Anak-anak kampung napak tilas jejak Multatuli. Wisata sastra dan sejarah bersahaja.
Sabtu 14 Mei 2011. Pagi itu truk yang ditunggu tak jadi berhenti di Cangkeuteuk. Truk terhambat karena jalur ke Cangkeuteuk dan Ciseel ditutup. Aspal di jalur itu masih terasa basah. Proyek belum selesai.
Rencananya truk menjemput peserta Acara Sastra Multatuli yang digelar di Ciseel. Peserta akan dibawa ke Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Dari Ciseel, Rangkasbitung masih 50 kilometer lagi. Dari Cangkeuteuk, Ciseel berjarak tiga kilometer. Puluhan peserta yang terdiri atas anak-anak dan orang dewasa harus berjalan kaki dari Ciseel ke Cangkeuteuk.
Karena truk terhambat, perjalanan jalan kaki agaknya bertambah sekitar tiga kilometer. Setelah truk datang, perjalanan ke Rangkasbitung diteruskan.
Halangan belum selesai. Dalam perjalanan, truk yang juga ditumpangi sastrawan Kurnia Effendi itu terlalu sesak. Sekitar setengah jam meninggalkan Ciminyak, truk berhenti. “Cari satu mobil lagi yang kecil,” kata Sigit Susanto, peserta dari Kendal, Jawa Tengah.
Setelah menunggu hampir satu jam, mobil tambahan pun diperoleh. Matahari kian terik. Sebagian wajah peserta anak-anak menampakkan perasaan tak nyaman. Sebagian lagi memucat karena ingin muntah.
Ubaidilah Muchtar, guru SMPN Satap 3 Sobang, Lebak, Banten, berdiri di antara murid-muridnya. Sesekali ia menjelaskan kepada murid-muridnya nama kantor atau nama tempat. Atau menjawab pertanyaan murid-muridnya. “Ini kita di (Kecamatan) Sajira. Tapi ada juga yang menyebutnya Sajra,” kata Ubaidilah.
Truk yang kami tumpangi ibarat mesin waktu. Ubaidilah sedang mengajak murid-muridnya di Taman Baca Multatuli, Ciseel menembus masa lalu. Truck tour ini dipersiapkan sebagai puncak dari 11 bulan “mengaji” novel Max Haveelar karangan Multatuli atau Eduard Douwes Dekker. Mereka berziarah ke sisa-sisa peninggalan pengarang yang menulis novel Max Haveelar di Rangkasbitung. Novel yang mereka tamatkan dua bulan lalu setelah membaca 4 halaman setiap pekan selama 11 bulan.
Sebelum masuk Rangkasbitung, polisi menyetop truk dan mobil pickup kami. “Mas, ini bukan buat ngangkut manusia,” kata seorang polisi kepada sopir. Setelah sempat bersitegang, polisi akhirnya membiarkan konvoi kami pergi. Polisi melunak setelah mengetahui perjalanan dengan truk ini akan menjadi catatan perjalanan yang dibukukan.
Setiba di Rangkasbitung, truk menuju kantor Bupati Lebak. Tak seperti kantor bupati lainnya, di Lebak truk boleh parkir di halaman depannya. Yang paling menarik perhatian adalah tulisan “AULA MULTATULI” terpampang besar di kantor Bupati Lebak. Agaknya Multatuli diambil sebagai nama aula sebagai bentuk penghargaan atas jasanya terhadap Lebak.
Menurut Ubaidilah, nama Multatuli di Lebak tak selalu positif. Pemberian nama Aula Multatuli juga mengundang protes dari keluarga Bupati Lebak Raden Kartanata Nagara alias Regen Sepoeh. “Mereka katanya mau bikin novel tandingan.”
Setelah peserta makan siang, tur sejarah pun dimulai. Ubaidilah menggiring murid-muridnya ke beranda gedung tua bekas kantor Bupati Lebak. Di sanalah dulu Adipati Kartanata Nagara berkantor. Dan di dalam novelnya, di sanalah Max Haveelar menelanjangi kelakuan Bupati Lebak yang gemar merampok harta rakyat.
“Ini masih asli. Tiangnya ada empat. Di dalamnya ada kamar, ada kasurnya juga,” ujar Ubaidilah menjelaskan kepada murid-muridnya. Dan murid-murid mulai mencatat.
Di tembok sebelah kiri, terpampang prasasti yang memuat nama-nama Bupati Lebak. Raden Kartanata Nagara berada di nomor dua.
Di depan kantor asisten residen berdiri sebuah pendopo. Lampu gantung dengan bentuk rumit berseni tinggi tergantung di tengahnya. “Ini pendopo. Pak Ubai menduga di sini Max Haveelar dilantik sebagai asisten residen di Lebak,” kata Ubaidilah.
Dari kompleks kantor asisten residen, perjalanan bergerak ke alun-alun Rangkasbitung. Lalu terus ke arah Rumah Sakit Umum Daerah Adjidarmo. Di belakang rumah sakit bertingkat itulah rumah yang dihuni Multatuli semasa di Lebak berada.
Tak ada lagi bangunan asli. Rumah Multatuli hanya tersisa tembok di sebelah kirinya. Sementara rumah sudah berganti rupa dengan arsitektur umum zaman sekarang.
Suasana muram menyambut anak-anak pembaca Multatuli di Ciseel. Mereka mungkin tak menyangka sisa peninggalan sejarah yang mereka baca 11 bulan di Ciseel bernasib buruk.
Rumah dengan kusen hijau itu kosong tak terurus. Pintu ruang depan tak terkunci. Di dalamnya, kertas dokumen dan buku berserakan. Bercampur dengan lumpur dan air. “Dulu pernah dipakai buat dapur rumah sakit. Tapi waktu ada pembangunan rumah sakit, dipakai untuk nyimpan semen,” kata Ubaidilah.
Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri Jalan Multatuli. Rombongan anak-anak dari Ciseel menarik perhatian warga Rangkasbitung. Rombongan sempat singgah di Sekolah Dasar Multatuli. Disebut SD Multatuli karena terletak di Jalan Multatuli. Sekolah itu sebenarnya ditempati SDN 1, SDN 2, SDN 3, SDN 5, dan SDN 6.
Jalan Multatuli berakhir dengan dua jembatan. Satu jembatan untuk kendaraan bermotor dan mobil, satu lagi untuk rel kereta api. Di bawahnya mengalir tenang Sungai Ciujung. Dalam Max Haveelar disebutkan rumah Haveelar berbatasan dengan Sungai Ciujung yang selalu berwarna kuning. “Multatuli menulis Sungai Ciujung berwarna kuning. Sampai sekarang juga kita lihat masih berwarna kuning,” jelas Ubaidilah.
Ubaidilah menguraikan, di sungai itu pula orang-orang yang meminta keadilan hanyut sebagai mayat. Mereka mati dibantai pasukan Adipati Kartanata Nagara. “Orang-orang yang melaporkan kerbaunya dicuri ke Multatuli, banyak yang mengapung di sini.”
Panjang Jalan Multatuli sekitar satu kilometer. Kira-kira sepanjang itu pula kawasan rumah Dekker di Lebak. “Jadi, bisa dibayangkan luas rumahnya,” jelas Ubaidilah.
Perjalanan diteruskan ke Pasar Rangkasbitung. Di tempat itu ada Apotek Multatuli. Ubaidillah mengajak anak-anak ke sana bukan lantaran apotek itu punya hubungan sejarah dengan Dekker. Ubaidilah ingin menunjukkan bahwa apotek pun menghargai Mutatuli dengan menggunakan namanya. Saya menduga, apotek itu terbesar di Lebak.
Mendung menggayut ketika pasukan Ubai dari Ciseel berhenti di perpustakaan Yayasan Saija dan Adinda. Perjalanan sekitar tiga kilometer menyusuri jejak Multatuli memang melelahkan. Sekitar pukul empat sore truk membawa kami pulang ke Ciseel.
Ada saja rintangan. Sebelum meninggalkan Rangkasbitung, hujan turun. Situasi berbalik, jika saat berangkat tur kepanasan, kini harus berjuang melindungi diri dari hujan. Terpaksa terpal biru dikembangkan. Setiap orang yang berdiri atau duduk di pinggir bak truk wajib memegang ujung terpal. Sebagian anak-anak Taman Baca menolak berlindung di balik terpal. Mereka maunya hujan-hujanan.
Sebelum maghrib kami sampai di pemberhentian terakhir. Kami mengambil jalur berbeda dari yang kami tempuh saat berangkat. Jalan kaki harus tetap dilakukan sampai menuju Desa Cikadu. Di Cikadu pasukan harus menyeberangi sungai.
“Mas, masih banyak (rombongan) di belakang?” tanya seorang murid Ubaidilah kepada saya sambil berdiri di atas sebuah batu di sungai.
Sungai berbatu itu memang tidak dalam. Tapi saat pasukan turun ke Ciseel, sebentar lagi malam. Hujan membuat jalanan berbatu semakin licin. Sementara air sungai kian deras. “Waduh, nanti airnya besar,” ujar bocah itu khawatir.
Malamnya, penyair F. Rahardi dan penulis Ragil Nugroho naik panggung Acara Sastra Multatuli. Keduanya memandu diskusi tentang Multatuli. Masyarakat Ciseel turut mendengarkan di bawah panggung.
Panggung itu sudah aktif sejak malam pertama, Jumat (13/5). Saya melihat gegendeh, musik rakyat Ciseel yang dimainkan enam perempuan. Para perempuan berkebaya dan berkerudung itu memukul lesung untuk membentuk suatu irama. Tak taketek taktak, tak teketek taktak….
Lalu ada ngagondang. Seperti gegendeh, ngagondang bertumpu pada lesung. Namun pemainnya terdiri atas enam pasang lelaki - perempuan. Anak muda, bapak-bapak, kakek-kakek, sampai nenek-nenek termasuk dalam enam pasang itu.
Kesenian ini mirip seperti teater musikal rakyat. Dialog berupa nyanyian antara tiap pasangan dilakukan sambil menari mengelilingi lesung. Isi dialog bisa tentang rukun Islam atau Pancasila. “Sabaraha Pancasila? Terangkeun hiji-hijina (Pancasila ada berapa sila? Jelaskan satu per satu-satu),” kata pasangan perempuan terhadap pasangan lelaki. Dan lelaki akan menjawab dengan bahasa Sunda secara serentak.
Di malam kedua, saya tak sanggup mengikuti acara sampai akhir. Diskusi F. Rahardi dan Ragil Nugroho terpaksa saya lewatkan. Perjalanan yang jauh menyebabkan saya tertidur di taman baca sebelum acara malam itu usai. Saya perlu tenaga, sebab besok pasukan Ubai akan bergerak ke Kampung Baduy Dalam, Cikeusik. (bersambung)
Foto-foto:
1. Dokumentasi Taman Baca Multatuli
2, 3, 4 VHRmedia/Hervin Saputra
0 komentar:
Post a Comment