Oleh F. Rahardi (Sastrawan, mantan pemimpin redaksi Majalah Trubus, tinggal di Jakarta)
Pertanian di Indonesia, terdiri dari tiga kelompok besar: 1) Perkebunan besar (Badan Usaha Milik Negara = BUMN, dan swasta); 2) Pertanian skala menengah; 3) Pertanian rakyat berskala kecil. Selama ini pemerintah RI lebih banyak berpihak ke perkebunan besar, sambil menekan pertanian rakyat berskala kecil melalui berbagai proyek. Persis sama dengan zaman Multatuli.
Di negara yang rakyatnya makmur, pertanian skala kecil, menengah, maupun perkebunan besar mendapatkan perhatian dalam kadar yang sama dari pemerintah. Pertanian skala besar, perlu diperhatikan (dikendalikan) agar tidak menindas pertanian skala kecil. Pertanian skala menengah, yang umumnya sudah berbadan hukum PT (Perseroan Terbatas), CV (Commanditer Vennootschap = Persekutuan Komanditer), atau Firma, perlu diperhatikan karena untuk lahan sempit seperti di Pulau Jawa, skala inilah yang paling efisien. Pertanian skala kecil juga perlu diperhatikan agar berhimpun menjadi kelompok, koperasi, dan asosiasi, sesuai dengan jenis komoditasnya. Dengan cara ini secara otomatis pertanian skala kecil akan menjadi kuat, dan mampu mengurus serta mengatasi permasalahan mereka sendiri.
Tiga kelompok besar ini perlu bergabung dalam asosiasi, sesuai dengan jenis komoditasnya, agar persaingan antartiga kelompok itu lebih sehat. Selain itu asosiasi petani padi, sayuran, buah-buahan, kopi, karet, dll, juga perlu berafiliasi dengan asosiasi serupa di tingkat global, serta berjuang di ajang WTO (World Trade Organization). Aktivitas apa pun, baru akan menjadi kuat, apabila bergabung dalam kelompok untuk menangani hal-hal teknis, koperasi untuk mengurus bisnis, dan asosiasi untuk mengatasi permasalahan strategis, terutama dalam menghadapi persaingan (dan kecurangan) di tingkat global. Bagi pertanian skala kecil, koperasi sangat penting sebagai badan hukum, ketika bertransaksi bisnis dengan lembaga lain, termasuk memperoleh modal dari bank.
# # #
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), dan kemudian Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, benar-benar menyadari hal ini. Maka, yang mereka perhatikan dengan serius hanyalah pertanian skala sangat kecil (petani gurem), dan perkebunan besar. Mereka tidak pernah memberi peluang agar pertanian skala menengah berkembang. Sebab pertanian skala menengah tidak bisa diperas semudah pertanian skala besar, dan sulit ditekan seperti halnya pertanian skala kecil. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, sebenarnya hanya sekadar melanjutkan, apa yang telah dilakukan oleh VOC. Mereka membuka perkebunan untuk membudidayakan komoditas yang laris manis di pasar Eropa, dan mengabaikan kebutuhan rakyat di negeri jajahan mereka.
Komoditas kopi, teh, kakao, dan karet, memerlukan lahan kering (lahan hutan) untuk dibuka. Sementara tebu, tembakau, nila, yute dan kenaf, memerlukan lahan sawah. Maka, rakyat pun dipaksa untuk melepas hak atas tanah sawah mereka ke pemerintah. Maka Jawa yang pada zaman Hindu dan Kerajaan Islam dikenal sebagai eksportir beras, sejak Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, menjadi defisit beras. Agar rakyat tidak kelaparan, diintroduksi sumber karbohidrat baru dari Amerika Latin: jagung, singkong, ubi jalar, keladi, ganyong, dan garut. Sejak itu diciptakanlah mitos, bahwa makanan pokok orang Gunung Kidul (DIY) dan Wonogiri (Jateng) adalah tiwul yang terbuat dari gaplek (singkong kering).
Sementara makanan pokok orang Madura adalah jagung. Padahal, dua tumbuhan sumber karbohidrat itu baru saja diintroduksi dari Amerika Latin. Kalau dalam pelajaran sekolah disebutkan bahwa makanan pokok masyarakat Maluku dan Papua adalah sagu, itu baru benar. Mitos tiwul dan jagung diciptakan penjajah, untuk legitimasi agar sawah subur di Yogya, Surakarta, Lumajang dan Jember, bisa ditanami tebu, tembakau, kenaf dan yute. Praktis rakyat di Jawa selama penjajahan Belanda hanya dijadikan budak oleh para bangsawan lokal, pedagang etnis China dan Arab, serta pemerintah kolonial. Inilah yang dihadapi oleh Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang kemudian dikenal dengan nama samaran Multatuli, ketika tahun 1838 (usia 18 tahun) tiba di Jawa sebagai pegawai negeri.
Tahun 1851, ia diangkat menjadi Asisten Residen di Ambon, dan kemudian tahun 1857 dipindahkan ke Lebak, Banten. Di sini, Multatuli hanya bisa bertahan tak sampai setahun. Pada tahun 1858 ia kembali ke Eropa dan bermukim di Brussel, Belgia. Di kota inilah laki-laki kelahiran Amsterdam, Negeri Belanda ini, menulis karya monumentalnya: Max Havelaar (Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappij; Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). Sampai sekarang, Max Havelaar masih dicetak ulang dalam berbagai bahasa. Survei koran pagi NRC Handelsblad (merger antara Nieuwe Rotterdamsche Courant dengan Algemeen Handelsblad), telah menempatkan Max Havelaar pada ranking III novel terpopuler berbahasa Belanda.
# # #
Apa yang pernah disampaikan oleh Multatuli melalui Novel Max Havelaar, sebenarnya merupakan semi otobiografi (pengalaman hidupnya), selama menjadi pejabat pemerintah di Hindia Belanda. Kedatangan Eduard Douwes Dekker ke Jawa tahun 1838, memang pas ketika pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), sedang hangat-hangatnya diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Saat itu Hindia Belanda diperintah oleh Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eerens (1836-1840). Tanam Paksa sendiri digagas oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1930. Dalam Sistem Tanam Paksa, masyarakat desa wajib menyerahkan 20% dari total luas lahan miliknya, untuk ditanami kopi, teh, kakao, karet tebu, tembakau, yute, kenaf, tarum (nila) dll.
Semua hasil penen, harus dijual kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan. Rakyat yang tidak bertanah harus "setor" tenaga kerja selama 75 hari dalam setahun (20%), untuk bekerja di kebun milik pemerintah. Selama tahun 1835 sampai dengan keluarnya Undang-Undang (UU) Agraria dan UU Gula Tahun 1870, Cultuurstelsel, benar-benar menyengsarakan rakyat. Selama 40 tahun tersebut, dalam praktek rakyat harus menyerahkan seluruh lahan subur mereka kepada pemerintah, dan mereka yang tuna lahan wajib bekerja setahun penuh di perlebunan milik pemerintah. UU Agraria dan UU Gula Tahun 1870, telah mengakhiri praktek tanam paksa, namun rakyat sudah terlanjur menderita. Dalam hal ini Multatuli adalah "saksi hidup" yang berhasil merekam kekejaman dan kerakusan penjajah di tanah jajahan mereka.
Meskipun tidak pernah dianggap sebagai berpengaruh langsung, Novel Max Havelaar telah ikut mengilhami munculnya Politik Etis di Hindia Belanda. Politik etis sendiri, baru mulai dilaksanakan secara resmi, sejak 17 September 1901, ketika dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda Ratu Wilhelmina, menyatakan bahwa Kerajaan Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi kepada bangsa pribumi di Hindia Belanda. Politik Etis Ratu Wilhelmina itu terangkum dalam program Trias Politika yang terdiri dari Irigasi (pengairan), Transmigrasi, dan Edukasi (pendidikan). Banyak pihak, yang meyakini bahwa ide Politik Etis itu berawal dari suara lantang Jurnalis Pieter Brooshooft di Koran De Locomotief, dan Politikus C.Th. van Deventer, yang juga seorang ahli hukum.
UU Agraria dan UU Gula Tahun 1870, sebenarnya sudah merupakan awal dari Politik Etis Kerajaan Belanda. Dengan dua UU itu Tanam Paksa dihapus, dan rakyat bebas menyewakan lahan mereka kepada siapa saja. Dua UU itu juga memungkinkan pihak swasta asing untuk memperoleh Hak Guna Usaha atas tanah di di Hindia Belanda. Keluarnya dua UU ini antara lain juga disebabkan oleh Novel Max Havelaar, yang terbit perdana tahun 1860. Selanjutnya Politik Etis Kerajaan Belanda, terutama di bidang pendidikan, ikut pula diwarnai oleh Mr. J.H. Abendanon (1852-1925), Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan di Hindia Belanda antara 1900-1905. Abendanonlah yang mengumpulkan surat-surat R.A. Kartini kepada teman-temannya di Belanda, dan menerbitkannya sebagai buku Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
# # #
Dalam bentuk yang lain, penderitaan sebagian besar petani Indonesia, masih sama dengan penderitaan para leluhur mereka pada zaman Multatuli. Era Tanam Paksa memang sudah berakhir tahun 1870, namun Politik Etis Kerajaan Belanda, pada akhirnya juga hanya sekadar manuver politik, khususnya di sektor pertanian. Kondisi ini terus berlanjut selama pendudukan Jepang, Perang Kemerdekaan, Pemerintahan Soekarno, Soeharto, dan pada Era Reformasi sekarang ini. Hal yang paling mendasar adalah, Indonesia merupakan negeri penghasil dan sekaligus konsumen beras nomor tiga setelah RRC dan India. Namun sampai detik ini Indonesia tidak punya Datebase Perberasan, tidak punya Koperasi Petani Padi, serta Asosiasi Petani Padi. Yang ada hanya Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), yang ketuanya Jenderal Purnawirawan.
Sama halnya dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, Pemerintah Republik Indonesia pun tidak senang melihat petani padi jadi makmur. Pada akhir era pemerintahan Soekarno, rakyat memang menderita kelaparan, namun sebaliknya petani padi jadi kaya. Soeharto berpikiran sangat pragmatis. Golkar sebagai mesin politik Orde Baru, terdiri dari Pegawai Negeri dan ABRI (sekarang TNI dan POLRI). Mereka perlu dijinakkan dengan jatah baras, agar bisa mengamankan ritual rutin Pemilu lima tahunan. Selain Pegawai Negeri dan ABRI, buruh juga perlu dirayu dengan beras murah agar tak mudah marah. Maka petani padi yang tidak pernah banyak ulah itulah yang harus dikorbankan sebagai tumbal.
Kekejaman dan kebengisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melalui Tanam Paksa, sebenernya masih ada sisi positifnya, dibanding yang telah dilakukan oleh Pemerintah RI saat ini. Pada zaman Belanda, meskipun petani padi dikorbankan, Jawa adalah eksportir utama gula tebu dunia. Sekarang, pada era Reformasi ini, kita justru sangat bergantung pada gula impor. Posisi Indonesia sebagai penghasil gula tebu sekarang berada pada ranking 10 dunia setelah Brazil 645,3 (juta ton); India 348,1; RRC 124,9; Thailand 73,5; Pakistan 63,9; Meksiko 51,1; Kolombia 38,5; Australia 32,6; Argentina 29,9; dan Indonesia 26. Hal ini bisa dimaklumi, karena dulu, lahan sawah di Jawa mampu menghasilkan 100 ton tebu, dengan rendemen 20%. Hingga dari tiap hektar sawah, bisa dihasilkan sampai 20 ton gula pasir.
Sekarang, hasil per hektar 60 ton sudah hebat, dan rendemen hanya berkisar antara 7 - 8%. Sebab petani terus menerus memelihara tunggul tebu mereka sampai lebih dari lima kali panen, yang seharusnya paling banyak hanya dua kali (satu kali tanam tiga kali panen). Pada zaman Belanda, kita juga eksportir utama minyak akar wangi, sereh wangi, dan kenanga. Sekarang sereh wangi dan akar wangi diambil oleh Haitii dan Reunion, sementara minyak kenanga tak tersedia lagi di pasaran. Selain itu kita juga menjadi importir kapas, gandum, kedelai, bungkil, daging sapi (+sapi bakalan), buah-buahan (apel, jeruk, lengkeng, durian), sayuran (bawang putuh, wortel), bahkan juga garam. Pertanian Indonesia, bukan hanya Lebak, memang tak banyak berubah sejak zaman Multatuli.
# # #
Cimanggis, Depok, 23 April 2011.
Catatan: Tulisan ini akan disampaikan pada acara Sastra Multatuli hari Sabtu, 14 Mei 2011 di Taman Baca Multatuli.
0 komentar:
Post a Comment