INILAHCOM, Jakarta—Bayangkan Anda seorang terpelajar dari
Negeri Belanda yang sekian lama meyakini nilai-nilai moral dan
kebenaran. Terjun ke daerah jajahan, Hindia Belanda, dengan niat tak
sekadar mencari nafkah, tetapi juga berbakti kepada Tanah Air. Hasilnya
setelah 18 tahun pengabdian, barangkali akan sama seperti yang dialami
Eduard Douwes Dekker.
Douwes Dekker menulis buku dengan perih, hasil 18 tahun tahun mengabdi sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda. Bukan pegawai rendahan, karena ia seorang asisten residen di Lebak, Banten, pada akhir abad 19. Tetapi dari ‘Max Havelaar’ yang ditulisnya, kita tahu Douwes Dekker merasa ia hanya seorang bukan siapa-siapa yang tak mampu berbuat apa-apa. Mungkin karebna kecewa, Douwes Dekker yang mengambil nama samaran Multatuli, kemudian mengasingkan diri ke Jerman. Di sana, pada Februari 1887, ia meninggal.
‘Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda’ ditulis pada tahun 1859. Ia menulis dengan nama samaran Multatuli’, atau ‘aku yang menderita’. Sebagaimana sufi Sa’di Ghulistan mengatakan,” Jika kau tak mampu merasakan derita sesama, maka kau tak layak menyebut diri manusia,” Douwes Dekker merasakan resonansi derita itu manakala terjun ke berbagai wilayah binaannya.
Buku ini bisa dikatakan bingkai dari berbagai kisah. Bermula dari kisah tentang Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi dan kapitalis kecil yang tak segan mengisap sesama, sebagai simbol Belanda yang selalu haus untuk mengeruk keuntungan dari koloninya di Hindia Belanda. Suatu hari, mantan teman sekelasnya—Sjaalman, datang menjenguknya. Mereka mengobrol, hingga sepakat untuk menerbitkan sebuah buku.
Di selingi berbagai komentar Droogstoppel, buku ini berkisah tentang pengalaman nyata Multatuli –alias Max Havelaar. Max, seorang yang harus sendirian dan tersingkirkan dari pergaulan bangsanya sendiri karena membela masyarakat lokal yang tertindas. Ia ditentang para atasannya, tuan-tuan warga negara Belanda, para Tionghoa yang mempunyai kepentingan bisnis dengan Belanda, serta para penjilat lokal. Cerita yang tentu saja hanya bisa diceritakan seorang pejabat Hindia Belanda yang banyak melakukan ‘turba’ alias blusukan ke masyarakat.
Di dalamnya ada pula kisah-kisah tentang warga lokal, misalnya tentang Saidjah dan Adinda. Di antara jalinan kisah cinta keduanya, Multatuli dengan cerdas bercerita tentang eksploitasi dan kekejaman yang mengorbankan orang-orang Jawa.
Sikap tegas Multatuli juga tecermin di bagian akhir buku ini. Kepada Raja William III yang saat itu berkuasa, Multatuli menyampaikan permintaan agar kesewenang-wenangan dan korupsi yang menjadi kanker pemerintahan di Hindia Belanda segera dihabisi.
Awalnya, penerbitan buku ini pada zamannya menuai hujan kritik. Tetapi setelah polemik berkepanjangan, buku itu dicetak ulang beberapa kali. Hingga saat ini ‘Max Havelaar’ masih diterbitkan, dan telah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa. Kedahsyatannya membuka mata dunia, membuat Pramoedya Ananta Toer di the New York Times pada 1999 menyebut buku ini sebagai sebagai ‘Buku yang Membunuh Kolonialisme’.
Penerbit Qanita—bagian dari Mizan Pustaka, menerbitkan kembali ‘Max Havelaar’ sebagai salah satu buku yang penting dalam khazanah sastra klasik Indonesia. Qanita percaya, ‘Max’ adalah sebuah karya sastra yang bisa memperkaya batin pembacanya.
Qanita menerjemahkan Max Havelaar dari edisi bahasa Inggris terjemahan Baron Alphonse Nahuys, dengan referensi edisi terjemahan Indonesia oleh HB Jassin. Penerbit mengaku telah melakukan beberapa penyesuaian agar bahasa yang dipakai bisa lebih diterima pembaca sekarang. Tentu saja dengan tetap mempertahankan nuansa klasik buku tersebut.
Selamat membaca buku yang telah berulang kali diadaptasi ke dalam film dan drama ini. [dsy]
Judul : MAX HAVELAAR
ISBN : 978-602-1637-45-6
Penulis : Multatuli
Penerbit : Qanita, PT Mizan Pustaka
Cetakan : 2014
Jenis Cover : Soft Cover
Tebal : 480 halaman
Dimensi : 13 x 20,5 cm
Sumber: http://m.inilah.com/read/detail/2140507/sebuah-buku-yang-membunuh-kolonialisme
Douwes Dekker menulis buku dengan perih, hasil 18 tahun tahun mengabdi sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda. Bukan pegawai rendahan, karena ia seorang asisten residen di Lebak, Banten, pada akhir abad 19. Tetapi dari ‘Max Havelaar’ yang ditulisnya, kita tahu Douwes Dekker merasa ia hanya seorang bukan siapa-siapa yang tak mampu berbuat apa-apa. Mungkin karebna kecewa, Douwes Dekker yang mengambil nama samaran Multatuli, kemudian mengasingkan diri ke Jerman. Di sana, pada Februari 1887, ia meninggal.
‘Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda’ ditulis pada tahun 1859. Ia menulis dengan nama samaran Multatuli’, atau ‘aku yang menderita’. Sebagaimana sufi Sa’di Ghulistan mengatakan,” Jika kau tak mampu merasakan derita sesama, maka kau tak layak menyebut diri manusia,” Douwes Dekker merasakan resonansi derita itu manakala terjun ke berbagai wilayah binaannya.
Buku ini bisa dikatakan bingkai dari berbagai kisah. Bermula dari kisah tentang Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi dan kapitalis kecil yang tak segan mengisap sesama, sebagai simbol Belanda yang selalu haus untuk mengeruk keuntungan dari koloninya di Hindia Belanda. Suatu hari, mantan teman sekelasnya—Sjaalman, datang menjenguknya. Mereka mengobrol, hingga sepakat untuk menerbitkan sebuah buku.
Di selingi berbagai komentar Droogstoppel, buku ini berkisah tentang pengalaman nyata Multatuli –alias Max Havelaar. Max, seorang yang harus sendirian dan tersingkirkan dari pergaulan bangsanya sendiri karena membela masyarakat lokal yang tertindas. Ia ditentang para atasannya, tuan-tuan warga negara Belanda, para Tionghoa yang mempunyai kepentingan bisnis dengan Belanda, serta para penjilat lokal. Cerita yang tentu saja hanya bisa diceritakan seorang pejabat Hindia Belanda yang banyak melakukan ‘turba’ alias blusukan ke masyarakat.
Di dalamnya ada pula kisah-kisah tentang warga lokal, misalnya tentang Saidjah dan Adinda. Di antara jalinan kisah cinta keduanya, Multatuli dengan cerdas bercerita tentang eksploitasi dan kekejaman yang mengorbankan orang-orang Jawa.
Sikap tegas Multatuli juga tecermin di bagian akhir buku ini. Kepada Raja William III yang saat itu berkuasa, Multatuli menyampaikan permintaan agar kesewenang-wenangan dan korupsi yang menjadi kanker pemerintahan di Hindia Belanda segera dihabisi.
Awalnya, penerbitan buku ini pada zamannya menuai hujan kritik. Tetapi setelah polemik berkepanjangan, buku itu dicetak ulang beberapa kali. Hingga saat ini ‘Max Havelaar’ masih diterbitkan, dan telah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa. Kedahsyatannya membuka mata dunia, membuat Pramoedya Ananta Toer di the New York Times pada 1999 menyebut buku ini sebagai sebagai ‘Buku yang Membunuh Kolonialisme’.
Penerbit Qanita—bagian dari Mizan Pustaka, menerbitkan kembali ‘Max Havelaar’ sebagai salah satu buku yang penting dalam khazanah sastra klasik Indonesia. Qanita percaya, ‘Max’ adalah sebuah karya sastra yang bisa memperkaya batin pembacanya.
Qanita menerjemahkan Max Havelaar dari edisi bahasa Inggris terjemahan Baron Alphonse Nahuys, dengan referensi edisi terjemahan Indonesia oleh HB Jassin. Penerbit mengaku telah melakukan beberapa penyesuaian agar bahasa yang dipakai bisa lebih diterima pembaca sekarang. Tentu saja dengan tetap mempertahankan nuansa klasik buku tersebut.
Selamat membaca buku yang telah berulang kali diadaptasi ke dalam film dan drama ini. [dsy]
Judul : MAX HAVELAAR
ISBN : 978-602-1637-45-6
Penulis : Multatuli
Penerbit : Qanita, PT Mizan Pustaka
Cetakan : 2014
Jenis Cover : Soft Cover
Tebal : 480 halaman
Dimensi : 13 x 20,5 cm
Sumber: http://m.inilah.com/read/detail/2140507/sebuah-buku-yang-membunuh-kolonialisme
0 komentar:
Post a Comment