728x90 AdSpace

  • Latest News

    12 April 2013

    Sorot Magis Orang Baduy



    Oleh Sigit Susanto


    Nama Kampung Baduy di Banten itu memang sudah sangat lama aku dengar sejak kecil. Namun justru kemudian aku lebih duluan bertemu dengan orang Badui di Mesir, Tunisia, dan Maroko daripada orang Baduy di Banten, negerinya sendiri.

    Beruntung aku punya kawan Ubai yang bertugas sebagai guru di Dusun Ciseel. Dan secara geografis tempatnya kerja tak jauh dari Kampung Baduy. Pada bulan Mei 2011, saat selamatan atas khatamnya membaca novel Max Havelaar, para peserta yang kebanyakan bocah dibawa naik truk ke desa Cikeusik, Baduy Dalam. Aku ikut dalam rombongan truk itu bersama anak-anak dan kawan-kawan luar kota. Kisahnya telah dibukukan dengan judul Rumah Multatuli.

    Entah apa, pengalamanku jika bertemu suku-suku terasing, aku selalu tergoda mengamati sorot mata mereka. Kebanyakan mata mereka sangat magis, seolah punya cahaya alam yang kuat dan teguh jika menatap sesuatu. Seperti ada telisik yang mendalam, penuh perhitungan.

    Pada tahun 1994 aku mengunjungi Rumah Panjang di Desa Pahauman, Kalimantan Barat yang dihuni suku Dayak. Di situ aku amati, dari anak kecil, dewasa sampai kakek-nenek, punya tatapan mata seperti pedang. Awalnya pengalaman spiritual itu hanya kusimpan dalam batin. Aku hanya meraba-raba, sepertinya berbeda sorot matanya, termasuk gerak-geriknya. Tapi aku lebih tertarik pada cahaya mata. Suku Dayak ini sering dalam hati kupersamakan dengan suku Indiana. Jika dilihat dari kostum tradisionalnya dan gerak tariannya, ada kemiripan. Pada tahun 2003 aku dan istri berkesempatan bertemu orang dari suku Maya di candi Chichen Itza, Meksiko. Ia memandu kami, sisa-sisa pancaran matanya masih seperti daun ilalang yang tipis mengiris. Aku sering mendengar selentingan, bahwa suku Indiana di Amerika lebih banyak berbicara dengan mata ketimbang dengan mulut.

    Pada tahun 2001 aku dan istri mengunjungi padang pasir di Urgada, Mesir, sempat makan roti yang dibakar dengan tahi unta kering. Mungkin karena di padang pasir sulit dicari bahan bakar kayu. Kulihat orang Badui yang membakar roti itu matanya bersinar mengkilat. Disusul pengalaman bertemu suku Berber pada tahun 2002 di rumah gua Desa Matmata, Tunisia. Wajah suku Berber, suku tua lain di gurun pasir selain Badui, mereka kurang bersih, tapi matanya menatap penuh daya. Saat aku dan istri di Maroko tahun 2007 orang Badui yang kutemui, matanya menyilaukan.

    Kali ini yang kedua kalinya aku dan rombongan anak-anak Ciseel mengunjungi dua Kampung Baduy Dalam lain, yakni bernama Cibeo dan Cikartawan. Seperti perjalanan tahun sebelumnya, rombongan berjalan kaki melewati pematang sawah, jembatan (tahun lalu masih belum ada, sehingga semua orang menyeberang kali).

    Sesampai di atas tanjakan, dekat lapangan bola, dua truk terbuka sudah berlaga. Di bak truk kecil, sudah penuh anak-anak. Rupanya mereka memanggil-manggil, “Naik sini, naik sini saja Mas Sigit.“ Kutoleh ke mereka, tangan mereka memanggil-manggil. Aku datangi dan aku lihat komposisi penumpang sudah berimbang, sama banyaknya, maka aku naik ke truk yang banyak anak-anak memanggilku. Dalam hati aku berkata, masih ingat juga perjalanan tahun lalu denganku. Pada buku Rumah Multatuli aku baca, memang beberapa anak merasa terhibur satu truk denganku. Kata mereka, Mas Sigit menyanyi bersama, sehingga capainya hilang. Mengingat cerita anak-anak itu, aku tak mau mengecewakan permintaannya.

    Benar, setelah aku meletakkan pantat dengan aman di dasar bak truk, mereka kutatap wajahnya satu per satu. Mereka menunduk ada yang malu, tapi kebanyakan memang wajah-wajah tahun lalu yang satu truk. Bahkan tak perlu menunggu waktu lama, mereka mengajak menyanyi. Di truk ini ada si Irman, bocah kurus berkaus kaki tinggi. Irman, malu-malu melihatku. Disepakati bersama kami bernyanyi dengan sorak-sorai. Kontan rombongan lain yang tampaknya kalem-kalem, terasa sepi.

    Sesampai di pasar Ciminyak, kedua truk berhenti dan mencari minuman serta permen. Kuperhatikan anak-anak membeli ice cream dan bekal yang lain. Ketika truk bergerak maju, ice creamnya berlelehan di tangan. Ini yang kuanggap ada perubahan kesukaan anak-anak. Kalau tahun lalu mereka ada yang beli bakso dan dibawa pulang dalam bungkus plastik, kali ini berganti ice cream. Baju, sepatu, tas sedikit lebih rapi dari tahun lalu yang terkesan lebih apa adanya. Seorang bocah lelaki kulihat mengeluarkan handy. Sungguh dalam setahun saja perubahan atas ketergantungan dengan benda elektronik mulai tampak.

    Di belakang truk ada sekitar 5-7 motor menguntit perjalanan piknik kami. Seperti tahun lalu, para pengendara motor dan yang diboncengkan adalah warga Ciseel. Mereka saling kenal dengan bocah-bocah di truk. Tentu saja motor maju mundur dekat bak truk dan saling menukar nyanyian. Lagu yang paling sering dinyakan, “Sedang apa, sedang apa, sedang apa sekarang?“ Dijawab, “Sedang makan, sedang makan, sedang makan sekarang, sekarang makan apa, makan apa sekarang?“ Lagu pramuka ini dinyanyikan berkali-kali penuh riang.

    Sesampai di Cijahe, aku harus geli, semua desa dengan sebutan Ci, apakah Cijahe dulu banyak jahenya, juga Cibeo, banyak burung beonya? Lagi-lagi seperti tahun lalu, gelar tikar dan makan bersama di pintu masuk jalan tanah menuju Kampung Baduy. Nasi bungkus dengan ikan goreng, sayur dan semur jengkol menaburi nasi putih. Usai makan, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Kali ini rute menuju Cibeo dan Cikartawana lebih jauh dari Cikeusik tahun lalu.

    Tampak Daurie Bintang angkat tangan, memilih istirahat di tempat parkir mobil juga tempat makan itu. Selain Daurie juga terlalu payah, sejak dari acara di Boja-Kendal, Kediri, hingga ke Ciseel tak ada henti. Tapi ia bilang, salah posisi di truk, mengakibatkan tak enak badan. Ternyata ia tak sendirian, masih ada beberapa bocah Ciseel yang urung tuntaskan misi ke dua Kampung Baduy ini. Bagiku, tak lengkap jika 3 Kampung Baduy sudah dikunjungi sebuah tahun lalu, maka tahun ini sisa dua kampung haruslah dibereskan.

    Sebuah kios minuman dan cindera mata di samping kiri, beberapa langkah sederet warung sebelah kiri, menyeberanglah ke jembatan bambu. Sejak dari sini perjalanan di tanah liat semakin menggeliat. Naik, turun, berkelok, matahari menyiram panas. Beberapa pejalan kaki terhenti, sebagian memilih jalan pelan. Beberapa wajah tampak putus asa. Kami berpapasan dengan seorang bapak memanggul atap dari daun bulung kering. Di belakang bapak itu, seorang anak juga memanggul benda yang sama. Keduanya tanpa alas kaki. Wajah mereka bersahaja, seperti tanah dan pohon, tanpa polesan. Hidup adalah berat, tapi tidak disuarakan atau diperlihatkan.

    Jalanan berbukit itu cukup menguras tenaga. Pak Acang, sang pemandu ada di antar rombongan. Tak ada pilihan lain, selain harus menyeberangi sungai berair bersih deras mengalir. Hampir semua peserta setidaknya kakinya direndamkan, atau rambutnya dimasukkan ke air, malah ada beberapa yang nekad mencebur berbasah-basah.

    Kepala basah, seperti masuk sauna, dari terik matahari terendam dingin air seperti es batu, membuat tubuh segar kembali, seperti bayi baru lahir di bumi. Langkah kaki lebih perkasa, kami semua terhalang sungai lagi, tapi kali ini ada jembatan bambu yang konstruksinya seperti piramida, hanya dengan ikatan-ikatan ijuk aren hitam.

    Segerombolan rumah panggung dari bambu semua beratap daun bulung. Itulah Kampung Cibeo, Baduy Dalam.Perasaanku seperti akan memasuki sebuah kerajaan baru. Jembatan bambu terlewati, masuklah di lorong kecil bebatuan di antara rumah-rumah panggung. Jauh sebelumnya Pak Acang mewanti-wanti dilarang memotret, jikalau terpaksa harus mencuri-curi. Maka kameraku kupendam di ransel. Beberapa peserta berjalan mendahuluiki dan bergerombol. Di tengah lorong ada pedagang dari luar desa Badui. Ada seorang bapak Baduy diikuti dua anak kecil duduk di depan rumah. Pak Acang mengajak mereka berbicara dan rupanya komunikasi berjalan lancar. Tak ada rasa takut, orang-orang saling memahami batas wilayah masing-masing. Aku masih berada di urutan paling belakang. Aku tak melangkahkan kaki lebih jauh, masih ingin mengamati dua bocah yang keluar dari pintu rumah panggung. Dua bocah itu lagi-lagi matanya memancar tajam. Yang terkecil berusia sekitar satu tahun dan kakaknya berusia sekitar empat tahun. Anak yang lebih besar berpakaian putih lusuh, adiknya tak berbaju, mereka menoleh ke arahku, kadang ke arah kerumunan rombongan. Tak lama seorang ibu muda keluar dengan rambut hitam kelam. Ia lekas merangkul kedua anak di depannya dan bicara denganku dan beberapa anggota rombongan, dengan bahasa yang tak jelas. Tapi dari bahasa tubuhnya jelas ia menyuruh kami menuju ke tengah dengan anggota rombongan yang lain, terbukti dengan gerakan tangannya yang mengacung ke arah tengah. Semakin disuruh pergi aku semakin terdiam di situ. Aku amati dari menit ke menit yang lain. Mata sang ibu seperti air kali yang jernih. Tak ada susupan unsur kebendaan, apalagi dapat pengaruh modernitas. Memang mereka biasa hidup dengan menjaga jarak dari modernitas, tak ada listrik, apalagi televisi, kalau sandal jepit dan arloji saja tak mau memakainya. Gerak tangannya, seperti daun yang terdesak angin. Senyumnya pas, tidak berlebihan, tampak belum tergores pengetahuan peradaban yang konvensional. Tidak ada rekayasa dalam setiap langkahnya.

    Beberapa saat berlalu, ibu itu menggendong masuk kedua anaknya. Harapanku, aku bisa masuk ke dalam rumah, namun tak memungkinkan saat itu. Kuikuti jejak kakiku sesuai naluri. Setelah bergabung dengan kawan-kawan lain, ada warga Baduy yang mengeluarkan cindera mata buatannya, aku memilih berjalan sendirian ke tengah. Kulihat ada altar panjang dan dilarang belok kanan, karena di sebelah kanan ada rumah Puun, semacam ketua adat.

    Sambil berjalan aku bayangkan, kenapa namanya suku ini Baduy seperti nama suku terpencil di gurun pasir negeri-negeri Arab? Dari berbagai sumber yang kuperoleh, awalnya peneliti Belanda yang memberi nama suku ini Baduy, dengan mempersamakan dengan suku Badui di negeri Arab. Barangkali pertimbangannya, karena kedua suku di Arab dan Banten ini sama-sama terisolir dari dunia luar. Namun jika kubandingkan dari kedua suku terasing ini, suku Baduy Dalam lebih kuat adatnya. Mereka benar-benar menampik fasilitas produk modern. Sedang suku Badui di negeri-negeri Arab peradabannya sudah lebih moderat. Misalnya, anak-anak kecil suku Badui di Petra, Yordania, mereka naik keledai sambil memegang handy. Di rumahnya juga ada televisi. Yang bisa dipersamakan dengan suku Badui di negeri-negeri Arab adalah orang Baduy Luar di Banten ini. Orang Baduy Luar yang karena keluar dari adat yang ketat, mentolelir penggunaan fasilitas modern.

    Di tengah altar panjang, kulihat banyak lekaki Baduy bergerombol sedang membuat sesuatu, entah anyaman bambu atau apa, aku tidak berani mendakat. Kakiku kuarahkan ke kiri, yang menurut kawan-kawan ada kali. Sendirian saja aku berlenggang, berhentilah aku di bawah rimbun pohon. Dengan berjarak sekitar 7 meter, kusaksikan beberapa perempuan sedang menumbuk padi di lumbung kayu di bawah gubuk. Di belakang gubuk penumbukan padi itu ada kali. Sesekali kutatap ibu-ibu yang relatif masuh muda-muda ada yang menggendong bayi. Aku tak berani mengeluarkan kamera dari ransel, sebagai gantinya kukeluarkan kertas dan pen. Kepalaku menoleh ke tempat-tempat yang penting, sesekali ke gerombolan lelaki di jauh sana, sesekali pada ibu-ibu di dekatku. Siapa tahu aku salah langkah, sehingga dikenai sanksi adat? Ibu-ibu muda ynag menumbuk padi terlihat banyak senyum dan bicara di antara mereka sendiri. Kadang mereka juga menoleh ke arahku.

    Tak kusangka, ada suara benda keras, krossseeeek, greekkkkkseeeeek, entah dari mana. Seketika aku lari dari tempatku berdiri, tanpa berani menoleh ke mana pun. Daun kelapa panjang yang sudah kering jatuh dari pohonnya. Daun cokelat panjang yang lapuk itu persis jatuh di tempatku berdiri tadi. Hatiku gemetar, mensyukuri telah selamat dari musibah. Kuhitung dalam angan, jarakku berdiri sekarang dengan daun kelapa jatuh itu hanya sekitar 4 meter. Beberapa detik berlalu kucoba toleh ibu-ibu yang sedang menumbuk padi, ingin tahu reaksi mereka. Mereka memancarkan rasa iba kepadaku. Bukan menertawakan, juga bukan menyalahkan. Kutoleh lagi ke arah orang-orang lelaki, mereka juga melempar sorot mata yang damai, seolah ikut bersyukur. Setidaknya aku tidak dianggap melanggar hukum adat.

    Aku benar-benar sendirian, meninggalkan rombongan. Merasa sudah cukup menyantap panorama suku Baduy dari dekat, maka aku ingin bergabung dengan teman-teman di tempat semula. Akan tetap menuju tempat itu, aku sengaja mencari jalan setapak yang sangat beda. Ada sebuah jalan batu kecil membelah rumah-rumah bambu. Aku nekad masuk ke situ, semakin aku masuk ke dalam, suasana hatiku semakin senang, tapi was-was. Sebab jalan batu itu semakin mengecil dan hanya ada di sela-sela teras rumah warga. Beberapa orang Baduy di dalam rumah, melongok keluar, aku lambaikan tangan. Mereka tua-muda tersenyum riang. Namun juga kepikiran, siapa tahu aku salah jalan dan tersesat, bisa jadi aku terkenak hukuman adat. Sempat sedikit terpikirkan, bagaimana kalau aku disekap di situ, mengingat aku sendirian. Teringat film-film yang menghukum pendatang baru di suku pedalaman. Pikiran burukku lekas lenyap, lagi-lagi diyakinkan oleh orang-orang Baduy yang kulewati, memancarkan suasana kedamaian.

    Benar-benar kunikmati berjalan menyelinap sendirian mengamati kehidupan mereka dari jarak dekat. Setiba di jalan masuk lagi, aku segera bergabung dengan kawan-kawan. Dari situ beberapa kawan hendak bertandang mandi di kali. Melewati jalan semula dekat tempat aku akan kejatuhan daun kelapa, belok kanan, tibalah di mulut sungai. Beberapa anak muda dari rombongan sudah berlompatan ke kali. Cuaca panas bagaikan naluri masuk ke air. Aku melihat di bagian bawah kali ada beberapa perempuan dan anak kecil mandi. Bahkan aku saksikan mereka mengambil air kali dengan bambu untuk dibawa pulang. Dugaanku, mereka memasak air minum dari kali ini. Ada pula seorang ibu muda mandi di kali, ia layaknya ibu-ibu di desa lain yang mandi di kali dengan posisi sedikit jongkok. Rata-rata orang Baduy berkulit terang.

    Menyadari orang-orang Baduy sudah pergi dari kali, giliranku menurunu ke arah kaki kali. Tujuannya satu, untuk beol. Merasa yakin tak ada orang yang lihat, aku taburkan hajat di kandung badan. Lagi-lagi aku bingung, apakah caraku ini tidak melanggar aturan? Timbul pertanyaan, bagaimana orang Baduy menunaikan hajatan besar mereka? Dibuatkan kakus atau di kali? Ramalanku ya di kali, karena aku tidak melihat ada kakus berdiri di luar bangunan rumah. Ah, tak tertahankan, aku melepas beban di perut. Setelah khatam, aku pun menyelamkan tubuh di kali, sekujur tubuhku basah. Ketika aku bangkit menuju ke atas, celaka, ternyata saat itu ibu-ibu Baduy sedang mandi. Waduh,….lewat mana lagi nih. Jangan-jangan aku diintai oleh lelakinya, bisa-bisa kena sanksi adat. Ibu-ibu dan anak Baduy yang sedang mandi, tidak merasa terusik rombongan kami mandi dengan meloncat dari atas jembatan bambu. Betul-betul banyak toleransi orang Baduy. Kadang aku sedih, jika bayangkan mereka mencari makanan dari hutan dan ternyata sampai ke kebun penduduk luar, maka harus undur diri. Bagi orang Baduy hutan adalah untuk penghidupan manusia. Tak perlu dibatasi dengan kaplingan, wilayah. Seperti di zaman Soviet saat komunismenya masih kuat, penduduk bebas mencari jamur di seluruh penjuru hutan. Sejak sistem neoliberalisme memasuki Rusia, hutan menjadi dimiliki orang secara pribadi. Kebebasan mencari jamur mulai dibatasi. Bukankah ciri-ciri kehidupan orang Badui di daratan Arab termasuk suku nomaden. Mereka berpindah-pindah tempat dengan memboyong tenda saja. Konon Muammar Gaddafi, yang juga berasal dari suku Badui, sering dalam bepergian membawa tenda. Mungkin ia terbiasa dengan tradisi nenek moyang dia dulu.

    Untung ibu-ibu yang mandi tidak lama, begitu mereka pergi, aku jalan cepat bergabung dengan kawan-kawan. Merasa semua kawan dah segar kembali, maka rombongan menyatu untuk pulang. Dengan melewati jembatan bambu, terpisah sudah negeri dongeng dan kini memasuki negeri nyata.

    Dengan berjalan beberapa waktu, rombongan berbelok menghampiri satu Kampung Baduy lain yang bernama Cikartawana. Rombonganku berjalan termasuk yang paling depan, sehingga saat memasuki Kampung Cikartawana, paling pertama melihat kesunyian yang asri. Rumah-rumah bambu bergerombol dengan pintu tertutup. Ada anak kecil muncul dan lari bersembunyi. Menurut Pak Acang, penghuninya sedang ke ladang. Kampung yang hanya terdiri atas beberapa rumah itu halamannya tak berumput. Gundul dengan tanah telanjang warna kecokelatan. Pak Acang sang juru bicara, sempat berbincang dengan seorang warga yang masih muda. Selang beberapa menit saja, kami semua kembali menuju truk yang sudah menanti.

    Kecapaian yang panjang itu bagiku, tertebus sudah menyaksikan dua Kampung Baduy yang sangat asri dan tradisional. Terutama penghuninya yang rukun dan mau menerima kita. Ya, karena kami semua orang lokal, Indonesia, karena memasuki Kampung Baduy Dalam buat turis asing dilarang keras. Entah sampai kapan penolakan menerima tamu asing itu akan terus dipertahankan. Dugaanku, jika turis asing masuk, dampaknya yang mencolok akan diikuti sederet kios cendera mata, restoran, hotel dengan standar harga yang bukan lokal, melainkan lebih mahal. Sudah terbukti pada Desa Tenganan dan Trunyan, Bali Aga, Bali pra Majapahit, komersialisasi mengiringi.

    Tiba di parkiran truk, semua wajah tampak pucat. Ada dua lelaki berbaju putih dengan ikat kepala putih, celana pendek yang mirip rok berwarna hitam. Kedua lelaki itu menyelipkan golok dan membawa anak kecil. Aku mencoba mengajak bercakap-cakap, karena mereka bisa berbahasa Indoensia. Kutanya, kenapa mereka berada di situ? Mereka mengaku sedang menunggu tamu dari Jakarta. Sejak kapan mereka janjian, karena tak memakai telepon. Mereka sebut sejak bertemu dua minggu lalu, orang Jakarta itu akan datang pada hari yang disepakati, namun jamnya tidak jelas. Kedua orang Baduy Dalam itu sudah menunggu sejak siang sampai sore masih belum bertemu tamunya. Aku sodorkan tanya, bagaimana perasaan sebagai warga Baduy Dalam melihat saudara di Baduy Luar yang hidupnya lebih longgar menghadapi peradaban dengan peralatan modern, seperti boleh naik motor, punya handy, pakai jam tangan? Seorang yang mengaku anak angkat Puun jawab, “Ya, karena ia sudah terlanjur lahir dan dibesarkan di lingkungan Baduy Dalam, tidak bisa menolak larangan adat.“ Pertanyaanku cukup konyol, tapi ia jawab dengan sangat lugas. Sebelum aku berpisah aku minta izin bocah kecil itu aku angkat dan difoto bersama. Bocah sekecil itu ketika kuangkat, aku menyentuh benda kecil menyelip di pinggang. Kurasa itu golok. Sebelum berpisah aku tanya, sekiranya ada simbol apa tentang kejadian daun kelapa jatuh persis di atas kepalaku, tapi aku sempat lari. Lelaki yang mengaku anak angkat Puun menjawab, “Itu tandanya Anda beruntung, artinya tujuan Anda mengunjungi Kampung Baduy memang baik. Kalau orang tujuannya buruk, bisa jadi bernasib kejatuhan daun kelapa tadi.“

    Truk menderukan mesin, asap menguap, kami semua kembali naik truk lagi. Perjalanan pulang terasa lebih cepat. Tetap saja kami menyanyi di sepanjang jalan. Bocah-bocah di truk kami juga masih sama seperti semula. Perjalanan pulang ini diwarnai dengan tidur di bak truk terbuka. Memasuki Ciminyak, berhenti sejenak untuk menggabung dua truk menjadi satu truk, karena truk yang kecilan akan pulang duluan. Sampai di dekata lapangan lagi, semua penumpang ditumpahkan.

    Malam telah menyandera, langit sudah mulai berganti baju hitam. Jalan kampung kami lalui, melewati jembatan gantung panjang. Jembatan ini tahun lalu belum ada, kami harus menyebarng sungai termasuk motor berenang di kali berair dangkal.

    Masih ingat sekali usai jembatan gantung ini anak-anak bisik-bisik, di sebelah kanan ada kuburan. Kali ini benar-benar jalan setapak di tengah sawah. Tak ada anak yang jalan sendirian, semua bergerombol. Motor penjemput dari Ciseel datang silih berganti, mereka mungkin orang tua atau kakak ynag menjemput anak atau adiknya. Beberapa kali anak-anak Ciseel melewati aku sambil pamitan, “Duluan, Mas Sigit.“ Tak jarang pengendara motor itu berhenti ingin memboncengkan aku. Tapi aku selalu menolak, selama adik-adik masih berjalan dengan mata tumit kaki, aku tak mau duluan.

    Melewati tikungan tajam, kami menuruni Desa Ciseel. Rumah-rumah sudah terang dengan TV besar terpajang di ruang tamu. Beberapa rumah memutar lagu-lagu ndang dut keras-keras. Rumah Kang Sarif, tempat Taman Baca Multatuli berada sudah di depan mata. Aku merasa petualangan kali ini tidak separah tahun lalu, dimana aku dan Mbak Ita Siregar kesasar di tengah sawah, dan menyeberang kali dalam cahaya lampu kunang-kunang.

    Kawan-kawan antre mandi. Kali ini rumah Kang Sarif, ketua RT itu sudah membangun kamar mandi baru dilengkapi dengan toilet. Kalau tahun lalu aku harus ke sungai malam petang, kini cukup di toilet di rumah.

    Usai makan malam dengan semur jengkol dan sajian khas desa, kami para tamu luar kota turun ke depan rumah. Sebuah panggung sudah siap dengan peralatan hiburan. Layar putih sudah terpancang di atas jalan menanjak.

    Puisi Ibu karya Multatuli dibaca oleh bocah, dilanjutkan Erlang dan aku membacakan hasil perjalanan tahun lalu ke jejak Multatuli di Rangkasbitung dan Kampung Baduy. Ada anak-anak yang membacakan kisahnya tahun lalu dengan sebut nama-nama Mbak Ita Siregar, Mbak Esther, Mas Daurie. Dalam hati aku kagum, sepertinya anak-anak malu berdekatan dengan kami, namun nama-nama mereka tulis dengan tepat.

    Hiburan folklore mengisi malam terakhir kami di Ciseel, ibu-ibu berpakaian warna-warni menyanyi dengan pinggulnya sedikit digerak-gerakkan. Musik sederhana lesung kayu ditabuh saling beriringan. Kesenian Ngagondang ini salah satu bentuk kreasi seni warga setempat. Hiburan panggung diakhiri dengan musik Qasidah, alunannya Arab, lagunya bahasa Sunda.

    Acara penutupan adalah tayangan film dokumenter karya Metro TV. Aku saksikan, banyak anak-anak yang tersorot di layar, tampil banyak diteriaki oleh kawan-kawan. Orang tua juga ikut senang, merasa anak-anaknya sudah menjadi bintang film dadakan.

    Mata sudah tak bisa diajak berlama-lama, kami satu per satu undur diri mencari tempat tidur. Layar masih memancarkan film-film susulan, yakni Rhoma Irama dan Wiro Sableng, entah sampai berapa lama lagi warga desa setia menontonnya.

    Jika mengingat saat kami berangkat ke sini dari Bogor, dua hari lalu. Bus Rudi ukuran sedang membawaku dari pintu keluar tempat tinggal Daurie di Bogor. Perjalanan panjang menuju Ciminyak, harus sering berdiri, mengingat ada nenek dan ibu muda sambil menyusui anak masuk. Tak tega rasanya membiarkan mereka yang berdiri, sedang kami santai duduk dengan nyaman. Bisa kutafsirkan, tanpa latihan Yoga setiap hari, tubuh ini sudah terkapar. Bagaimana tidak, rute yang kami jalani, dari Boja-Kendal ke Kediri, ke Bandung, ke Bogor, dan ke Ciseel. Setiap malam biasanya banyak obrolan sampai larut pagi sekitar pukul 02.00.

    Aku baru tahu ada sebuah kota kecil bernama Ci Jogja. Memangnya banyak orang Jogja di sini? Sebelum sampai Ciminyak, rombongan kecil kami, Daurie, Rama Prabu, Tommas, dan Heri turun. Tukang ojek sudah menanti, transaksi terjadi. Disepakati per orang Rp75.000,00 Hitung-hitung harga ojek dari Ciminyak ke Ciseel juga Rp50.000,00 jadi beralasanlah. Ketika ojek-ojek ini memasuki jalan di Ciminyak, ternyata ada tanda-tanda khusus dari pengojek Ciminyak kepada pengojek luar. Mereka hendak meminta uang, karena merasa wilayahnya diserobot. Untung pengojek yang kuboncengi cukup dikenal, sehingga bebas tak membayar. Pengojek ini bilang punya istri dan anak. Motornya juga masih baru. Ketika jalanan menurun tajam, aku mengambruk ke tubuhnya, baru kutahu ada benda keras mengganjal di sebelah kanan. Kutanyakan, ia ngaku, itu pisau dari kakeknya. Hem,…ini daerah golok rupanya.

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Sorot Magis Orang Baduy Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top