Tur truk Multatuli mengunjungi kampung Badui. Jual koin ajimat hingga serbuan konsumerisme internasional.
Minggu pagi 15 Mei 2011. Langit cerah sebagai balasan hujan kemarin sore. Kami masih harus berjalan ke Cigaclung. Dari Cigaclung, pasukan harus kembali menyeberangi sungai yang kemarin malam kami lintasi. Jika Anda pernah melihat kuda menyeberangi sungai di film-film berlatar Eropa atau Amerika, di Cigaclung hal itu dilakukan sepeda motor. Kang Syarif, Ketua RT Ciseel sekaligus pemilik rumah yang ditempati Rumah Baca Multatuli adalah salah satu penunggang motor yang melintasi sungai.
Sulit membayangkan apakah Jepang membuat motor bebek untuk jalur sungai dan jalan setapak yang curam menuju Ciseel. Tapi itulah improvisasi terhadap teknologi. Sesuatu yang tak pada tempatnya, di tempat lain bisa menjadi begitu vital. Di Ciseel dan desa sekitarnya, sepeda motor jelas merupakan teknologi yang mempermudah akses tranpsortasi.
Truk yang mengangkut kami kemarin ke Rangkasbitung sudah menunggu di tempat kami diturunkan sore lalu. Dari sana, perjalanan ke Badui Dalam memakan waktu hampir dua jam. Aspal rusak di jalan yang menurun-menanjak tak henti-henti.
Menjelang siang kami berhenti di Cijahe. Cijahe adalah desa terakhir yang berbatasan dengan Badui Dalam Cikeusik. Jalur ini unik. Karena biasanya pengunjung yang ingin datang ke Badui Dalam masuk melalui Ciboleger.
Di Ciboleger, pengunjung akan bertemu dengan perkampungan Badui Luar. Badui Luar dianggap kelompok Badui yang sudah menerima pengaruh dari luar yang tak diterima Badui Dalam. Seperti mengenakan pakaian yang dikenakan masyarakat umum.
Dari Ciboleger, desa Badui Dalam pertama yang ditemui adalah Cibeo. Saya pernah berkunjung ke sana empat tahun lalu. Penduduk Cibeo ramai dan cenderung terbuka terhadap masyarakat luar. Masyarakat Cibeo juga rajin menawarkan kerajinan tangan khas Badui kepada pengunjung.
Pengalaman empat tahun lalu ke Cibeo membuat saya agak heran ketika melalui Cikeusik. Tak seperti Cibeo, Cikeusik lebih sepi dan penduduknya menyambut pendatang dengan dingin.
Dari Cijahe, Cikeusik bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 25 menit. Seperti desa Badui lainnya, gerbang desa ditandai rawa-rawa yang ditumbuhi pohon sejenis enau. Dari rawa-rawa, pintu ke Cikeusik adalah jembatan bambu tanpa paku yang membentang di atas sungai pembatas.
Rumah-rumah di Cikeusik hening. Saya hanya melihat seorang perempuan dan seorang anak duduk di beranda rumah. Desa itu memiliki jalan utama desa sepanjang sekitar 200 meter. Jalan itu membujur sesuai dengan jalur sungai.
Di ujung desa yang berlawanan dengan arus sungai, tegak rumah pemimpin adat tertinggi masyarakat Badui. Orang Badui menyebutnya pemangku jabatan itu pu’un.Saat memasuki “Cikeusik Boulevard” itu kami disambut Ayah Asnah, pemandu yang menjawab setiap pertanyaan pengunjung. Wajahnya simpatik dan berkharisma.
Menurut Ayah Asnah, hari itu jadwal masyarakat Cikeusik berada di ladang. Itulah sebabnya Cikeusik sepi. Ada 80 rumah di Cikeusik. “Satu rumah bisa ada dua keluarga,” ujar Ayah Asnah dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Cikeusik jauh berbeda dari Cibeo. Menurut Ubaidilah, Cikeusik adalah desa tertua masyarakat Badui. Dari Ciboleger, Cikeusik merupakan desa Badui terakhir setelah Cibeo dan Cikartawana. Setiap desa memiliki pemimpin adat yang disebut pu’un. Pu’un lebih mirip sebagai raja karena memiliki pembantu untuk pekerjaan sehari-hari, yakni jaro. Jaro adalah pelaksana pemimpin harian yang fungsinya mirip perdana menteri. “Jaro itu pelaksana harian,” kata Ubaidilah.
Ciboleger bisa dikatakan sebagai ibu kota Badui secara keseluruhan, termasuk Badui luar. Di Ciboleger pula pusat pemerintahan Badui secara keseluruhan berada. Menurut Ubadilah, pemimpin Badui secara keseluruhan berasal dari Badui luar.
Ciboleger seperti dua sisi mata uang. Sebagai ibu kota, diharapkan menjadi penyaring pengunjung dan pengaruh dari luar Badui. Di sisi lain, juga menjadi penghubung masyakarat luar yang ingin masuk ke dalam Badui Dalam. Di kampung Badui luar terdapat banyak warung sebagaimana daerah wisata. Ini menunjukkan pengaruh budaya konsumerisme terhadap masyarakat Badui dimulai di Ciboleger.
Memang konsekuensinya bisa dua macam. Pertama, konsumerisme cukup tertahan di Ciboleger dan hanya dipraktikkan masyarakat Badui Luar. Tetapi, gelombang masyarakat luar yang bertandang ke Badui dalam melalui Ciboleger juga membawa ekses terhadap masuknya ikon konsumerisme “internasional” ke Badui Dalam. Saya melihatnya pada sekaleng Sprite. Siapa tak kenal Sprite di dunia ini? Seperti Coca-cola dan McDonald,Sprite adalah ikon minuman sekaligus simbol ekspansi dagang Amerika Serikat ke seluruh dunia.
Di jembatan pintu masuk Cikeusik, seorang perempuan separo baya memegang sekaleng Sprite tanpa rasa curiga. Perempuan itu mendapatkannya dari pemberian pengunjung. Saya takjub karena perempuan itu anggota Badui Dalam yang masih mengenakan pakaian sebatas pinggang.
Meski separo baya, lekuk tubuhnya menunjukkan perempuan itu pandai menjaga diri. Ia tidak tinggi, rambutnya hitam dan terawat. Menurut saya, jika seorang aktris, dia aktris yang berkarakter. Di tubuhnya yang setengah berbalut itu dia mengangkut semacam buntalan. Saya menduga dia baru saja dari ladang.
Bagi saya, atau pengunjung lain yang sekali-sekali ke Cikeusik, pemandangan perempuan bertelanjang dada itu tentulah langka. Perempuan itu, dengan keanggunannya dalam usia separo baya, menjadi simbol yang menunjukkan keaslian Badui. Ia seolah tak tergoda gemerlap dunia luar yang tak berbatas.
Namun, saya melihatnya memegang Sprite. Perempuan Cikeusik itu menggenggam minuman yang menjadi lambang konsumerisme. Boleh jadi, baginya minuman itu sekadar air pelepas dahaga. Tapi di Badui tak ada pabrik Sprite. Mereka tak terbiasa makan dan minum dari hasil beli. Kalaupun harus makan dan minum dengan cara membeli, itu bukanlah jati diri mereka.
Siapa yang membawa Sprite ke Badui? Apa yang membuat perempuan Badui separo baya itu memegang Spritetanpa rasa curiga?
Di Cibeo, pendatang yang berdagang di Badui tak sedikit. Yang mereka perdagangkan adalah makanan kecil serta minuman seperti Sprite dan Coca-cola. Di Cikeusik saya melihat sebuah lapak dagangan seperti itu.
Dan Cikeusik adalah pengecualian. Menurut Ubaidilah, Cikeusik adalah desa terakhir yang dianggap paling terhormat. Selain letaknya paling ujung dari Ciboleger, posisi Cikeusik yang lebih jauh ke dalam mungkin diharapkan sebagai desa terakhir yang menjaga kemurnian Badui.
Saya menduga posisi Cikeusik yang penting dalam masyarakat Badui itulah yang menyebabkan desa itu tak seramai Cibeo atau Cikartawana. Di jalan utama Cikeusik, rumah Pu’un Ayah Jasih merupakan daerah steril. Sekitar 75 meter dari rumah Pu’un, sebilah bambu membentang seperti portal. Pengunjung yang bukan Badui tak boleh melewati batas itu. Dari batas itu saya melihat Pu’un duduk di beranda rumah. Matanya menatap pengunjung.
Tak berapa lama setelahnya, sang istri duduk di samping kiri Pu’un sambil menggendong seorang bocah. Saya menduga itu merupakan cara yang dipilih kepala adat menyambut tamu asing yang berkunjung. Dingin dan penuh pengawasan.
Sebelum pasukan dari Ciseel meninggalkan Badui, Pu’un sempat melambaikan tangannya. Mungkin sebagai tanda bahwa masyarakat Badui tetap ramah meski mereka harus berhati-hati terhadap pengaruh luar.
Saya tak berani mengambil gambar selama di dalam Cikeusik. Di Badui, orang tak diizinkan memotret. Konon, jika orang asing melanggar pantangan di Badui, bisa terkena guna-guna. Sejujurnya, saya tak memotret bukan karena takut guna-guna, melainkan sebagai rasa hormat terhadap aturan yang dijunjung tinggi tuan rumah. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Beberapa teman masih berani memotret. Termasuk mengambil gambar Pu’un yang sedang duduk di beranda rumah. Sebelum berangkat, saya bertanya kepada Ubaidilah tentang larangan memotret di Badui. “Boleh aja, asal langsung jepret,” kata Ubaidilah. Saya tetap tidak berani.
Pak Acang adalah pemandu tur truk ke Badui. Saya kira usianya sudah lewat 60 tahun. Awalnya saya menduga dia termasuk orang Badui karena pakaian yang dikenakannya. Di perjalanan pulang, saya berjalan seiring dengan Pak Acang. Layaknya pemandu, Pak Acang cukup lancar menjelaskan tentang Badui.
Pak Acang tinggal tak jauh dari Ciseel. Pak Acang kenal Ubaidilah karena sering menemani guru muda itu ke Badui. Lebih dari itu, Pak Acang juga pemandu orang-orang yang ingin mencari kesaktian di Badui.
Menurut Ubaidilah, sudah lima tahun terakhir Pak Acang bolak-balik ke Badui Dalam. Ia mengantarkan orang luar yang “menuntut ilmu” di Badui. “Misalnya, kalau ada orang mau ‘gagah’, Pak Acang yang mengantarkan,” kata Ubaidilah.
Pak Acang mengakui hal itu. Dia juga menjual koin ringgit lama sebagai syarat menuntut ilmu di Badui. Menurut dia, orang yang mau menuntut ilmu harus memberi sesaji sepasang ringgit lama, kain kafan, sebilah keris, dan kemenyan. “Itu kalau mau lengkap,” katanya.
Pak Acang adalah pemasok koin ajimat ke Badui. Dia bisa membawa beratus-ratus koin yang dibelinya di Jakarta. Di Badui, koin tersebut “diisi”. Harga satu koin yang belum diisi Rp 100 ribu dan yang sudah diisi bisa mencapai Rp 500 ribu. “Saya baru selesai belanja,” katanya.
Pak Acang menunjukkan kepada saya koin ringgit lama. Koin berwarna kuning tersebut peninggalan Belanda abad ke-19. Di salah satu sisinya tertera tulisan bank Belanda dan gambar Ratu Wilhelmina. Pasangannya adalah koin serupa yang bergambar Raja Belanda. Kedua uang itu bernilai 2 ½ gulden. Awalnya saya menganggap ringgit itu uang Indonesia di masa kolonial. Namun, menurut Ubaidilah, itu uang Belanda yang beredar di Malaysia. “Makanya disebut ringgit,” ujarnya.
Menurut Pak Acang, banyak orang terkenal yang datang ke Badui. Di Cibeo, foto orang-orang terkenal yang menuntut ilmu ke Badui disimpan. “Foto Bung Karno aja ada di Cibeo,” katanya.
Koin juga menjadi simbol kejayaan masyarakat Badui. Ubaidilah mengatakan, Pak Acang “panen” saat masyarakat Badui menikah. Karena pengantin akan menggunakan mahkota yang terdiri atas jalinan koin.
Seperti Badui Luar, Pak Acang juga memainkan peranan sebagai penghubung Badui dan masyarakat luar. Ia menggabungkan unsur mistis dan ekonomi. Motif ekonomi membawanya ke Badui agar mistik Badui bisa dibawa ke luar oleh orang luar. Saya bingung menghadapi Pak Acang, sebagai pedagang atau sebagai pemandu wisata. Sebagai aktor ekonomi atau agen lintas budaya. Tetapi sebagai pedagang, Pak Acang agaknya tahu betul posisinya. Saya menangkapnya saat dia memberi tahu aturan memotret menjelang kami keluar dari Cikeusik. “Kalau ada saya, motretnya maling-maling aja. Kalau minta izin, nggak dikasih, tapi kalau maling-maling nggak apa-apa,” katanya.
Langit Cijahe memang cerah. Namun, saat pasukan Ciseel berjalan kaki menuju Badui, langit di atas perbukitan tampak mendung. Mendung akhirnya berubah menjadi hujan ketika pasukan keluar Cikeusik untuk melanjutkan perjalanan ke desa Badui Dalam yang lain, Cikartawana dan Cibeo.
Jam menunjukkan pukul dua siang. Di tengah perjalanan, hujan turun. Murid Taman Baca Multatuli dan beberapa orang, termasuk saya, berteduh di bawah pondok beratap daun kelapa di tengah ladang. Di pondok, seorang pria Badui Dalam berusia sekitar 30-an duduk sendiri sambil menganyam daun kelapa untuk atap rumah.
Melihat hujan dan mengingat waktu, saya merasa tak mungkin melanjutkan perjalanan ke Cikartawana dan Cibeo. Menurut perhitungan Ubaidilah, jika perjalanan dilanjutkan, pasukan baru kembali sekitar pukul lima petang. Itu berarti pasukan akan menempuh perjalanan malam yang gelap sekaligus menyeberangi sungai.
Namun, anak-anak Ciseel tak kenal menyerah. Meski naik truk, mereka tetap bersemangat menuntaskan perjalanan. Sebagian dari mereka bahkan berlari-larian di jalan setapak tanah merah.
Ubaidilah menanyakan kepada murid-muridnya tentang kelanjutan perjalanan. “Kalau menurut Pak Ubai kita nggak mungkin ke Cibeo. Perjalanan butuh dua jam. Kita baru pulang pukul lima sore,” katanya.
Seorang murid membantah. “Lanjut, Pak. Kan kata Multatuli Badui ada Cikeusik, Cikartawana, Cibeo. Masak cuma Cikeusik,” katanya. Bantahan itu diikuti teriakan senang murid lain. Sebagian dari mereka malah mulai berlari ke arah Cikartawana.
Namun, Ubaidilah juga yang memutuskan. Mengingat waktu, perjalanan cukup sampai Cikeusik. Tur truk pun berakhir dan pasukan kembali ke Ciseel.
Malam terakhir saya di Ciseel adalah malam Saidjah dan Adinda. Acara Sastra Multatuli akan ditutup dengan nonton film. Sebelum film diputar, jalan utama Ciseel ramai. Penduduk kampung sebelah rela menempuh perjalanan bergelap-gelapan untuk menonton layar tancap modern. Warga Ciseel memanfaatkan keramaian ini dengan menjual makanan.
Film pertama adalah rekaman video drama Saidjah dan Adinda yang dimainkan murid-murid Taman Baca Multatuli. Pada hari pertama, Jumat (13/5), Acara Sastra Multatuli dibuka dengan drama Saidjah dan Adinda yang dimainkan di lapangan Madrasah Ibtidaiyah Ciseel.
Drama itu mengisahkan perampokan kerbau Saidjah oleh Demang. Yang paling mengesankan adegan kerbau menyelamatkan Saidjah kecil dari serangan harimau. Kerbau yang digunakan adalah kerbau asli, sedangkan harimau diperankan anggota Taman Baca.
Bagi saya, pemutaran video itu merupakan peristiwa kebudayaan. Warga Ciseel yang jarang menonton televisi bisa menonton diri mereka sendiri. Dan itu semua terjadi berkat teknologi kamera perekam audio visual yang jauh dari kehidupan mereka sehari-hari.
Selain drama, video drama Saidjah dan Adinda juga memperlihatkan wajah penonton. Penontonnya adalah anak-anak beserta seluruh warga Ciseel. Orang tua menonton anak-anak mereka bermain drama. Di malam Minggu, anak-anak bersama orang tua menonton peristiwa itu. Saya menduga, inilah kali pertama proyektor memantulkan film dari komputer jinjing ke layar putih di Ciseel. Ciseel yang terpencil itu menikmati kecanggihan teknologi media. “Urang, itu Urang (saya, itu saya),” kata seorang bocah memberi tahu temannya saat wajahnya muncul dalam rekaman itu.
Setelah pemutaran drama Saidjah dan Adinda, panitia memutar film Max Haveelar (1976) karya sutradara Belanda Fons Rademakers. Di film itu, mereka melihat adegan Saidjah dan Adinda yang lebih lengkap dan profesional. Mereka juga menyaksikan adegan terkenal pidato Haveelar yang mengecam kekejaman Adipati Kartanata Nagara.
Lengkap sudah Acara Sastra Multatuli. Di kampung Ciseel yang jauh di balik bukit, Ubaidilah menularkan Multatuli dengan cara paling sabar. Membaca empat halaman setiap pekan selama 37 pekan. Setelah itu, mengajak anak-anak Ciseel menyusuri jejak Multatuli di Rangkasbitung. Terakhir, mengajak mereka bersentuhan dengan teknologi mutakhir seperti komputer jinjing, kamera video, dan proyektor.
Lewat tengah malam, Max Haveelar tuntas diputar. Anak-anak kembali ke rumah. Sebagian orang dewasa bertahan. Pertunjukan belum selesai, masih ada film Rhoma Irama, Suster Ngesot, dan Wiro Sableng. “Kemarin sempat beli (DVD) buat layar tancap,” kata Ketua RT Syarif.
Saya penasaran bagaimana catatan perjalanan anak-anak Ciseel itu jika sudah jadi buku. Buku yang belum tentu bisa dibuat oleh studi tur anak kota yang belum tentu mau naik truk! (E4)
Foto-foto: VHRmedia / Hervin Saputra
0 komentar:
Post a Comment