Oleh Ubaidilah Muchtar
Aku pernah membayangkan bagaimana Saijah berjalan pulang dari Jakarta dengan membawa begitu besar harapan. Harapan akan pertemuan dengan kekasihnya, Adinda. Namun aku tidak menyangka begitu mendalamnya perasaan anak-anak di Taman Baca Multatuli dengan sosok Saijah ini. Hingga jika sedikit saja kusinggung soal kerbau, mereka akan dengan spontan mengucapkan bahwa kerbau itu kerbau Saijah. Begitu pula anak-anak perempuan yang mengikuti Reading Group Max Havelaar. Sosok Adinda sangat membekas diingatan mereka. Maka ketika kami tiba di bagian kisah ini dalam novel Max Havelaar, beberapa dari mereka tampak berkaca-kaca dan menahan tangis. Menahan tangis karena kehidupan Saijah dan Adinda begitu mengharu biru.
Aku tuliskan beberapa kesan mereka. Kesan mereka untuk Saijah dan Adinda. Dedi Kala menulis, “Ibu Adinda meninggal dunia di Badur.” Sedang Aliyudin menulis, “Eh, teman ternyata Saijah sangat menderita. Ia memegang kepalanya karena mikirin Adinda terus. Adinda tidak ada di Badur. Tapi dia tidak putus asa dengan kenyataan itu. Dan dia terus mencarinya sampai ke mana pun Adinda pergi.” Berbeda dengan Sanadi yang menulis soal lain. Sanadi menulis, “Teman-teman, ternyata banyak yang kabur dari Badur karena takut dicambuk.” Sementara Mariah menuliskan baris sajak Saijah. Mariah menulis, “Kata Saijah, aku tidak tahu di mana aku akan mati. Dan Saijah keluar dan mencari tempat di mana Adinda pernah tinggal.” Ada juga Pipih yang menulis, “Cerita Saijah dan Adinda 2000x menyedihkan…” Begitulah sedikit dari kesan peserta Reading Group Max Havelaar minggu ini.
Sore ini, sore Selasa. Selasa tanggal 11 Januari 2011. Selasa ini kami bertemu untuk minggu yang ke tiga puluh satu. Terima kasih untuk anak-anak Ciseel, Cigaclung, Babakan Aceh, juga Babakan Cigaclung yang tetap setia mengikuti Reading Group Max Havelaar. Jika pukul empat tiba di hari Selasa, mereka sudah duduk manis melingkar, menurunkan Max Havelaar. Mendekapnya di dada atau meletakkannya di pangkuan. Membukanya dan menunjukan hingga halaman berapa kami mengaji Max Havelaar. Lalu mendengarkan aku membaca paragraf demi paragraf. Kami berdiskusi meskipun tentu saja tidak dapat sepenuhnya disebut diskusi. Juga akan dengan saksama melihat adegan demi adegan yang membutuhkan peragaan. Aku akan memeragakan adegan yang terdapat dalam novel.
Ah, aku memang pernah membayangkan sukarnya mengajak mereka membaca di awal Taman Baca Multatuli berdiri. Bahkan aku sering khawatir jika mereka tidak akan kembali mengikuti Reading Group Max Havelaar. Namun aku tidak pernah menyangka begitu besar semangatnya kini mereka. Semangat membaca. Haus ilmu pengetahuan. Bahkan kukira kini menular sedikit demi sedikit kepada orang tua mereka yang sebagian besar tidak merasakan nikmatnya membaca.
Ada dua puluh lima peserta yang hadir Selasa ini. Selasa ke tiga puluh satu kami bertemu. Ada Dedi Kala, Aliyudin, Sanadi, Mariah, Nuraeni, Ucu Suharnah, Elis, Herti, Suryati, Mamay, Siti Nurajijah, Siti Nurhalimah, Sumyati, Sadah, Rukanah, Oom, Elah, Sujana, Unang, Herman, Pipih Suyati, Irman, Rohanah, Nuraenun, dan Niah.
Aku akan melanjutkan kisah Saijah dan Adinda ini. Aku teringat Multatuli pernah menulis, “Menunggu adalah hal yang melelahkan. Seperempat jam serasa satu jam, setengah jam serasa sehari, begitu seterusnya.” Maka aku akan langsung saja. Aku baca paragraf pembuka pertemuan ke tiga puluh satu ini. Aku baca kisah ketika Saijah menunggu Adinda di ujung desa di pinggir hutan jati di bawah pohon ketapang.
Oh, dia pasti ketiduran hingga fajar, kelelahan karena berjaga sepanjang malam, berjaga sepanjang banyak malam! Dia mungkin belum tidur selama berminggu-minggu: itu pasti!
Haruskah dia berdiri dan pergi ke Badur? Tidak! Bukankah itu terlihat sepertinya dia meragukan jika gadis itu akan datang?
Atau sebaliknya dia memanggil pria di jauh sana, yang sedang menunggang kerbau menuju sawahnya? Tetapi orang itu begitu jauh. Lagipula, Saijah tidak ingin membicarakan Adinda, tidak ingin menanyakan Adinda… Dia ingin bertemu dia, hanya dia, dia dahulu! Oh pasti, pasti dia akan segera datang!
Dia akan menunggu, menunggu…
Tapi bagaimana jika dia sakit, atau… meninggal?
[MH, hlm. 331]
Itulah gambaran Saijah yang masih tetap setia menunggu kekasihnya, Adinda meskipun malam telah berganti pagi. Betapa bimbang hati Saijah akan keadaan Adinda. Adinda yang ditinggalkannya selama tiga kali dua belas bulan. Namun Adinda yang telah ditunggunya sejak malam tidak juga tampak menuju ketapang. Tempat yang telah disepakati untuk bertemu.
Seperti seekor rusa yang terluka, Saijah langsung bergegas menuju jalan yang mengantarkan dari pohon ketapang ke desa tempat Adinda tinggal. Dia tidak melihat maupun mendengar apa pun, lalu akhirnya dia bisa mendengar sesuatu, karena ada orang yang sedang berdiri di jalan pintu masuk ke desa mereka memanggil, “Saijah, Saijah!”
Namun… apakah ketergesaannya, keinginannya, yang menghalanginya untuk menemukan rumah Adinda? Dalam keterburu-buruannya akhirnya dia bisa mencapai ujung jalan, tempat desa itu berakhir, dan seperti orang gila dia kembali, dan memukul jidatnya karena dia telah melewatkan rumahnya tanpa melihatnya! Tapi sekali lagi dia kembali ke pintu masuk Badur, dan—Tuhan, Tuhan apakah ini mimpi?—sekali lagi dia tidak menemukan rumah Adinda! Sekali lagi dia bergegas kembali, dan tiba-tiba berdiam diri, menekan kepalanya dengan kedua tangan seakan ingin memeras keluar kegilaan yang merasukinya, dan berteriak nyaring: “Mabuk… mabuk… aku mabuk!” [MH, hlm. 331-332]
Betapa sedihnya warga Badur melihat Saijah. Kemudian para wanita Badur keluar dari rumah mereka masing-masing, dengan sedih mereka melihat Saijah yang malang sedang berdiri di jalan desa, karena mereka tahu dan sadar jika dia sedang mencari rumah Adinda. Dan yang lebih menyedihkan yaitu bahwa warga Badur tahu Adinda sudah tidak punya rumah lagi di Badur. Para peserta reading khusuk mengikuti kisah juga ketika sampai di sini.
Karena, ketika Pimpinan Distrik Parangkujang mengambil kerbau milik ayah Adinda…
Saya bilang apa pembaca, bahwa cerita saya monoton.
… kemudian Ibu Adinda meninggal karena patah hati. Kemudian adik perempuannya meninggal, karena dia sudah tidak punya ibu untuk menyusuinya. Dan ayah Adinda, yang takut dihukum karena tidak membayar pajak tanahnya…
Saya tahu, saya tahu, kisah saya memang monoton!
… ayah Adinda telah melarikan diri dari desa. Dia membawa Adinda dan saudara lelakinya bersama dia. Tapi dia sudah mendengar bahwa, ayah Saijah dihukum cambuk rotan di Bogor karena dia telah meninggalkan Badur tanpa surat izin. Oleh karena itu ayah Adinda tidak pergi menuju Bogor, maupun Karawang, maupun Priangan atau Distrik Batavia…. Dia pergi ke Cilangkahan, Distrik Lebak yang berbatasan dengan laut. Di sana dia bersembunyi di hutan dan menanti kedatangan Pak Ento, Pak Lontah, Si Unah, Pak Ansu, Abdul Isma dan beberapa orang lagi yang kerbaunya telah dirampok oleh Pemimpin Distrik Parangkujang, dan mereka semua takut akan dihukum karena tidak membayar pajak tanah mereka. Ketika malam mereka mengambil sebuah perahu nelayan di sana, dan dibawa melaut. Mereka mengikuti jalur angin barat, menetapkan daratan di sebelah kanan perahu sampai ke Kepala Pulau Jawa. Kemudian mereka mengikuti angin utara, hingga akhirnya mereka melihat Tanah Hitam, yang disebut para pelaut Eropa sebagai Princes Island. Mereka telah mengelilingi pantai timur pulau itu, kemudian mereka sampai di Teluk Semangka, memosisikan diri ke puncak teratas Distrik Lampung. Yang, dalam keadaan apa pun, merupakan rute yang saling dibisikkan ke telinga masing-masing orang di Lebak, kapan saja ada pembicaraan mengenai pencurian kerbau “resmi” dan tidak membayar pajak tanah. [MH, hlm. 332-333]
Namun Saijah yang bingung tidak begitu memahami dengan jelas apa yang telah diberitahukan padanya. Dia bahkan tidak begitu menyadari kabar kematian ayahnya. Saijah dalam kondisi bingung yang luar biasa. Kusampaikan kepada para peserta bagaimana Saijah sangat tidak memahami kondisi semua ini. Ada suara mendengung di dalam telinganya, seolah-olah ada orang yang telah memukul gong di dalam kepalanya. Dia merasakan darah dipaksa terdorong melalui pembuluh darah di keningnya, yang dikhawatirkan akan retak karena tekanan. Dia tidak bicara, dan memandang dengan pandangan kosong, tanpa melihat apa pun yang ada di dekatnya; dan akhirnya dia menyemburkan tawa yang mengerikan. Adegan demi adegan yang sangat mengharukan harus kuperagakan kepada peserta reading. Mereka begitu merasakan penderitaan Saijah.
Akhirnya ada seorang wanita tua yang datang menghampiri Saijah lalu mengajak dia masuk ke dalam pondoknya, dan menenangkan orang gila malang itu. Tidak lama kemudian dia berhenti tertawa gila-gilaan; tetapi dia masih saja tidak bicara.
Hanya saja jika malam tiba. Wanita tua yang berbagi pondok dengan Saijah akan terbangun karena suara Saijah, ketika dia bernyanyi tanpa nada: “Aku tidak tahu di mana aku akan mati”. Dan keesokan harinya beberapa penduduk mengumpulkan uang untuk dikorbankan pada buaya Ciujung untuk penyembuhan Saijah, yang mereka kira sedang keraksukan. Para peserta reading tertawa ringan saat membaca bagian ini. Apalagi tentu saja mereka tahu Saijah tidak kerasukan. Saijah hanya tidak kuasa menahan beban kerinduan untuk bertemu dengan kekasih yang ditinggalkannya selama tiga tahun, Adinda.
Suatu malam ketika bulan bersinar terang, dia bangkit dari bale-bale lalu mengendap-endap keluar, dan mencari tempat di mana Adinda pernah tinggal. Tidaklah mudah untuk menemukannya, karena begitu banyak rumah yang jatuh dalam reruntuhan. Tapi dia tampaknya mengenali tempat dari lebar sudut yang tampak menyorotkan semacam sinar melewati cetakan pohon yang terbentuk di matanya, seperti pelaut yang memperkirakan posisinya dari mercusuar atau puncak tertinggi gunung. Para peserta reading kembali menarik napas panjang. Lalu kulanjutkan membaca bagian berikut.
Ya, pasti di sana… Adinda tinggal di sana!
Tersandung-sandung melewati bambu yang mulai membusuk, serta potongan atap yang rubuh, dia membersihkan jalannya sendiri untuk mencari perlindungannya. Dan tentu saja, dia masih menemukan bagian-bagian dinding tegak yang dulu pernah menjadi tempat berdirinya bale-bale Adinda, dan di dinding itu masih tersangkut galah bambu tempat dia menggantungkan bajunya saat dia berbaring tidur…
Tapi bale-bale itu sudah terbalik seperti rumah itu, dan hampir tertutup debu. Dia mengambil segenggam debu itu, lalu menekannya ke bibirnya yang terbuka, lalu menarik napas yang sangat, sangat dalam… [MH, hlm. 334]
Aku peragakan adegan saat Saijah mengambil segenggam debu itu. Para peserta tampak khidmat memerhatikan. Kembali lagi kubaca paragraf berikut setelah berdiskusi sebentar ikhwal bale-bale serta bangunan rumah bekas Adinda tinggal. Juga galah tempat Adinda menggantungkan bajunya saat tidur. Ya, di rumah para peserta reading, di Kampung Ciseel bangunan rumah mereka hampir sama dengan rumah Adinda. Rumah-rumah dengan atap ijuk dan sebagian besar terbuat dari bambu dan kayu dengan kolong. Kolong yang sekaligus digunakan sebagai kandang tempat hewan ternak.
Keesokannya dia menanyakan pada wanita tua yang merawatnya, di mana lesung yang ada di pekarangan belakang rumah Adinda. Wanita itu merasa senang mendengar dia berbicara, dan pergi mengelilingi desa untuk mencari lesung itu. Ketika dia akan memberitahu Saijah siapa pemilik baru lesung itu, dia telah mengikutinya diam-diam, dan, ketika dia dibawa menuju lesung itu, dia menghitung ada tiga puluh dua tanda… [MH, hlm. 334]
“Oh… ternyata Adinda sudah pergi ketika Saijah empat bulan lagi akan datang,” begitu kira-kira Aliyudin menyeletuk dalam bahasa Sunda. Ya, benar sekali seperti yang disampaikan Aliyudin juga anak-anak yang lainnya. Adinda telah pergi dengan ayahnya ke Lampung ketika tanda di lesung baru tiga puluh dua atau kurang empat jumlahnya. Kurang empat dari yang sudah diikrarkan mereka berdua sesaat sebelum Saijah pergi ke Batavia.
Selepas mendapatkan lesung dan menghitung jumlah tanda di kepalanya, Saijah memberi sejumlah dollar Spanyol yang cukup untuk membeli satu ekor kerbau, dan meninggalkan Badur. Di Cilangkahan dia membeli sebuah perahu nelayan, dan bersama perahu itu, setelah berlayar beberapa hari, akhirnya dia mencapai Distrik Lampung, di mana para pemberontak sedang melakukan perlawanan pada pemerintah Belanda.
Saijah bergabung dengan kelompok orang Banten, bukan untuk berkelahi, melainkan untuk menemukan Adinda. Karena dia memiliki sifat lembut, dan lebih merasakan kepedihan alih-alih kedengkian.
Saat membaca paragraf di bawah ini, hatiku berdegup kencang dan peserta reading kembali menarik nafas panjang.
Suatu hari, ketika pemberontak akhirnya sekali lagi dikalahkan, dia berkeliling di sebuah desa yang baru saja dikuasai tentara Belanda, dan sebelumnya sudah terbakar. Saijah tahu bahwa kelompok yang telah dibasmi di sana kebanyakan terdiri dari orang-orang Banten. Seperti hantu dia bergentayangan mengelilingi pondok-pondok yang belum sepenuhnya dihancurkan api, dan menemukan jasad ayah Adinda, dengan bayonet—kelewang menusuk dadanya. Di sampingnya, Saijah melihat tiga saudara laki-laki Adinda terbunuh, muda, lebih seperti masih anak-anak; dan agak jauh di sebelah sana, tubuh Adinda, tanpa busana, telah dianiaya dengan mengerikan…
Sebuah potongan kain linen biru tipis tampak terlihat dari luka menganga di dadanya, yang tampaknya telah mengakhiri sebuah pergelutan panjang… [MH, hlm. 334-335]
Kemudian apa yang dilakukan Saijah. Saijah lalu menghambur ke arah beberapa tentara Belanda yang, dengan senapan yang diarahkan secara horizontal, sedang menggiring beberapa pemberontak yang masih hidup ke dalam api dari rumah yang masih terbakar. Dengan tangan terbuka dia berlari menuju pisau bayonet yang lebar, mendesak maju dengan seluruh kekuatannya, dan dengan sebuah usaha terakhir dia bahkan menekan punggung tentara itu, ketika gagang bayonet itu turut menggores tulang dadanya.
Dan itulah saat kegembiraan besar-besaran terjadi di Batavia atas kemenangan terakhir., yang telah memahkotakan daun salam segar atas apa yang telah dimenangkan oleh Tentara Hindia Belanda Timur. Dan Gubernur Jenderal mengirim surat ke Tanah Air mengatakan bahwa, kedamaian sudah kembali di Distrik Lampung, Dan Raja Belanda, berdasarkan nasihat menterinya, sekali lagi menganugerahkan begitu banyak kepahlawanan dengan banyak hiasan.
Dan tidak diragukan lagi, saat layanan Minggu atau persekutuan doa, himne ucapan syukur dikirimkan ke surge dari setiap hati yang salah karena mengetahui bahwa “sang Raja Manusia” sekali lagi berperang di bahwah panji Belanda…
“Namun, tergerak oleh banyaknya bencana, hari itu
Tuhan menolah sesaji mereka!” [MH, hlm. 335]
Tapi saya tahu lebih banyak. Saya tahu, dan bisa saya buktikan, bahwa terdapat banyak Adinda dan banyak Saijah, dan bahwa apa yang jelas-jelas fiksi adalah kenyataan pada umumnya…. [MH, hlm. 336]
—sebagai ganti sebuah salinan daftar pencuri dan lintah darat yang terletak di depan saya—sebagai ganti semua ini, saya telah mencoba memberikan sketsa mengenai apa yang mungkin terjadi di hati orang-orang malang yang harta kehidupannya tercuri, atau lebih jelas lagi: saya hanya menyarankan apa yang mungkin terjadi di hati mereka, khawatir saya terlalu memperlebar pertanda itu jika saya tetap menggambarkan emosi yang belum pernah saya rasakan. [MH, hlm. 337]
Demikian akhir kisah Saijah dan Adinda. Kisah tentang pemuda desa dalam balutan percintaan yang tragis. Kisah tentang kemiskinan daerah Lebak. Daerah Lebak memang miskin seperti nyata terungkap dalam kisah Saijah dan Adinda yang baru saja kami baca. Sistem tanam paksa, penyalahgunaan kekuasaan pejabat pribumi, serta perampokan hewan ternak seperti kerbau oleh pejabat model Demang Parangkujang, Wiranatakusumah memperparah kehidupan rakyat Lebak yang miskin dan sengsara. Demikian kami membaca bab 17 novel Max Havelaar dalam tiga pertemuan ini. Reading Group Max Havelaar akan melaju bab 18 di minggu yang akan datang.
Senja makin nyata di kampung Ciseel. Selepas kututup pertemuan ke tiga puluh satu ini. Beberapa buah buku tulis sengaja kuberikan kepada peserta reading. Aku ingin mereka mulai menuliskan kisah kesehariannya. Kisah hidup anak-anak Ciseel. Kisah hidup di tanah miskin. Kisah yang mungkin saja masih tak beranjak dari kehidupan Saijah dan Adinda. Meskipun kisah itu telah berlalu 151 tahun yang lalu. Ya, aku ingin anak-anak Multatuli belajar menulis. Menulis catatan harian.
Dedi Kala dan beberapa peserta reading laki-laki kembali merapikan lesung yang sejak tadi menemani kami. Sementara yang perempuan merapikan Max Havelaar kembali ke rak. Dari dapur, emak Hewi mengantarkan sepiring rebusan talas. Kami menikmatinya dengan rasa manis dari permen yang seusai reading dibagikan. Tiga minggu kami membaca kisah Saijah dan Adinda, tetapi kenangannya tertinggal dalam benak kenangan selamanya. Selamanya.
0 komentar:
Post a Comment