Guru di Lebak membangun kelompok membaca novel Max Havelaar. Mengajarkan nilai kebajikan pada anak-anak.
Anak balik bukit. Mengakrabi Multatuli.
Tak ada listrik, televisi, dan sinyal telepon seluler di Ciseel. Miskin hiburan, anak-anak di desa sebalik bukit itu bergaul rapat dengan novel Max Havelaar.
Anomali itu dimulai 10 November 2009. Saat itu matahari belum sepenuhnya terbit. Ubaidilah Muchtar mengikat boks plastik transparan berisi lusinan buku di jok motornya. Dari rumahnya di Sawangan, Depok, Ubaidilah memboyong buku-buku itu ke Ciseel.
Pak Ubai, demikian guru Ubaidilah dipanggil para muridnya, menempuh perjalanan 120 kilometer untuk mengisi kekosongan. Membunuh sepi setelah mengajar, Pak Ubai membawa buku agar punya kesibukan menularkan ilmu tambahan pada muridnya.
Desa Ciseel, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten, tersembunyi di balik bukit. Jarak Rangkas Bitung ke Ciseel kurang lebih 50 kilometer.
Jika anda berniat mengunjungi Ciseel, persiapkan fisik dan mental. Perjalanan menuju desa itu memberi pengalaman menegangkan. Tapi tak usah khawatir, ketegangan akan lunas dibayar udara sejuk dan pemandangan yang indah.
Dari Rangkas ke Ciminyak, kampung terdekat ke Ciseel butuh waktu satu jam. Bisa naik angkutan umum dengan ongkos Rp 15 ribu, atau kalau mau cepat dan berangin-angin, naik ojek bertarif Rp 50 ribu.
Angkutan atau ojek hanya mengantar anda sampai pasar Ciminyak. Dari sini harus nyambung naik ojek ke Ciseel. Jaraknya tak jauh, hanya satu kilometer. Tapi butuh waktu 1 jam. Dan perjalanan menegangkan pun dimulai!
Pintu masuk Ciseel di jalur ini ditandai jalan setapak berbatuan. Sekitar 500 meter pertama saya membayangkan mobil truk atau jeep off road akan mampu mengatasi jalanan. Lepas dari itu, sepeda motor meraung-raung di tanjakan jalan selebar 1,5 meter.
Di kiri, jurang sedalam 15 meter membawa pandangan jatuh ke arus sungai yang jernih. Ketika saya tiba, jalanan agak becek karena hujan belum lama reda.
“Diam aja Mas,” kata Toni, pengojek yang mengantar saya ke Ciseel, ketika roda motornya meliuk di tanjakan tanah becek. Saya bergerak gugup karena di kiri jurang masih curam.
Agar nyali tak terlalu ciut, saya mengajak Toni ngobrol. Toni berusia 30 tahun. Dia tinggal di Pasir Nangka, desa tak jauh dari Ciminyak. Anaknya baru satu. Mengojek di jalur “gila” pekerjaan sehari-harinya. “Kadang saya ngantar orang malam-malam,” ujar Toni.
Posisi kampung Ciseel seperti mangkuk. Gerbang desa ditandai jalan setapak berbatu. Sinyal telepon seluler tidak menyebar ke seluruh desa. Harus mencari tempat tinggi untuk menjangkau sinyal.
Listrik PLN belum masuk ke desa ini. Televisi hanya dua. Satu di rumah Ketua RT, satu lagi di rumah warga yang baru pulang merantau dari Malaysia setahun lalu.
Ke desa seperti itulah Pak Ubai dikirim pemerintah. Lulus dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tahun 2004, Ubai sempat bekerja sebagai relawan LSM.
Sekitar Februari 2009, pemerintah menugaskannya menjadi guru di SMP Negeri 3 Satap Sobang, Lebak. Sekolah itu berada di Desa Sobang, 8 kilometer dari Ciseel. Ketika itu umur Ubai 28 tahun dan baru 2 tahun menikah.
Ubai sempat berniat menolak penugasan tersebut. Dua bulan pertama setelah surat penempatan PNS keluar, Ubai tak pernah datang ke Sobang. “Tadinya nggak saya ambil, karena jauh.”
Setelah diingatkan seorang kawan agar tidak melewatkan kesempatan tersebut, Ubai memutuskan datang ke Ciseel. Awal April 2009, dia menginjakkan kaki untuk pertama kali di desa terpencil itu.
Dua bulan pertama Ubai tinggal di gedung sekolah karena belum mendapat tempat tinggal. Syarif Hidayat, Ketua RT Ciseel kemudian bersedia menampungnya. Ke rumah itulah Ubai membawa buku-bukunya.
Pada 22 Maret 2010, Ubai membawa 20 eksemplar buku Max Havelaar karangan Multatuli (Eduard Douwes Dekker) yang diterbitkan Narasi. “Saya beli di toko buku Ultimus, Bandung. Satu buku 70 ribu rupiah. Jadi semuanya 1,4 juta rupiah. Uangnya patungan dengan teman,” kata Ubai.
Sejak itu Ubai melawan ketiadaan listrik, sinyal telepon genggam, dan televisi, dengan mendorong anak-anak Ciseel menjadi pembaca aktif Max Havelaar.
Max Havelaaradalah karya sastra kelas dunia. Menurut Ubai, Max Havelaar adalah karangan pertama di dunia yang menelanjangi busuknya kolonialisme.
Sigit Susanto, penulis catatan perjalanan Menyusuri Lorong-Lorong Dunia menganggap buku Max Havelaar sejajar dengan catatan harian yang ditulis Anne Frank, gadis Yahudi-Jerman yang menulis kesaksian tentang kekejaman Nazi pada Perang Dunia II.
Max Havelaarmengisahkan siasat Belanda menambal kas kerajaan yang kosong akibat perang melawan Pangeran Diponegoro. Belanda mulai memberlakukan sistem tanam paksa.
Penduduk pribumi diperintah menanam kopi yang laris di pasar Eropa. Penduduk pribumi sama sekali tak memperoleh hasil. “Bahkan ada yang minum daun kopi,” ujar Ubai.
Max Havelaar diceritakan sebagai Asisten Residen di Lebak, Banten. Menurut dugaan umum, Haveelar adalah pseudo-name dari Multatuli alias Eduard Douwes Dekker.
Dekker datang ke Jawa tahun 1838 ketika berusia 18 tahun. Pada 1851 Dekker ditunjuk menjadi Asisten Residen di Ambon. Dia sempat pindah ke Manado, sebelum mendapat tugas menjadi Asisten Residen di Lebak tahun 1857.
Dekker tak lama tinggal di Lebak. Tapi pengalaman yang tidak sampai setahun itulah yang melambungkan namanya di dunia sastra hingga kini.
Dalam novelnya Max Havelar, Dekker menulis pengamatannya tentang perkawinan kolonialisme Belanda dengan feodalisme priyayi pribumi yang menindas rakyat. Bupati Lebak saat itu, Raden Toemenggoeng Kartanata Nagara alias Regen Sepoeh, seenaknya merampok harta rakyat.
Ditengah penindasan, muncul tokoh sepasang kekasih Saidjah dan Adinda. Saidjah dan Adinda tinggal di Desa Badur. Perjalanan dari Ciseel ke Badur saat ini butuh waktu 2,5 jam. Jalan ke Badur rusak dengan medan terjal.
Kerbau Saidjah tiga kali dirampas Demang Parangkujang, menantu Raden Toemenggoeng Kartanata Nagara. Ayah Saidjah menjual keris pusaka dan ranjang untuk membeli kerbau pengganti. Tanpa kerbau, ayah Saidjah tak mampu menggarap sawah. Itu berarti tidak bisa membayar pajak pada Bupati.
Setelah kepergian Saidjah ke Batavia dan Lampung, Haveelar orang yang paling bersemangat membujuk Adinda untuk bersaksi tentang kekejaman Bupati Lebak. Haveelar berencana melaporkan kejahatan Raden Toemenggoeng Kartanata Nagara ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Kisah cinta rakyat ini berakhir tragis. Saidjah tewas di tangan polisi Lebak, begitupun Adinda. Dalam film Max Havelaar (1976) yang disutradarai Fons Rademakers, ditampilkan Saidjah dan Adinda sebagai tokoh yang melawan kekejaman Bupati Lebak.
Malang nasib Haveelar, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tak menggubris laporannya. Haveelar malah dipindah ke Ngawi.
Tahun 1958 Eduard Douwes Dekker kembali ke Eropa dan menetap di Brussel, Belgia. Di kota ini Multatuli menulis, Max Havelaar, of de koffieveilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij. Diterjemahkan menjadi Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda.
Akhir Oktober 1859 Max Havelaar selesai ditulis. Namun urung diterbitkan karena dianggap merusak citra kolonial Hindia Belanda di Eropa dan dunia. Dalam makalahnya, Sigit Susanto mengutip komentar sastrawan Belanda Pico Bulthuis tentang Max Havelaar. Di koran Haagse Post yang bermarkas di Den Haag edisi 8 Januari 1855, Bulthuis menulis.
“Max Havelaar menimbulkan ‘suasana’ gelisah dan ‘gemetaran’ di seluruh negeri. Tidak pernah sebelum itu para pembaca bangsa Belanda ditunjukkan dengan cara-cara yang begitu jelas dan tajam secara realistis, begitu mengharukan dan menarik, tentang kekurang-kekurangan yang terdapat pada pemerintah Hindia Belanda.”
Pada Mei 1860, Max Havelaar resmi terbit. Novel ini diterbitkan dengan kemasan mewah sehingga harganya mahal. Maksudnya agar tidak banyak orang bisa membaca cerita yang ditulis Multatuli.
Max Havelaar bukan novel populer. Justru karena itu Ubai menciptakan anomali. Seperti tokoh Haveelar yang menjadi anomali bangsa Belanda di tanah jajahan, Ubai menjadi anomali di kampung terpencil Ciseel.
Buku dan sastra terlalu lama identik dengan kaum terdidik. Sejak lama pula kaum terdidik identik dengan masyarakat kota yang akademis dan hidup di tengah arus informasi.
Menurut Ketua RT Ciseel, Syarif, sebelum Ubai datang anak-anak kampung tak punya hiburan. Selepas sekolah, anak-anak menggembala, mencari rumput, ke ladang, atau membantu orang tua di rumah. “Paling gitu-gitu aja,” kata Syarif.
Ubai datang membawa buku dan Multatuli. Setelah berkonsultasi dengan Sigit Susanto, Ubai membentuk Taman Baca Multatuli di rumah Syarif. Multatuli dan Max Havelaar dipilih karena dekat dengan budaya bocah-bocah Ciseel.
Ubai meminta Syarif membuat rak buku. Ada tiga rak buku di taman baca Multatuli saat ini. Biaya untuk rak pertama Rp 200 ribu. Karena buku tambah banyak, Ubai meminta Syarif membuat dua rak lagi. Untuk rak kedua, Syarif minta ongkos pembuatan Rp 75 ribu. Sedangkan rak terakhir dibayar Rp 150 ribu dengan rincian, Rp 110 ribu untuk membeli bahan dan Rp 40 ribu untuk ongkos jasa pembuatan.
Ubai tinggal di rumah Syarif dengan membayar sewa Rp 300 ribu per bulan. Sudah termasuk makan. Di rumah itu setiap selasa sore Ubai memandu puluhan muridnya membaca Max Havelaar secara intensif.
Mulanya anak-anak dirangsang membaca majalah dan komik. “Mulai bosan dengan majalah, sampe keriting majalahnya, lari ke komik,” kata Ubai.
Bagaimana siasat Ubai mengajak anak-anak usia kelas 4 SD hingga SMP itu menekuni membaca buku Max Havelaar yang tebal?
“Itu by design. Saya memang arahkan untuk membaca Multatuli. Tiga bulan pertama hanya digunakan untuk memperkenalkan tokoh dalam novel.”
Ubai menulis nama tokoh Max Havelaar di papan tulis kecil di rumahnya. Setiap nama dilengkapi kapan dan mengapa si tokoh ada di Lebak. Pada 23 Maret 2010, sekitar 17 peserta kelompok membaca mulai membuka halaman pertama Max Havelaar.
Dalam kelompok membaca, anak-anak diajak memahami peristiwa dalam novel dan mengenal setiap detil adegan. Teknik yang dipakai Ubai mirip cara ustadz memandu santri mengaji di surau.
Ubai menuntun pembacaan, sementara anak-anak menyimak dan mengikuti cerita dari buku yang mereka pegang. Selanjutnya, setiap anak mendapat giliran membaca. Persis seperti mengaji. Satu pekan cukup membaca 4 halaman.
“Sama orang tua murid saya bilang ngaji. Kalau di musholla ngaji Al Quran, kalau ini ngaji Max Havelaar. Sama guru ngajinya saya juga bilang ngaji,” ujar Ubai.
Yang membedakan pengajian Ubai dengan mengaji di surau adalah teknik dongeng. Selain guru, Ubai adalah pendongeng. Ketika membacakan Max Havelaar, Ubai menggunakan atlas, topi caping, topi belanda, wig pirang, pedang-pedangan, ikat kepala, hingga lesung. Ubai membawa murid masuk dalam novel menggunakan alat peraga.
Sekali lagi, Max Havelaar bukan novel populer. Memasuki pekan ke lima, Ubai khawatir ditinggal muridnya. Sebab cerita mulai masuk ke bab IV yang menjemukan dengan plot lambat. “Saya bolak-balik keluar masuk rumah. Mana anak-anak. Datang nggak ya?”
Kekhawatiran itu pupus. Taman Baca Multatuli sore itu tetap ramai. Cara Ubai sukses memikat hati para anak-anak.
Masuk ke bab selanjutnya, murid-murid Ubai mulai terikat makin kuat pada Max Havelaar. “Kedatangan Haveelar ke Lebak, itu bab V. Mereka mulai menikmati, karena ceritanya dekat dengan keseharian mereka.”
Setiap selesai membaca, anak-anak mengisi buku kesan dan pesan. Anak-anak bebas menyampaikan komentar. Pipih Suyati berkomentar: “Max Havelaar memang orang baik, dia rela melakukan apa saja untuk membantu orang lain. Dan ketika dia akan membantu orang lain, ketika dia tidak punya uang, dia rela menghutang.”
Komentar lainnya disampaikan Sanadi: “Aku sangat bangga pada Makapelar (Max Havelaar). Dan aku membenci orang-orang Belanda yang lain kecuali Max Mapelar.”
Jika Ubai berhalangan memimpin “pengajian” Max Havelaar, seorang anak didik ditunjuk menggantikan. Ubai menitipkan uang untuk membeli makanan kecil. “Kadang saya titipkan uang sepuluh ribu untuk beli makanan,” kata Ubai.
22 Februari lalu, kelompok membaca gelombang pertama khatam mengaji Max Havelaar. Seperti khatam Quran, Ubai membuat syukuran sederhana pada pembacaan terakhir. Ubai menyembelih 4 ekor ayam di Sawangan. “Saya bawa ayam yang sudah dibumbui. Di sini digoreng. Terus ada tempe dan lalapan.”
“Saya beruntung nggak ada saingan. Televisi kan belum ada di sini,” kata Ubai. Rencana Ubai belum selesai, selanjutnya dia ingin memperkenalkan internet kepada anak-anak Ciseel. (bersambung)
Foto: 1. Pentas membaca Max Havelaar di Ciseel (VHRmedia/Hervin Saputra)
2. Jalan menuju Ciseel (readingmultatuli.blogspot.com)
3. Mengaji Max Havelaar (readingmultatuli.blogspot.com)
4. Taman Baca Multatuli (VHRmedia/Hervin Saputra)
0 komentar:
Post a Comment