Oleh Ubaidilah Muchtar
Selasa, 1 Ferbruari 2011, pukul 16.00, serombongan anak-anak memasuki pekarangan rumah. Melepas sandal jepit yang mereka kenakan. Menyusunnya dengan rapi di teras rumah. Setelah membuka pintu dan disambut peserta yang terlebih dahulu datang, mereka duduk melingkar.
Tepat di muka sebuah rak buku mereka duduk melingkar. Tiga orang anak laki-laki berdiri dan menuju ke rak yang satu. Dengan cepat mereka menurunkan dua puluh eksemplar novel dari dalam rak. Ketiga anak itu gembira melakukannya. Kegembiraan terpancar dari sorot mata mereka.
Mereka akan melakukan Reading Group.
Anak-anak yang lain berebut mengambil novel. Mengambil dan mendekapnya dengan wajah penuh kegembiraan. Beberapa anak saling berbisik. Menanyakan hingga halaman berapa mereka selesai membaca. Seorang anak dengan menggunakan telunjuknya menunjuk halaman buku.
Rumah dengan cat kuning di kiri jalan itu ramai sekali. Di antara rumah-rumah petani di Kampung Ciseel, anak-anak selalu mengunjungi rumah itu. Sebuah taman baca berdiri di rumah itu. Nama taman baca tertera pada sebuah spanduk dengan warna dominan kuning yang tergantung di depannya: Taman Baca Multatuli.
Peserta sudah berkumpul sejumlah 20 orang, terdiri dari anak-anak warga sekitar taman baca. Mereka datang dengan wajah penuh gembira. Memasuki taman baca. Duduk melingkar. Memegang novel yang sama: Max Havelaar.
Halaman yang akan mereka baca tak lain dari 357 yang merupakan bab 19 novel Max Havelaar. Setelah memberikan beberapa pertanyaan dan penjelasaan atas pembacaan minggu sebelumnya, bab 19 pun mulai dibaca. Ini adalah paragraf awal bab tersebut.
DALAM catatan pribadi yang dikirimkan Tuan Slymering pada Havelaar dia menulis bahwa, kendati “jabatan menekannya”, dia akan datang ke Rangkas Bitung pada hari berikutnya, untuk mendiskusikan langkah apa yang harus diambil. Havelaar sangat mengerti bahwa diskusi seperti itu berarti—pendahulunya sudah sering melakukan “tete-a-tete” dengan Residen Banten! Maka dia menulis surat berikut, pesan yang dia kirimkan ke Residen, untuk memastikan agar Residen telah membacanya sebelum sampai di Lebak. Komentar pada dokumen itu berlebihan. [MH, hlm. 357]
Pembacaan paragraf pertama bab 19 selesai. Yani yang duduk dekat rak memulai diskusi kecil.
“Tete-a-tete itu apa?” tanya Yani sambil memegang novel dengan kedua tangannya.
“Tete itu bukannya susu?” kata Nurdiyanta sambil malu-malu.
“Iya, susu ya?” kata yang lain.
“Maksud dari tete-a-tete itu pertemuan berdua saja. Atau bertemu empat mata. Hanya berdua dan tidak ada yang lain. Sebab biasanya percakapan yang dilakukan bersifat rahasia.” Terangku.
Para peserta mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Oh, begitu!” kata Unang.
Selanjutnya pembacaan surat. Surat? Ya, surat. Surat kedua yang ditulis Havelaar sebagai Asisten Residen Lebak. Surat ini ditulis Surat bernomor 91. Sifatnya penting. Surat ini ditulis Havelaar di Rangkas Bitung. Tertanggal 25 Februari 1856. Pukul 11 siang. Sebuah surat yang panjang. Ini suratnya.
No. 91. Rahasia Rangkas Bitung, 25 Februari 1856
Penting pukul 11 siang
Kemarin siang saya mendapat kehormatan untuk mengirim memorandum penting saya No. 88, berisi bahwa:
Setelah penyelidikan panjang, dan setelah sia-sia mencoba mengubah keterlibatan orang itu dari kesalahan caranya dengan sikap lembut. Saya merasa diwajibkan oleh sumpah resmi saya untuk mengajukan tuduhan pada Regen Lebak atas penyalahgunaan kekuasaan, dan saya mencurigai dia melakukan pemerasan.
Dalam surat itu saya langsung menganggap bahwa, Anda bisa memerintahkan pemimpin pribumi ini ke Serang, sehingga peradilan baik terhadap tuduhan dan kecurigaan saya akan dilaksanakan setelah kedatangannya dari Lebak dan setelah menetralisasi pengaruh tidak jujur keluarga besarnya.
Lama, atau lebih tepat dengan dalam, saya memikirkannya sebelum saya memutuskan langkah ini.
Dengan berhati-hati saya mencoba memberitahu bahwa saya telah mencoba, melalui nasihat dan peringatan, untuk melindungi Regen tua itu dari ketidakberuntungan dan cela, dan saya sendiri dari kesedihan mendalam karena telah menjadi penyebabnya—sekalipun hanya alasan sementara.
Namun di sisi lain saya melihat masyarakat yang sangat tersiksa, yang telah dimanfaatkan selama bertahun-tahun; saya pikir sangat diperlukan sebuah contoh—karena saya memiliki banyak skandal lain untuk dilaporkan pada Anda, setidaknya jika reaksi terhadap kasus ini tidak menghentikan mereka; dan, saya ulangi, setelah pertimbangan matang saya melaksanakan apa yang saya anggap merupakan tugas saya.
Saat ini saya telah menerima surat pribadi Anda yang penuh kasih dan bertanggung jawab, memberitahukan bahwa Anda akan berada di sini besok, serta secara bersamaan menyarankan bahwa sebaiknya saya menangani kasus ini secara pribadi terlebih dahulu.
Besok, karena itu, saya merasa terhormat akan bertemu Anda, dan inilah mengapa saya langsung mengirim surat ini agar bisa mencapai Anda di jalan, sehingga saya bisa membuat pernyataan yang berikutnya sebelum kita bertemu.
Semua tindak penyelidikan saya atas kelakuan Regen telah dilakukan sepenuhnya dengan rahasia. Orang-orang yang mengetahuinya hanya diri sendiri dan Patih, karena saya memberinya peringatan ringan. Bahkan pengawas hanya mengetahui sebagian dari hasil penyelidikan saya. Kerahasiaan ini memiliki dua macam tujuan. Pertama, ketika saya masih berharap bisa membelokkan Regen dari jalan yang salah, saya berharap, jika saya berhasil, tidak berkompromi dengannya. Atas namanya, Patih secara khusus berterima kasih atas kebijaksanaan saya (pada tanggal 12 bulan ini). Namun kemudian, ketika saya mulai kehilangan harapan pada keberhasilan usaha saya—atau lebih tepat, ketika piala keberangan saya hancur setelah mendengar adanya peristiwa lain—ketika kebisuan lebih lanjut dari pihak dia bisa menjadi antek, maka kerahasiaan ini harus diobservasi atas nama saya. Karena saya sendiri memiliki tugas yang harus dipenuhi—tugas terhadap diri saya dan milik saya.
Setelah menulis surat yang kemarin, layakkah saya melayani pemerintah jika muatannya kosong, tidak beralasan, atau sebuah isapan jempol mengenai imajinasi? Dan perlukah, atau akankah, saya membuktikan bahwa saya telah bertindak “sebagai pejabat Asisten residen yang baik”—membuktikan bahwa saya layak atas posisi yang telah diberikan pada saya—membuktikan bahwa saya penuh pertimbangan dan tidak terburu-buru mengambil risiko dalam bertugas selama tujuh belas tahun yang berat, dan, terlebih lagi, perhatian pada istri dan anak… akankah saya bisa membuktikan semua ini, jika tidak ada kerahasiaan untuk menutupi penyelidikan saya, dan mencegah pria bersalah itu menutupi diri, seperti menurut informasi yang ada?
Berdasarkan peringatan sekecil apa pun Regen akan mengirimkan pesan penting pada keponakannya, yang sedang dalam perjalanan mengunjunginya dan tertarik dengan peneguhan posisi pamannya. Dia akan meminta uang, uang apa pun risikonya, dan akan menyebarkan uang itu dengan boros pada mereka yang akhir-akhir ini dia perlakukan salah. Dan hasilnya boleh jadi—saya percaya saya seharusnya tidak mengatakan: nantinya—pendapat bahwa saya telah memberikan suatu pertimbangan sembrono; kesimpulannya saya adalah pejabat yang tidak berguna, untuk tidak meletakkannya lebih buruk dari itu.
Dengan maksud untuk melindungi diri dari hasil seperti itu, maka saya menulis surat ini. Saya sangat menghormati Anda; namun saya tahu mengenai jiwa yang sering disebut “jiwa pejabat Hindia Timur”, dan saya tidak memiliki jiwa itu!
Pernyataan Anda bahwa, akan lebih baik jika masalah ini sebelumnya diatasi secara pribadi, membuat saya takut akan adanya tete-a-tete. Apa yang saya katakana dalam surat kemarin adalah benar. Namun bisa tampak tidak benar jika masalah ini diatasi dengan cara yang bisa membuat tuduhan dan kecurigaan saya tersingkap sebelum Regen telah pergi dari sini.
Saya akhirnya hanya bisa mengakui bahwa, bahkan kedatangan mendadak Anda, terkait dengan pesuruh khusus yang saya utus ke Serang kemarin, membuat saya khawatir jika pihak yang bersalah, yang hingga saat ini menolak menjawab peringatan saya, sekarang akan terlalu cepat waspada, dan sebisa mungkin, meskipun sedikit, akan membersihkan diri.
Saya langsung, baru saja, melaksanakan secara harfiah memorandum saya kemarin; namun saya mohon agar memerhatikan bahwa memorandum itu juga berisi usul: untuk memindahkan Regen sebelum diadakan penyelidikan, dan untuk membuat para pengikutnya mati kutu untuk sementara waktu. Saya pikir saya terikat untuk memberi jawaban atas pernyataan saya, jika Anda setuju pada usulan saya mengenai cara penyelidikan, yaitu: bahwa harus dilakukan secara imbang, terbuka, dan di atas itu semua, bebas.
Kebebasan ini tidak akan ada jika Regen tidak dipindahkan, dan menurut pendapat sederhana saya, tidak bahaya memindahkan dia. Karena dia bisa diberitahu bahwa, saya yang telah menuduh dan mencurigainya, dan adalah saya, bukan dia, yang akan dalam bahaya jika dia ternyata tidak bersalah. Karena saya sendiri menganggap bahwa saya berhak dipecat jika terbukti bahwa saya telah bertindak bodoh, atau bahkan hanya tergesa-gesa.
Tergesa-gesa! Setelah bertahun-tahun penyalahgunaan kekuasaan!
Tergesa-gesa! Seolah-olah seseorang yang jujur bisa tidur, hidup, menikmati hidup, selama orang yang sejahtera itu dia perintahkan untuk diawasi, mereka yang sangat menyadari bahwa tetangganya, sudah dirampok dan dieksploitasi!
Saya akui, saya belum lama berada di sini. Namun saya yakin bahwa, suatu hari pertanyaan yang akan ditanyakan adalah apa yang telah saya lakukan, dan apakah saya melaksanakannya dengan benar, bukan apakah saya melaksanakannya dalam waktu yang sangat sempit. Bagi saya, waktu apa pun bisa menjadi terlalu panjang ketika ditandai dengan pemerasan dan tekanan, dan bagi saya setiap detik akan menjadi berat jika disebabkan oleh kelalaian saya, penelantaran saya pada tugas, “jiwa kompromi” saya, telah dihabiskan dalam kesengsaraan yang diakibatkan orang lain.
Saya menyesali hari-hari yang telah saya lewatkan sebelum melaporkannya secara resmi pada Anda, dan saya mohon maaf atas kelalaian itu.
Saya mohon agar diberi kesempatan untuk membuktikan kebenaran surat saya kemarin, dan berlindung terhadap kegagalan usaha saya untuk membebaskan Divisi Lebak dari ulat-ulat yang telah menggerogoti kesejahteraannya sejak dahulu kala.
Adalah untuk alasan tersebut bahwa, sekali lagi saya langsung meminta pada Anda: secara sopan untuk mengabulkan tindakan saya dalam masalah ini—yang akan saya tegaskan, hanya terdiri dari pemeriksaan, laporan dan penasihatan; memindahkan Regen Lebak dari sini tanpa ada peringatan langsung maupun tidak langsung sebelumnya; dan sebagai tambahan, memerintahkan untuk dilakukan penyelidikan pada fakta-fakta yang telah saya beritahukan dalam surat saya No. 88 tanggal kemarin.
Asisten Residen Lebak,
Max Havelaar
Surat yang panjang yang dimulai dari halaman 357-362 novel Max Havelaar. Pembacaan yang panjang. Surat ini surat kedua Havelaar setelah Slymering memberikan jawaban yang menyesalkan surat pertama Havelaar. Havelaar disesalkan setelah ia mengirimkan surat sebelum berbicara kepadanya. Havelaar lalu menulis surat kedua ini. Havelaar mendesak agar Residen Banten, Slymering bertindak. Harus cepat bertindak karena: pertama, penduduk telah bertahun-tahun dihisap dan diinjak-injak bahkan mengalami pemerasan. Kedua, Havelaar merasa telah gagal berbicara dari hati ke hati dengan Regen. Gagal membawa Regen kembali ke jalan yang benar. Ketiga, Havelaar merasa harus memberi teladan dan baginya berdiam diri lebih lama berarti membantu kejahatan terjadi.
Pembacaan kembali dilanjutkan. Paragraf berikut menjelaskan bagaimana Residen bersekongkol dengan Regen.
Permintaan pada Residen untuk tidak memberikan perlindungan pada pihak yang bersalah ini sampai ketika dia masih sedang dalam perjalanan menuju Rangkas Bitung. Satu jam setelah dia tiba di sana, dia memanggil sang Regen dan mengajukan dua pertanyaan padanya: tuduhan apa yang bisa dia buat untuk Asisten Residen, dan apakah dia, sang Adipati, sedang butuh uang!
Atas pertanyaan pertama dia menjawab: “Tidak ada, saya bersumpah!” Terhadap pertanyaan kedua dia menjawab secara positif, kemudian Residen memberinya beberapa uang kertas yang dia ambil dari saku rompinya, yang sengaja dia bawa untuk tujuan itu!
Bisa dipahami jika Havelaar benar-benar tidak diberitahu mengenai ini, dan segera akan kita lihat bagaimana dia bisa mengetahui tindakan Residen yang tidak terpuji. [MH, hlm. 362]
Residen Banten tetap pada pendiriannya, yaitu meminta Havelaar menarik pengaduannya. Namun tentu saja seperti yang kita ketahui, Havelaar menolaknya. Residen meminta agar Havelaar mengajukan saksi. Havelaar tidak memenuhinya sebelum Residen Banten memeriksa masalah penyalahgunaan kekuasaan dan pemerasan oleh Regen.
Havelaar yang baik hati tidak ingin menyusahkan Verbrugge, saksi utama, saksi ex officio: ia telah berjanji. Setelah mengunjungi Regen, Residen kemudian makan siang dengan menu sederhana di rumah Havelaar. Setelah itu dia langsung kembali ke Serang, dengan banyak hal yang harus diselesaikan: “Karena… Dia… Sangat… Sibuk… Sekali.”
Keesokan harinya Havelaar menerima surat dari Residen Banten. Segera dikirimnya surat balasan yang berisi penolakan permintaan untuk membekukan masalah yang diajukan. Surat ini surat ketiga Havelaar. Surat bernomor 93 yang bersifat rahasia. Ditulis di Rangkas Bitung tanggal 18 Februari 1856.
Dalam surat ini ada kalimat yang luar biasa. Berikut kalimat tersebut. “Saya tidak bisa bertindak dengan cara yang berbeda dari tindakan saya di Lebak. Jadi jika pemerintah ingin dilayani secara berbeda, tolong paksa saya dengan hormat untuk mengajukan pengunduran diri saya.” [MH, hlm. 366]
Kejadian-kejadian ini menimbulkan kekhawatiran pada diri Tina, istri Havelaar. Tina merasa khawatir jika anak dan keluarganya akan diperlakukan seperti yang terjadi pada pendahulu Havelaar, Slotering yang meninggal karena diracun.
Havelaar tentu saja masih menunggu pemberitahuan dari Gubernur Jenderal. Keesokan harinya mereka bertiga Havelaar, Duclari, dan Verbrugge berniat membuka kembali masalah Lebak.
Saya membaca di koran bahwa Tuan Slymering telah menjadi Ksatria Orde Singa Belanda. Tampaknya sekarang dia menjadi Residen Yogyakarta. Jadi saya bisa memunculkan kasus Lebak lagi tanpa menyebabkan bahaya bagi Verbrugge. [MH, hlm. 369]
Paragraf ini menjadi paragraf terakhir yang dibaca di Selasa sore ini. Di depan rumah di bawah spanduk kuning kami berfoto. Cahaya matahari masih mengintip di sela daun kelapa yang tumbuh di pinggir sungai. Para peserta merapikan kembali novel dan menyimpannya di rak.
0 komentar:
Post a Comment