"Kita bersuka cita bukan karena memotong padi;
Kita bersuka cita karena kita memotong padi yang kita tanam sendiri."
Kita bersuka cita karena kita memotong padi yang kita tanam sendiri."
Dua kalimat dalam potongan pidato seorang
mantan Asisten Lebak, Banten, menjadi salah satu jenis mantra yang
berhasil menyihir sebuah zaman. Satu dari sekian banyak tipologi manusia
yang hidup pada abad 19, sekaligus menjadi ciri khas dalam warna
sejarah kekuasaan Belanda di tanah Nusantara. Seorang pria yang berdiri
bukan hanya bertumpu pada bara idealisme, tapi juga beralaskan rasa
kemanusiaan yang begitu dalam.
Dibandingkan nobel, pria itu mendapatkan
lebih dari sebuah penghargaan. Keluasan berpikir, ketajaman nurani,
hidup, dan tumbuh dengan kebebasan penuh, nyatanya berhasil menguar
sampai saat ini. Sampai banyak orang di kemudian hari menjadikan apa
yang ia lakukan sebagai bentuk pembebasan itu sendiri. Kebebasan untuk
menggagas, kebebasan untuk berkehendak merdeka.
Begitu menarik ketika kita berani menguak
setiap sisi dalam buku ini. Mulai dari bentang sejarah hingga sajian
sastra yang mau tidak mau, suka tidak suka, ternyata punya pengaruh
besar terhadap khazanah kesusastraan Indonesia. Sastra dan sejarah,
keduanya saling berkelindan, dan tentu saja, bukanlah stuiversroman seperti yang dilontarkan Roolvink. Karena Max Havelaar
lahir dari napas kebenaran dan keberanian. Ya! Berani! Maka untuk
membaca dan mengisahkannya kembali, Anda hanya butuh satu modal. Satu
saja, dan itu amat sederhana; berani berbuat benar dengan tindakan
tepat.
Sisi Pertama: Perseptif Realisme
Saya tidak akan banyak membahas isi bukunya (kisah di dalamnya), ataupun profil asli penulisnya, karena akan lebih asyik jika Anda membaca langsung dan bisa merasakan sendiri bagaimana ketidakteraturan seorang Multatuli menuliskan kisah demi kisah dengan sudut pandang yang cukup membingungkan.
Saya tidak akan banyak membahas isi bukunya (kisah di dalamnya), ataupun profil asli penulisnya, karena akan lebih asyik jika Anda membaca langsung dan bisa merasakan sendiri bagaimana ketidakteraturan seorang Multatuli menuliskan kisah demi kisah dengan sudut pandang yang cukup membingungkan.
Multatuli (nama pena dari Eduard Douwes
Dekker) pun mengakui sendiri bahwa ia tak pandai menulis. Tapi nyatanya,
hasil tulisannya memberi kesan baru dalam kesusastraan di Belanda.
Padahal, sebelum Multatuli muncul dengan Max Havelaarnya,
tulisan-tulisan yang beredar dan membudaya di negeri kincir angin itu
didominasi oleh sastra klasik, bersumber dari alkitab (kitab keagamaan).
Tentu, bisa dibayangkan bahasa yang ada pada saat itu tak mudah
dipahami masyarakat secara luas, atau dengan kata lain, terlalu ekslusif
dan terkesan “mahal”.
Hingga Multatuli mendobrak zaman dengan
Max Havelaar yang disajikan secara merakyat. Bahasa yang digunakan
adalah bahasa keseharian, percakapan yang biasa dilakukan oleh
masyarakat. Bahkan, Pramoedya Ananta Toer (Pram) ternyata memiliki latar
sejarah sastra yang tak bisa lepas dari jejak Multatuli. Model
penyajian kisah kehidupan pada masa, situasi, dan kondisi yang tak jauh
berbeda dari zaman Multatuli, mudah ditemukan dalam Tetralogi Pulau
Buru. Dan empat buku tebal itu sukses melambungkan nama Pram di kancah
internasional.
Apa yang kemudian membuat karya Multatuli
melambung tinggi, hingga Pram berani berkata bahwa Max Havelaar adalah
kisah yang membunuh kolonialisme, adalah tentang apa yang saya katakan
di awal tadi. Keberanian.
Laiknya Snowden, Multatuli telah
membongkar skandal yang belum diketahui orang-orang. Meskipun saya rasa,
ada beberapa hal yang berbeda jauh dari keduanya, Snowden dan
Multatuli. Terlepas dari motif, konspirasi, atau alasan apapun yang
selama ini simpang siur meramaikan opini masyarakat. Mengapa pada
akhirnya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker mengasingkan diri ke Jerman
hingga akhir hayatnya, sedangkan Snowden, bukannya mengasingkan diri,
tapi santai berpelesir ke tempat rekreasi dengan mudah setelah
membongkar permainan busuk para penguasa. Setidaknya, mereka berupaya
untuk menembus kenyataan yang tak tampak di permukaan.
Multatuli menuliskan novel berjudul Max
Havelaar, diadaptasi dari kisah nyata yang terjadi pada dirinya sendiri
selama 15 tahun tinggal di Indonesia, pada masa penjajahan Belanda.
Novel Max Havelaar merupakan tulisan pertama yang membeberkan kepada
dunia mengenai penindasan kolonialisme di Hindia Belanda.
Sisi Kedua: Konsepsi Sastra dan Posisi Pengarang
Pada dasarnya, karya sastra “tidak berbeda” dengan karya sejarah, filsafat, atau sosiologi. Kesemuanya mengangkat bahan yang sama; masalah manusia dan kemanusiaan. Yang membedakannya adalah bagaimana bahan yang sama itu diolah, disajikan, dan diberi penekanan lewat sudut pandang masing-masing. Sejarah, misalnya, mencoba merekonstruksi peristiwa manusia dan kemanusiaan yang terjadi pada masa lalu. Filsafat mencoba mengangkat hakikat keberadaan manusia lewat uraian-uraian rasional, logis, dan sistematik. Adapun sosiologi, mencoba mengangkat keberadaan individu dalam kaitannya dengan individu lain dan lingkungan masyarakat dan kebudayaannya.
Pada dasarnya, karya sastra “tidak berbeda” dengan karya sejarah, filsafat, atau sosiologi. Kesemuanya mengangkat bahan yang sama; masalah manusia dan kemanusiaan. Yang membedakannya adalah bagaimana bahan yang sama itu diolah, disajikan, dan diberi penekanan lewat sudut pandang masing-masing. Sejarah, misalnya, mencoba merekonstruksi peristiwa manusia dan kemanusiaan yang terjadi pada masa lalu. Filsafat mencoba mengangkat hakikat keberadaan manusia lewat uraian-uraian rasional, logis, dan sistematik. Adapun sosiologi, mencoba mengangkat keberadaan individu dalam kaitannya dengan individu lain dan lingkungan masyarakat dan kebudayaannya.
Lalu, bagaimanakah dengan karya sastra?
Dalam hal inilah uniknya kedudukan karya sastra. Ia dapat memanfaatkan
fakta historis, pemikiran filosofis, atau fakta sosiologis. Malah, ia
juga dapat menggabungkan ketiganya sekaligus. Saya berani berkata bahwa
Multatuli tidak hendak menulis dengan pilihan-pilihan bahasa maupun
teknik menulis yang menyajikan keindahan estetik, sebagaimana karya
sastra pada umumnya. Ia hanya menulis. Tahu dan melihat langsung
kebusukan yang ditemukan, kemudian menjerit melalui tinta dan
kertas-kertas.
Recreatio!
Penciptaan kembali suatu peristiwa dalam kehidupan, menjadi sesuatu yang punya makna bagi kehidupan manusia. Karya sastra yang lahir dari tangan Multatuli mungkin juga sebagai tanggapan atas kondisi sosial kultural yang terjadi di sekelilingnya. Sebagai tanggapan, niscaya ada kehendak untuk menyampaikan sesuatu atau menawarkan pesan tertentu. Di sinilah seorang sastrawan (karena kemudian Mulatuli dianggap telah menjadi pendobrak bagi lahirnya sebuah kebaruan dalam khazanah sastra dunia, maka menjadi boleh ia disebut sebagai sastrawan) sering memainkan peran sosialnya.
Penciptaan kembali suatu peristiwa dalam kehidupan, menjadi sesuatu yang punya makna bagi kehidupan manusia. Karya sastra yang lahir dari tangan Multatuli mungkin juga sebagai tanggapan atas kondisi sosial kultural yang terjadi di sekelilingnya. Sebagai tanggapan, niscaya ada kehendak untuk menyampaikan sesuatu atau menawarkan pesan tertentu. Di sinilah seorang sastrawan (karena kemudian Mulatuli dianggap telah menjadi pendobrak bagi lahirnya sebuah kebaruan dalam khazanah sastra dunia, maka menjadi boleh ia disebut sebagai sastrawan) sering memainkan peran sosialnya.
Sisi Ketiga: Licentia Poetica (Kebebasan Berkreasi)
Kebebasan berkreasi dimanfaatkan para pengarang untuk menghasilkan berbagai kebaruan. Lewat kebebasan itulah, Multatuli merasa dapat “bebas sebebas-bebasnya” untuk mengungkap apa saja yang terlintas dalam perasaan dan pikirannya. Meskipun setelah itu ia dicekal oleh pemerintah Belanda karena pengaruh hebat yang ditimbulkan dari tulisannya.
Kebebasan berkreasi dimanfaatkan para pengarang untuk menghasilkan berbagai kebaruan. Lewat kebebasan itulah, Multatuli merasa dapat “bebas sebebas-bebasnya” untuk mengungkap apa saja yang terlintas dalam perasaan dan pikirannya. Meskipun setelah itu ia dicekal oleh pemerintah Belanda karena pengaruh hebat yang ditimbulkan dari tulisannya.
Pertama, Multatuli adalah anggota
masyarakat, lahir dan besar dalam satu lingkungan masyarakat tertentu,
dengan kaidah, norma, hukum, dan undang-undang yang tak bisa lepas
begitu saja. Dalam kaitan dengan hal itu, kebebasan berkreasi seorang
sastrawan seyogianya diungkapkan lewat simbolisasi-simbolisasi
terselubung yang maknanya dapat ditafsirkan secara khas, sekaligus
universal.
Ada hal-hal dalam sikap Multatuli yang
kemudian tak sedikit menuai kritik. Misalnya, ia hanya mampu
menelanjangi bagaimana rupa orang Jawa –yang dalam konteks ini bukan
mengarah pada suku Jawa, tapi yang dimaksud adalah orang Hindia-Belanda
secara keseluruhan atau Indonesia– ketika itu saat menghadapi kemelut
penjajahan, tanpa pernah turun langsung, tanpa pernah berbuat, tak ada
kontribusi apapun kepada yang terjajah di sekelilingnya.
Kedua, selain sebagai anggota masyarakat,
Multatuli juga warga negara yang berada di bawah kekuasaan politik
pemerintah. Sebagai warga negara, ada ketentuan politik tertentu yang
hendak dijalankan pemerintah. Jika ada karya sastra yang bertentangan
dengan politik yang hendak dijalankan pemerintah itu, maka jangan heran
jika kemudian muncul pelarangan atas karya yang bersangkutan.
Ada yang dijunjung tinggi: kebenaran,
kejujuran, moralitas, dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Melalui
tulisan, sesungguhnya penulis hendak mengajak masyarakat guna
meningkatkan nilai-nilai moralitas, memperhalus etika agar lebih berbudi
luhur, dan mendorong peningkatan peradaban manusia. Menurut hemat saya,
Multatuli hanya ingin jujur dengan apa yang dilihatnya. Tak ada sudut
pandang sastra yang ia lihat. Jika kemudian karyanya meledak hingga
ubun-ubun kesusastraan, maka itu tak lebih dari timing yang tepat. Menurut saya lho ya.. :D
Sisi Keempat: antara Saya dan Aku, Korupsi dan Penipuan
Max Havelaar dalam beberapa cetakan dari beberapa penerbit, dengan beberapa penerjemah seperti H.B. Jassin, Rosihan Anwar, dan terakhir, Ingrid Dwijani, penerbit Qanita – Mizan yang mendominasi rak-rak di toko buku, telah menciptakan pengertian baru. Contohnya sederhana, seperti penggunaan kata “Anda” yang diciptakan Rosihan Anwar. Novel Max Havelaar terjemahan H.B. Jassin yang diterbitkan Djambatan sebanyak sembilan edisi menggunakan kedua kata ganti tersebut secara tepat. Untuk menunjukkan suasana masa lampau, H.B. Jassin menggunakan kata ganti “Saya”. Sementara ketika Multatuli yang bercerita atau di dalam puisi sebagai pernyataan diri, maka yang digunakan adalah “Aku”. Ia juga memilih kata “Anda”, bukan “Kau” atau “Kamu”.
Max Havelaar dalam beberapa cetakan dari beberapa penerbit, dengan beberapa penerjemah seperti H.B. Jassin, Rosihan Anwar, dan terakhir, Ingrid Dwijani, penerbit Qanita – Mizan yang mendominasi rak-rak di toko buku, telah menciptakan pengertian baru. Contohnya sederhana, seperti penggunaan kata “Anda” yang diciptakan Rosihan Anwar. Novel Max Havelaar terjemahan H.B. Jassin yang diterbitkan Djambatan sebanyak sembilan edisi menggunakan kedua kata ganti tersebut secara tepat. Untuk menunjukkan suasana masa lampau, H.B. Jassin menggunakan kata ganti “Saya”. Sementara ketika Multatuli yang bercerita atau di dalam puisi sebagai pernyataan diri, maka yang digunakan adalah “Aku”. Ia juga memilih kata “Anda”, bukan “Kau” atau “Kamu”.
Sedangkan pada penerbit Narasi (2008) dan Qanita (2014) posisi “Saya” dan “Aku” dipulul rata. Contoh:
1. Narasi (2008)
“Saya adalah makelar kopi, dan tinggal di Lauriergracht No. 37, Amsterdam.”
“Ya, saya, Multatuli, “yang telah banyak menunjukkan”, mengangkat pena.”
“Saya adalah makelar kopi, dan tinggal di Lauriergracht No. 37, Amsterdam.”
“Ya, saya, Multatuli, “yang telah banyak menunjukkan”, mengangkat pena.”
2. Qanita (2014)
“Aku adalah makelar kopi, dan tinggal di Lauriergracht No. 37, Amsterdam.”
“Ya, aku, Multatuli, “yang telah banyak menunjukkan”, mengangkat pena.”
“Aku adalah makelar kopi, dan tinggal di Lauriergracht No. 37, Amsterdam.”
“Ya, aku, Multatuli, “yang telah banyak menunjukkan”, mengangkat pena.”
Selain itu, diksi “korupsi” yang muncul
pada terjemahan Andi Tenri Wahyuni, penerbit Narasi (2008) jauh berbeda
dari terjemahan H.B. Jassin, penerbit Djambatan dan Ingrid Dwijani,
penerbit Qanita (2014).
Contoh:
1. Djambatan (1972-2005)
“… dan akhirnya saya sadar bahwa untuk mengakhiri segala penipuan itu, saya harus jangan jadi pejabat.”
“… dan akhirnya saya sadar bahwa untuk mengakhiri segala penipuan itu, saya harus jangan jadi pejabat.”
2. Qanita (2014)
“… dan, akhirnya, aku tahu bahwa untuk mengakhiri semua penipuan ini, aku tidak bisa lagi menjadi pejabat.”
“… dan, akhirnya, aku tahu bahwa untuk mengakhiri semua penipuan ini, aku tidak bisa lagi menjadi pejabat.”
3. Narasi (2008)
“Dan, akhirnya, saya sadar bahwa saya harus berhenti jadi pejabat jika saya ingin mengakhiri semua korupsi ini.”
“Dan, akhirnya, saya sadar bahwa saya harus berhenti jadi pejabat jika saya ingin mengakhiri semua korupsi ini.”
Lebih tepat dan tajam jika menggunakan pilihan ketiga, yaitu kata korupsi. Pada terjemahan pertama dan kedua dimaksudkan untuk memperhalus kata tersebut. Padahal, dalam terjemahan bahasa Inggris, yang digunakan adalah kata korupsi.
“And, finally, I realize that I must not be an official if i’m to put an end to all this corruption.” (Penguin Classics, 1987)
Pemilihan kata korupsi menjadi demikian tepat bila kita lihat carut marut Tanah Air Indonesia Raya. Setuju? :)
Pembedaan itu hanya dimaksudkan agar
pembaca dapat mudah larut dalam peristiwa pada tahun-tahun penjajahan.
Karena kata “Saya” dan “Aku” menunjukkan ruang, menampakkan keakraban
atau keintiman yang berbeda. Jelas sekali bahwa bahasa Indonesia begitu
kaya kosa kata dan pengertian-pengertian yang berbeda sesuai konteks
peristiwa dan alur cerita. Telepas dari upaya agar hasil terjemahan
tidak berbeda jauh dari naskah aslinya yang berbahasa Belanda, karena
pasti ada beberapa nuansa klasik yang hilang ketika selesai
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, kesungguhan penerjemah
dan penerbit untuk kembali memunculkan Max Havelaar ke permukaan, patut
diapresiasi.
Selain bahasa, soal sudut pandang yang
cukup kacau, melompat-lompat, sempat membuat geger teori teknik
penulisan yang selama ini ada. Lagi-lagi saya juga cukup mengatakan
bahwa Multatuli melahirkan tulisan pada waktu yang tepat. Sehingga semua
teori seolah mati karena kebenaran dan nilai kemanusiaan yang ia bawa. Sorry to say… :D Dan tentulah 15 tahun bukan waktu yang sebentar untuk membentuk pola pikir, yang kemudian memberikan nyawa pada tulisannya.
Sisi Kelima: Sejarah dan Budaya
Ada satu pernyataan dari Sejarawan UI yang saya bubuhi garis bawah dan tanda seru: Indonesia bisa dipahami sebagai entitas solid karena karya sastra. Sekarang, budaya membaca sinopsis sebuah buku sudah cukup mewakili proses membaca keseluruhan isi buku. Lalu dengan bebas kita bicara bahwa kita tahu buku itu. Tahu semuanya. Padahal, hanya sinopsis yang dibaca. Dan ini budaya yang cacat. Karya sastra yang seharusnya menjadi tradisi intelektual, pada akhirnya terseok-seok, sampai pincang akibat dilibas dengan kultur instan.
Ada satu pernyataan dari Sejarawan UI yang saya bubuhi garis bawah dan tanda seru: Indonesia bisa dipahami sebagai entitas solid karena karya sastra. Sekarang, budaya membaca sinopsis sebuah buku sudah cukup mewakili proses membaca keseluruhan isi buku. Lalu dengan bebas kita bicara bahwa kita tahu buku itu. Tahu semuanya. Padahal, hanya sinopsis yang dibaca. Dan ini budaya yang cacat. Karya sastra yang seharusnya menjadi tradisi intelektual, pada akhirnya terseok-seok, sampai pincang akibat dilibas dengan kultur instan.
Padahal, jika sebentar saja kita mau
sabar terhadap proses membaca itu sendiri, khususnya tulisan Max
Havelaar –yang saya kira cukup membingungkan untuk dibaca oleh anak muda
era korea– maka kita akan menemukan satu kerangka berpikir seorang
tokoh bernama Max Havelaar, yang tak lain dan tak bukan adalah sang
penulis itu sendiri: Multatuli atau Eduard Douwes Dekker. Sampai
pemerintah Belanda berpikir untuk segera menyelesaikan semuanya.
Menyudahi kekuasaannya yang sudah bercokol lama di Hindia Belanda.
Menginginkan permainan yang lebih fair.
Subagio Sastrowardoyo (1983) dalam Sastra
Hindia Belanda dan Kita, menuliskan bahwa ia telah tersentuh oleh
tenaga cipta yang hebat dan kekal dari lingkungan luas, hutan-hutan
lebat, dan rakyat yang terjajah. Multatuli tumbuh di tengah gejolak
sosial, politik, dan pemerintahan yang pada akhirnya membentuk
kepribadiannya. Tanah Nusantara dengan segala problematika yang
menggugah dan menginspirasi.
Dampak yang muncul terhadap orang
Indonesia, mungkin tak banyak. Bisa dibilang sangat kecil. Apalagi buku
Max Havelaar baru diterjemahkan pada tahun 1972, sedangkan Indonesia
sudah memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1945. Tapi ternyata,
pengarang eropa lah yang merasakan efek awalnya. Karya-karya yang
didominasi bahasa “eksklusif” bersumber dari alkitab, kemudian seperti
mulai menemukan udara segar untuk mudah diterima dan semakin dekat
dengan berbagai golongan masyarakat. Bentuk yang memungkinkan kritik
secara terbuka adalah novel. Potret sosial yang dikemas dalam bentuk
cerita fiksi. Dan fiksi, bukan berarti menipu.
Mendorong pula lahirnya cerbing atau
cerita berbingkai. Menurut Sastrowardojo, Max Havelaar mengandung tiga
buah cerita pokok. Pertama, pengalaman Havelaar menjadi asisten residen
Lebak. Kedua, pedagang kopi Droogstoppel yang tinggal di Amsterdam.
Ketiga, kisah Saijah dan Adinda di desa Badur. Inilah salah satu usaha
untuk memperbaharui bentuk sastra lama dengan teknik yang lebih modern.
Sisi Keenam: Merayakan Max Havelaar
Ini gila! Saya sungguh terkagum-kagum dengan seseorang yang duduk di depan, paling kiri dari foto ini, menggunakan pakaian berwarna hijau.
Ini gila! Saya sungguh terkagum-kagum dengan seseorang yang duduk di depan, paling kiri dari foto ini, menggunakan pakaian berwarna hijau.
Beliau adalah Ubaidilah Muchtar, pemandu
reading group Max Havelaar di Taman Baca Multatuli, Lebak, Banten.
Tepatnya di kampung Ciseel yang waktu tempuhnya panjang sekali, dengan
medan yang sangat sulit. Jembatan putus yang dilalui anak-anak yang akan
berangkat sekolah, yang mungkin selama ini Anda simak di televisi.
Jalur curam, kanan-kiri jurang, topografi berbukit-bukit, fasilitas yang
tak mudah diperoleh, betul-betul jauh dari peradaban.
Dan beliau yang biasa dipanggil Kang
Ubay, menempuh jarak Depok – Banten, hanya untuk menghidupkan tradisi
intelektual yang mulai terkikis, di Taman Baca Multatuli. Max Havelaar
adalah bacaan wajib bagi anak-anak di kampung Ciseel! Dahsyat!
Saya sempat berlinang mendengar penuturan
beliau. Membaca novel Max Havelaar 142 kali, dan ia tak membacanya
seorang diri. Melainkan bersama dengan anak-anak kampung yang duduk di
Sekolah Dasar. Yang membuat saya terhenyak, adalah kondisi kampung
tempat Kang Ubay mengajar di Taman Baca Multatuli. Kampung yang baru dua
tahun terakhir ini dialiri listrik, tapi sudah sejak lama anak-anaknya
gemar membaca Max Havelaar. Sungguh, bahkan saya sendiri mudah terserang
kantuk dan bosan ketika membaca Havelaar. Cukup sulit mencerna beberapa
maksud dari kalimat di dalam novel tersebut. Malu juga, ternyata saya
dikalahkan oleh anak SD. Telak.
Selain Kang Ubay sudah membacanya
sebanyak 142 kali, beliau juga punya sembilan cetakan Max Havelaar,
kecuali cetakan ke-4. Itu artinya mulai cetakan penerbit Djambatan (H.B.
Jassin) sampai Qanita (Ingrid Dwijani) beliau punya semua. Wow! Addict banget ya
Allah.. bahkan saya menangis ketika menulis ini.
Kang Ubay berucap lantang, bahwa anak-anak yang telah membaca Max
Havelaar, bukan hanya menjadi seorang anak yang berpengetahuan luas akan
sejarah tempat tinggalnya di Lebak, Banten. Tapi mereka terlahir
kembali dengan semangat belajar dan impian yang melangit.
Maka, demi memaknai tulisan bernas dalam
novel tersebut, setiap tahun, sekitar bulan Mei, mereka merayakan Max
Havelaar. Membuat pertunjukan drama dengan properti asli, seperti
kerbau, pakaian penduduk desa di Banten, dll. Tentu, properti itu mudah
diperoleh di kampung pedalaman seperti di Ciseel. Saya akan menyusun
rencana untuk bisa menyaksikan perayaan itu langsung. Apalagi kalau
sudah sampai pada kisah Saijah Adinda :P
Seperti satu rahasia ini. Tokoh dalam
sampul novel Max Havelaar terbitan Qanita, ternyata adalah dua anak
didik Kang Ubay yang dulu tengah memainkan drama Max Havelaar. Model
perempuan di sampul bernama Suryati, sekarang SMP di Jakarta. Dan yang
laki-laki, saya lupa namanya siapa. :D
*Yah, kebongkar deh misteri sampul Max Havelaar, haha*
Sisi Ketujuh: Max Havelaar dan Konteks Kekinian
Saya pikir kebiasaan baik anak-anak di Taman Baca Multatuli, kampung Ciseel, mampu menjawab semua pertanyaan tentang apa yang bisa Anda, saya, dan kita semua dapatkan dari sebuah buku berjudul Max Havelaar, dalam situasi dan kondisi yang sudah nyaman seperti sekarang ini. Mereka sudah menjawab tantangan zaman secara sederhana; membangun kembali tradisi membaca, budaya bercerita (berdiskusi dan mendongeng), menulis kembali apa yang sudah dibaca, dan memerankan tokoh dari cerita dalam buku (bermain drama)! :D
Saya pikir kebiasaan baik anak-anak di Taman Baca Multatuli, kampung Ciseel, mampu menjawab semua pertanyaan tentang apa yang bisa Anda, saya, dan kita semua dapatkan dari sebuah buku berjudul Max Havelaar, dalam situasi dan kondisi yang sudah nyaman seperti sekarang ini. Mereka sudah menjawab tantangan zaman secara sederhana; membangun kembali tradisi membaca, budaya bercerita (berdiskusi dan mendongeng), menulis kembali apa yang sudah dibaca, dan memerankan tokoh dari cerita dalam buku (bermain drama)! :D
Model yang sederhana, tapi jelas sangat sulit menerapkan proses reading group sebagai tahap awal untuk memahamkan isi Max Havelaar yang njlimet
kepada anak-anak SD. Bagaimana kemudian anak-anak pedalaman Lebak itu
bisa tumbuh dengan rasa bangga terhadap Bangsanya, melangitkan impian
dengan lantang bahwa kelak mereka akan memimpin Negeri dengan kejujuran
dan dedikasi terbaik.
Ya! Anak-anak! :’)
semoga Allah membalas semua kebaikan Kang Ubay,
dan kelak, anak-anak Lebak bisa tumbuh dengan pemahaman baik
Bogor; Jumat, 24 Oktober 2014
08:33 WIB
dan kelak, anak-anak Lebak bisa tumbuh dengan pemahaman baik
Bogor; Jumat, 24 Oktober 2014
08:33 WIB
Sumber: http://sekarsekarsekar.wordpress.com/2014/10/24/max-havelaar-dan-cermin-tujuh-sisi/
0 komentar:
Post a Comment