Oleh: Ubaidilah Muchtar
Sampai sekarang Max Havelaar dibaca yang ketiga kali sejak 23 Maret 2010. Selama 4
tahun 7 bulan membaca Max Havelaar
dalam bentuk reading group. Pembacaan
yang pertama tepat selama 11 bulan (23 Maret 2010-21 Februari 2011). Pembacaan
yang kedua selama 2 tahun 3 bulan (30 Mei 2011-21 Agustus 2013). Pembacaan yang
ketiga (11 September 2013-sekarang).
Pembacaan Max Havelaar yang pertama tamat setelah 37 pertemuan. Pembacaan yang kedua tamat setelah 78 pertemuan. Pembacaan yang ketiga sudah memasuki pertemuan yang ke-27. Novel Max Havelaar dibaca setiap Selasa atau Rabu dalam group selama 1,5-2 jam sekali dalam seminggu. Selain Max Havelaar ada juga pembacaan novelet Saija (Bahasa Sunda) setiap Kamis sore. Pembacaan Saija (Bahasa Sunda) sejak 22 Februari 2011 hingga sekarang sudah tamat 4 kali.
Pembacaan Max Havelaar sejak pertama 23 Maret 2010 hingga 14 Agustus 2014 lalu sebanyak 142 kali pertemuan. Pembacaan superlelet ini diikuti peserta dengan ragam usia yang berbeda. Dari anak-anak yang belum dapat membaca hingga dewasa.
Rata-rata peserta yang hadir di setiap pembacaan beragam. Pembacaan Max Havelaar yang pertama dimulai dengan peserta 17 orang pada pertemuan pertama dan 32 orang di pertemuan terakhir (Pertemuan ke-37). Rata-rata peserta pada pembacaan pertama 19 orang. Pertemuan dengan peserta paling banyak terjadi pada pertemuan ke-37 dengan peserta 32 orang. Sementara pertemuan ke-10 dan 12 tercatat sebagai pertemuan peserta paling sedikit yaitu 7 orang.
Pembacaan Max Havelaar yang kedua diikuti rata-rata peserta 21 orang. Pertemuan dengan peserta paling banyak terjadi pada pertemuan ke-74 dengan peserta 42 orang. Sedangkan pertemuan dengan peserta 4 orang terjadi pada pertemuan ke-42. Pertemuan pertama pembacaan kedua diikuti 21 orang dan pada pertemuan terakhir (ke-78) ada 20 orang yang hadir.
Pada pembacaan yang ketiga Max Havelaar (hingga pertemuan ke-27), rata-rata peserta 18 orang. Pertemuan dengan jumlah peserta terbanyak terjadi di pertemuan ke-1 (35 orang). Sementara pertemuan dengan peserta paling sedikit terjadi di pertemuan ke-19 (7 orang).
Pembacaan kali kedua Max Havelaar tamat lebih lama karena jumlah peserta berusia muda lebih banyak. Hal tersebut menyebabkan banyak kosa kata dan kalimat yang membutuhkan penjelasan lebih dalam. Berbeda saat pembacaan pertama Max Havelaar yang sebagian besar pesertanya adalah anak-anak usia SMP dan SMA. Selain tingkat penguasaan kosa kata dan kalimat juga konsentrasi peserta yang harus terus dijaga. Selain itu pada pertemuan kedua, jumlah peserta yang semakin banyak dengan ruangan yang lebih luas. Sehingga memungkinkan banyak peserta muda yang terus bergerak. Maka selain bertugas memandu pembacaan Max Havelaar, pemandu juga terkadang harus mengkondisikan peserta muda.
Pembacaan Max Havelaar setiap Selasa atau Rabu sore selama 1,5-2 jam sekali dalam seminggu hanya membaca 3-5 halaman. Novel Max Havelaar dengan jumlah halaman 396 yang kami baca merupakan terbitan Narasi Jogja tahun 2008.
Ritual khatam Max Havelaar juga ditandai dengan makan-makan. Peserta makan bersama nasi liwet dengan lauk dan lalapan beralas daun pisang. Peserta perempuan mempersiapkan makan dengan memasak sendiri. Sementara peserta laki-laki menyiapkan daun pisang dan mengumpulkan kayu bakar. Taman Baca Multatuli memang tidak mendapatkan bantuan finansial dari siapa-siapa, maka kegiatan seperti makan-makan ini dilakukan dengan urunan.
Sebagai penanda lain, ditayangkan film Max Havelaar atau film dokumenter tentang Multatuli di saat khataman membaca Max Havelaar. Kegiatan ini untuk menambah pemahaman peserta. Menonton film Max Havelaar di akhir pembacaan dimaksudkan peserta tidak kecewa. Jadi khatamkan dulu pembacaannya baru menonton filmnya. Itu di saat khatam Max Havelaar.
Pada saat pembacaan berlangsung, peserta juga disuguhkan beberapa benda/alat peraga penunjang teks. Berbagai jenis caping, ikat kepala (rombal/romal), lesung, alu, poster, kayu manis, memo, dan gambar-gambar lainnya. Benda-benda yang dimaksud yaitu sebagian kecil dari yang terdapat dalam novel Max Havelaar. Penghadiran benda-benda tersebut untuk menguatkan pemahaman teks kepada peserta.
Selama
pembacaan Max Havelaar berlangsung, beredar
buku folio bergaris berisi kesan dan pesan setiap peserta. Peserta menuliskan
nama, pesan, dan kesan mengikuti reading group Max Havelaar di buku tersebut. Buku tersebut kini berjumlah tiga
buah. Berisi setidaknya 2.764 kesan atau kesan peserta. Tidak semuanya
menuliskan kesan atau pesan, tentu. Ada pula peserta yang menuliskan kritik dan
otokritik. Buku merah, demikian kami menyebut buku kesan dan pesan peserta reading group Max Havelaar tersebut.
Kesan dan Pesan (1)
Di pertemuan pertama, pembacaan pertama Max Havelaar 23 Maret 2010 tidak ada satu pun yang menggunakan
istilah reading group. Tentu, belum
melekat di telinga anak-anak. Atau mungkin istilahnya yang belum disampaikan.
Semua anak-anak dalam kesan dan pesan di buku merah menulis dengan ungkapan,
membaca. Perhatikan tulisan kesan dan pesan mereka.
Rohanah menulis, “Rajin-rajin belajar membaca!”. “Teman-teman, ayo, kita membaca buku cerita,” tulis Anisah. Sementara Siti Nurhalimah menulis, “Baca Multatuli, yuk!” Pendi mengingatkan temannya agar jangan bercanda, “teman-teman jangan bercanda, dong!”. Lain lagi Pepen dan Coni, mereka mengingatkan agar menjaga buku. Siti Alfiah, Pipih, dan Sumi hampir senada mengajak untuk membaca, “Teman-teman, jangan lupa membaca di Taman Baca Multatuli!”
Istilah reading group baru muncul pertama kali di pertemuan ketiga, Selasa, 6 April 2010. Aliyudin menulis, “Teman-teman jangan lupa ya kalau hari Selasa ke Taman Baca Multatuli ikutan reading Grofs.” Reading Grofs yang dimaksud tentunya, reading group. Sementara judul novel mulai terlihat di pertemuan keempat. Dedi Kala yang pertema kali menulis Max Havelaar. Dedi Kala menulis Max Havelaar dengan kurang ‘a’ di kata Havelaar. Berikut kesan dan pesan yang ditulis Dedi Kala, “Teman-teman jangan lupa baca buku Max Havelar. Dan baca bukunya jangan sambil ribut karena kalaw baca buku cerita dengan ribut nanti tida nyaman tau.”
Melaju ke pertemuan kedua. Pertemuan kedua pembacaan pertama dilaksanakan hari Selasa, 30 Maret 2010 dengan 10 peserta. Di buku catatan kesan dan pesan mengikuti reading group terdapat nama-nama: Anisah, Maman, Dedi Kala, Siti Alfiah, Siti Nurajijah, Mariah, Sumi, Pipih Suyati, Adien, dan DH. Rahman. Selanjutnya pertemuan ketiga hari Selasa, 6 April 2010 dengan 8 peserta. Pertemuan keempat, 12 April 2010 dengan 11 peserta. Hingga ke pertemuan ke-37.
Pertemuan ke-37 adalah pertemuan terakhir pembacaan pertama. Di buku catatan kesan dan pesan reading group tertulis: Senin, 21 Februari 2011. Tercatat ada 32 peserta yang mengisi buku merah ini. Ketiga puluh dua anak yang mengisi di buku merah, yaitu: Elis, Rukanah, Sadah Padilah, Ucu Suhernah, Mariam, Herti, Oom, Suryati, Suarsih, Suha, Dedi Kala, Herman, Irman, Tomi, Yani, Dede, Ano, Sujatna, Unang, Sumyati, Samnah, Azis, Cecep, Sanadi, Radi, Mariah, Aliyudin, Siti Nurajijah, Pipih Suyati, Nuraenun, Rohanah, dan Nuraeni.
Saya pilihkan tiga kesan dari Pipih Suyati, Aliyudin, dan Nuraenun. Pipih Suyati menulis, “Pada hari Senin tgl 21.02.2011 yaitu terakhir kami reading Multatuli. Selama beberapa bulan kami membaca Multatuli, akhirnya selesai juga pada hari Senin ini.” Sementara Aliyudin menuliskan kesannya seperti ini, “Di akhir cerita Max Havelaar ngomong bahwa Max Havelaar itu adalah Multatuli. Kata Max Havelaar, ‘Ya, saya Multatuli (yang telah banyak menunjukan) mengangkat pena!’. Dan di akhir atau menyelesaikan dan namatkan saya dan teman-teman bersama Pak Ubai di Taman Baca Multatuli kami makan bersama”. Bagaimana kesan Nuraenun. Ini dia kesannya, “Teman-teman, reading Multatuli akhirnya selesai juga ya.”
Pembacaan kedua Max Havelaar dimulai Selasa, 31 Mei 2011. Pertemuan pertama pembacaan kedua yang mengisi buku merah tercatat ada 21 peserta. Kedua puluh satu peserta tersebut, yaitu Nuraenun, Sujana, Radi, Irman, Oom, Unang, Rukanah, Sadah, Suarsih, Suha, Elah Hayati, Sangsang, Asep, Ano Sumarna, Yani, Sanadi, Sujatna, Mariah, Rohanah, Nurdiyanta, dan Aliyudin.
Yani menulis di buku merah, “Hai teman-teman, hari ini Selasa tanggal 31-05-2011 mulai reading group Max Havelaar. Bagi adik-adik yang belum reading dari bab pertama (1) sekarang sudah dimulai. (Semangat reading group Max Havelaar)”. Kesan yang lain, “Teman-teman mulai hari ini reading group Max Havelaar dimulai lagi. Makanya teman-teman yang belum reading dari awal, ikut reading hari ini, OK…?” tulis Aliyudin.
Pada pertemuan ke-78 (tamat kedua), Rabu, 21 Agustus 2013 yang mengisi buku merah ada 20 peserta. Amsor, Irman, Sujana, Siti Nurasiyah, Saep, Yeni, Mamay, Rini, Samnah, Rita, Pameng, Yani, Resti, Susanti, Sumyati, Idayanti, Iis Dahlia, Sadah Padilah, Rukanah, dan Elis.
Sujana mengabarkan khatam kedua ini dengan menulis, “Teman-teman, hari ini kita namatkan Buku MAX HAVELAAR”. Sementara Rita menulis kesannya, “Riding (maksudnya: Reading) Max Havelaar menyenangkan sekali.”
Kesan dan Pesan (2)
Selain
peserta dari anak-anak Kampung Ciseel, Cigaclung, Cikadu, Babakan Aceh, dan Cangkeuteuk
yang berada di Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten peserta
dari luar Lebak juga pernah ada. Ini sedikit dari mereka yang pernah mengikuti
reading group Max Havelaar.
Di pembacaan pertama Max Havelaar ada dua orang peserta dari luar Ciseel yang ikut serta membaca Max Havelaar. Siapa dia. Mereka yaitu Suryo Wibowo dan Pram. Mereka datang di pertemuan ke-12 tanggal 8 Juni 2010. Hari Selasa. Ini kesan mereka, “Teman-teman teruskan membaca Max Havelaar! Teruskan semangat kalian!” dan “Kalian semua: HEBAT!!! Banyak baca & menulis, ya…” Suryo merupakan juru foto dan Pram pewarta. Mereka dari Tempo majalah.
Saat pembacaan Max Havelaar kali kedua berlangsung, pada pertemuan kedua, Selasa, 7 Juni 2011 ada tiga orang ikut serta. Satu dari Jakarta dan pasangan suami istri dari Italia. Mas Wid Widodo dari DAAI TV yang pertama. Carlo Laurenti serta Maria Eleonora Catureali orang kedua dan ketiga.
Mas Wid Widodo sayangnya tak sempat mengisi buku merah. Sore itu selepas ikut membaca Max Havelaar ia kembali ke Jakarta. Sementara Carlo dan Maria tinggal empat hari di Ciseel. Berikut kesan Carlo di buku merah, ia mencatat.
“A most
unespected boomerang of my homage to Multatuli in Italian Cultural Institute
last week. Now I understand in a new light the mind of Multatuli! It is home
the most hidden place that one can look at Europe with different eyes.”
Carlo
Laurenti merupakan penerjemah puisi-puisi Lu Xun (188?/1936). Hampir 15 tahun
lamanya ia menggeluti puisi-puisi Lu Xun. Selain menerjemahkan puisi Lu Xun.
Carlo juga membuat beberapa film dokumenter tentang China dan sastrawan dunia.
Sementara
itu Maria Eleonora menuliskan kesannya di buku merah seperti berikut:
“I have
come in a far away village, green hills and mountains and paddy fields. I have
been roudied by an unfrebeing recital on “MAX HAVELAAR” by Multatuli. Children,
boys and girls listening and participating in a still a now always actual
story.”
Di
bulan Juli masih di pembacaan kedua, pertemuan keempat, Selasa, 12 Juli 2011
ada tiga kawan dari DAAI TV yang ikut
membaca Max Havelaar. Vince
Rumintang, Bannu Maulana, dan Prayitno. Mereka membuat liputan untuk program Meniti Harapan: Menyerap Semangat Multatuli.
Berikut kesan ketiganya.
“Pertama
kali menginjakan kaki di Multatuli cuma kaget, ternyata jaraknya jauh dan susah
ditempuh. Hanya untuk melihat taman baca di pemukiman warga. Eh… pas liat
anak-anak semangat baca, dan tahu tentang Multatuli seneng banget. Malah malu,
karena saya tidak tahu banyak soal Multatuli. Teman-teman di Taman Baca
Multatuli terus tingkatkan minat bacanya! I Love U all… mmmuah…”
“Keep your
spirit an dedication to increase their knowledge. One day they gonna be better
then they are now … and it come from you…”
“Buku Max
Havelaar wajib dibaca masyarakat Indonesia karena isinya inspiratif dan bisa
membangkitkan nasionalisme yang tinggi. Untuk lebih cinta pada negara dan
bangsa Indonesia.”
Masih
di Juli juga hadir Mbak Nima Sirait dan Mas Sapto Agus. Mereka berdua juga dari
DAAI TV. Mereka sedang membuat film
dokumenter Rumah Multatuli untuk
program Refleksi. Mbak Nima menulis
di buku merah.
“Teman-teman
Taman Baca Multatuli, kalian sangat beruntung sudah mengenal, membaca, dan
mendalami karya sastra sekelas Multatuli di usia yang sangat muda. Manfaatkan
fasilitas taman baca ini sebaik-baiknya dengan membaca banyak buku. Buku akan
membawa kalian ke tempat mana saja di dunia, menjadikan kalian apa saja yang
kalian cita-citakan. Semangat selalu ya…”
Sementara
Mas Sapto Agus menulis.
“Sangat
mengagumkan melihat semangat kalian. Galilah terus ilmu dari buku yang kalian
baca. Kalian boleh berada di tempat yang jauh dan terpencil tapi pikiran kalian
akan sanggup keluar dari keterpencilan ini dengan membaca.”
Pertemuan
ke-30 pembacaan kedua Max Havelaar
juga ada beberapa kawan kru Kick Andy
Hope dari Metro TV. Pertemuan ke-30 dilaksanakan pada 10 Maret 2012. Di buku
merah terdapat nama-nama: Budiyanto, Sriyanto, Hermawan Prasetyo, Bambang
Rakhmanto, Aisy Ilfiyah, Bronto, Kumala Dewi, dan Andika Maryanto. Mereka berkunjung
ke Ciseel dari tanggal 9 hingga 12 Maret 2013. Berikut kesan yang terulis di
buku merah:
“Melihat
anak-anak antusias melakukan RG Max Havelaar di pinggir kali, sangat menyenangkan.”
“Hmmm
diajak shooting ke lokasi-lokasi yang mengagumkan + medan yang begitu luar biasa.”
“Hidup sastra and Jas Merah!”
“Saya
kalah saing dengan anak-anak Kp. Ciseel, mereka tahu cerita Max Havelaar, saya
tidak…”
“Medan RG luar biasa… tapi
semangattt….”
“Amazing!”
“Gokillah, pokoknya! Keep reading guys!”
Pada
pembacaan ketiga kali novel Max Havelaar
tepatnya pada Rabu 11 September 2013, di pertemuan pertama itu hadir empat kru
dari Bali TV. Salah satunya Mas Juli.
Mas Juli dan kawan-kawan sedang membuat dokumenter untuk program Sebuah Pengabdian yang ditayangkan di Bali TV dan Bandung TV. Dokumenter yang mereka buat berjudul; Asa di Kampung Ciseel. Berikut salah
satu kesan yang mereka tuliskan di buku merah.
“Reading book ‘Max Havelaar’ ini sangat luar biasa dalam arti mampu membantu dan menambah wawasan
masyarakat Kampung Ciseel. Dengan kondisi kampung yang terisolir dan kurangnya
sarana infrastruktur namun dengan adanya reading book ‘Max Havelaar’ ini setidaknya mampu mengobati hasrat
masyarakat khususnya anak-anak dalam hal membaca.”
Pada
pertemuan keempat pembacaan ketiga tanggal 7 Oktober 2013 juga datang peserta
dari Metro TV mereka sedang membuat
liputan untuk program Wideshoot.
Selama dua hari mereka mengikuti kegiatan di Taman Baca Multatuli. Saya mohon
maaf sebab kesan mereka di buku merah tidak ditemukan. Namun Rukanah—peserta
dari Ciseel—sempat menuliskan kesannya seperti berikut.
“Teman-teman
hari ini hari Senin. Kita kedatangan tamu 3 orang. Tamu yang gendut itu namanya
Kak Ari. Dua temannya lagi aku lupa (Mas Albar dan Pak Malik—penulis). Oh, ya,
terima kasih Kak sudah datang ke Taman Baca Multatuli. Kami sangat senang atas
kedatangan Kakak ke Ciseel, kampung kami.”
Selasa,
11 Maret 2013 pertemuan ke-18 pembacaan ketiga, ikut membaca Max Havelaar: Wilma van Der Maten. Wilma
koresponden dari Radio VPRO NEDERLAND.
Sore itu ia duduk bersama membaca Max
Havelaar Bab 5. Wilma memberikan kesannya seperti berikut:
“Had a
great trip. I will come back. Lebak is so beautiful especially your village. I
can imagine your more happy there then in Jakarta. Hope we meet soon again also
my best wishes to the Multatuli children. Salam!”
Pada September 2013 hadir tesis dari
Ahmad Subhan yang meneliti aktivitas reading
group Max Havelaar di Taman Baca Multatuli. Ahmad Subhan merupakan
mahasiswa Program Pendidikan Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Tesisnya berjudul: “Konstruksi Makna Membaca di Taman Baca Multatuli, Kampung
Ciseel, Sobang, Lebak, Banten.”
Merayakan Max Havelaar
Setiap
tahun, selama 4 tahun ini di sela pembacaan Max
Havelaar, perayaan Max Havelaar dilaksanakan. Merayakan lahirnya novel Max Havelaar di sekitar bulan Mei setiap
tahunnya. Max Havelaar terbit sebagai
buku pada 14 Mei 1860.
Warga
Ciseel dan peserta reading group Max
Havelaar juga tetamu datang bergembira. Ada drama Saijah Adinda dengan
kerbau sungguhan. Ada pencak silat, debus, qasidah. Ada pembacaan puisi Max Havelaar. Ada tarian dan nyanyian.
Ada kesenian gondang dan gegendeh (kesenian memukul lesung). Ada
jalan-jalan ke perkampungan Badui. Ada menyusuri jejak Multatuli di Rangkasbitung.
Peserta
kegiatan menuliskan pengalamannya selama mengikuti kegiatan yang diberi nama Ciseel Day. Catatan-catatan tersebut
lalu dikumpulkan dan diterbitkan dalam bentuk buku sederhana. Catatan kegiatan Ciseel Day 1 Tahun 2011 terkumpul dalam
buku Rumah Multatuli: Kumpulan Catatan
2011Menyusuri Jejak Multatuli. Sementara buku kumpulan catatan kegiatan Ciseel Day Tahun 2012 terkumpul dalam
buku Ciseel Day 2. Hingga tahun 2014
kegiatan Ciseel Day sudah yang keempat kali. Catatan tahun ke-3 dan ke-4 kegiatan
Ciseel Day 2013 dan 2014 dalam proses
pembuatan.
Peringatan
hari lahirnya Max Havelaar sebaiknya
juga dijadikan tradisi yang akan terus diulang pada setiap tahunnya. Juga di
tempat yang lain. Ada orang bertanya: mengapa?
Multatuli dan
Max Havelaar penting sebagai
pengarang, pengarang besar yang secara kebetulan berkebangsaan Belanda. Negeri
kecil tempat ia lahir. 2 Maret 1820 di Amsterdam. Mengapa Multatuli dan Max Havelaar harus diperingati. Mengapa
tidak memperingati Liebig, Moliere, Schiller, Goethe, Heine, Lamartine, Thiers,
Say, Malthus, Scialoja, Smith, Shakespeare, Byron, Vondel ….
Jawabannya,
karena di samping kebesarannya sebagai pengarang, Multatuli besar pula sebagai
seorang humanis. Multatuli yang menuntuk keadilan bagi rakyat Indonesia. Dialah
orang pertama yang mengatakan, bahwa orang Indonesia pun sama manusianya dengan
orang kulit putih, manusia dengan segala sifat-sifat dan
konsekuensi-konsekuensinya.
Oleh karena itu, ceritaku
hanya ditujukan kepada mereka yang mampu meyakini hal yang sulit bahwa di balik
permukaan hitam itu ada jantung yang berdenyut-denyut, dan bahwa orang yang
diberkahi warna kulit putih dan peradaban yang mengikutinya—yaitu kemurahan
hati, pengetahuan perdagangan, agama, kebajikan, dan lain-lain—bisa menggunakan
sifat-sifat orang kulit putih ini dengan lebih baik daripada mereka yang kurang
diberkahi dalam hal warna kulit dan kecerdasan mental. (Qanita, 2014, hlm.
353)
Multatuli
yang pertama kali berteriak bahwa “Orang Jawa diperlakukan dengan buruk!”,
“Orang Jawa dieksploitasi secara berlebihan!”. Multatuli menuntut hak dan
keadilan bagi “orang Jawa” bagi bangsa Indonesia. Bagi bangsa “pribumi”.
Multatuli melakukan hal tersebut dengan gagah dan penuh keberanian. Ia
mengorbankan kedudukan dan karirnya untuk memasuki kehidupan yang bahkan hingga
kematiannya penuh kepahitan, kemelaratan, dan penderitaan.
Multatuli
jelas menentang penghisapan dan penindasan. Multatuli menuntut kasih sayang,
perikemanusiaan, dan pengertian. Meskipun belum kepada terhapusnya penjajahan.
Akan tetapi, Multatuli telah berupaya untuk membuka mata dan pikiran dunia
tentang busuknya kolonialisme di Hindia serta memberi inspirasi kepada bangsa
Indonesia untuk merdeka.
Kepada
Multatuli, bangsa Indonesia berutang budi. Karena itu kalau ada pengarang
Belanda yang peling dikenal di Indonesia dialah Multatuli. R.A Kartini mendapat
pengaruh Multatuli. Juga para pemimpin lainnya.
Lalu, apakah
sebenarnya yang diperjuangkan Multatuli? Apakah yang digugat oleh Multatuli?
Multatuli
menggugat tanam paksa yang memberi keuntungan berlimpah kepada kaum penjajah.
Ia menggugat liberalisme yang saat itu sedang dipropagandakan. Ia menggugat
rodi, menggugat permintaan paksa dan korupsi dengan menggunakan jabatan.
“Max mengetahui adanya
banyak sarana untuk mendatangkan roti ke Rangkas Bitung tanpa harus membayar;
tapi KERJA TANPA BAYARAN, penyakit kanker Hindia itu sangat mengerikan bagi
Havelaar.” (Qanita, 2014, hlm. 292)
Di tempat kemiskinan atau
bencana kelaparan menciutkan jumlah penduduk, ini dikatakan sebagai paceklik,
kekeringan, hujan, atau sesuatu yang lain, dan TIDAK PERNAH KARENA SALAH
PEMERINTAHAN.” (Qanita, 2014, hlm. 301)
“Selisih antara uang yang
dikeluarkan dan nilai yang mereka peroleh dengan uang itu DIPENUHI DENGAN KERJA
PAKSA.” (Qanita, 2014, hlm. 324)
Multatuli
memiliki arti politik penting ke arah timbulnya perubahan-perubahan cara
pemerintahan di Indonesia. Meskipun tentang besar dan seberapa jauh pengaruhnya
masih dapat diperdebatkan. Tapi di antara kita, bukankah masih teringat kepada
Pidato Havelaar di hadapan para pemimpin Lebak, juga petikan-petikan kisah Saijah dan Adinda. Itulah sedikit di
antara yang memengaruhi hati dan pikiran kita. Bukankah kesadaran di hati dan
pikiran kita timbul dari Multatuli, dari Max
Havelaar?
Tentang Max Havelaar
Mengapa
namanya Taman Baca Multatuli? Bagaimana caranya memulai membentuk kelompok
baca? Mengapa yang dibacanya novel bukan cerpen? Mengapa membaca novel Max Havelaar? Mengapa proses bacanya
pelan-pelan? Ini sedikit dari beberapa pertanyaan yang sering muncul. Tentu
saja pertanyaan yang sangat wajar dilontarkan.
Eduard
Douwes Dekker, pengarang Max Havelaar
telah tinggal di Indonesia selama lima belas tahun. Kenyataan inilah yang
menjadi penting diketahui karena masa yang lama menetap inilah yang memberikan
kepadanya pokok bercerita yang menggugah perhatian banyak orang. Selain juga
menentukan pertumbuhan dirinya sebagai pengarang yang berarti dalam sejarah
sastra. Karena tinggalnya di Indonesialah yang memungkinkan pribadinya beserta
bakatnya berkembang seperti tercermin dalam karyanya Max Havelaar.
Pengalaman
hidupnya di negeri jajahan dengan berbagai masalah sosial, politik, dan
pemerintahan yang mengharubiru jiwanya, serta tempat tinggal yang jauh dari
perkembangan sastra yang sudah konvensional di negeri Belanda, telah memberikan
kesempatan kepada dirinya dengan corak keseorangannya. Multatuli telah berhasil
dengan Max Havelaarnya, karena seperti
dituliskan oleh Subagio Sastrowardoyo dalam Sastra
Hindia Belanda dan Kita (1983), ia telah “tersentuh oleh tenaga cipta yang
hebat dan kekal dari lingkungan luas, hutan-hutan lebat, dan rakyat yang
terjajah”.
Max Havelaar merupakan tulisan pertama
yang membeberkan kepada dunia mengenai penindasan kolonialisme di Hindia
Belanda. Max Havelaar menginspirasi tokoh-tokoh
bangsa untuk mengobarkan semangat kemerdekaan, kebebasan, dan keadilan.
Di
dalam Max Havelaar terdapat
nilai-nilai antipenindasan, antikorupsi, kemanusiaan yang tinggi, dan
perjuangan terhadap persamaan harkat manusia. Di Max Havelaar diksi “korupsi” tampil di saat Havelaar baru saja
menerima surat penolakan dari Gubernur Jenderal. Surat tertanggal 23 Maret
1856. Ketika Havelaar tahu bahwa ia akan dipindahkan ke Ngawi. Havelaar menolak
pemindahtugasannya tersebut. Ia tahu di Ngawi bupati bertalian keluarga dengan
istana Jogja. Havelaar mengenal Ngawi sebab ia pernah dua tahun di Bagelen.
Havelaar merasa percuma ke sana ke mari, bekerja seolah-olah ia berkelakuan
buruk.
“…… dan,
akhirnya, aku tahu bahwa untuk mengakhiri semua penipuan ini, aku tidak bisa lagi menjadi pejabat.” (Qanita, 2014, hlm.
449)
“……dan
akhirnya saya sadar bahwa untuk mengakhiri segala penipuan itu, saya harus jangan jadi pejabat.” (Djambatan, 1972,
1973, 1974, 1977, 1981, 1985, 1991, 2000, 2005, hlm. 337, 337, 241, 241, 219,
337, 337, 337, 337)
Kata
“penipuan” (cetak tebal dari penulis) dapat ditemukan pada Max Havelaar terjemahan H.B. Jassin (Djambatan) dan Ingrid Dwijani
Nimpoeno (Qanita). Sementara pada terjemahan Andi Tenri Wahyuni (Narasi)
tertulis.
“Dan,
akhirnya, saya sadar bahwa saya harus berhenti jadi pejabat jika saya ingin
mengakhiri semua korupsi ini.” (Narasi, 2008,
hlm. 377)
Saya
kira tepat apabila terjemahannya menggunakan kata “korupsi”. Seperti juga
tertulis dalam terjemahan bahasa Inggris.
“And,
finally, I realize that I must not be an official if I’m to put an end to all
this corruption.” (Penguin Classics,
1987, p. 310)
Selain
tentang kata “korupsi” juga soal penggunaan kata ganti “Saya” dan “Aku” dalam Max Havelaar. Novel Max Havelaar terjemahan H.B. Jassin yang diterbitkan Djambatan
sebanyak sembilan edisi menggunakan kedua kata ganti tersebut secara tepat. Untuk
menunjukkan suasana lampau H.B. Jassin menggunakan kata ganti “Saya”. Sementara
ketika Multatuli yang bercerita atau di dalam puisi sebagai pernyataan diri
maka yang digunakan adalah “Aku”.
Penggunaan
kata “Saya” menyiratkan suasana yang berefek lama. H.B. Jassin memilih “Anda”
bukan “Kau” atau “Kamu”. Sementara kata ganti “Aku” untuk menyatakan personal
dan pernyataan diri. H.B. Jassin menggunakan kedua kata ganti tersebut tidak
asal-asalan.
Pada
Max Havelaar terbitan Qanita dan Narasi saya menemukan hal yang sebaliknya. Penggunaan kedua kata
ganti digunakan pukul rata. Pada terbitan Qanita
kata ganti “Aku” mendominasi. Sebaliknya pada terbitan Narasi kata ganti “Saya” yang digunakan.
“Saya
adalah makelar kopi, tinggal di Lauriergracht No. 37.” (Djambatan, 1973,
hlm. 1)
“Aku
makelar kopi, dan tinggal di Lauriergracht No. 37, Amsterdam.” (Qanita, 2014,
hlm. 17)
“Saya
adalah makelar kopi, dan tinggal di Lauriergracht No. 37, Amsterdam.” (Narasi, 2008,
hlm. 11)
dan
“Ya, aku
Multatuli, yang telah banyak menderita, mengangkat pena.” (Djambatan, 1973,
hlm. 346)
“Ya, aku,
MULTATULI, “yang telah banyak menderita”, aku mengambil alih pena.” (Qanita, 2014,
hlm. 461)
“Ya, saya,
Multatuli, “yang telah banyak menunjukkan”, mengangkat pena.” (Narasi, 2008,
hlm. 386)
Ini
sedikit tentang mahakarya sastra yang terus dibaca meski usianya kini tak lagi
muda: 154 tahun. ***
Depok, 18 Oktober 2014
Ubaidilah Muchtar, pemandu reading group Max Havelaar di Taman Baca Multatuli, Lebak, Banten.
*** Bahan Obolan Pembaca Media Indonesia, Sabtu, 18 Oktober 2014 di Freedom
Institut, kerjasama Penerbit Mizan dan
Media Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment