728x90 AdSpace

  • Latest News

    27 May 2013

    Berteduh Di Bawah Pohon Kirai

    Catatan Elis Lisnawati

    Hari Jumat tanggal 11 Mei 2012

    Hari Jumat pukul 02.00 WIB aku melihat drama Saijah dan Adinda. Di jalan menuju tempat drama aku berjalan bareng sama Kanah. Sesudah sampai ternyata dramanya belum dimulai. Sebelum aku melihat drama aku ngobrol sama Teh Kanah. Sesudah dimulai aku melihat dan yang menonton drama itu banyak.

    Dalam drama Saijah Adinda, Si Yani berperan sebagai Saijah. Si Yati berperan sebagai Adinda kecil. Tapi yang lain aku tidak tahu berperan sebagai siapa.

    Sesudah selesai dramanya. Aku melihat Mas Daurie sulap. Kami semua berkumpul di lapangan MI. Aku melihat Mas Daurie sulap yang judulnya sulap: Odol Gajah, Air Mancur, dan Api di tangan. Api di tangan itu membuat aku kaget banget.

    Sesudah itu kamu semua pulang. Sesudah di rumah aku langsung mencuci baju ke MCK. Sesudah itu aku mandi. Lalu aku pulang. Lalu aku pakai baju dan aku bermain ke rumahnya Neng Yayah.

    Hari Sabtu tanggal 12 Mei 2012

    Hari Sabtu aku bangun pukul 05.00 WIB. Hari ini aku dan rombongan Taman Baca Multatuli mau jalan-jalan ke Cibeo.

    Sebelum mandi aku disuruh untuk membeli tabung gas ke warung Teh Roh. Sesudah di warungnya Teh Roh ternyata warungnya masih ditutup dan aku memanggilnya. Sesudah dibuka pintunya lalu aku bicara kata aku. Teh Roh beli tabung gas. Kata Teh Roh berapa? Satu saja. Kata aku. Lalu aku pulang membawa tabung gas ke rumah.

    Dan aku juga disuruh untuk menanyakan nasi ke Teh Jamsi. Sesudah sampai di rumah Teh Jamsi aku bertanya. Kata aku. Teh Jamsi nasinya udah masak belum? Kata Teh Jamsi udah nih! Lalu aku membawanya pulang. Sesudah sampai di rumah. Aku meletakkan nasinya. Lalu aku mandi. Sesudah mandi aku pakai handuk. Lalu pakai baju dan celana. Lalu pakai bedak dan kerudung. Dan aku siap-siap berjalan ke lapangan Karang.

    Sebelum berangkat aku ke rumahnya Elah dulu untuk mengambil kartu peserta. Karena kartu peserta aku ketinggalan di rumahnya Elah. Lalu aku berangkat bareng sama Elah. Dan aku sama Elah ke rumahnya Sumyati dulu. Ternyata dia masih dangdan.

    Dan aku sama Elah berjalan aja dan tidak nungguin mereka. Di tanjakan Cikadu aku diajak naik motor oleh Si Yani. Tadinya sih aku gak mau ikut kalau gak bersama Elah. Dan Si Yani terus mengajak aku. Lalu aku ikut. Di jalan aku bertemu sama Si Oom. Lalu aku sama Si Oom naik motor.

    Sesudah sampai di lapangan Karang ternyata mobilnya sudah ada. Ada dua, yang satu mobil engkel dan yang satu lagi mobil losbak. Sesudah aku turun dari motor. Aku nyamperin Sumyati dan Ida. Dan Elah itu masih di jalan. Aku nyuruh Sanadi untuk jemput Elah.
    Kata aku, “Sanadi jemput Elang dong!”
    “Gak mau. Malu.” Kata Sanadi.

    Dan aku terus memaksa Si Sanadi. Akhirnya Si Sanadi mau menjemput Elah. Waktu aku berdiri ada Bu Linda yang mau difotoin.
    “Fotoin, dong!” kata Bu Linda.
    “Boleh.” Kata aku.
    Lalu aku memoto Bu Linda. Sesudah selesai.
    “Ini,” kata aku.
    “Thanks,” kata Bu Linda.
    Sesudah Elah datang. Aku bertanya sama dia.
    Kata aku, “Lah, kamu mau naik mobil apa?”
    “Losbak aja, deh!” kata Elah.
    “Kamu mau naik mobil apa?”
    “Aku sih tadinya mau naik mobil engkel. Tapi kalau Elah naik mobil losbak. Ya, sudah aku juga naik mobil losbak aja.”

    Di jalan menuju Cibeo aku dan teman-teman bernyanyi-nyanyi. Dan di jalan ada yang ngatain kami semua kambing. Tapi kami semua diam aja. Gak ngedengerin orang yang ngatain kambing. Dan di perjalanan kami semua nyanyi-nyanyi.  Teh Pipih yang ngajarin kami semua lagu-lagunya. Teh Pipih ngajarin kami semua banyak banget. Tapi yang aku ingat hanya dua nyanyian.

    Satu, di belakangku ada cowok. Cowoknya cowok matre. Sukanya makan pete. Baunya. Bau dage. Kedua, di mana anak kambing saya. Anak kambing saya ada di belakang saya.
    Dan di mobil aku melihat Mas Sigit memakan gula merah. Dan makannya itu digerogotin gitu. Kayak anak kecil saja. Sesudah sampai di Cijahe. Aku dan teman-teman beristirahat. Aku duduk di amen. Tapi aku gak tahu itu amennya siapa. Sesudah istirahat kami semua disuruh Pak Ubai untuk segera makan. Aku makan bareng sama: Teh Jijah, Sumyati, Elah, dan Ida. Aku makan semur jengkol, tempe, dan telur rebus. Aku paling suka makan semur jengkol. Karena semur jengkol itu enak banget rasanya.

    Setelah selesai makan ada Bapak  yang member tahu kami semua bagaimana caranya menulis catatan perjalanan. Sesudah diberitahu kami semua berangkat menuju Cibeo dan Cikartawana. Di jalan aku melihat pohon-pohon yang sangat tinggi. Jalan Cibeo itu jalannya jalan naik turun aja. Jalannya itu sangat kecil dan tidak bisa dikendarai oleh sepeda motor. Apalagi mobil. Dan aku juga melihat jembata bambu. Aku itu sangat aneh ketika melihat jembatan bambu itu. Karena jembatan itu diikat-ikat oleh ijuk dan tidak memakai alat modern. Meski diikat-ikat oleh ijuk tapi jembatan itu sangat kuat. 

    Aku berjalan bareng Pak Boy dan dua orang temannya Pak Boy. Tapi aku gak tahu siapa namanya. Aku juga berangkat bareng sama Kak Karna. Kak Karna itu orang yang waktu hari Jumat ngaji itu. Di ikut ke Cibeo. Di jalan menuju Cibeo itu ada yang lumpur jalannya dan ada yang tidak. Kaki Kak Karna tercebur ke dalam lumpur. Aku bilang sama Kak Karna.
    Kata aku, “Kak Karna, jalannya hati-hati, ya!”
    “Iya,” kata Kak Karna.

    Dan tidak ada satu orang pun yang jalannya paling depan hanya aku dan Elah yang paling depan. Pas aku dan Elah jalan berdua. Aku menemukan orang Cibeo. Aku sangat kaget. Saat menemukan orang Cibeo. Aku dan Elah berlari-lari sambil berteriak-teriak. Kami berdua takut diculik. Aku dan Elah lari ke belakang. Di belakang aku menemukan Si Ano dan teman-temannya.  Lalu aku berjalan bareng dengan mereka.

    Di jalan kami berteduh di bawah pohon kirai. Pohon kirai yang sangat sejuk. Kami duduk sambil menunggu Pak Acang. Sesudah datang Pak Acang kami semua melanjutkan perjalanan lagi. Dan sesudah sampai di sungai yang sangat besar kami semua berhenti. Dan aku bertanya sama Pak Acang.

    “Pak Acang masih jauh nggak sama Kampung Cibeo?”
    “Dekat lagi.” Kata Pak Acang.
    “Dan benar saya nggak bohong dekat lagi, kok.” Lanjut Pak Acang.
    Sebelum kami semua memasuki Kampung Cibeo kami semua diberi tahu oleh Pak Acang. Kata Pak Acang.

    “Kalau sudah di Cibeo kita gak boleh berfoto-foto atau memainkan HP atau yang lainnya.”
    Sesudah itu kami semua melanjutkan perjalanan ke Cibeo. Aku berjalan bareng sama Kak Sarip dan juga Elah dan juga yang lainnya.

    Sampai di Cibeo aku melihat seorang lelaki tua yang lagi duduk sendirian saja. Saat melihat dia aku sangat takut. Karena dia itu berambut panjang dan juga kumisnya sangat tebal. Dan waktu itu aku dan teman-teman lewat dan ngeliatin terus. Dan matanya itu sangat tajam. Aku juga melihat seorang anak kecil perempuan. Paling 8 tahun dan dia menggendong seorang bayi. Dan juga anak kecil lelaki yang mengejar-ngejar temannya.

    Waktu aku duduk di amennya orang Cibeo. Aku melihat seorang anak kecil yang kayak tuyul paling umurnya sekitar 5 tahunlah. Badannya itu kecil, kepalanya botak, dan kulit badannya itu putih dan alisnya itu sangat besar dan hitam kayak pakai sipat gitu. Waktu aku sama teman-teman duduk ada Pak Acang bilang sama kami semua.

    “Kalau mau makan apa saja sampahnya tidak boleh dibuang sembarangan.” Kata Pak Acang
    Di Cibeo itu tong sampahnya kayak berbentuk kerucut gitu. Terbuat dari bamboo. Sebelum ke Cibeo aku menghitung leuit yang sangat banyak. Sekitar 50 deh. Kata Pak Acang kalau mau berkeliling Cibeo itu tidak boleh sendiri-sendirian. Harus sama teman karena waktu dulu juga ada seorang anak kecil yang hilang di Cibeo.

    Dan aku mendengar Pak Acang bertanya kepada seorang penjual bala-bala.
    “Memangnya kamu selalu menginap di sini, ya?
    “Iya, Cang!” kata penjual gorengan itu.
    Aku bertanya kepada Pak Acang, “Memangnya dia itu bukan orang sini, ya?”
    “Iya, dia itu bukan orang sini. Tetapi orang Cisimeut dan dia di sini itu itu hanya berdagang,” jelas Pak Acang.

    Tadinya aku sih mau bala-bala sama teman tapi tidak jadi. Dan ada juga pedagang gantungan kunci. Teman-temanku ganti dan banyak yang beli tapi cowok. Aku tidak tahu anak perempuan itu ada yang beli atau tidak. Aku bertanya sama Si Ano berapa harganya.
    “4.000an, harganya,” kata Si Ano.

    Aku lalu ingin melihat sungai dengan teman-teman. Tapi katanya anak perempuan itu tidak boleh ke sana. Aku gak jadi ke sana. Aku melihat bapak-bapak yang sedang membikin atap. Pas aku sama teman-teman melihat itu. Kami semua dipanggil oleh Pak Acang.
    “Ayo, kita pulang sudah sore!”

    Pukul 02.30 WIB kami semua pulang. Aku di jalan mencari Sumyati, Elah, dan Ida. Tapi ternyata mereka sudah berangkat duluan. Mereka menunggu kami semua di sungai menuju Cikartawana sama Coni. Tadinya sih aku mau berangkat duluan aja sama teman-teman tapi kata Pak Ubai.
    “Jangan dulu, karena mau dihitung!”

    Peserta lalu dihitung jumlahnya. Takut ada yang ketinggalan. Sesudah itu kami semua berjalan lagi dan jalannya ke Cikartawana. Di Cikartawan aku melihat seorang lelaki tua dia bernama Pak Sakri. Pak Ubai bertanya sama Pak Sakri itu.

    “Pak,” kata Pak Ubai. “Pak Sakri, memangnya di Cikartawana ada berapa rumah?” Lanjut Pak Ubai.

    Kata Pak Sakri ada 18 rumah. Di Cikartawana itu rumahnya semuanya pada tinggi-tinggi dan di bawahnya itu ada kayu bakar. Sesudah di Cikartawana kami berjalan lagi menuju Cijahe.
    Aku berangkat bareng sama Kak Sarip, Elah, dan juga yang lain. Di jalan aku sama Ida tidak pakai sepatu. Ida menyuruh Sanadi untuk membawakan sepatunya.
    “Sanadi bawakan aku sepatu,” kata Ida.
    “Tidak mau, bawa sendiri.” Sanadi menjawab.

    Ida terus memaksa Sanadi agar mau membawakan sepatunya. Akhirnya Sanadi juga mau membawakan sepatunya Ida. Memangnya mengapa Ida tidak mau membawakan sepatunya sendiri. Padahal sepatunya itu tidak berat. Tadinya aku berjalan bareng sama Elah tapi dia udah duluan bersama Sumyati dan juga yang lain.

    Sampai di Cijahe aku dan teman-teman jajan. Aku beli ale-ale dan yang lain. Aku minum. Aku bertanya sama Elah.
    “Elah, kamu beli apa?”
    “Beli ini nih. Coca Cola dan Mizone,” kata Elah.
    Aku berjalan lagi sama Elah.

    Di jalan aku melihat kambing yang sangat besar dan telinganya itu besar. Kambing itu juga tinggi. Bulunya tebal. Aku dan Elah takut sama kambing itu. Tapi kambing itu sangat bagus.
    Sesudah di Cijahe aku beristirahat. Ternyata banyak orang yang tidak ikut ke Cibeo. Katanya sih ada 9 orang. Tapi yang aku tahu hanya 7 orang, yaitu: Kak Nurdi, Mariah, Ipok, Acih, Suarsih, Herti, Iis.

    Sesudah kami semua berkumpul. Kami semua pulang dan aku naik mobil losbak. Aku duduknya dekat dengan Elah dan juga Pak Acang. Di jalan itu ada kayu yang menghalangi. Ternyata portal. Portal dibayar. Pak Acang membayar portal 10 ribu rupiah.
     
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Berteduh Di Bawah Pohon Kirai Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top