728x90 AdSpace

  • Latest News

    22 September 2014

    MAX HAVELAAR (Multatuli, 2014)


    UBAIDILAH MUCHTAR

    Saya tidak bisa melayani dengan cara yang lain daripada yang saya lakukan di Lebak.
    (Max Havelaar, hlm. 436)

    Identitas Buku
    Judul buku      : Max Havelaar
    Judul Asli        : Max Havelaar: Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company
    Penulis             : Multatuli
    Penerbit           : Qanita, Mizan
    Tempat            : Bandung
    Cetakan ke-II  : Agustus 2014
    Penerjemah      : Ingrid Dwijani Nimpoeno
    Tebal               : 480 halaman
    ISBN               : 978-602-1637-45-6

    Kesaksian
    Kisah yang ‘membunuh’ kolonialisme.
    (Pramoedya Ananta Toer, The New York Times, 18 April 1999)

    Max Havelaar aku punya karena aku sangat, sangat suka pada Multatuli.
    (Kartini dalam Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramoedya Ananta Toer, 2010)

    Kalau novel, gimana ya? Pramoedya Ananta Toer. Tapi guru saya yang pertama sebenarnya Multatuli. Max Havelaar.
    (Y.B. Mangunwijaya dalam “Saya Tak Mau Jadi Godfather” kumpulan wawancara majalah Matra, Para Tokoh Angkat Bicara: Buku 3, 1999)

    Tuan M.A. Duisterhof membacakan kepada kami bagian-bagian dari Max Havelaar, yakni pidato kepala-kepala Lebak dan romansa yang sedih Saijah dan Adinda. Ketika itu saya sekolah di Hollands-Inlandse School dan meskipun kami sebagai anak kelas lima belum mengerti segalanya, kami merasa pidato dan cerita itu bagus sekali karena keindahan bunyi dan rima dan terutama karena pandainya kepala sekolah kami membacakannya. Namun Multatuli menetap di benak kami dan saya kira Duisterhof dengan cara itu untuk pertama kalinya membawa kami ke dalam dunia kesusastraan sebelum kami mengetahui apa sebenarnya kesusastraan itu.
    (H.B. Jassin: Paus Sastra Indonesia, karya Pamusuk Eneste, hlm. 2-3, 1987)

    Multatuli alias Eduard Douwes Dekker yang menulis buku Max Havelaar (1960) juga memengaruhi sastrawan revolusioner Indonesia.
    (Asep Sambodja dalam Historiografi Sastra Indonesia 1960-an, hlm. 44, 2010)

    Max Havelaar abadi, bukan karena seni atau bakat kesastraannya, melainkan tujuan yang diperjuangkannya.
    (Baron Alphonse Nahuys, Max Havelaar: Qanita, Bandung, 2014, hlm. 10)

    If you ask a Hollander for a really good Dutch novelist he refers you to the man who wrote: Old People and the Things that Pass (Louis Couperus)—or else to somebody you know nothing about.
    As regards the Dutch somebody I know nothing about, I am speechless. But as regards Old People and the Things that Pass I still think Max Havelaar a far more real book. And since Old People etc. is quite a good contemporary novel, one needs to find out why Max Havelaar is better.
    (D. H. Lawrence, Translator Introduction Max Havelaar, Penguin Classics, 1987)

    Max Havelaar menimbulkan suasana `gelisah` dan `gemetaran` di seluruh negeri. Tidak pernah sebelum itu para pembaca bangsa Belanda ditunjukkan dengan cara-cara yang begitu jelas dan tajam serta realistis, begitu mengharukan dan menarik, tentang kekurangan-kekurangan yang terdapat pada pemerintah Hindia Belanda.
    (Pico Bulthuis, Haagse Post Den Haag, 8 Januari 1955)

    Max Havelaar dari abu-abunya seluruh kesusastraan modern Belanda hidup menyala-nyala.
    (W. Elschoot)

    Buku itu—Max Havelaar—datang sebagai sebuah bom.
    (F.W. Driessen)

    Max Havelaar Secara Singkat
    Batavus Drooggstoppel adalah makelar kopi dan tinggal di Lauriergracht No. 37 Amsterdam. Dia ingin menulis sebuah buku tentang kopi. Buku yang akan ditulisnya dengan akal sehat dan penuh kebenaran. Sebab menurut Batavus penyair dan novelis tidak menulis apa-apa kecuali kebohongan.

    Di suatu malam, Batavus bertemu dengan teman lamanya yang terlihat buruk. Ia tidak mengenakan mantel bulu di musim dingin, melainkan hanya memakai syal biasa di lehernya. Batavus memanggilnya: Sjaalman. Batavus lalu meninggalkannya. Keesokan harinya Batavus menerima sebuah paket dari Sjaalman. Paket tersebut berisi banyak tulisan dan dokumen. Di paket tersebut terdapat juga surat yang berisi ajakan untuk menerbitkan tulisan-tulisan tersebut. Batavus tidak tertarik. Akan tetapi setelah melihat ada beberapa dokumen tentang kopi (Mengenai Harga Kopi Jawa), Batavus berubah pikiran. Dimintanya Ernest Stern (pemuda Jerman) yang akan menuliskan bukunya dengan bahan-bahan dari Sjaalman. Judulnya harus “Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda”. (hlm. 64)

    Mulailah Stern menulis cerita dengan deskripsi perjalanan di Jawa. Juga bagaimana kekuasaan Hindia Belanda dan penyalahgunaan kekuasaan. Rakyat dihisap. Tenaga dan hartanya dieksploitasi secara sewenang-wenang. (hlm. 88)

    Kehidupan rakyat yang tenang dan damai terganggu dengan datangnya:

    “Orang-orang asing dari Barat yang mengangkat diri mereka sebagai pemilik tanah. Mereka ingin mendapatkan keuntungan dari kesuburan tanah itu, dan memerintahkan orang pribumi untuk menyisihkan sebagian waktu dan tenaga mereka untuk menggarap tanaman-tanaman lain yang bisa menghasilkan keuntungan lebih tinggi di pasar-pasar Eropa. Untuk membujuk rakyat jelata agar melakukan hal itu, mereka hanya perlu mengikuti kebijakan yang sangat sederhana. Orang Jawa mematuhi pemimpin mereka; untuk mengambil hati para pemimpin itu, mereka perlu diberi sebagian dari keuntungan. Dengan demikian, kesuksesan bisa diraih.” (hlm. 89)

    Pemerintah memaksa petani untuk menggarap tanaman-tanaman tertentu di tanah mereka sendiri; pemerintah menghukum mereka jika menjual hasil yang diperoleh kepada pembeli lain, kecuali pemerintah; dan pemerintah menetapkan harga yang harus dibayar. Biaya pengangkutan ke Eropa lewat maskapai dagang yang mendapat keistimewaan sangatlah tinggi; uang yang dibayarkan kepada para pejabat untuk menyemangati mereka telah meningkatkan harga pokok, dan karena seluruh perdagangan harus menghasilkan keuntungan. Keuntungan itu tidak bisa didapat dengan cara lain, selain membayar orang Jawa sekadarnya agar mereka tidak kelaparan.

    Penduduk misikin digerakkan oleh kekuatan ganda; mereka diusir dari sawah mereka sendiri; dan bencana kelaparan sering kali muncul akibat tindakan-tindakan ini.

    “Bencana kelaparan? Bencana kelaparan di Jawa yang kaya dan subur?”—Ya, pembaca, beberapa tahun silam ada distrik-distrik yang kehilangan penduduk akibat kelaparan; para ibu menjual anak mereka untuk mendapat makanan, para ibu menyantap anak mereka sendiri.” (hlm. 91)

    Stern kemudian bercerita bahwa di Banten Selatan (Baca: Lebak) sedang menunggu Asisten Residen baru pengganti Slotering yang mati dibunuh. Asisten Residen yang baru ditunjuk itu, Max Havelaar. Havelaar tiba di ibu kota baru distrik Lebak: Rangkas Bitung. Havelaar seorang yang jujur, jenaka dan menyenangkan, peka terhadap cinta dan persahabatan. Dia penuh kontradiksi: setajam silet, berhati selembut anak perempuan, dan selalu menjadi yang pertama yang merasakan luka akibat kata-kata pahitnya sendiri. (hlm. 115-118)

    Havelaar berjanji akan melindungi semua orang miskin dan tertindas yang ditemuinya. Melindungi penduduk pribumi dari pemerasan dan tirani. Havelaar akan melawan kekuasaan korup dan sewenang-wenang yang sedang berlangsung di Lebak. Perampokan kerbau, kerja tanpa bayaran, dan penyiksaan. Sehari setelah kedatangannya di Lebak, Havelaar berpidato. Secara tegas Havelaar menyampaikan keberpihakannya. Havelaar memberitahukan bahwa tugas pemimpin bukanlah menumpuk kekayaan. Harus meninggalkan kepentingan pribadi. Havelaar juga memperingatkan pemimpin Lebak yang banyak melakukan kesalahan sehingga banyak kemiskinan di desa-desa. (hlm. 153-168)

    Beberapa catatan penyalahgunaan kekuasaan di Lebak, Havelaar dapatkan dari arsip yang ditinggalkan pendahulunya: Slotering alias C.E.P. Carolus. Dari dokumen-dokumen yang ditemukannya Dekker membentuk suatu gambaran mengenai kesewenang-wenangan terhadap penduduk Lebak. Kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh bupati dan kepala-kepala rendahan, terutama Demang Parang Kujang, Raden Wira Kusuma. Menantu Adipati Lebak, Karta Nata Negara. Adipati Lebak waktu itu ditakuti dan sangat dihormati oleh penduduk. Menurut kode pemerintah kolonial ia adalah ‘saudara muda’ asisten residen Douwes Dekker.

    Slotering orang yang baik dan jujur. Slotering meninggal karena diracun. Slotering sedang menyelidiki penyalahgunaan kekuasaan ini dan berencana akan melaporkannya. Slotering telah mengadukan kepada Residen Banten, C.P. Brest van Kempen alias Slijmering. Slotering ingin mengakhiri penderitaan rakya. Pembicaraannya dengan residen selalu sia-sia karena hal ini sudah umum diketahui bahwa pemerasan itu untuk kepentingan dan di bawah perlindungan Adipati Lebak. Residen Banten tidak mau mengadukan Adipati kepada pemerintah Hindia Belanda.

    “Saat itu, bulan November. Beberapa hari kemudian, dia melakukan perjalanan inspeksi, menyantap makan siang di rumah Demang Parang Kujang, dan tak lama setelah itu dibawa pulang dalam kondisi menyedihkan. Dia berteriak sambil menunjuk perutnya, ‘Api, api,’ dan meninggal beberapa hari berselang. Padahal masa hidupnya dia selalu dalam keadaan sangat sehat.” (hlm. 405)

    Droogstoppel menyela cerita Stern. Droogstoppel merasa kurang puas dengan tulisan Stern. Droogstoppel tadinya sangat berharap bahwa cerita itu berkaitan dengan kopi. Batavus mendapatkan penjelasan Stern yang mengatakan, “tenanglah, banyak jalan menuju Roma, tunggulah sampai akhir pendahuluan. Aku berjanji semuanya akan tiba pada kopi. Kopi, kopi, dan tidak ada yang lain, kecuali kopi.” “Ingatlah Horatius,” lanjut Stern, “bukankah dia berkata, “Omne tulit punctum qui miscuit”—Kopi dengan sesuatu yang lain? Dan, bukankah kau bertindak dengan cara yang sama ketika memasukkan gula dan susu ke dalam cangkir?” (hlm. 184)

    Batavus sangat terkejut mengetahui bahwa dalam tulisan Stern dan dokumen Sjaalman tidak ada kopi yang ditanam di Distrik Lebak. Batavus punya jalan untuk memasukkan khutbah Domine Wawelaar. Batavus berkeinginan agar orang Jawa menanam kopi. Jika pun itu mustahil, seharusnya mereka mengirim orang-orang yang tinggal di sana ke tempat lain yang tanahnya bagus untuk kopi. Melalui Wawelaar, Batavus ingin menghentikan kebiasaan tidak menanam kopi di Lebak. Oleh karena itu, orang-orang harus datang kepada Tuhan. Batavus akan menasehati anak-anak mereka (Frits dan Marie) yang sudah diracuni oleh surat-surat yang ada dalam paket Sjaalman. Begitu juga Batavus akan menasehati Stern yang sudah terlalu jauh menyimpang. Mereka (orang Jawa) harus kembali kepada Tuhan. Batavus meyakini bahwa segala sesuatu yang dibimbing tangan Tuhan akan menjadi baik. Tuhan akan menjaga mereka dalam kehidupan sementara dan abadi. Terutama tanah di Lebak bisa dibuat sangat cocok ditanami kopi.

    Pendeta Wawelaar berkhutbah. Dalam khutbahnya ia berkata bahwa telah menjadi kehendak Tuhan bahwa kita bangsa Belanda mengharuskan orang Jawa bekerja sekeras-kerasnya, bahkan sampai melampaui batas-batas kemanusiaan dan sesudah itu kita mengirimkan kepada mereka kitab-kitab Injil dan sebagainya.

    “Lihat sajalah,” katanya, “bukankah ada begitu banyak kekayaan di Belanda? Ini karena Iman. Bukankah setiap hari di Prancis terjadi pembunuhan? Itu karena ada Katolik Roma di sana. Bukankah orang Jawa miskin? Mereka kafir. Semakin banyak orang Belanda berurusan dengan orang Jawa, semakin banyak kekayaan yang akan ada di sini, dan semakin banyak kemiskinan di sana.” (hlm. 361)

    Dekker menjawab melalui Stern dengan bersahaja bahwa Wawelaar itu karikatur, yang pantas menjadi guru Kristen yang pandai, ramah dan saleh. Wawelaar itu fiksi, khayal dan bohong-bohongan. “…karena dia adalah pelayan yang giat dan tekun bekerja.” (hlm. 360). Dan orang Jawa bukanlah kafir. (hlm. 190)

    Cerita “Pemecah-Batu Jepang” dikisahkan Havelaar kepada Si Upik Keteh. Di Sumatra berarti “nona kecil”. Gadis kecil yang ditemui Havelaar di Natal. Kepada Si Upik Keteh, Havelaar menceritakan kisah tersebut. Kisah yang diambilnya dari majalah Hindia Belanda. Kisah yang ditulis oleh Jeronimus. Jeronimus adalah nama pena dari Baron van Hoevell, pendeta Batavia yang sering membela bumiputera saat dia jadi anggota parlemen.

    Havelaar tahu di Lebak terjadi banyak kesalahan. Penyalahgunaan kekuasaan. Namun tidak ada yang dapat mengambil tindakan. Havelaar berusaha mengingatkan Adipati Lebak dengan kelembutan. Havelaar tidak ingin kehormatan Lelaki Tua itu tercemar. Havelaar hendak menyelamatkan, memperbaiki, dan bukan menghancurkan. Dia bersimpati terhadap Adipati. Semua orang tahu bahwa ketidakadilan dan pemerasan, tapi tidak ada yang berani mengambil tindakan. Havelaar membantu orang-orang yang berani mengadu kehilangan kerbau. Hal tersebut dilakukannya di malam hari. Namun orang-orang yang berani mengeluh itu dipanggil Adipati, dan mereka bersimpuh di kaki Adipati, memohon ampun. Lalu mereka akan mengatakan bahwa kerbau mereka tidak dirampas dari mereka tanpa bayaran. Mereka percaya akan mendapat ganti dua kali lipat. Mereka juga tidak dipanggil dari lading-ladang mereka untuk bekerja tanpa bayaran di sawah-sawah Adipati; mereka tahu sekali bahwa nantinya Adipati akan membayar mahal untuk tenaga mereka. Mereka mengadu karena kedengkian tanpa dasar, mereka gila, dan memohon agar dihukum karena kekurangajaran yang keterlaluan itu. Ironi.

    Ayah Saijah memiliki kerbau yang biasa digunakannya untukmembajak sawah. Ketika kerbau itu dirampas darinya oleh pejabat distrik Parang Kujang, dia merasa sangat sedih dan tidak mengucapkan sepatah kata pun selama berhari-hari. Masa membajak sudah dekat, dan jika sawahnya tidak digarap tepat pada waktunya, dia khawatir peluang untuk menyemai benih pun akan hilang, dan akhirnya tidak ada padi yang bisa dipotong dan disimpan di dalam lumbung rumah. (hlm. 366)

    Kisah Saijah dan Adinda merupakan kisah tragis yang menimpa rakyat Lebak. Kisah yang menguras air mata. Kisah tentang perampasan. Kisah penderitaan rakyat. Kisah tentang nasib rakyat. Kisah makhluk sejoli yang menjadi gambaran bagi kehidupan umum bangsa kita di bawah telapak kaki penjajah. Kisah sedih yang memikat perhatian. Kisah tentang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Kisah yang didasarkan pada penderitaan dan kesedihan yang sungguh ada dan banyak dialami oleh rakyat di desa-desa. Kisah ini mungkin membosankan bagi yang membaca.

    Saijah dan Adinda tinggal di Badur, bagian dari distrik Parang Kujang. Sebuah dusun di Banten Selatan, di Lebak. Mereka hidup di tengah kemiskinan yang disebabkan oleh kelaliman kepala distrik. Demang Parang Kujang, Wira Kusuma yang suka merampas hak milik penduduk. Saijah telah mengenal Adinda sedari kecil dan mereka berencana akan kawin kemudian. Ayah Saijah tiga kali kehilangan kerbaunya. Ibu Saijah meninggal karena berduka akibat kehilangan kerbau. Saat itulah, ayah Saijah dalam kedukaannya meninggalkan Badur untuk mencari kerja di Distrik Buitenzorg (Bogor). Namun dia dihukum cambuk karena meninggalkan Lebak tanpa surat jalan dan dibawa kembali oleh polisi ke Badur. Dia dipenjarakan karena dianggap gila—dan dikhawatirkan akan mengamuk. Ayah Saijah tidak lama di dalam penjara karena tidak lama berselang dia meninggal.

    Saijah berusia lima belas tahun dan Adinda tiga tahun lebih muda ketika ayah Saijah meninggalkan Badur. Saijah mendengar di Batavia ada banyak pekerjaan. Saijah akan bekerja sebagai kacung-bendi. Saijah mendatangi rumah Adinda dan menyampaikan maksudnya. Diperhitungkan ia akan kembali ke desanya setelah tiga tahun kemudian setelah ia cukup memperoleh uang untuk membeli kerbau dua dan cukup usia untuk menikah. Adinda berjanji akan setia kepadanya dan menanti di bawah ketapang, di pinggir Desa Badur, di tepi hutan kalau kekasihnya pulang nanti.

    Apakah pembaca merasa bosan?
    Baik kita lanjutkan, saya percaya pembaca masih sanggup melanjutkan!

    Tetapi setelah Saijah kembali, dilihatnya rumah Adinda telah hancur, sedang Adinda dengan adik-adik serta ayahnya telah pindah dari kampungnya ke tempat yang lebih aman di daerah Lampung. Mereka lari dari Badur untuk menghindari pemerasan-pemerasan yang dilakukan kepada distrik. Kerbau ayah Adinda telah dirampas. Mereka sekeluarga takut akan menerima hukuman karena tidak sanggup membayar pajak. Sebelum meninggalkan kampung mereka, ibu Adinda meninggal karena sedih. Adik perempuannya yang bungsu juga meninggal karena tidak punya ibu dan tidak punya seorang pun yang menyusuinya.  

    Dalam keadaan hampir gila, karena bingung dan kecewa, Saijah terus mencari tempat pelarian kekasihnya. Ia sampai di Lampung dan bergabung dengan segerombolan pemberontak. Saijah menemukan Adinda sekeluarga di sebuah perkampungan yang terbakar dan semua penduduknya baru saja dibinasakan oleh tentara Belanda. Ia melihat ayah Adinda beserta ketiga saudaranya terbunuh, sedang Adinda sendiri telah menjadi mayat, teraniaya dengan cara mengerikan. Karena penasaran dan putus asa Saijah mendorongkan dirinya ke muka serdadu Belanda  yang sudah siap dengan bedilnya ke arahnya. Saijah mati tertembus bayonet.

    Bagi Batavus Droogstoppel simpati kepada orang Jawa yang tertindas haruslah dibuang jauh-jauh. Bagi mereka yang tidak bekerja seperti penduduk Lebak itu logis tetap miskin, demikian pandangan Batavus. Batavus Droogstoppel harus menemui Sjaalman dan istrinya. Batavus ingin menasehati mereka. Batavus juga berkisah tentang kunjungannya ke Drierbergen bersama istri dan Marie. Bertemu dengan mertuanya, Tuan Last tua. Mereka bertemu dengan seseorang yang pernah bertugas di Hindia Timur dan kini tinggal di rumah pedesaan besar. Si lelaki itu mengenal Sjaalman dan tidak menyukainya. Dia mengatakan bahwa pemerintah bertindak benar dengan memecatnya, karena Sjaalman ini orang yang tidak pernah merasa puas dan suka mengomentari segalanya dan tingkah lakunya tercela.

    Tuan Slijmering, Residen Banten mengirim surat untuk Havelaar. Ia berjanji akan datang ke Rangkas Bitung keesokan harinya untuk merundingkan apa yang seharusnya dilakukan. Havelaar paham apa yang dimaksud dengan ‘perundingan’, pendahulunya, Carolus, telah sering berunding dengan Residen Banten. Havelaar menulis surat. Residen Banten datang. Pertama kali bertemu Bupati, bertanya kepadanya apa yang bisa memberatkan Asisten Residen itu, dan apakah dia—Bupati itu—memerlukan uang. Residen memberinya beberapa lembar. Kemudian menemui Havelaar dan memintanya untuk menarik aduannya soal penyalahgunaan kekuasaan. Havelaar menolak dengan tegas dan sopan. Havelaar akan melayangkan gugatannya ke Gubernur Jenderal.

    Gubernur Jenderal tak menanggapi permohonan audiensi Havelaar. Sibuk. Terlalu sibuk mengurusi kepergiannya untuk pensiun. Havelaar dipindahkan ke Ngawi. Havelaar tidak akan pergi ke Ngawi. Ia menulis surat pemecatannya sendiri. Surat tertanggal 29 Maret 1856. Lalu berturut-turut suratnya tertanggal 23 Mei 1856.

    Namun, Yang Mulia TELAH MEMBENARKAN SISTEM PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN, PERAMPOKAN, DAN PEMBUNUHAN TERHADAP ORANG JAWA YANG MALANG, dan aku mengeluhkan hal itu.
    Itulah yang saya keluhkan!
    Yang Mulia, darah melekat pada uang yang dipotong dari gaji Hindia dengan cara ini! (hlm. 459)

    Harapannya sia-sia. Gubernur Jenderal berangkat tanpa mendengarkan Havelaar. Havelaar berkeliaran dalam keadaan miskin dan terabaikan. Dia terus mencari.

    Kemudian Multatuli mengambil pena. Dia tidak lagi perlu Stern dan menghentikan Droogstoppel. Droogstoppel sebagai produk menyedihkan dari ketamakan kotor dan kemunafikan terkutuk. Tersedak kopi dan minggatlah!

    “Ya, aku, MULTATULI, “yang telah banyak menderita”, aku mengambil alih pena. Aku tidak meminta maaf atas bentuk bukuku, kurasa itu bentuk yang tepat untuk mencapai tujuanku. Tujuan ganda.

    Pertama, aku ingin mewujudkan sesuatu yang mungkin akan disimpan sebagai pusaka suci oleh “si kecil Max” dan saudara perempuannya ketika orang tua mereka sudah mati kelaparan. Aku ingin memberikan kesaksian dengan tulisan tanganku sendiri untuk anak-anak ini.

    Dan kedua, aku akan dibaca! Ya, aku akan dibaca! (hlm. 461)

    Setiap orang harus tahu bahwa orang Jawa diperlakukan dengan buruk. Jika mereka tidak percaya, ia akan menerjemahkan bukunya ke dalam beberapa bahasa yang dikuasainya dan ke dalam bahasa yang sedang dipelajari. Di semua ibu kota, ucapan semacam ini akan terdengar, “Ada segerombolan perampok di antara Jerman dan Sungai Scheldt!” Jika masih tidak berhasil akan dia terjemahkan bukunya ke dalam bahasa di Hindia sebab orang Jawa harus dibantu, secara hukum atau melalui jalan kekerasan jika perlu.

    Akhirnya Multatuli mempersembahkan bukunya kepada Raja William Ketiga. KAISAR dari Kerajaan INSULINDE yang menakjubkan, yang melingkari khatulistiwa bak untaian zamrud! Dan bertanya kepadanya apakah memang kehendak KEKAISARAN-NYA bahwa orang-orang seperti Havelaar harus diciprati lumpur oleh orang-orang seperti Slijmering dan Droogstoppel; dan lebih dari tiga puluh juta RAKYAT nun jauh di sana harus diperlakukan dengan buruk dan mengalami pemerasan atas nama-Nya.    

    Saya tahu pembaca lelah, namun saya mengundang untuk terus membaca kelanjutannya. Saya mohon, teruskanlah membaca, mungkin akan berguna.

    Gaya
    Stern menulis dengan gaya yang segar, alami, pribadi, hidup, dan menarik. Nadanya berubah-ubah dari keras ke lugas lalu lucu dan sarkastik terkadang juga puitis. Douwes Dekker menulis dengan bahasa sehari-hari. Bukan bahasa resmi, bahasa kitab suci. Ia menulis dengan puitis. Sebuah alternatif penulisan yang berbeda dengan kebanyakan penulis pada waktu itu. Semua penulis menulis dengan bahasa elit. Dekker cukup berani menulis dengan gayanya sendiri. Jauh dari halus.

    Gaya penulisannya ditandai dengan gaya seperti “musik dan guntur” yang disebutnya sarkasme. “Ungkapan dukacita yang paling mendalam adalah sarkasme,” ucapnya.

    Latar
    Peristiwa terjadi di Belanda dan Hindia Belanda (Indonesia). Lokasi utamanya terjadi di Kabupaten Lebak yang beribu kota Rangkasbitung. Kini menjadi bagian dari Provinsi Banten. Saijah dan Adinda berlokasi di Badur, di distik Parang Kujang. Multatuli selalu mengingat kepulauan cantik ini dengan menyebutnya Insulinde. Dia banyak bercerita pada deskripsi alam, bahasa, dan budaya.

    Waktu dalam cerita berbeda-beda. Tidak dapat ditentukan secara tepat. Peristiwa Saijah dan Adinda berbeda dengan periode Lebak (1856). Lalu periode 1860 (sekarang dari Batavus dan Stern). Masa lalu dan sekarang saling terkait. Perkenalan dengan Havelaar berada di periode antara 1842 dan 1856.

    Tidak ada pemberitahuan secara kronologis. Saling membutuhkan kilas balik yang berfungsi untuk memperjelas situasi di Hindia Belanda.

    Tokoh
    Eduard Douwes Dekker menempatkan dirinya sebagai tokoh protagonis dalam cerita. Dia menulis dengan menggunakan nama samaran Multatuli dan masuk ke dalam cerita dalam fase yang berbeda: Max Havelaar, Sjaalman, dan Ernest Stern.

    Max Havelaar
    Havelaar adalah lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya ramping dan gerak-geriknya cekatan. Namun, dengan perkecualian bibir atas yang sangat pendek dan ekspresif, serta bola mata biru pucat besarnya—yang seakan menerawang ketika dia sedang dalam keadaan tenang, walaupun memancarkan api ketika dia dipenuhi gagasan besar—tidak ada sesuatu pun yang luar biasa dalam penampilannya. Rambut pirangnya melekat di sekeliling pelipis dan, jika kau melihatnya untuk pertama kali, aku yakin sekali kau tidak akan bisa menyimpulkan bahwa orang yang berada di hadapanmu itu memiliki kualitas langka sehubungan dengan isi kepala dan hatinya. (hlm. 113-114)

    Tentang ciri-ciri Havelaar dapat ditemukan di Bab 6. [Saya percaya pembaca akan membuka Bab 6 dan membacanya]

    Sjaalman
    Ini adalah Douwes Dekker dalam kondisi miskin setelah ia dipecat dari jabatannya. Dia seorang idealis yang sering disalahpahami. Tokoh Sjaalma dihentikan oleh penjual buku Gaafzuiger (Gaaf= talenta, bakat alam, kemampuan bawaan; zuiger=tolol).

    Stern
    Ernest Stern seorang pemuda Jerman. Sentimental. Anak dari rekan bisnis Batavus dan tinggal bersama dia.

    Multatuli
    Nama samaran Eduard Douwes Dekker dalam menulis buku. Mulatuli diambil dari bahasa Latin. Multa= banyak, tuli= menderita. Aku yang telah banyak menderita.

    Batavus Droogstoppel
    Droogstoppel adalah makelar kopi di Amsterdam. Lelaki paruh baya. Seorang borjuis. Dia perwujudan dari seorang pedagang Belanda: hipokrit, tamak, sombong, puritan, dan sangat primordial. Mempunyai dua orang anak Frits dan Marie. Pelayannya bernama Bastiaans. Bastiaans yang tua.

    Batavus merupakan tokoh kontras dari Havelaar. Pandangannya bahwa semua orang harus jujur. Batavus tidak suka novel dan puisi. Puisi dan novel hanya berisi kebohongan menurut Batavus. Dia menuturkan bahwa orang Jawa harus bekerja keras, kalau tidak, ia akan tetap miskin. Dia menggunakan agama untuk menjalankan misinya berdagang.

    Adipati Lebak
    Adipati Karta Nata Nagara adalah lelaki tua yang sopan dan baik hati. Ia mempunyai banyak utang sebab banyak tanggungannya. Ia membiarkan orang-orang melakukan perampokan dan melakukan kerja tanpa bayaran untuknya. Beberapa penduduk Lebak putus asa dan melarikan diri ke daerah tetangga: Lampung.

    Saijah dan Adinda
    Saijah dan Adinda merupakan kisah tersendiri. Multatuli memberikan contoh praktik eksploitasi melalui kisah ini. Kisah penduduk asli yang diperlakukan dengan sewenang-wenang.

    Pendeta Wawelaar
    Dia menyarankan agama dalam usahanya untuk melegitimasi penindasan. Gambaran dari pendeta bodoh yang suka berkhutbah untuk menjustifikasi proyek kolonial demi mengeruk kekayaan. Kekayaan yang akan diangkut ke Belanda dari Indonesia. Dia ingin agar orang Jawa bekerja. Dia seorang Belanda.

    Tine dan Max
    Inilah keluarga Havelaar. Max kecil adalah putra mereka. Digambarkan lucu. Tine, istri Havelaar. Dia berhati emas dan mencintai Havelaar. Buku ini didedikasikan untuk Tine—pahlawati Max Havelaar.

    Residen Slijmering
    Tipe pejabat yang selalu sibuk. Namun abai terhadap tugasnya. Slijmering marah karena Havelaar menuduh Adipati Lebak berbuat sewenang-wenang tidak memberitahukannya terlebih dahulu. Dia tidak memiliki rasa. Suka menyuap. Dia mencoba berbagai cara untuk membungkam Havelaar.

    Verbrugge
    Dia penyambung antara Havelaar dan bawahannya. Dia cakap, sederhana, hangat, suka membantu. Dia khawatir Havelaar akan mengorbankan keselamatan dan kariernya.

    Duclari
    Periang. Komandan militer yang ramah. Suka berburu. Pria yang lucu namun kemudian agak congkak.

    Beberapa nama yang dipergunakan seringkali menunjukkan karakteristik bagi orang yang dilukiskan: Batavus Droogstoppel (Batavus Si Gersang Hati), Sjaalman (Orang Pakai Syal), Slijmering (Si Lidah Bergetah), Wawelaar (Tukang Ngoceh).

    Situasi
    Situasi penting dalam Max Havelaar dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, pertemuaan Batavus dengan Sjaalman. Setelah pertemuan ini Batavus mendapatkan paket berisi dokumen-dokumen. Dokumen yang menjadi bahan Stern menulis. Kedua, ketika Havelaar melancarkan tuduhan atas Bupati Lebak dan menantunya Demang Parang Kujang. Hal ini yang menyebabkan Havelaar dipindahkan dan kemudian mengundurkan diri. Ketiga, saat Multatuli mengambil pena. Setelah kejadian ini dijelaskan tujuan dari buku.


    Tema
    Tema buku ini berpusat pada perjuangan melawan eksploitasi penduduk Hindia Belanda dan mengejar perbaikan. Seperti terlihat pada Bab 5 halaman 89. Juga bisa dilihat pada Bab 8 halaman 153-168 (Pidato Havelaar). Juga halaman 462: “Bagus! Bagus!... Semuanya itu benar! … tapi orang Jawa diperlakukan dengan buruk!”

    Motif
    Motif buku ini terlihat jelas pada “Drama yang Tidak Dipublikasikan” di awal buku. Halaman 15-16. Lothario menggambarkan penduduk asli. Sementara Hakim menrujuk pada Negara Belanda dan Bupati Lebak.

    Cetakan
    Max Havelaar telah diterjemahkan setidaknya ke dalam 40 bahasa di dunia. Beberapa bahasa dan negara di antaranya: Perancis, Jerman, Inggris, Denmark (1901), Finlandia, Swedia (1902), Norwegia, Polandia (1903, 1949, dan 1956), Slovenia (1946 dan 1947), Jerman Timur (1948, 1953, 1959), Hungaria (1950 dan 1955), Slovakia (1954), Armenia (1959), Spanyol, Portugis, Italia, Rusia (1908, 1956, dan 1957), Cina, Ceko, Urdu (1983), Sardinia, Korea (1994), Jepang, Vietnam, dan Indonesia. Tentang cetakan Max Havelaar dapat dilacak dalam tulisan Benedict Anderson: Max Havelaar (Multatuli, 1860).

    Tiga negara pertama yang paling konsisten menerbitkan Max Havelaar. Cetakan berbahasa Inggris yang enak dibaca dan paling menarik, yaitu terjemahan Baron Alphonse Nahuys. Karena dilengkapi dengan peta Jawa. Cetakan inilah yang dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh penerbit Qanita, Mizan, Bandung, Mei 2014. Cetakan yang sedang saya baca, yang saya gunakan untuk menulis ini.

    Max Havelaar cetakan pertama berbahasa Indonesia terbit tahun 1972. Bertepatan dengan Tahun Buku Internasional. Diterbitkan oleh penerbit Djambatan. H.B. Jassin sebagai penerjemah dari bahasa Belanda. Kemudian menyusul cetakan kedua, 1973 dengan penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan. Cetakan ketiga, keempat, dan kelima (1974, 1977, dan 1981) terbit dalam bentuk ringkas, edisi pelajar. Cetakan keenam (1985) kembali ke edisi lengkap seperti cetakan kedua. Berturut-turut setelahnya, cetakan ketujuh (1991), cetakan kedelapan (2000), dan terakhir cetakan kesembilan (2005) dalam bentuk edisi lengkap. 

    Pada tahun 2008 penerbit Narasi, Yogyakarta menerbitkan Max Havelaar. Max Havelaar terbitan Narasi berdasarkan terbitan Bahasa Inggris dari Penguin Classics (1987). Penerjemah Max Havelaar terbitan Narasi yaitu Andi Tenri Wahyuni.

    Atas bantuan Nederlands Letterefonds Dutch Foundation for Literature bekerjasama dengan Majalah Sastra Horison, penerbit Padasan mencetak ulang Max Havelaar edisi pertama, 1972. Terjemahan H.B. Jassin dengan berbagai penambahan dan pengantar. Hal tersebut terjadi pada November 2013. Dicetak dalam bentuk mewah dengan harga mahal.

    Mei 2014 hadir cetakan pertama Max Havelaar dari penerbit Qanita, group PT Mizan Pustaka. Qanita mempersembahkan Max Havelaar sebagai satu buku yang penting dalam khazanah sastra klasik Indonesia. Penerjemah, Ingrid Dwijani Nimpoeno menerjemahkan Max Havelaar dari edisi bahasa Inggris terjemahan Baron Alphonse Nahuys.

    Pada Agustus 2014, Max Havelaar penerbit Qanita ini cetak ulang yang kedua.

    Di laman web Museum Multatuli dapat ditemukan setidaknya 600 daftar cetakan Max Havelaar. Pada 2 Februari 2010, di acara mengenang 150 tahun novel Max Havelaar, Universitas Amsterdam dan Multatuli Genootschap mengajukan permohonan resmi kepada PBB agar buku Max Havelaar masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO, lembaga PBB yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

    Penulis
    Multatuli, nama sebenarnya Eduard Douwes Dekker. Amsterdam, 2 Maret 1820 tempat dan tanggal ia lahir. Tahun 1838 pergi ke Hindia Belanda (Indonesia). Bekerja untuk pemerintah Belanda di Jawa, Sumatra, Menado, dan Ambon sebagai asisten residen. Kawin pada  10 April 1846 di Cianjur dengan Everdina van Wijnbergen (Tine). Sekembali cuti dari Eropa diangkat menjadi asisten residen di Lebak (4 Januari 1856). Mengajukan berhenti karena pertikaian mengenai prinsip. Surat minta berhenti ditulisnya pada 29 Maret 1856. Tiga bulan sejak diambil sumpah 21 Januari atau delapan puluh empat hari sejak hari pertama di Lebak. Tahun-tahun terakhir ia tinggal di Jerman. Meninggal di Nieder-Ingelheim tanggal 19 Februari 1887.

    Karya-karya pentingnya: Max Havelaar (1860), Minnebrieven (1861), Ide-Ide: 7 Jilid (1862-1877) di dalamnya termuat Vortenschool dan Woutertje Pieterse, Duizend-en-eenige hoofdstukken over specialiteiten (1871), dan Milioenenstudien (1873).
      
    Ulasan
    Setiap tanggal 14 Mei kita memperingati hari lahirnya Max Havelaar. Karya besar dari pengarang Eduard Douwes Dekker yang lebih dikenal dengan nama Multatuli. Multatuli menulis Max Havelaar di sebuah loteng kamar penginapan bernama “In de kline Prins” di Jalan La Fourche No. 52 Belgia. Max Havelaar  selesai ditulis pada akhir Oktober 1859. Novel tersebut ditulis rapi dan dijilid. Namun belum diterbitkan. Baru kemudian pada 14 Mei 1860 novel Max Havelaar terbit dalam bentuk buku. Multatuli menulis Max Havelaar dalam kondisi miskin dan lapar.

    Tahun 2014 ini, Max Havelaar genap 154 tahun. Pada 8 Juni 2014 lalu, Taman Baca Multatuli melaksanakan kegiatan peringatan Max Havelaar untuk yang keempat kalinya. Kegiatan tahunan sebagai jeda di sela-sela menyuntukki Max Havelaar dalam bentuk reading group. Kelompok baca. Reading group Max Havelaar di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kec. Sobang, Kab. Lebak, Banten ini dimulai sejak 23 Maret 2010. Membaca Max Havelaar secara pelan. Membaca mendalam. Setiap Selasa sore dengan durasi 1,5-2 jam. Selama waktu tersebut kegiatan membaca hanya berkisar antara 3-6 halaman. Pembacaan Max Havelaar sudah dua kali tamat dan sedang mengulang pembacaan ketiga. Pembacaan pertama, tamat 11 bulan dengan 37 pertemuan. Pembacaan kedua, tamat 2 tahun 4 bulan dengan 78 pertemuan. Pembacaan ketiga, sudah memasuki pertemuan ke-27.

    Peringatan hari lahirnya Max Havelaar sebaiknya juga dijadikan tradisi yang akan terus diulang pada setiap tahunnya. Juga di tempat yang lain. Ada orang bertanya: mengapa?

    Multatuli dan Max Havelaar penting sebagai pengarang, pengarang besar yang secara kebetulan berkebangsaan Belanda. Negeri kecil tempat ia lahir. Mengapa Multatuli dan Max Havelaar harus diperingati. Mengapa tidak memperingati Liebig, Moliere, Schiller, Goethe, Heine, Lamartine, Thiers, Say, Malthus, Scialoja, Smith, Shakespeare, Byron, Vondel ….

    Jawabannya, karena di samping kebesarannya sebagai pengarang, Multatuli besar pula sebagai seorang humanis. Multatuli yang menuntuk keadilan bagi rakyat Indonesia. Dialah orang pertama yang mengatakan, bahwa orang Indonesia pun sama manusianya dengan orang kulit putih, manusia dengan segala sifat-sifat dan konsekuensi-konsekuensinya.

    Oleh karena itu, ceritaku hanya ditujukan kepada mereka yang mampu meyakini hal yang sulit bahwa di balik permukaan hitam itu ada jantung yang berdenyut-denyut, dan bahwa orang yang diberkahi warna kulit putih dan peradaban yang mengikutinya—yaitu kemurahan hati, pengetahuan perdagangan, agama, kebajikan, dan lain-lain—bisa menggunakan sifat-sifat orang kulit putih ini dengan lebih baik daripada mereka yang kurang diberkahi dalam hal warna kulit dan kecerdasan mental. (hlm. 353) 

    Multatuli yang pertama kali berteriak bahwa “Orang Jawa diperlakukan dengan buruk!”, “Orang Jawa dieksploitasi secara berlebihan!”. Multatuli menuntut hak dan keadilan bagi “orang Jawa” bagi bangsa Indonesia. Bagi bangsa “pribumi”. Multatuli melakukan hal tersebut dengan gagah dan penuh keberanian. Ia mengorbankan kedudukan dan karirnya untuk memasuki kehidupan yang bahkan hingga kematiannya penuh kepahitan, kemelaratan, dan penderitaan.

    Multatuli jelas menentang penghisapan dan penindasan. Multatuli menuntut kasih sayang, perikemanusiaan, dan pengertian. Meskipun belum kepada terhapusnya penjajahan. Akan tetapi, Multatuli telah berupaya untuk membuka mata dan pikiran dunia tentang busuknya kolonialisme di Hindia serta memberi inspirasi kepada bangsa Indonesia untuk merdeka.

    Kepada Multatuli, bangsa Indonesia berutang budi. Karena itu kalau ada pengarang Belanda yang peling dikenal di Indonesia dialah Multatuli. R.A Kartini mendapat pengaruh Multatuli. Juga para pemimpin lainnya.

    Lalu, apakah sebenarnya yang diperjuangkan Multatuli? Apakah yang digugat oleh Multatuli?

    Multatuli menggugat tanam paksa yang memberi keuntungan berlimpah kepada kaum penjajah. Ia menggugat liberalisme yang saat itu sedang dipropagandakan. Ia menggugat rodi, menggugat permintaan paksa dan korupsi dengan menggunakan jabatan.

    “Max mengetahui adanya banyak sarana untuk mendatangkan roti ke Rangkas Bitung tanpa harus membayar; tapi KERJA TANPA BAYARAN, penyakit kanker Hindia itu sangat mengerikan bagi Havelaar.” (hlm. 292)

    Di tempat kemiskinan atau bencana kelaparan menciutkan jumlah penduduk, ini dikatakan sebagai paceklik, kekeringan, hujan, atau sesuatu yang lain, dan TIDAK PERNAH KARENA SALAH PEMERINTAHAN.” (hlm. 301)

    “Selisih antara uang yang dikeluarkan dan nilai yang mereka peroleh dengan uang itu DIPENUHI DENGAN KERJA PAKSA.” (hlm. 324) 

    Multatuli memiliki arti politik penting ke arah timbulnya perubahan-perubahan cara pemerintahan di Indonesia. Meskipun tentang besar dan seberapa jauh pengaruhnya masih dapat diperdebatkan. Tapi di antara kita, bukankah masih teringat kepada Pidato Havelaar di hadapan para pemimpin Lebak, juga petikan-petikan kisah Saijah dan Adinda. Itulah sedikit di antara yang memengaruhi hati dan pikiran kita. Bukankah kesadaran di hati dan pikiran kita timbul dari Multatuli, dari Max Havelaar?

    Masihkah ada pertanyaan mengapa kita memperingati Multatuli atau Max Havelaar? Kita tidak perlu lagi bertanya: mengapa?

    Penerbitan Max Havelaar oleh Qanita dengan penerjemahan yang enak dibaca, bahasa yang mudah dipahami, pemberian keterangan pada Bab tertentu, keterangan atas puisi yang bukan karya Multatuli, ini adalah upaya. Mengambil makna dan pengalaman yang akan membuka jendela inspirasi. Bahwa seorang yang jenius, Multatuli, yang besar akan bertambah lebih besar lagi, dan makin diakui kebesarannya. Multatuli sebagai pengarang, humanis, dan berjasa bagi negeri kita: INDONESIA.***

    Bandung, 19 September 2014
    UBAIDILAH MUCHTAR, Pemandu reading group Max Havelaar di Taman Baca Multatuli, Lebak, Banten.

    Catatan: Tulisan ini sebagai bahan diskusi novel Max Havelaar yang dilaksanakan oleh Mizan bekerja sama dengan Perpustakaan UI, Senin, 22 September 2014.




    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    2 komentar:

    1. bagus banget tulisannya, sebagai bahan saya belajar, terima kasih sharingnya sangat bermanfaat -salam

      ReplyDelete
    2. Buku fullnya yg gratis download dimana yah ?

      ReplyDelete

    Item Reviewed: MAX HAVELAAR (Multatuli, 2014) Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top