oleh Ubaidilah Muchtar
Pagi hari itu saya berencana mengunjungi kesederhanaan warga Baduy Dalam di Kabupaten Lebak. Ya, Baduy. Daerah di Kabupaten Lebak yang masih memegang teguh adat dan kebiasaan hingga kini. Hari itu Jumat, 29 April 2011 saya akan mengunjunginya.
Dari pertigaan Bojong Manik, saya menuju ke Cirinten. Kampung tempat Saijah lahir adanya di Cirinten ini. Kampung Badur namanya. Multatuli menuliskan kisah percintaan jejaka dan gadis, Saijah dan Adinda yang belum pernah tertandingi hingga saat ini dalam Max Havelaar. Kisah percintaan yang tragis. Kisah penyalahgunaan kekuasaan dan pencurian kerbau rakyat oleh penguasa.
Matahari terik menyengat, saya lupa tak membawa topi. Pak Acang berjalan di depan saya mengikuti. Di perjalanan kami berpapasan dengan dua rombongan. Satu rombongan berkisah bahwa sudah tiga malam menginap. Rombongan tersebut terdiri dari lima orang lelaki paruh baya dan dua orang pemuda. Saung-saung di ladang banyak kami jumpai. Warga Baduy lebih banyak tinggal di lading daripada di kampung. Pak Acang bercerita bahwa warga Baduy akan membagi perabotan rumah tangganya sebagian di saung di ladang dan sebagian lagi di rumah. Saung di ladang menjadi rumah kedua. Mereka hidup dari alam.
Saya terbangun ketika pemuda yang saya lupa namanya dan Ambu Aja memberikan air panas. Kuterima di mangkuk putih. Ayah Aja meminta saya minum kopi. Saya menyeduh kopi. Nikmat sekali. Hujan belum juga reda. Kurapikan kembali tikar pandan dan bantal. Kusampaikan terima kasih dan maaf. Ayah Aja terkekeh. Ayah Aja dan Ayah Daliman asyik mengunyah daun sirih yang telah diolesi apu ketika penjual golok datang. Namanya Enjai dari Citujah, Sobang. Pak Acang membeli dua bilah. Pedagang anyaman bambu masih setia duduk di bale-bale.
Pagi hari itu saya berencana mengunjungi kesederhanaan warga Baduy Dalam di Kabupaten Lebak. Ya, Baduy. Daerah di Kabupaten Lebak yang masih memegang teguh adat dan kebiasaan hingga kini. Hari itu Jumat, 29 April 2011 saya akan mengunjunginya.
Selepas membereskan beberapa buku di Taman Baca Multatuli saya bergegas menghidupkan mesin sepeda motor. Menurut sebagian warga Ciseel, pergi ke Baduy Dalam sebenarnya dapat melalui rute Ciseel-Cigaclung-Karang Combong-Baduy Dalam. Namun tentu saja rute ini membutuhkan stamina yang prima. Tak lain sebab jauhnya perjalanan kaki yang harus dilalui. Bagi pemula seperti saya tentu saja akan mencari rute yang lain.
Ya, benar. Rute itu tak lain adalah melalui Desa Cijahe. Cijahe berada di wilayah Kecamatan Cirinten. Cijahe seperti juga Karang Combong berbatasan langsung dengan wilayah Baduy Dalam. Wilayah yang sering disebut Baduy Dalam, yaitu Kampung Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawana.
Dengan mengendarai sepeda motor saya menuju Cigaclung. Sebentar mampir di sekolah tempat saya mengajar. Hari ini sehari setelah anak-anak SMP menyelesaikan Ujian Nasional. Di sekolah anak-anak sedang merapikan kelas. Menyapu dan memastikan jumlah kursi serta meja yang kemarin digunakan Ujian Nasional lengkap kembali.
Setelah bertemu dengan anak-anak, saya menjumpai Pak Acang. Pak Acang yang akan menjadi penunjuk jalan saya hari ini. Pak Acang sudah lima tahun lamanya berjualan berbagai keperluan warga Baduy Dalam. Keperluan untuk berbagai acara dan upacara.
Berbincang sebentar dengan Pak Acang kami langsung bergerak. Pak Acang saya bonceng. Dari Cigaclung perjalanan saya menuju ke Cikawah. Dari Cikawah saya menuju ke Pasar Ciminyak. Di pasar Ciminyak sepeda motor saya arahkan ke Cimarga. Jalan dari Ciminyak ke Cimarga sangat mulus. Selepas bertemu dengan jembatan kuning, Jembatan Cipeuyah, saya bertemu dengan jembatan panjang Sungai Cisimeut.
Dari Cisimeut saya bergerak ke arah Ciboleger. Jalan ke arah Ciboleger sedang dalam perbaikan. Beberapa alat berat tampak sedang memperbaiki jalan yang akan menuju ke terminal Ciboleger. Ciboleger merupakan pintu masuk menuju Baduy. Di Ciboleger ini para wisatawan yang akan menuju Baduy turun dari kendaraan dan mulai berjalan kaki. Di Ciboleger ini pula berbagai macam buah tangan khas Baduy, seperti koja, kaos, ikat kepala, gantungan kunci dapat ditemukan.
Saya tidak berhenti di Ciboleger. Saya arahkan ke Bojong Manik. Jalanan di Bojong Manik mulus sekali. Dengan fanorama pegunungan yang hijau serta semilir angin menambah nikmatnya perjalanan. Di sepanjang perjalanan, Pak Acang tak henti memberitahuku nama-nama desa serta kampung yang kami lewati.
Dari pertigaan Bojong Manik, saya menuju ke Cirinten. Kampung tempat Saijah lahir adanya di Cirinten ini. Kampung Badur namanya. Multatuli menuliskan kisah percintaan jejaka dan gadis, Saijah dan Adinda yang belum pernah tertandingi hingga saat ini dalam Max Havelaar. Kisah percintaan yang tragis. Kisah penyalahgunaan kekuasaan dan pencurian kerbau rakyat oleh penguasa.
Tepat di daerah Parigi, saya berbelok ke kiri ke Cijahe. Dari Parigi ke Cijahe sekira lima belas menit lamanya. Jalan ke Cijahe terawat dan bagus. Meskipun hanya terdiri dari batu-batu kecil yang ditata rapi. Saya tiba di Cijahe pukul sepuluh setelah dua jam perjalanan. Di depan rumah Jaro Asep saya berhenti. Pak Acang menuju rumah lebih dahulu. Saya mengikuti. Di dalam rumah, Jaro Asep sedang berbincang denga dua orang tamu. Saya ikut bergabung.
Rumah Jaro Asep selalu ramai dikunjungi. Hari itu sudah ada empat rombongan yang datang. Di dalam rumahnya, dua tamu sedang tertidur lelap. Menurut Jaro Asep, ia diberikan tugas oleh penguasa Lebak untuk membantu keamanan warga Baduy. “Jika ada apa-apa dengan warga Baduy, maka saya yang lebih dulu ditanyai,” begitu tuturnya.
Cijahe berbatasan langsung dengan Baduy Dalam. Hanya dipisahkan oleh Sungai Cibarani. Sebab berbatasa langsung maka akan banyak ditemukan warga Baduy yang hilir mudik. Membawa berbagai keperluan. Ada yang memikul karung berisi beras. Ada pula yang menggendong bahan makanan. Mereka sering berbelanja di Pasar Cijahe.
Kami meninggalkan rumah Jaro Asep. Menyusuri jalanan berbatu. Tiba di ujung kampong. Pemandangan akan tersentak dengan sebuah leuit yang dikelilingi batuan tua. Di depannya terdapat sebuah gapura. Tergantung di depan gapura sebuah papan bertuliskan beberapa petuah warga Baduy berupa “Amanat Buyut”.
Amanat Buyut berisi: buyut yang dititipkan kepada puun/negara tiga puluh tiga/sungai enam puluh lima/pusat dua puluh lima negara/gunung tak boleh dihancurkan/lembah tak bolah dirusak/larangan tak bolah dilanggar/buyut tak boleh diubah/panjang tak bolah dipotong/pendek tak boleh disambung/yang bukan harus ditiadakan/yang jangan harus dinafikan/yang benar harus dibenarkan//
Meniti jembatan bambu dengan dengan lantai anyaman bambu memasuki kawasan hak ulayat masyarakat Baduy. Sebuah penanda menanti di ujung jembatan Sungai Cibarani. Tanah merah basah tersiram sisa hujan semalam menyergap langkah kami. Berjalan pelan menyusuri tanah merah jalan setapak kami menuju kampung terdekat, Kampung Cikeusik.
Matahari terik menyengat, saya lupa tak membawa topi. Pak Acang berjalan di depan saya mengikuti. Di perjalanan kami berpapasan dengan dua rombongan. Satu rombongan berkisah bahwa sudah tiga malam menginap. Rombongan tersebut terdiri dari lima orang lelaki paruh baya dan dua orang pemuda. Saung-saung di ladang banyak kami jumpai. Warga Baduy lebih banyak tinggal di lading daripada di kampung. Pak Acang bercerita bahwa warga Baduy akan membagi perabotan rumah tangganya sebagian di saung di ladang dan sebagian lagi di rumah. Saung di ladang menjadi rumah kedua. Mereka hidup dari alam.
Suara sungai terdengar bergemuruh. Dari Cijahe kuhitung hanya dua puluh menit jalan kaki. Selepas deretan pohon kiray yang daunnya digunakan sebagai atap rumah saya menjumpai Sungai Ciujung. Ya, ini dia Sungai Ciujung. Tidak selebar ketika sudah tiba di kota Rangkasbitung. Sungai Ciujung di pinggir Kampung Cikeusik masih kecil. Airnya jernih dengan bebatuan di tengahnya. Dua buah leuit di dekat jembatan. Memasuki Kampung Cikeusik harus melalui jembatan bambu.
Deretan rumah panggung berbahan bambu tanpa paku menghadang langkah kami. Deretan rumah dalam bentuk dan warna yang sama. Deretan rumah tertata rapi dan asri dengan bale-bale di depannya. Pak Acang yang sudah akrab dengan warga di sana langsung berbaur. Kami mohon ijin beristirahat sejenak. Petugas jaga ronda kampung menanyai. Saya sampaikan maksud kedatangan. Sebagai survey untuk acara Menyusuri Baduy Dalam dalam rangkaian Sastra Multatuli. Mereka mengiyakan. Apalagi setelah Pak Acang menyampaikan bahwa saya sudah dua tahun lebih tinggal di Cigaclung sebagai guru di SMPN Satap 3 Sobang. Bagi mereka Cigaclung tentu saja tidak asing.
Ambu, panggilan untuk para istri di Baduy ke luar dari rumah. Pak Acang berbincang dengannya. Ketika saya tiba di Cikeusik serombongan pemuda bejumlah lima orang sedang asyik memerhatikan bangunan rumah. Seorang ibu dari luar Baduy berjualan makanan ringan. Menggelar dagangannya di teras rumah salah seorang warga. Di depan rumah puun, dua orang penjaga keamanan asyik memainkan api dari sisa api unggun semalam. Beberapa perempuan menggendong anaknya keluar mendekat. Pak Acang mengajak saya berbincang. Kami saling sapa. Perempuan Baduy mengenakan sejenis selendang untuk menutupi dadanya. Sementara selembar samping berwarna hitam menjadi pakaian bawahannya. Para lelakinya mengenakan celana berbentuk rok warna hitam dengan kain hitam serta ikat kepala berwarna putih.
Setelah berkeliling di Kampung Cikeusik kami melaju ke arah Cikartawana. Cikartawana berdekatan dengan Cibeo. Kami kembali ke jalan tanah merah. Sepertiga perjalanan kembali ke Cijahe, kami mengambil arah yang berbeda. Kami akan memotong jalan menuju Cikartawana. Melalui jalan setapak. Di tengah perjalanan haus menyergap tenggorokanku. Ini kesalahanku sejak dari Ciseel aku tidak membawa bekal air minum. Tiba di salah satu aliran sungai aku berhenti. Kutanyakan Pak Acang, apakah aku boleh meminum airnya. Pak Acang mengiyakan. Aku jongkok mengambil air dengan kedua telapak tangan dan menyorongkannya ke mulut. Beberapa kali kulakukan. Tenggorokanku nyaman. Kami berjalan kembali.
Langit yang semula cerah dengan warna biru kini mendung. Awan hitam menggelayut di langit tanah ulayat Baduy Dalam. Pak Acang berjalan bergegas saya mengikuti. Saya kembali bertemu Sungai Ciujung. Masih menurut Pak Acang nama Ciujung diberikan oleh salah seorang kepala adat Baduy setelah putrinya bernama Nyi Puteri Ujung tewas terbawa arus sungai tersebut. Maka dinamailah Sungai Ciujung.
Jembatan bambu tanpa paku kami lewati. Dua buah pohon membantu jembatan berdiri. Bambu dijulurkan ke dahan-dahan pohon yang saling bertemu. Diikat dengan kulit kayu. Jembatan kokoh terlihat. Air Ciujung jernih kulihat.
Sebelum tiba di Cikartawana kami singgah di saung Ambu Casiti. Pak Acang duduk di bale-bale. Ambu Casiti menyodorkan botol kaca besar berisi air. Kami minum dengan cangkir bambu. Ambu Casiti mengatakan bahwa ia tak mempunyai buah-buahan, namun ia menyodorkan beberapa biji buah kecapi. Pak Acang meminta saya menikmatinya. Saya memakannya.
Perjalanan dari Cikeusik ke Cikartawana sekira empat puluh lima menit hingga satu jam. Tiba di Cikartawana deretan leuit tempat menyimpan padi huma menyambut kami. Kami tiba di rumah Ayah Aja. Di sana ada Ayah Daliman, Ayah Salma, pedagang anyaman bambu, serta seorang pemuda. Ayah Aja sedang membuat jaring. Tangannya cekatan merajut tali dari kulit kayu yang dipilih menjadi jaring.
Ayah Aja menyapa kami. Kami disambutnya dengan baik. Saat kumasuki rumah Ayah Aja huja deras mengguyur. Saya duduk di dekat Ayah Aja. Saya sampaikan maksud kedatangan sebagai kunjungan biasa. Ayah Aja menyampaikan kondisi Kampung Cikartawana seperti ini. “Ya, seperti inilah kampung kami. Rumahnya sama semua. Tidak ada yang kaya dan miskin. Semuanya sama,” begitu tuturnya dalam bahasa Sunda.
Rasa capek menghantam kepala. Saya sampaikan ingin tidur sebentar. Ayah Aja cepat mengambil tikar pandan. Lalu diberikannya pula bantal. Saya tertidur. Pak Acang sayup-sayup terdengar sedang berbincang soal jualannya. Ya, selama perjalanan ini Pak Acang tentu saja sambil berjualan.
Saya terbangun ketika pemuda yang saya lupa namanya dan Ambu Aja memberikan air panas. Kuterima di mangkuk putih. Ayah Aja meminta saya minum kopi. Saya menyeduh kopi. Nikmat sekali. Hujan belum juga reda. Kurapikan kembali tikar pandan dan bantal. Kusampaikan terima kasih dan maaf. Ayah Aja terkekeh. Ayah Aja dan Ayah Daliman asyik mengunyah daun sirih yang telah diolesi apu ketika penjual golok datang. Namanya Enjai dari Citujah, Sobang. Pak Acang membeli dua bilah. Pedagang anyaman bambu masih setia duduk di bale-bale.
Pukul dua lewat lima belas menit. Hujan masih turun meski tak deras seperti tadi. Saya sampaikan pamit kembali ke Cijahe. Perjalanan tak dilanjutkan ke Cibeo. Langit hitam dan sudah terlalu sore. Kutinggalkan Ayah Aja, Ambu Aja, Ayah Daliman, Ayah Salma, pedagang anyaman bambu, seorang pemuda, dan Enjay. Kuminta Pak Acang mengambil gambar. Di ujung kampung dua bocah sedang main di kolong leuit, Akan dan Hasan namanya. Mereka tersenyum gembira saat kuperlihatkan hasil jepretan wajahnya. Kutinggalkan kesederhanaan alam Baduy Dalam namun kenangannya akan selalu ada.
0 komentar:
Post a Comment