satu pembuka saluran itu adalah karya sastra: Max Havelaar.
Max Havelaar: Perdebatan dan Pengaruhnya
Akhir Oktober 1859, Max Havelaar selesai ditulis. Novel tersebut ditulis rapi dan dijilid. Walaupun belum diterbitkan, Max Havelaar telah menimbulkan kehebohan. Van Hasselt, seorang ahli hukum yang pernah dititipi surat Dekker untuk Van Twist, memberikan kesaksian:”Sekiranya separoh saya pun yang benar dari apa yang disampaikan kepada saya (yakni orang memberikan informasi kepada Van Hasselt), saya berpendapat buku itu harus segera dicegah penerbitannya.”[10] Lantas, Van Hasselt menulis surat kepada Rochussen, seorang menteri Daerah Jajahan, memberitahukan perihal Max Havelaar. Suratnya berbunyi: “Barangkali penerbitan buku ini bisa dicegah. Saya kira yang memaksa pengarang itu menulis, hanyalah mau mencari makan.”
Van Hansselt kemudian berhasil mendapatkan naskah Max Havelaar tiga hari setelah kelar ditulis. Setelah membacanya, ia mengirimkan naskah tersebut kepada Jacob Van Lennep. Di sinilah usaha-usaha untuk “membungkam” Max Havelaar dimulai. Ketiga orang tersebut—Van Hasselt, Van Lennep dan Rochussen—merupakan pihak pertama yang berusaha menekan pengaruh Max Havelaar agar tidak memberikan goncangan besar. Dalam surat menyurat mereka terbaca bahwa Van Lennep akan menggunting data-data dalam naskah tersebut. Menurutnya, data-data harus dikeluarkan, sementara penutupnya harus dibuang.[11]
Hingga akhir kematiannya, Dekker tidak pernah mengetahui akal bulus Van Hasselt, Van Lennep, dan Rochussen. Tanpa curiga, ia menganggap mereka sebagai orang-orang yang mau membantunya menerbitkan Max Havelaar dengan tulus. Karena kepercayaan yang begitu besar itulah Dekker bersedia menyerahkan hak cipta novel tersebut kepada Van Lennep.
Berhasil mengelabui Dekker, Van Lennep mulai mencorat-coret isi Max Havelaar. Untungnya, bagian-bagian yang diotak-atik Van Lennep tidak terlalu banyak. Bagian penutup batal dihilangkan. Lewat berbagai usaha untuk meredamnya, Max Havelaar akhirnya terbit dalam bentuk buku pada tanggal 14 Mei 1860. Namun, usaha untuk menenggelamkan Max Havelaar ternyata masih berlanjut. Agar novel tersebut tidak tersebar luas, Van Lennep sengaja mencetaknya dalam jumlah terbatas, dan dijual dengan harga tinggi. Tentu saja, ia berharap peredaran Max Havelaar bisa dikendalikan. Sensor terhadap karya sastra ternyata telah dimulai sejak kelahirannya.[12]
Pertama-tama setelah terbitnya, Max Havelaar lebih banyak dibicarakan sebagai pamflet politik ketimbang sebagai karya sastra. Hal ini tentu berkaitan dengan isinya, sehingga yang muncul kemudian adalah usaha untuk mencocok-cocokkan isi Max Havelaar dengan riwayat penulisnya. Para pembahas memfokuskan pada kesesuaian Max Havelaar dengan kenyataan di daerah jajahan.[13]
Nieuwenhuys menyampaikan bahwa pendapat Dekker dalam Max Havelaar tidak benar. Ia menganggap Dekker tidak memahami kondisi masyarakat Hindia Belanda. Menurut pendapatnya, situasi di tanah jajahan dengan struktur feodal yang masih ada tidak bisa disamakan dengan situasi Eropa. Masih menurut Nieuwenhuys, para penguasa feodal adalah penguasa rakyat dan semua benda yang berada dalam wilayah kekuasaan mereka.[14]
Pendapat serupa disampaikan pula oleh Gerard Termorshuizen. Ia menuduh Dekker tidak terlalu memahami “hukum adat”. Ia mengutip Vollenhoven: “Di samping hukumnya orang-orang Barat yang dibukukan oleh para ahli hukum terdapat pula ‘hukum rakyat’ yang dijunjung tinggi oleh para penduduk lainnya.” Sementara De Kock menyerang pribadi Dekker untuk menjatuhkan isi Max Havelaar.[15] Ia mengatakan, Dekker tidak berhak menyerang pemerintah Belanda karena dirinya sendiri tidak bermoral bagus. De Kock menyebutkan hutang-hutang Dekker yang menumpuk, tidak mampu mengurus keluarga, serta sejumlah petualangannya dengan banyak perempuan. Komentar J. Saks pun tidak kalah sadis ketika ia mengatakan bahwa Dekker telah menunjukkan gejala-gejala penyakit urat saraf.[16]
Ringkasnya, dari pihak yang menentang novel Max Havelaar, mereka berusaha mencari-cari alasan dengan berkata bahwa apa yang disampaikan Multatuli tidak semuanya benar, dan bahwa si penulis kurang memahami situasi tanah jajahan. Mereka berusaha memadamkan pengaruh Max Havelaar secara politik. Sebaliknya kubu lain berusaha memenangkan Max Havelaar secara politik pula. Situasi ini memang sulit dielakkan, apalagi jika mengingat situasi di Belanda pada masa itu yang tengah dimarakkan oleh pertarungan sengit antara kubu konservatisme dan kubu liberal (di dalamnya bergabung kelompok-kelompok progresif). Pada akhirnya, secara politik, Max Havelaar dinilai berhasil memicu dihapusnya Tanam Paksa—yang berarti kemenangan kelompok liberal.
Kupasan Max Havelaar sebagai karya sastra dilakukan belakangan.
Dari sudut sastra, A.L Sotemann menulis De Struktuur Van Max Havelaar. Menurutnya, dalam Max Havelaar, si pengarang seolah-olah tidak memerhatikan struktur penulisan. Dan, Multatulis sebagai pengarang pun menyadari hal tersebut: “ruwet...terbengkelehi, tidak beraturan, pengaranya mengejar sensasi, gayanya buruk, tidak nampak keahlian;....tidak ada bakat, tidak ada metode....Baik, baik, .....semuanya benar....tapi orang Jawa dianiaya!” Namun, dari pengakuannya sendiri, Multatuli seolah tidak memedulikan bentuk, melainkan hanya mengandalkan isinya: orang Jawa dianiaya.
Benarkah demikian?
Berdasarkan pengkajian Subagio Sastrowardoyo, Max Havelaar bukanlah novel tanpa struktur. Menurutnya, novel tersebut ditulis dengan struktur cerita berbingkai. Umum diketahui, gaya penulisan dengan struktur berbingkai bisa ditemui dalam sastra lama, semisal Seribu Satu Malam, Kalila dan Dimnah. Struktur tersebut diambil dari gaya penceritaan lisan yang berkembang di masyarakat. Polanya memang kelihatan rumit, tapi sebetulnya tersusun secara teratur.
Dalam pengkajian yang dilakukan oleh Subagio pula ditemukan bahwa tokoh Multatuli menduduki posisi bingkai terluar. Tokoh ini sengaja diletakkan dalam bingkai pertama karena merangkum semua batang tubuh novel. Multatuli adalah penulis novel itu sendiri, yang kelak pada bagian akhir karangan masuk menjadi tokoh: “Cukuplah, Stren yang baik. Aku Multatuli mengangkat pena. Anda tidak terpanggil melukiskan sejarah hidup Havelaar. Aku menghidupkan anda...cukuplah Stren, anda boleh pulang.” Multatuli juga mengambil peranan Droogstoppel: “Stop, hasil celaka nafsu mata duitan yang kotor dan kemunafikan yang menghujah Tuhan! Akulah yang menciptakan anda....anda membesar menjadi makhluk yang dahsyat di bawah penaku,...aku jijik dengan bikinanku sendiri,...terbenamlah dalam kopi, dan pergilah!”
Bingkai kedua adalah kisah Droogstoppel. Ia diletakkan pada bingkai ini agar ia dapat menuturkan keberadaan tokoh-tokoh lain, seperti Sjaalman, pemuda Stren, juga Havelaar. Bingkai ketiga diduduki oleh Havelaar. Ia memiliki kisah penting tersendiri dalam novel yang keberadaannya diceritakan oleh Droogstoppel, berdasarkan naskah yang diberikan Sjaalman. Adapun bingkai terakhir diduduki oleh kisah Saija dan Adinda.
Sementara itu, dari tinjauan gaya bahasa, Max Havelaar dipandang sebagai perombak gaya bahasa sastra Belanda yang telah ada sebelumnya. Lewat gaya bahasanya, Multatuli berhasil mencairkan kebekuan sastra Belanda yang pada masa itu didominasi gaya penceritaan didaktis, hingga akhirnya menjadi gaya bahasa yang lentur, jujur, sekaligus menyentuh. Lewat gaya bahasanya pula, Multatuli berhasil membangunkan masyarakat Belanda yang tertidur. Max Havelaar juga dinilai mempunyai pengaruh sastra pada generasi sastrawan Belanda berikutnya. Mereka yang dikenal dengan gerakan delapanpuluh merupakan pelanjut sastra Multatuli. Mereka antara lain Van Deyssel dan Kloos, dengan gaya penulisan yang terbuka dan apa adanya.
Lantas, bagaimana gema Max Havelaar di tanah jajahan, Hindia Belanda?
Max Havelaar sampai ke Jawa pada tanggal 27 Oktober 1860. Bataviaasch Niewsblad mulai memberikan ulasan panjang lebar tentang novel tersebut dengan judul: Multatuli’s Grieven (Ketidakpuasan Multatuli). Lewat tulisan tersebut, berita tentang Multatuli dan karyanya mulai dikenal publik Hindia Belanda. [17]
Seperti yang telah diuraikan di atas, Kartini dan Tirtoadisoerjo membaca Max Havelaar. Selain mereka, tentunya banyak lagi yang membaca novel karangan Multatuli ini. Dari segi sastra, karya Haji Moekti yang berjudul Hikayat Siti Mariyah memperlihatkan pengaruh Multatulian.[18] Haji Moekti merupakan nama pena seorang Indo, yang dalam karyanya menyuarakan penderitaan penduduk pribumi di tengah kepungan perkebunan-perkebunan Belanda yang rakus. Tak jauh berbeda dari karya Haji Moekti, Tirtoadisoerjo juga menggemakan suara Multatulian lewat karangannya, Njai Permana, yang menentang pejabat korup dan kebejatan moralitas feodal.
Pengaruh Multatuli juga bisa dilacak pada angkatan Pujangga Baru. Kisah-kisah yang ditulis sejumlah novelis angkatan ini menunjukkan pengaruh pengisahan ala Max Havelaar, khususnya kisah Saija dan Adinda. Pun, jejak Multatuli bisa didapatkan dalam karya angkatan setelah Pujangga Baru. Sebagai contoh, dalam novel Atheis karya Akhdiat terdapat kesamaan struktur penulisan dengan Max Havelaar.[19]
Multatuli dan Pram: Akulah yang Menderita
Berdasarkan pengakuannya, Pramoedya Ananta Toer (Pram) mengenal Multatuli sekitar tahun 1930-an. Awalnya, ia sendiri heran ketika mengetahui Multatuli adalah orang Belanda yang membela pribumi. Geliat nasionalisme yang sedang mekar-mekarnya menempatkan orang-orang Belanda sebagai “musuh”. Saat itu, Multatuli muncul di dalam kepala Pram yang masih belia: “itu orang Belanda, kan, dan semua orang Belanda musuh yang ganas.” Namun, tanda tanya tersebut akhirnya berubah menjadi penghormatan ketika pengetahuan Pram tentang Multatuli semakin banyak.
Layaknya Tirtoadisoerjo, Pram menempatkan Multatuli sebagai sosok penting dalam sejarah Indonesia. Pram bahkan mengusulkan membangun patung Multatuli dengan alasan:
“Saya masih berpendapat bahwa Multatuli besar jasanya kepada bangsa Indonesia, karena dialah yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka dijajah. Sebelumnya, di bawah pengaruh Jawaisme, kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak merasa bahwa mereka dijajah.”[20]
Itulah penghormatan Pram terhadap Multatuli yang disebutnya sebagai penyadar rakyat Indonesia; bahwa sebenarnya mereka tengah dirantai oleh belenggu penjajahan—terlepas dari status si penulis sebagai orang Belanda. Wajarlah, Pram merasa kecewa dengan penolakan Soekarno. Walaupun begitu Pram masih yakin, suatu saat nanti patung Multatuli pasti akan didirikan.[21]
Selain sebagai tokoh penyadar, Pram juga melihat Multatuli sebagai pendorong timbulnya kesadaran nasionalisme. Ia mengatakan:
“Pertama kali karena dia adalah pendorong kebangkitan kesadaran para intelektual itu. Ia menyadarkan mereka bahwa mereka punya tanah air, bahwa mereka punya bangsa dalam penjajahan, dan bahwa ada seorang Belanda menentang perlakuan terhadap bangsanya itu. Saat itu, mulai timbul kesadaran, melalui Multatuli.”[22]
Itulah hutang budi bangsa Indonesia terhadap Multatuli, menurut Pram. Bagi Pram, politikus yang tidak mengenal Multatuli, tidak akan mengenal humanisme:
“Seorang politikus yang tidak mengenal Multatuli praktis tidak mengenal arti humanisme, humanisme secara modern. Dan politikus yang tidak mengenal Multatuli bisa menjadi politikus yang kejam. Pertama, karena tidak kenal sejarah Indonesia, kedua karena dia tidak mengenal perikemanusian, humanisme secara modern, dan bisa menjadi kejam.”[23]
Menyadari posisi penting tersebut, Pram semakin serius memperkenalkan pemikiran Multatuli. Sewaktu menjadi pemuka Lekra dan redaktur Lentera (1962-1965), Pram mulai menerjemahkan Max Havelaar, yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di Bintang Timur. Pram juga giat melakukan pengkajian yang serius tentang pemikiran Multatuli, dengan menuliskan esai panjang tentang tokoh tersebut. Selan itu, Pram juga dikenal sebagai pelopor berdirinya Akademi Sastra Multatuli.[24]
Penghormatan Pram terhadap Multatuli tetap konsisten. Dalam pidato penerimaan Wertheim Award pada tahun 1995, Pram menyatakan: “Multatuli adalah seorang besar, humanis Belanda paling hebat yang menyatakan, ‘Pekerjaan manusia harus manusiawi.’” Pram juga selalu ingat pada Multatuli setiap kali ia berbicara tentang ketidakadilan. Dalam bukunya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendeles, ketika sampai pada daerah Serang, Pram menuliskan:
“Di sini pengarang Belanda Multatuli mendapatkan inspirasinya untuk menulis karya abadinya, Max Havelaar, yang memberikan kesaksian historis betapa orang Jawa teraniaya oleh penjajahan Belanda. Multatuli yang nama aslinya Edward Douwes Dekker tidak bisa menerima watak birokrat penjajah bangsanya dan sikap acuh tak acuh terhadap rakyat jajahan yang menderita.”[25]
Pramoedya terus mendengung-dengungkan Multatuli.
Ditinjau dari sejarah hidupnya, Multatuli dan Pramoedya banyak memiliki kesamaan. Sejarah hidup Multatuli diwarnai dengan kegetiran sehingga ia menyebut dirinya “Akulah yang Menderita”. Sejak dipecat sebagai asisten residen, Multatuli hidup luntang-lantung di negeri Belanda. Dalam kemiskinan harta dan di tengah pengucilan orang-orang terdekat, ia mulai menulis karyanya. Dalam suratnya kepada Marie Anderson, Multatuli menulis: “Terus terang: aku tidak bisa hidup, artinya dalam hal keuangan.” Ketika meninggal pada tanggal 19 Februari 1887, Multatuli meninggalkan hutang kepada seorang petani kol (120 Mark), beberapa toko buku (100 Mark), tukang daging (140 Mark), dan sejumlah orang lainnya. Saat jasadnya dikremasi, beberapa orang Belanda yang hadir antara lain, Mimi dan saudara laki-lakinya, Braunius Oeberius dan istri, serta dua orang muda dari Middelburg: Ghijsen dan Wibaut.[26]
Pramoedya juga bisa disebut sebagai “Akulah yang Menderita”. Ia pernah merasakan hidup dalam penjara Belanda, pemerintahan Soekarno, dan Orde Baru. Hampir sepertiga usianya dihabiskan dalam dunia sempit kurungan. Bahkan, setelah bebas dari Pulau Buru, Pram (dan tapol lain) masih diperlakukan diskriminatif dalam segala aspek kehidupan. Rumah tangga Pram pun serupa dengan Multatuli: tidak mulus. Perkawinannya yang pertama kandas ketika krisis keuangan mendera. Sebagian waktunya habis dipenjara sehingga menyebabkannya jauh dari anak-anaknya, yang kemudian mendorongnya melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Multatuli: menulis surat.
Bila ditinjau dari karya sastra Multatuli dan Pramoedya, nasib keduanya pun tidak terlalu berjauhan. Begitu terbit, Max Havelaar sudah berusaha dibungkam suaranya. Sejak tahun 1930, Max Havelaar menghilang dari pengajaran sastra Belanda. Usaha pembungkaman dan penyensoran juga bisa dilihat dari sedikitnya fragmen-fragmen yang ada di dalam novel tersebut; bagian-bagian yang dianggap tidak berbahaya saja yang diperkenalkan. Tak heran, terjemahan lengkap Max Havelaar tidak ditemukan pada zaman kolonial.[27]
Karya-karya Pram juga mengalami nasib serupa. Karangannya pernah dirampas Belanda ketika ia ditangkap pada tahun 1947. Sementara itu, Hoakiau di Indonesia menyebabkan Pram ditangkap lagi oleh tentara, sebelum kemudian dijebloskan ke dalam penjara Cipinang. Dan tentu saja, semua karya-karya yang ditulisnya di Pulau Buru dilarang beredar—sampai kini belum ada pencabutan larangan tersebut secara resmi. Tak kalah mengenaskan, semasa Orde Baru, karya-karya Pramoedya dilarang diajarkan di sekolah-sekolah—persis seperti nasib Max Havelaar.
Menyangkut Multatuli dan Pramoedya, A.Teeuw menulis: “Demikian pula bila kita meninjau riwayat hidup Pramudya, kita sering teringat akan Multatuli—manusia yang senantiasa memprotes, pejuang cita-cita yang baik, tetapi malangnya sering bercampur aduk dengan kepentingan diri sendiri.”[28]
Dua manusia itu kini telah tiada, tapi karyanya masih terus dibaca.
Max Havelaar dan Tetralogi Buru: Dua Karya Tentang Manusia dan Kemanusiaan
“...walaupun saya tidak suka gayanya, saya juga menyukai Multatuli (1820-1887) karena humanismenya tanpa kompromi apapun. Dia itu tipikal Hollander. Kalau dia menulis pada abad ini, efek karyanya pasti lebih dahsyat.”(Pramoedya Ananta Toer)
Seperti pengakuannya tersebut, Pram tidak menyukai gaya tulisan Multatuli. Yang ia kagumi adalah semangat humanismenya. Ia memuji salah satu bagian dalam Max Havelaar, Saija dan Adinda, sebagai kisah percintaan rakyat yang abadi dan tak tertandingi:
“Dalam salah satu bagian karya tersebut [Max Havelaar], dengan latar pemberontakan rakyat Banten tehadap penjajahan, digambarkan kisah percintaan yang terjadi di antara gadis dan pria dari rakyat jelata. Dan sampai sekarang kisah Saija dan Adinda tersebut satu-satunya cerita percintaan rakyat yang belum pernah tertandingi.”[29]
Dari pengakuan tersebut, jika kita membaca karya-karya Pram, maka akan menemukan jejak humanisme Multatuli. Subagio Satrawardoyo mengungkapkan: ”Belakangan ini kita lihat juga pengaruh Max Havelaar di balik roman....dan Anak Semua Bangsa Pramoedya Ananta Toer, kalau tidak dalam bentuk karangannya, setidak-tidaknya pada semangat yang meresapi roman-roman Indonesia ini.”[30]
Seperti yang umum diketahui, Tetralogi Buru karya Pramoedya terdiri dari empat novel: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Karya ini berkisah tentang kurun kebangkitan Indonesia dengan mengambil tokoh sentral Minke.
Serupa Max Havelaar, Tetralogi Buru menimbulkan kehebohan begitu diterbitkan. Publik pembaca di Indonesia terbelah antara yang pro dan kontra. Dalam sejarah kesusaatraan di Indonesia, inilah karya sastra yang mampu memantik perbebatan panjang—baik karya sastranya sendiri maupun pengarangnya. Dalam buku Analisa Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer,[31] paling tidak sekitar 30-an lebih artikel membahas tentang polemik terhadap Bumi Manusia. Tokoh-tokoh terkenal dalam sastra Indonesia, seperti Rendra, Goenawan Mohamad, Wiratmo Sukito, Sori Siregar, dan beberapa tokoh lain dari kalangan kritikus hingga pembaca biasa, memberikan sorotan terhadap Bumi Manusia.
Parakitri menulis: “Dengan novel ini [Bumi Manusia] Pramoedya dengan sekali hantam telah mencairkan kebekuan sastra Indonesia yang belakangan ini hanyut berputar-putar dalam inovasi-inovasi teknik, berpilin-pilin dalam kegelisahan dan kekosongan jiwa perseorangan...”[32] Sementara Yakop Sumarjo menyatakan: “Dengan karyanya yang pertama setelah pengarangnya hampir selama 15 tahun lenyap dari percaturan budaya dan sastra Indonesia (lantaran ditahan selama itu), maka ia membuktikan dirinya bahwa Pramoedya Ananta Toer tetap novelis milik Indonesia sampai saat ini.”[33]
Pendapat yang seirama dengan Parakitri dan Yakop Sumarjo tidak sedikit jumlahnya, demikian pula dengan yang berseberangan. Umumnya, pendapat yang berseberangan menghubungkan isi Tetralogi Buru dengan latar belakang Pram sebelum ia ditahan di Pulau Buru. Umar Junus dengan tandas mengutuk novel Pramoedya berbau Marxist. Menurut Junus, tokoh-tokoh dalam Bumi Manusia dimotivasi oleh paham tentang kelas, tanpa konsep dosa dan banyak adegan amoral. Ia mencontohkan beberapa bagian dalam novel tersebut, seperti hubungan seks Minke dan Annelis sebelum menikah, sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku; penolakan Nyai Ontosoroh terhadap orangtuanya dinilai sebagai anti Pancasila. Kata-kata terakhir dalam Bumi Manusia—“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”—oleh Junus ditangkap sebagai adegan yang mengacu pada kegiatan PKI di Indonesia.[34] Oleh karena itu, Umar Junus mencap Bumi Manusia sebagai novel yang berbahaya bagi generasi muda. Menurutnya, generasi muda yang tidak mempunyai pengalaman dengan kejahatan komunisme bisa terpengaruh oleh Bumi Manusia.[35]
Sementara itu, Kejaksaan Agung dan Makamah Agung sebagai perpanjangantangan penguasa secara resmi pada masa itu tak kalah keras memberikan tuduhan. Kejagung menuding Rumah Kaca bernuansa provokatif. Komentar Pangemanann dianggap sebagai kritik terhadap Indonesia:“Semua ikan besar busuk mengelompok jadi pelaksana kekuasaan. Semua ikan kecil busuk bertebaran dalam kehidupan dan ikut membusuk.” Adapun renungan Pangemanann tentang upah dianggap berbau Marxist: “Dalam setiap sektor kerja produksi dan jasa bermunculan pribadi-pribadi yang mengajarkan, bahwa tenaga manusialah yang terpenting...”[36] Dengan semua “kegawatan” tersebut, sikap anti-Pancasila, ajaran yang berbau Marxist, amoral dan lain sebagainya, maka Tetralogi Buru haruslah dilarang.
Benarkah Tetralogi Buru segawat itu?
Bumi Manusia dan Anak Bangsa memang banyak menyoroti kondisi objektif Hindia Belanda pada masa itu. Minke sangat terkagum-kagum dengan kemajuan yang dicapai bangsa Eropa: dimulai sejak ditemukannya mesin cetak, baksil, hingga mesin uap. Kata “modern” berputar-putar dalam kepalanya. Ia pun terus mencari-cari makna kata tersebut. Di kepingan lain, di luar lingkup sekolah, Minke mendapatkan kondisi yang berbeda. Kenyataan menyadarkannya bahwa feodalisme dan kolonialisme berpilin menjerat kehidupan rakyat. Pertemuan dengan sang ayah, yang membuatnya harus merangkak, juga membuat mata Minke terbuka dalam memandang semboyan Revolusi Prancis yang ia kagumi; ternyata hanya utopia di bumi Hindia Belanda. Adapun melalui pertemuanya dengan Trunodongso—petani yang tanahnya dirampas oleh perkebunan tebu—Minke menarik kesimpulan bahwa bangsa-bangsa Eropa hanya memperjuangkan kebebasan di negara mereka sendiri, sementara di luar itu mereka bersatu merampas kemerdekaan wilayah lain. Dan, dari pertemuannya dengan Ter Haar, Minke mengenal lebih gamblang kata “modern” yang berhubungan dengan modal. Modal inilah yang berkuasa.
Setelah diperkenalkan dengan kondisi dan persoalan kehidupan Hindia Belanda, pada Jejak Langkah dan Rumah Kaca, pembaca kemudian diajak mengikuti perkembangan kesadaran nasionalisme; mulai dari berdirinya Sarikat Priyanyi, Sarikat Dagang Islam sampai Boedi Oetomo; munculnya tokoh-tokoh pergerakan, seperti Marco, Samanhudi, Ki Hajar Dewantara, Sutomo; peristiwa-peristiwa perlawan di berbagai daerah. Tentu saja dengan segala problem dan persoalannya, pada akhirnya kita akan menemukan bahwa untuk memunculkan kesadaran nasionalisme dibutuhkan proses yang panjang. Periode krusial tersebut merupakan usaha untuk memperjuangkan kemanusian dan keadilan di atas bumi manusia, yang harus ditempuh dengan berbagai perdebatan dan pemikiran yang tajam.
Bisa pula dikatakan, tokoh Minke dalam Tetralogi Buru adalah Havelaar dalam wujud lain. Perjuangan Minke dan Havelaar mewakili perjuangan demi menegakkan humanisme. Keduanya menggugat feodalisme dan kolonialisme. Keduanya melawan. Dengan cara masing-masing, mereka mengajak manusia untuk menghargai kemanusiaan dimana pun tempatnya. Setiap usaha untuk merobohkan kemanusiaan harus dilawan dengan berbagai cara, termasuk lewat tulisan. Dan, pada akhirnya, mereka bersama-sama menjadi: Akulah yang Menderita; Havelaar yang dikucilkan dan Minke yang mengalami goncangan mental menjelang kematiannya, bahka makamnya berusaha dilenyapkan.
Minke memang pengagum Multatuli. Dalam kesempatan dialog antara Minke dengan Miriam dan Sarah dalam Bumi Manusia, kutipan kata-kata Multatuli sempat disebut-sebutnya. Kedua perempuan tersebut terkejut ketika Minke mengatakan bahwa ia mendapatkan pengetahuan tentang Multatuli dari seorang guru.[37] Dari gurunya di HBS Minke diperkenalkan dengan Max Havelaar. Minke memang anak rohani Multatuli, sebagaimana dikatakan Ten Haar dalam Anak Semua Bangsa: “kan Tuan menggunakan nama Max Tollenaar untuk mendekati karya Multatuli Max Havelaar? Dari situ orang dapat mengetahui Tuan anak rohani Multatuli. Kemanusiaan Tuan kuat.”[38]
Uraian di atas memperlihatkan jejak-jejak Max Havelaar dalam Tetralogi Buru yang begitu nyata. Selain pada isi dan semangatnya, jejak tersebut juga terdapat dalam strukturnya. A.Teeuw memberikan uraian bahwa ciri yang menonjol pada Max Havelaar dan Tetralogi Buru terletak pada the dialogue structure. Menurutnya, esensi bahasa adalah keragaman, sedangkan fungsi utama penggunaannya adalah dialog, diskusi, konfrontasi. Dengan mengutip Bakthtin, Teeuw berpendapat bahwa novel yang bagus haruslah bersifat polifonis. Baik Max Havelaar maupun Tetralogi Buru, keduanya mengandung unsur itu: kaya akan keragaman suara dan pencerita.[39]
Dalam Max Havelaar terdapat suara-suara pedagang kopi, pegawai pamong praja Belanda, Frits (tokoh pemuda yang romantis). Ada pula sejumlah tokoh dalam cerita Saija dan Adinda serta Pemahat Batu Jepang, dengan problemnya masing-masing; ada puisi dalam berbagai bahasa; situasi Amsterdam dan situasi Hindia Belanda. Tetralogi Buru pun serupa; ada bahasa Melayu-Cina dalam adegan penangkapan Babah Ah Tjong; ada cerita dalam cerita; ada dunia orang Cina lewat Ang San Mei, dunia Indo lewat Haji Moekti, dunia Islam, dunia priyayi, dunia birokrat. Semua kompleksitas tersebut, menurut Teeuw, memperlihatkan kesamaan antara Max Havelaar dan Tetralogi Buru. Ditambah lagi, adegan Pangemanann ketika berusaha mendapatkan naskah Minke, dalam Rumah Kaca, mengingatkan pada adegan tokoh Pak van Sjaalman dalam Max Havelaar.[40]
Pertemuan dua karya sastra—Max Havelaar dan Tetralogi Buru—telah memperkaya khasanah sastra dunia; dua karya yang sampai saat ini masih terus dibaca dan dikaji.
Penutup: Sastra dan Politik
Mengenal sosok Multatuli dan Pramoedya, salah satunya akan bermuara pada pembincangan sastra dan politik. Pada tahun 1950-1960, perbincangan sastra dan politik mempertemukan Lekra vs Manikebu secara berhadap-hadapan—walaupun ada pandangan lain di luar kedua kubu tersebut, tapi tidak begitu dominan. Saat itu, Realisme Sosialis Lekra berbenturan dengan Humanisme Universal Manikebu.
Peristiwa 30 September 1965, sebagaimana dikatakan Keit Foulcher, merupakan titik robohnya Orla, yang bukan hanya sebagai batu pijakan kejayaan Orba, juga sebagai penanda kemenangan Humanisme Universal dengan pahlawannya Manikebu. Sejak saat itu, sastra dipisahkan dari politik.[41] Maka, karya-karya pengarang eks lawan Manikebu tidak akan lagi ditemukan di dalam rak-rak perpustakaan sekolah, kampus, instansi pemerinah, dan toko buku. Sastra “haram” tersebut harus dijauhkan dari rakyat karena dicap berbahaya, merongrong Pancasila, dan menganggu stabilitas nasional.
Namun, “kemenangan” Manikebu pada perkembangannya menciptakan kejenuhan. Humanisme Universal kembali digugat. Empat tahun setelah terbitnya Bumi Manusia, Arief Budiman dan Ariel Hariyanto menggelontorkan “sastra kontekstual” dalam acara Sarasehan Kesenian pada tahun 1984 di Surakarta. Arief Budiman, salah satu tokoh kubu Manikebu, menyampaikan gagasannya tentang karya sastra yang tidak bisa lepas dari konteks sosialnya. Menurut Arief Budiman, ide sastra kontekstual lahir dari sikapnya: “dalam menanyakan kebaikan dan kebenaran sastra kapitalis, sastra Humanisme Universal.” Menurut Arief Budiman pula, sastra seperti itu merupakan sastra yang salah.[42]
Sebelum memaparkan konsepnya tentang sastra kontekstual, Arief Budiman sempat bertemu sastrawan kawakan dari Jerman, Gunter Grass. Pada pertemuan tanggal 11 September 1983 itu, Arief Budiman bertanya pada Gunter Grass tentang hubungan sastra dan politik. Grass menjawab, ia melakukan kedua-duanya.[43]
Kemunculan Bumi Manusia sama seperti kemunculan Max Havelaar, menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak, tak terkecuali kalangan sastrawan sendiri. Budi Darma dalam pidato penerimaan Hadiah Sastra DKJ pada tahun 1984 menyampaikan: “Masyarakat sastra sudah terlalu banyak menuntut hendaknya sastra tidak terlepas dari kondisi sosial...sebagai warga negara, setiap warga negara memang mempunyai kewajiban untuk committed terhadap kondisi sosial...Tapi sebagai pengarang...dia mempunyai kewajiban yang berbeda.”[44] Jelaslah, menurut Budi Darma, sastra harus dipisahkan dari politik.
Sedangkan Pram sendiri sejak awal dikenal sebagai penentang Humanisme Universal. Awalnya, ia sempat mengikuti H.B Jassin, tapi merasa kecewa sehingga berpaling pada sastra yang progresif—yang kemudian dinamainya realisme sosialis. Bagi Pram, sastrawan tidak bisa terlepas dari politik, misalnya, proses mengurus KTP yang sudah merupakan bagian dari politik. Dengan pandangan seperti itu, tentu saja karya-karya Pram, termasuk Tetralogi Buru, tidak bisa dilepaskan dari nuansa politik. Karya-karyanya mewakili sastra yang berlawan. Dengan teguh, ia mengikuti Multatuli.
Lereng Merapi, 11/05/2011
Daftar Bacaan:
Adam, Ahmat.
2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesian.
Jakarta: Hasta Mitra.
Allen, Pamela.
1995. Membaca, dan Membaca Lagi, Reinterprestasi Fiksi Indonesia
1980-1995. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Asmara, Ady.
1981. Analisa Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Bumi Manusia
Pramoedya Ananta Toer. Yogyakarta: CV Nur Cahaya.
Camus, Albert.
2000: Pemberontak. Yogyakarta: Bentang. 2000.
den Boef, August Hans, dan Snock, Kees.
2008. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir. Jakarta: Komunitas Bambu.
Hariyanto, Ariel.
1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali.
Hermans, Willem Frederik.
1988. Multatuli yang Penuh Teka-Teki. Jakarta: Djambatan.
1973.Kian Kemari: Indonesia dan Belanda dalam Sastra. Jakarta: Djambatan..
Moekti, Haji.
1985. Hikayat Siti Mariyah. Jakarta:Hasta Mitra.
Multatuli.
1972. Max Havelaar. Jakarta: Djambatan
Raditya, Iswara N dan Dahlan, Muhudin.
2008. Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo, Yogyakarta: I:Boekoe
Rosidi, Ajip.
1977. Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rosidi, Ajip(ed).
1997. Asrul Sani:70 Tahun. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sastrowardoyo, Subagio.
1990. Sastra Hindia Belanda dan Kita.Jakarta: Balai Pustaka.
----------1989. Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan, seberkas catatan
sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
Serikat Surat Kabar Djakarta.
1958.Sekilas Sejarah Perjuangan Pers Suratkabar Sebangsa. Jakarta: Serikat
Perusahaan Surat Kabar Djakarta.
Teeuw, A.
1980. Sastra Baru Indonesia 1.Ende: Nusa Indah.
Toer, Pramoedya Ananta.
1962. Panggil Aku Kartini Sadja. Jakarta: Nusantara.
---------1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.
---------1981. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra.
---------1985. Jejak Langkah. Jakarta: Hasta Mitra.
---------1985. Rumah Kaca. Jakarta: Hasta Mitra.
---------1985. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra.
---------2005. Jalan Raya Pos, Jalan Deandeles. Jakarta: Lentera
Dwipantara.
Vltchek, Andre & Indira, Rossie.
2006. Saya Terbakar Amarah Sendirian. Jakarta: KPG.
[1] Tinggal di Jogja
[2] Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Sadja, Nusantara, 1962
[3] ibid
[4] Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesian, Hasta Mitra, 2003.
[5] Sekilas Sejarah Perjuangan Pers Suratkabar Sebangsa, Serikat Perusahaan Surat Kabar Djakarta, 1958
[6] Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Hasta Mitra, 1995; Iswara N Raditya dan Muhudin Dahlan, Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo, I:Boekoe, 2008. Lebih banyak tentang Tirto bisa dibaca dari kedua buku ini.
[7] Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Hasta Mitra, 1995.hal: 283
[8] Ibid.hal.223
[9] Albert Camus, Pemberontak, Bentang, 2000.hal: 27.
[10] Willem Frederik Hermans, Multatuli yang Penuh Teka-Teki, Djambatan, 1988.
[11] Ibid.
[12] Ibid
[13] Subagio Sastrowardoyo, Sastra Hindia Belanda dan Kita, Balai Pustaka, 1990.hal: 44
[14] Op.cit.
[15] Kian Kemari: Indonesia dan Belanda dalam Sastra, Djambatan, 1973.hal: 8
[16] Subagio Sastrowardoyo, Sastra Hindia Belanda dan Kita, Balai Pustaka, 1990.hal: 41
[17] Willem Frederik Hermans, Multatuli yang Penuh Teka-Teki, Djambatan, 1988. hal:
[18] Lebih mendalam tentang kisah Hikayat Siti Mariyah bisa dibaca dalam Hikayat Siti Mariyah, Hasta Mitra, 1985.
[19] Urain lebih lanjut bisa dibaca dalam Pendekatan Pada Roman Atheis dalam Laut Biru Langit Biru, Pustaka Jaya, 1977. hal. 94-98. Pengaruh lebih lanjut tentang Max Havelaar terhadap sastra Indonesia juga bisa di baca dalam: A. Teeuw, Hubungan Sastera Indonesia dengan Sastera Belanda (artikel dalam buku Asrul Sani:70 Tahun), Pustaka Jaya, 1997.
[20] Andre Vltchek &Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian, KPG, 2006.hal: 15
[21] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Deandeles, Lentera Dwipantara, 2005.hal: 39
[22] August Hans den Boef dan Kees Snock, Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir, Komunitas Bambu, 2008. hal: 171
[23] Ibid. hal: 171
[24] A. Teeuw, Hubungan Sastera Indonesia dengan Sastera Belanda (artikel dalam buku Asrul Sani:70 Tahun), Pustaka Jaya, 1997. hal:189
[25] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Deandeles, Lentera Dwipantara, 2005.hal: 38
[26] Willem Frederik Hermans, Multatuli yang Penuh Teka-Teki, Djambatan, 1988. hal:
[27] A. Teeuw, Hubungan Sastera Indonesia dengan Sastera Belanda (artikel dalam buku Asrul Sani:70 Tahun), Pustaka Jaya, 1997. hal:
[28] A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1, Nusa Indah, 1980.hal: 242
[29] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Deandeles, Lentera Dwipantara, 2005.hal: 38
[30] Subagio Sastrowardoyo, Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan, seberkas catatan sastra, Balai Pustaka, 1989.
[31] Ady Asmara, Analisa Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, CV Nur Cahaya, 1981.
[32] Ibid. hal: 46-47
[33] Ibid.hal: 38
[34] Dr. Pamela Allen, Membaca, dan Membaca Lagi, Reinterprestasi Fiksi Indonesia 1980-1995, Indonesia Tera, 2004.hal: 56.
[35] Ibid.hal: 57
[36] Ibid.hal: 58
[37] Pramoedya, Bumi Manusia, Hasta Mitra, 1980.
[38] Pramoedya, Anak Semua Bangsa, Hasta Mitra, 1981.
[39] A. Teeuw, Hubungan Sastera Indonesia dengan Sastera Belanda (artikel dalam buku Asrul Sani:70 Tahun), Pustaka Jaya, 1997. hal:197-8
[40] Ibid.hal: 198-9
[41] Ariel Hariyanto, Perdebatan Sastra Kontekstual, Rajawali, 1985.hal: 58
[42] Ibid.hal: 327
[43] Ibid.hal: 388
[44] Ibid.hal: 42
Catatan: Tulisan ini akan dibincangkan di acara Sastra Multatuli hari kedua, Minggu, 14 Mei 2011 pukul 21.00 WIB di Taman Baca Multatuli.
dimana bisa beli buku saija dan adinda ?
ReplyDeleteSangat detail, terimakasih. Salam!
ReplyDeleteTerima kasih
ReplyDelete