Oleh Ubaidilah Muchtar
Siapa tidak tahu Batavus Droogstoppel? Ya, tentu saja pembaca sudah tahu. Batavus sangat tidak suka kepada Sjaalman. Betapa geramnya Batavus Droogstoppel pada Sjaalman. Terutama setelah membaca tulisan Stern tentang surat Havelaar kepada Residen Banten. Batavus langsung memulainya dengan komentar tentang Sjaalman sebagai “penjahat biasa”. Saat itu Batavus bermaksud untuk mencari kemungkinan pengganti karyawan tuannya, Bastian. Bastian sudah lama tidak masuk kantor karena rematik. Maka Batavus mencari Sjaalman ke rumahnya. Karena rumahnya kosong, Batavus Droogstoppel berkesempatan membuka surat istri Sjaalman yang tergeletak di meja. Surat bertanda tangan bangsawan itu berisi anjuran untuk meminta cerai dari suaminya. Keluarga nyonya Sjaalman akan mencarikan pekerjaan untuknya. Kenyataan ini mencengangkan Batavus Droogstoppel dan ia bersyukur karena telah mendapat peringatan secara ajaib dari Tuhan sehingga ia tidak menjadi korban kebaikan hatinya sendiri. Akhirnya Batavus Droogstoppel mengurungkan niatnya memberi pekerjaan kepada Sjaalman. [MH, hlm 349-351]
Rasa syukur Batavus Droogstoppel lebih besar ketika mendapat cerita tentang Sjaalman dan kehidupan penduduk Hindia Belanda dari mantan residen. Mantan residen tersebut mengenal Sjaalman saat di Hindia Belanda. Kubaca paragraf berikut.
“Lantaran saya tertarik dengan masalah Hindia Timur—kerena kopinya—saya membawa percakapan ke subjek itu, dan segera melihat apa yang hendaknya saya pikirkan mengenai semua itu. Residen itu berkata bahwa dia selalu bekerja dengan baik di Timur, oleh karena itu tidak ada kebenaran di seluruh kisah mengenai penderitaan di masyarakat. Saya menyebutkan nama Pria Berselendang. Dia mengenalnya, dan menunjukkan pandangan kurang baik mengenainya. Dia meyakinkan saya bahwa mereka telah bertindak benar dengan memecat orang itu, karena dia adalah orang yang sangat tidak puas, karena selalu menemukan kesalahan dalam segala hal meskipun banyak yang harus dikritik dengan tingkah lakunya.” [MH, hlm. 353]
Mengikuti ayah mertuanya, Batavus Droogstoppel mendapat kesempatan mengunjungi villa mantan residen. Mantan residen yang mengaku mengenal Sjaalman saat bertugas di Hindia Belanda. Villa mantan residen sangat besar dan mewah. Terletak di Driebergen. Pemilik villa menilai Sjaalman sebagai tukang gerutu yang kerjanya hanya protes saja. Bukan Batavus Droogstoppel jika bercerita tanpa memberikan pendapat dan pandangannya. Menurutnya, kelakuan yang baik akan mendapat ganjaran yang baik.
“Tuan ini mengirim keretanya untuk menjemput kami, dan kusirnya mengenakan rompi merah. Saat itu cuaca jelas terlalu dingin untuk bisa melihat sekeliling daerah dengan baik, meskipun pasti sangat indah di saat musim panas. Namun rumah itu sendiri sangat memuaskan, berisi limpahan segala hal yang membuat hidup menyenangkan: ruang biliar, perpustakaan, lemari untuk tumbuhan yang terbuat dari besi dan kaca, dan kakaktuanya memiliki tenggeran perak untuk ditenggeri. Saya belum pernah melihat hal seperti itu, dan langsung menyadari bahwa sikap baik selalu mendapat ganjaran. Pria itu telah berhati-hati dalam mengandalkan usahanya, itu jelas, karena dia memiliki hiasan mewah sebanyak tiga buah. Dia memiliki rumah pedesaan besar ini, juga sebuah rumah di Amsterdam. Saat makan malam segalanya bermenu cendawan, dan para pelayan meja makan menggunakan rompi merah, seperti sang kusir.” [MH, hlm. 353]
Kehidupan makmur juga dialami oleh pedagang teh. Demikian cerita yang dibuat Batavus Droogstoppel. Pedagang yang sekarang sangat kaya ini telah banyak mendapatkan keuntungan dari penjualan teh yang dibuat orang Jawa. Orang Jawa membuat teh untuknya dengan harga murah, dan yang dibeli pemerintah dari padanya dengan harga tinggi.
“Keesokan harinya Residen kembali berkunjung, begitu juga tuan yang membuat masyarakat Jawa memproduksi teh. Mereka berdua secara bersamaan menanyakan kereta apa yang ingin kami naiki menuju Amsterdam. Kami tidak paham maksudnya, namun setelah itu kami mengerti, karena ketika kami tiba di kota itu pada hari Minggu pagi ada dua pelayan di stasiun, satu mengenakan rompi merah dan yang satu mengenakan rompi kuning….”
“Betapa kuda-kuda itu meluncur! Di Weesperstraat, yang selalu kotor, lumpur beterbangan ke kanan dan kiri setinggi rumah dan, seakan-akan takdir, melintaslah si pengembara Pria Berselendang, berjalan terbungkuk dengan kepala menunduk, dan saya melihat betapa dia mencoba menghapus cipratan itu dari wajah pucatnya dengan lengan jaket usangnya. Saya jarang mengalami tamasya yang menyenangkan, dan istri saya juga berpendapat sama.” [MH, hlm. 355-356]
Pengusaha teh Jawa, makelar kopi dan juga mantan residen ditempatkan pada lingkungan dan latar yang mewah. Mereka hidup dengan berkecukupan, dengan rumah yang bagus. Dengan pergaulan terhormat dan bergengsi. Keadaan ini sangat bertentangan dengan Sjaalman yang identik dengan Havelaar, sang pembela rakyat tertindas. Pembela rakyat jelata. Pembela yang mengupayakan keadilan, yang mencoba membongkar penyalahgunaan kekuasaan. Ditempatkan dalam latar kemiskinan.
Kami baru saja menyelesaikan bab 18 novel Max Havelaar. Novel kepahlawanan, pembela rakyat tertindas. Novel yang kami baca setiap Selasa sore. Ya, saat ini juga Selasa. Selasa sore tanggal 25 bulan Januari tahun 2011. Kami bertemu di Taman Baca Multatuli di kampung yang belum teraliri listrik dan hanya dapat dilalui sepeda motor. Namun anak-anak Ciseel dan sekitarnya senantiasa belajar kreatif serta tetap semangat di tengah keterbatasan ini. Sangat berbeda dengan Batavus Droogstoppel yang dalam pandangan Sumyati sebagai orang sombong. Coba tengok kesan Sumyati di minggu ke-33 ini. Ini dia kesannya, “Batavus orangnya sombong dan mau menang sendiri saja!” Sedangkan Rohanah menulis, “Teman-teman kita jangan putus asa walau kita dijajah beratus-ratus tahun! Kita harus seperti kisahnya Saijah dan Adinda.” Satu lagi kesan peserta Reading Group Max Havelaar minggu ini, yaitu dari Sujatna. Sujatna menulis, “Karena para pemimpin sering membeli kenang-kenangan mewah.” Tentu saja anak-anak Ciseel sangat sederhana dalam penampilan. Namun tidak dengan pemikiran. Aku selalu berharap kelak mereka seperti yang dituliskan Dedi Kala, “Kalau saya jadi bupati, saya nggak akan jahat sama rakyat.” Tentu saja tidak harus semua menjadi bupati. Namun mereka akan menjadi orang-orang baik dan jujur serta selalu berpihak pada rakyat kelak.
Oh ya, ini dia peserta Reading Group minggu ke-33 novel Max Havelaar. Ada Sujatna, ada Mariah, ada Unang, ada Irman, ada Radi, ada Siti Nurhalimah, ada Sumyati, ada Rohanah, ada Sadah, ada Elah, ada Elis, ada Samnah, ada Azis, ada Nuraenun, ada Suryati, juga ada Nuraeni. Kami berfoto bersama dengan latar poster ulang tahun ke-150 Max Havelaar sebelum reading minggu ini dimulai. Selasa depan kami akan berjumpa kembali. Selamat berjumpa minggu depan.
0 komentar:
Post a Comment