Kamis, 22 Mei 2014 | 16:35 WIB
Sumber: http://travel.kompas.com/read/2014/05/22/1635465/Meratapi.Rumah.Multatuli
TANYAKANLAH kepada sebagian orang tentang Multatuli. Kemungkinan besar ingatan mereka masih segar tentang kisah tanam paksa di Indonesia oleh Belanda yang diramu dalam novel ”Max Havelaar” tulisan Eduard Douwes Dekker.
Multatuli adalah nama samaran Eduard Douwes Dekker yang berkebangsaan Belanda. Seperti dikutip dari tulisan Myoung-suk Chi di laman www.iias.nl, Multatuli yang berarti ”Aku telah banyak menderita” merupakan identitas pseudonym Eduard Douwes Dekker.
Novel Max Havelaar bercerita tentang penderitaan rakyat akibat praktik penjajahan Belanda yang mengisap kekayaan dan kekuatan rakyat. Kisah yang turut mengubah sejarah penjajahan Belanda di Indonesia.
”Tapi, apa benar ini rumahnya,” kata Suliman (50), Sabtu (29/3/2014), saat melihat sebuah bangunan tak terawat di dalam lingkungan RSUD Dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak, Banten. Hari itu Suliman mengantar istrinya, Juha (39), ke rumah sakit tersebut untuk memeriksakan kondisi rahimnya.
Di pelataran depan bangunan tersebut, sejumlah keluarga pasien
menggunakannya untuk sekadar melepas lelah. Mereka duduk, rebahan,
bahkan tidur di tempat tersebut. Rumah Tinggal Eduard Douwes Dekker.
Akan tetapi, tidak seorang pun yang siang itu ditemui mengetahui tentang Multatuli, Max Havelaar, Eduard Douwes Dekker, atau fakta bahwa itu merupakan lokasi bersejarah. Tidak Ade Karyadi (38) yang tengah menunggui orangtuanya, tidak juga Deden (22) yang sedang menunggu Wahyudi (20), adiknya yang dirawat di rumah sakit itu.
Menurut Ade, tempat itu dipilih oleh keluarga pasien untuk berlindung dari hujan. ”Sebelumnya banyak sampah berserakan sehingga kami harus membersihkannya terlebih dahulu,” katanya.
Di depan bangunan itu dipasang dua papan pengumuman. Papan pertama bertuliskan ”Cagar Budaya Rumah Multatuli”. Sementara papan di sebelahnya bertuliskan ”Peringatan Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya”.
Ia kemudian tekun membaca keterangan dalam papan pengumuman itu. Untuk sejenak, ingatannya tercampur antara Eduard Douwes Dekker dan tokoh lain bernama Ernest Douwes Dekker alias Setiabudi yang bersama Dr Soetomo dan dr Tjipto Mangoenkoesoemo merupakan tiga serangkai pergerakan Indonesia.
”Astagfirullahaladzim,” kata Suliman saat kami melongok bagian belakang bangunan itu.
Bagian atap yang rusak, aroma pesing, dan tembok yang terkelupas adalah
sebagian hal yang dilihat kemudian. Suliman yang mengingat Douwes Dekker
dari buku pelajaran di bangku sekolah dasar itu berulang kali
mengutarakan kalimat-kalimat penyesalan. Rumah Tinggal Eduard Douwes Dekker.
Padahal, imbuh Suliman, peninggalan tersebut mestinya bisa dibangun menjadi lokasi wisata sejarah. ”Agar anak cucu kita bisa mengetahui,” ujarnya.
Jaraknya yang relatif tidak terlalu jauh dari Jakarta dan bisa ditempuh dengan moda transportasi bus, kereta api, atau kendaraan pribadi juga menjadi faktor lain yang mestinya membuat lokasi itu beroleh perhatian lebih. Akan tetapi, hal itu ternyata bukan perkara mudah.
Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang Yudi Wahyudin mengatakan, upaya merekonstruksi bangunan itu pernah dilakukan antara Pemerintah Indonesia dan Belanda sejak beberapa tahun lalu. Namun, karena keterbatasan data yang dimiliki, hal itu masih belum dilanjutkan.
Yudi menambahkan, saat ini bangunan asli yang menjadi rumah tinggal Eduard Douwes Dekker sudah tidak ada lagi. Ia hanya memastikan bahwa lokasi tersebut dahulu memang menjadi rumah tinggal tokoh tersebut.
Meski demikian, untuk masa yang belum diketahui sejak kapan, di atas
lokasi tersebut kemudian didirikan bangunan yang sekarang. ”Bentuk
bangunan aslinya seperti apa, luasnya seberapa, itu masih perlu
ditelusuri lebih lanjut,” kata Yudi. Rumah Tinggal Eduard Douwes Dekker.
Ia menjelaskan, upaya ekskavasi lanjutan serta melakukan rekonstruksi guna menjadikannya sebagai lokasi kunjungan wisata budaya dan sejarah mesti menunggu kelengkapan data tersebut. Menurut Yudi, data tersebut terutama dimiliki Belanda karena koleksi arsip mereka yang relatif lebih lengkap.
Itu termasuk koleksi sketsa atau foto yang menggambarkan bentuk bangunan tersebut yang setidaknya bisa membantu upaya rekonstruksi fasad depan bangunan. Agaknya, nama Multatuli masih akan menjalani tafsir sebenarnya dalam beberapa waktu ke depan. (Ingki Rinaldi)
Sumber: http://travel.kompas.com/read/2014/05/22/1635465/Meratapi.Rumah.Multatuli
TANYAKANLAH kepada sebagian orang tentang Multatuli. Kemungkinan besar ingatan mereka masih segar tentang kisah tanam paksa di Indonesia oleh Belanda yang diramu dalam novel ”Max Havelaar” tulisan Eduard Douwes Dekker.
Multatuli adalah nama samaran Eduard Douwes Dekker yang berkebangsaan Belanda. Seperti dikutip dari tulisan Myoung-suk Chi di laman www.iias.nl, Multatuli yang berarti ”Aku telah banyak menderita” merupakan identitas pseudonym Eduard Douwes Dekker.
Novel Max Havelaar bercerita tentang penderitaan rakyat akibat praktik penjajahan Belanda yang mengisap kekayaan dan kekuatan rakyat. Kisah yang turut mengubah sejarah penjajahan Belanda di Indonesia.
”Tapi, apa benar ini rumahnya,” kata Suliman (50), Sabtu (29/3/2014), saat melihat sebuah bangunan tak terawat di dalam lingkungan RSUD Dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak, Banten. Hari itu Suliman mengantar istrinya, Juha (39), ke rumah sakit tersebut untuk memeriksakan kondisi rahimnya.
Akan tetapi, tidak seorang pun yang siang itu ditemui mengetahui tentang Multatuli, Max Havelaar, Eduard Douwes Dekker, atau fakta bahwa itu merupakan lokasi bersejarah. Tidak Ade Karyadi (38) yang tengah menunggui orangtuanya, tidak juga Deden (22) yang sedang menunggu Wahyudi (20), adiknya yang dirawat di rumah sakit itu.
Menurut Ade, tempat itu dipilih oleh keluarga pasien untuk berlindung dari hujan. ”Sebelumnya banyak sampah berserakan sehingga kami harus membersihkannya terlebih dahulu,” katanya.
Di depan bangunan itu dipasang dua papan pengumuman. Papan pertama bertuliskan ”Cagar Budaya Rumah Multatuli”. Sementara papan di sebelahnya bertuliskan ”Peringatan Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya”.
Ia kemudian tekun membaca keterangan dalam papan pengumuman itu. Untuk sejenak, ingatannya tercampur antara Eduard Douwes Dekker dan tokoh lain bernama Ernest Douwes Dekker alias Setiabudi yang bersama Dr Soetomo dan dr Tjipto Mangoenkoesoemo merupakan tiga serangkai pergerakan Indonesia.
”Astagfirullahaladzim,” kata Suliman saat kami melongok bagian belakang bangunan itu.
Padahal, imbuh Suliman, peninggalan tersebut mestinya bisa dibangun menjadi lokasi wisata sejarah. ”Agar anak cucu kita bisa mengetahui,” ujarnya.
Jaraknya yang relatif tidak terlalu jauh dari Jakarta dan bisa ditempuh dengan moda transportasi bus, kereta api, atau kendaraan pribadi juga menjadi faktor lain yang mestinya membuat lokasi itu beroleh perhatian lebih. Akan tetapi, hal itu ternyata bukan perkara mudah.
Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang Yudi Wahyudin mengatakan, upaya merekonstruksi bangunan itu pernah dilakukan antara Pemerintah Indonesia dan Belanda sejak beberapa tahun lalu. Namun, karena keterbatasan data yang dimiliki, hal itu masih belum dilanjutkan.
Yudi menambahkan, saat ini bangunan asli yang menjadi rumah tinggal Eduard Douwes Dekker sudah tidak ada lagi. Ia hanya memastikan bahwa lokasi tersebut dahulu memang menjadi rumah tinggal tokoh tersebut.
Ia menjelaskan, upaya ekskavasi lanjutan serta melakukan rekonstruksi guna menjadikannya sebagai lokasi kunjungan wisata budaya dan sejarah mesti menunggu kelengkapan data tersebut. Menurut Yudi, data tersebut terutama dimiliki Belanda karena koleksi arsip mereka yang relatif lebih lengkap.
Itu termasuk koleksi sketsa atau foto yang menggambarkan bentuk bangunan tersebut yang setidaknya bisa membantu upaya rekonstruksi fasad depan bangunan. Agaknya, nama Multatuli masih akan menjalani tafsir sebenarnya dalam beberapa waktu ke depan. (Ingki Rinaldi)
0 komentar:
Post a Comment