Oleh Sigit Susanto
Nama Kampung Baduy di
Banten itu memang sudah sangat lama aku dengar sejak kecil. Namun justru
kemudian aku lebih duluan bertemu dengan orang Badui di Mesir, Tunisia, dan
Maroko daripada orang Baduy di Banten, negerinya sendiri.
Beruntung aku punya
kawan Ubai yang bertugas sebagai guru di Dusun Ciseel. Dan secara geografis
tempatnya kerja tak jauh dari Kampung Baduy. Pada bulan Mei 2011, saat
selamatan atas khatamnya membaca novel Max Havelaar, para peserta yang
kebanyakan bocah dibawa naik truk ke desa Cikeusik, Baduy Dalam. Aku ikut dalam
rombongan truk itu bersama anak-anak dan kawan-kawan luar kota. Kisahnya telah
dibukukan dengan judul Rumah Multatuli.
Entah apa, pengalamanku
jika bertemu suku-suku terasing, aku selalu tergoda mengamati sorot mata
mereka. Kebanyakan mata mereka sangat magis, seolah punya cahaya alam yang kuat
dan teguh jika menatap sesuatu. Seperti ada telisik yang mendalam, penuh
perhitungan.
Pada tahun 1994 aku
mengunjungi Rumah Panjang di Desa Pahauman, Kalimantan Barat yang dihuni suku
Dayak. Di situ aku amati, dari anak kecil, dewasa sampai kakek-nenek, punya
tatapan mata seperti pedang. Awalnya pengalaman spiritual itu hanya kusimpan
dalam batin. Aku hanya meraba-raba, sepertinya berbeda sorot matanya, termasuk
gerak-geriknya. Tapi aku lebih tertarik pada cahaya mata. Suku Dayak ini sering
dalam hati kupersamakan dengan suku Indiana. Jika dilihat dari kostum
tradisionalnya dan gerak tariannya, ada kemiripan. Pada tahun 2003 aku dan
istri berkesempatan bertemu orang dari suku Maya di candi Chichen Itza,
Meksiko. Ia memandu kami, sisa-sisa pancaran matanya masih seperti daun ilalang
yang tipis mengiris. Aku sering mendengar selentingan, bahwa suku Indiana di
Amerika lebih banyak berbicara dengan mata ketimbang dengan mulut.
Pada tahun 2001 aku dan
istri mengunjungi padang pasir di Urgada, Mesir, sempat makan roti yang dibakar
dengan tahi unta kering. Mungkin karena di padang pasir sulit dicari bahan
bakar kayu. Kulihat orang Badui yang membakar roti itu matanya bersinar
mengkilat. Disusul pengalaman bertemu suku Berber pada tahun 2002 di rumah gua
Desa Matmata, Tunisia. Wajah suku Berber, suku tua lain di gurun pasir selain
Badui, mereka kurang bersih, tapi matanya menatap penuh daya. Saat aku dan
istri di Maroko tahun 2007 orang Badui yang kutemui, matanya menyilaukan.
Kali ini yang kedua
kalinya aku dan rombongan anak-anak Ciseel mengunjungi dua Kampung Baduy Dalam
lain, yakni bernama Cibeo dan Cikartawan. Seperti perjalanan tahun sebelumnya,
rombongan berjalan kaki melewati pematang sawah, jembatan (tahun lalu masih
belum ada, sehingga semua orang menyeberang kali).
Sesampai di atas
tanjakan, dekat lapangan bola, dua truk terbuka sudah berlaga. Di bak truk
kecil, sudah penuh anak-anak. Rupanya mereka memanggil-manggil, “Naik sini,
naik sini saja Mas Sigit.“ Kutoleh ke mereka, tangan mereka memanggil-manggil.
Aku datangi dan aku lihat komposisi penumpang sudah berimbang, sama banyaknya,
maka aku naik ke truk yang banyak anak-anak memanggilku. Dalam hati aku
berkata, masih ingat juga perjalanan tahun lalu denganku. Pada buku Rumah
Multatuli aku baca, memang beberapa anak merasa terhibur satu truk
denganku. Kata mereka, Mas Sigit menyanyi bersama, sehingga capainya hilang.
Mengingat cerita anak-anak itu, aku tak mau mengecewakan permintaannya.
Benar, setelah aku
meletakkan pantat dengan aman di dasar bak truk, mereka kutatap wajahnya satu
per satu. Mereka menunduk ada yang malu, tapi kebanyakan memang wajah-wajah
tahun lalu yang satu truk. Bahkan tak perlu menunggu waktu lama, mereka
mengajak menyanyi. Di truk ini ada si Irman, bocah kurus berkaus kaki tinggi.
Irman, malu-malu melihatku. Disepakati bersama kami bernyanyi dengan
sorak-sorai. Kontan rombongan lain yang tampaknya kalem-kalem, terasa sepi.
Sesampai di pasar Ciminyak,
kedua truk berhenti dan mencari minuman serta permen. Kuperhatikan anak-anak
membeli ice cream dan bekal yang lain. Ketika truk bergerak maju, ice
creamnya berlelehan di tangan. Ini yang kuanggap ada perubahan kesukaan
anak-anak. Kalau tahun lalu mereka ada yang beli bakso dan dibawa pulang dalam
bungkus plastik, kali ini berganti ice cream. Baju, sepatu, tas sedikit
lebih rapi dari tahun lalu yang terkesan lebih apa adanya. Seorang bocah lelaki
kulihat mengeluarkan handy. Sungguh dalam setahun saja perubahan atas
ketergantungan dengan benda elektronik mulai tampak.
Di belakang truk ada
sekitar 5-7 motor menguntit perjalanan piknik kami. Seperti tahun lalu, para
pengendara motor dan yang diboncengkan adalah warga Ciseel. Mereka saling kenal
dengan bocah-bocah di truk. Tentu saja motor maju mundur dekat bak truk dan
saling menukar nyanyian. Lagu yang paling sering dinyakan, “Sedang apa, sedang
apa, sedang apa sekarang?“ Dijawab, “Sedang makan, sedang makan, sedang makan
sekarang, sekarang makan apa, makan apa sekarang?“ Lagu pramuka ini dinyanyikan
berkali-kali penuh riang.
Sesampai di Cijahe, aku
harus geli, semua desa dengan sebutan Ci, apakah Cijahe dulu banyak jahenya,
juga Cibeo, banyak burung beonya? Lagi-lagi seperti tahun lalu, gelar tikar dan
makan bersama di pintu masuk jalan tanah menuju Kampung Baduy. Nasi bungkus
dengan ikan goreng, sayur dan semur jengkol menaburi nasi putih. Usai makan,
perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Kali ini rute menuju Cibeo dan
Cikartawana lebih jauh dari Cikeusik tahun lalu.
Tampak Daurie Bintang
angkat tangan, memilih istirahat di tempat parkir mobil juga tempat makan itu.
Selain Daurie juga terlalu payah, sejak dari acara di Boja-Kendal, Kediri,
hingga ke Ciseel tak ada henti. Tapi ia bilang, salah posisi di truk,
mengakibatkan tak enak badan. Ternyata ia tak sendirian, masih ada beberapa
bocah Ciseel yang urung tuntaskan misi ke dua Kampung Baduy ini. Bagiku, tak
lengkap jika 3 Kampung Baduy sudah dikunjungi sebuah tahun lalu, maka tahun ini
sisa dua kampung haruslah dibereskan.
Sebuah kios minuman dan
cindera mata di samping kiri, beberapa langkah sederet warung sebelah kiri,
menyeberanglah ke jembatan bambu. Sejak dari sini perjalanan di tanah liat
semakin menggeliat. Naik, turun, berkelok, matahari menyiram panas. Beberapa
pejalan kaki terhenti, sebagian memilih jalan pelan. Beberapa wajah tampak
putus asa. Kami berpapasan dengan seorang bapak memanggul atap dari daun bulung
kering. Di belakang bapak itu, seorang anak juga memanggul benda yang sama.
Keduanya tanpa alas kaki. Wajah mereka bersahaja, seperti tanah dan pohon,
tanpa polesan. Hidup adalah berat, tapi tidak disuarakan atau diperlihatkan.
Jalanan berbukit itu
cukup menguras tenaga. Pak Acang, sang pemandu ada di antar rombongan. Tak ada
pilihan lain, selain harus menyeberangi sungai berair bersih deras mengalir.
Hampir semua peserta setidaknya kakinya direndamkan, atau rambutnya dimasukkan ke
air, malah ada beberapa yang nekad mencebur berbasah-basah.
Kepala basah, seperti
masuk sauna, dari terik matahari terendam dingin air seperti es batu, membuat
tubuh segar kembali, seperti bayi baru lahir di bumi. Langkah kaki lebih
perkasa, kami semua terhalang sungai lagi, tapi kali ini ada jembatan bambu
yang konstruksinya seperti piramida, hanya dengan ikatan-ikatan ijuk aren
hitam.
Segerombolan rumah
panggung dari bambu semua beratap daun bulung. Itulah Kampung Cibeo, Baduy Dalam.Perasaanku
seperti akan memasuki sebuah kerajaan baru. Jembatan bambu terlewati, masuklah
di lorong kecil bebatuan di antara rumah-rumah panggung. Jauh sebelumnya Pak Acang
mewanti-wanti dilarang memotret, jikalau terpaksa harus mencuri-curi. Maka
kameraku kupendam di ransel. Beberapa peserta berjalan mendahuluiki dan
bergerombol. Di tengah lorong ada pedagang dari luar desa Badui. Ada seorang
bapak Baduy diikuti dua anak kecil duduk di depan rumah. Pak Acang mengajak
mereka berbicara dan rupanya komunikasi berjalan lancar. Tak ada rasa takut,
orang-orang saling memahami batas wilayah masing-masing. Aku masih berada di
urutan paling belakang. Aku tak melangkahkan kaki lebih jauh, masih ingin
mengamati dua bocah yang keluar dari pintu rumah panggung. Dua bocah itu
lagi-lagi matanya memancar tajam. Yang terkecil berusia sekitar satu tahun dan
kakaknya berusia sekitar empat tahun. Anak yang lebih besar berpakaian putih
lusuh, adiknya tak berbaju, mereka menoleh ke arahku, kadang ke arah kerumunan
rombongan. Tak lama seorang ibu muda keluar dengan rambut hitam kelam. Ia lekas
merangkul kedua anak di depannya dan bicara denganku dan beberapa anggota
rombongan, dengan bahasa yang tak jelas. Tapi dari bahasa tubuhnya jelas ia
menyuruh kami menuju ke tengah dengan anggota rombongan yang lain, terbukti
dengan gerakan tangannya yang mengacung ke arah tengah. Semakin disuruh pergi
aku semakin terdiam di situ. Aku amati dari menit ke menit yang lain. Mata sang
ibu seperti air kali yang jernih. Tak ada susupan unsur kebendaan, apalagi
dapat pengaruh modernitas. Memang mereka biasa hidup dengan menjaga jarak dari
modernitas, tak ada listrik, apalagi televisi, kalau sandal jepit dan arloji
saja tak mau memakainya. Gerak tangannya, seperti daun yang terdesak angin.
Senyumnya pas, tidak berlebihan, tampak belum tergores pengetahuan peradaban
yang konvensional. Tidak ada rekayasa dalam setiap langkahnya.
Beberapa saat berlalu,
ibu itu menggendong masuk kedua anaknya. Harapanku, aku bisa masuk ke dalam
rumah, namun tak memungkinkan saat itu. Kuikuti jejak kakiku sesuai naluri.
Setelah bergabung dengan kawan-kawan lain, ada warga Baduy yang mengeluarkan
cindera mata buatannya, aku memilih berjalan sendirian ke tengah. Kulihat ada
altar panjang dan dilarang belok kanan, karena di sebelah kanan ada rumah Puun,
semacam ketua adat.
Sambil berjalan aku
bayangkan, kenapa namanya suku ini Baduy seperti nama suku terpencil di gurun
pasir negeri-negeri Arab? Dari berbagai sumber yang kuperoleh, awalnya peneliti
Belanda yang memberi nama suku ini Baduy, dengan mempersamakan dengan suku
Badui di negeri Arab. Barangkali pertimbangannya, karena kedua suku di Arab dan
Banten ini sama-sama terisolir dari dunia luar. Namun jika kubandingkan dari
kedua suku terasing ini, suku Baduy Dalam lebih kuat adatnya. Mereka benar-benar
menampik fasilitas produk modern. Sedang suku Badui di negeri-negeri Arab
peradabannya sudah lebih moderat. Misalnya, anak-anak kecil suku Badui di
Petra, Yordania, mereka naik keledai sambil memegang handy. Di rumahnya juga
ada televisi. Yang bisa dipersamakan dengan suku Badui di negeri-negeri Arab
adalah orang Baduy Luar di Banten ini. Orang Baduy Luar yang karena keluar dari
adat yang ketat, mentolelir penggunaan fasilitas modern.
Di tengah altar panjang,
kulihat banyak lekaki Baduy bergerombol sedang membuat sesuatu, entah anyaman
bambu atau apa, aku tidak berani mendakat. Kakiku kuarahkan ke kiri, yang
menurut kawan-kawan ada kali. Sendirian saja aku berlenggang, berhentilah aku
di bawah rimbun pohon. Dengan berjarak sekitar 7 meter, kusaksikan beberapa
perempuan sedang menumbuk padi di lumbung kayu di bawah gubuk. Di belakang
gubuk penumbukan padi itu ada kali. Sesekali kutatap ibu-ibu yang relatif masuh
muda-muda ada yang menggendong bayi. Aku tak berani mengeluarkan kamera dari
ransel, sebagai gantinya kukeluarkan kertas dan pen. Kepalaku menoleh ke
tempat-tempat yang penting, sesekali ke gerombolan lelaki di jauh sana,
sesekali pada ibu-ibu di dekatku. Siapa tahu aku salah langkah, sehingga
dikenai sanksi adat? Ibu-ibu muda ynag menumbuk padi terlihat banyak senyum dan
bicara di antara mereka sendiri. Kadang mereka juga menoleh ke arahku.
Tak kusangka, ada suara
benda keras, krossseeeek, greekkkkkseeeeek, entah dari mana. Seketika aku lari
dari tempatku berdiri, tanpa berani menoleh ke mana pun. Daun kelapa panjang
yang sudah kering jatuh dari pohonnya. Daun cokelat panjang yang lapuk itu
persis jatuh di tempatku berdiri tadi. Hatiku gemetar, mensyukuri telah selamat
dari musibah. Kuhitung dalam angan, jarakku berdiri sekarang dengan daun kelapa
jatuh itu hanya sekitar 4 meter. Beberapa detik berlalu kucoba toleh ibu-ibu
yang sedang menumbuk padi, ingin tahu reaksi mereka. Mereka memancarkan rasa
iba kepadaku. Bukan menertawakan, juga bukan menyalahkan. Kutoleh lagi ke arah
orang-orang lelaki, mereka juga melempar sorot mata yang damai, seolah ikut
bersyukur. Setidaknya aku tidak dianggap melanggar hukum adat.
Aku benar-benar
sendirian, meninggalkan rombongan. Merasa sudah cukup menyantap panorama suku
Baduy dari dekat, maka aku ingin bergabung dengan teman-teman di tempat semula.
Akan tetap menuju tempat itu, aku sengaja mencari jalan setapak yang sangat
beda. Ada sebuah jalan batu kecil membelah rumah-rumah bambu. Aku nekad masuk
ke situ, semakin aku masuk ke dalam, suasana hatiku semakin senang, tapi
was-was. Sebab jalan batu itu semakin mengecil dan hanya ada di sela-sela teras
rumah warga. Beberapa orang Baduy di dalam rumah, melongok keluar, aku
lambaikan tangan. Mereka tua-muda tersenyum riang. Namun juga kepikiran, siapa
tahu aku salah jalan dan tersesat, bisa jadi aku terkenak hukuman adat. Sempat
sedikit terpikirkan, bagaimana kalau aku disekap di situ, mengingat aku
sendirian. Teringat film-film yang menghukum pendatang baru di suku pedalaman.
Pikiran burukku lekas lenyap, lagi-lagi diyakinkan oleh orang-orang Baduy yang
kulewati, memancarkan suasana kedamaian.
Benar-benar kunikmati
berjalan menyelinap sendirian mengamati kehidupan mereka dari jarak dekat.
Setiba di jalan masuk lagi, aku segera bergabung dengan kawan-kawan. Dari situ beberapa
kawan hendak bertandang mandi di kali. Melewati jalan semula dekat tempat aku
akan kejatuhan daun kelapa, belok kanan, tibalah di mulut sungai. Beberapa anak
muda dari rombongan sudah berlompatan ke kali. Cuaca panas bagaikan naluri
masuk ke air. Aku melihat di bagian bawah kali ada beberapa perempuan dan anak
kecil mandi. Bahkan aku saksikan mereka mengambil air kali dengan bambu untuk
dibawa pulang. Dugaanku, mereka memasak air minum dari kali ini. Ada pula
seorang ibu muda mandi di kali, ia layaknya ibu-ibu di desa lain yang mandi di
kali dengan posisi sedikit jongkok. Rata-rata orang Baduy berkulit terang.
Menyadari orang-orang
Baduy sudah pergi dari kali, giliranku menurunu ke arah kaki kali. Tujuannya
satu, untuk beol. Merasa yakin tak ada orang yang lihat, aku taburkan hajat di
kandung badan. Lagi-lagi aku bingung, apakah caraku ini tidak melanggar aturan?
Timbul pertanyaan, bagaimana orang Baduy menunaikan hajatan besar mereka?
Dibuatkan kakus atau di kali? Ramalanku ya di kali, karena aku tidak melihat
ada kakus berdiri di luar bangunan rumah. Ah, tak tertahankan, aku melepas
beban di perut. Setelah khatam, aku pun menyelamkan tubuh di kali, sekujur
tubuhku basah. Ketika aku bangkit menuju ke atas, celaka, ternyata saat itu
ibu-ibu Baduy sedang mandi. Waduh,….lewat mana lagi nih. Jangan-jangan aku
diintai oleh lelakinya, bisa-bisa kena sanksi adat. Ibu-ibu dan anak Baduy yang
sedang mandi, tidak merasa terusik rombongan kami mandi dengan meloncat dari
atas jembatan bambu. Betul-betul banyak toleransi orang Baduy. Kadang aku
sedih, jika bayangkan mereka mencari makanan dari hutan dan ternyata sampai ke
kebun penduduk luar, maka harus undur diri. Bagi orang Baduy hutan adalah untuk
penghidupan manusia. Tak perlu dibatasi dengan kaplingan, wilayah. Seperti di
zaman Soviet saat komunismenya masih kuat, penduduk bebas mencari jamur di
seluruh penjuru hutan. Sejak sistem neoliberalisme memasuki Rusia, hutan
menjadi dimiliki orang secara pribadi. Kebebasan mencari jamur mulai dibatasi.
Bukankah ciri-ciri kehidupan orang Badui di daratan Arab termasuk suku nomaden.
Mereka berpindah-pindah tempat dengan memboyong tenda saja. Konon Muammar
Gaddafi, yang juga berasal dari suku Badui, sering dalam bepergian membawa
tenda. Mungkin ia terbiasa dengan tradisi nenek moyang dia dulu.
Untung ibu-ibu yang
mandi tidak lama, begitu mereka pergi, aku jalan cepat bergabung dengan
kawan-kawan. Merasa semua kawan dah segar kembali, maka rombongan menyatu untuk
pulang. Dengan melewati jembatan bambu, terpisah sudah negeri dongeng dan kini
memasuki negeri nyata.
Dengan berjalan beberapa
waktu, rombongan berbelok menghampiri satu Kampung Baduy lain yang bernama
Cikartawana. Rombonganku berjalan termasuk yang paling depan, sehingga saat
memasuki Kampung Cikartawana, paling pertama melihat kesunyian yang asri.
Rumah-rumah bambu bergerombol dengan pintu tertutup. Ada anak kecil muncul dan
lari bersembunyi. Menurut Pak Acang, penghuninya sedang ke ladang. Kampung yang
hanya terdiri atas beberapa rumah itu halamannya tak berumput. Gundul dengan
tanah telanjang warna kecokelatan. Pak Acang sang juru bicara, sempat
berbincang dengan seorang warga yang masih muda. Selang beberapa menit saja,
kami semua kembali menuju truk yang sudah menanti.
Kecapaian yang panjang
itu bagiku, tertebus sudah menyaksikan dua Kampung Baduy yang sangat asri dan
tradisional. Terutama penghuninya yang rukun dan mau menerima kita. Ya, karena
kami semua orang lokal, Indonesia, karena memasuki Kampung Baduy Dalam buat
turis asing dilarang keras. Entah sampai kapan penolakan menerima tamu asing
itu akan terus dipertahankan. Dugaanku, jika turis asing masuk, dampaknya yang
mencolok akan diikuti sederet kios cendera mata, restoran, hotel dengan standar
harga yang bukan lokal, melainkan lebih mahal. Sudah terbukti pada Desa Tenganan
dan Trunyan, Bali Aga, Bali pra Majapahit, komersialisasi mengiringi.
Tiba di parkiran truk,
semua wajah tampak pucat. Ada dua lelaki berbaju putih dengan ikat kepala
putih, celana pendek yang mirip rok berwarna hitam. Kedua lelaki itu
menyelipkan golok dan membawa anak kecil. Aku mencoba mengajak bercakap-cakap,
karena mereka bisa berbahasa Indoensia. Kutanya, kenapa mereka berada di situ?
Mereka mengaku sedang menunggu tamu dari Jakarta. Sejak kapan mereka janjian,
karena tak memakai telepon. Mereka sebut sejak bertemu dua minggu lalu, orang
Jakarta itu akan datang pada hari yang disepakati, namun jamnya tidak jelas.
Kedua orang Baduy Dalam itu sudah menunggu sejak siang sampai sore masih belum
bertemu tamunya. Aku sodorkan tanya, bagaimana perasaan sebagai warga Baduy Dalam
melihat saudara di Baduy Luar yang hidupnya lebih longgar menghadapi peradaban
dengan peralatan modern, seperti boleh naik motor, punya handy, pakai jam
tangan? Seorang yang mengaku anak angkat Puun jawab, “Ya, karena ia sudah
terlanjur lahir dan dibesarkan di lingkungan Baduy Dalam, tidak bisa menolak
larangan adat.“ Pertanyaanku cukup konyol, tapi ia jawab dengan sangat lugas.
Sebelum aku berpisah aku minta izin bocah kecil itu aku angkat dan difoto
bersama. Bocah sekecil itu ketika kuangkat, aku menyentuh benda kecil menyelip
di pinggang. Kurasa itu golok. Sebelum berpisah aku tanya, sekiranya ada simbol
apa tentang kejadian daun kelapa jatuh persis di atas kepalaku, tapi aku sempat
lari. Lelaki yang mengaku anak angkat Puun menjawab, “Itu tandanya Anda
beruntung, artinya tujuan Anda mengunjungi Kampung Baduy memang baik. Kalau
orang tujuannya buruk, bisa jadi bernasib kejatuhan daun kelapa tadi.“
Truk menderukan mesin,
asap menguap, kami semua kembali naik truk lagi. Perjalanan pulang terasa lebih
cepat. Tetap saja kami menyanyi di sepanjang jalan. Bocah-bocah di truk kami
juga masih sama seperti semula. Perjalanan pulang ini diwarnai dengan tidur di
bak truk terbuka. Memasuki Ciminyak, berhenti sejenak untuk menggabung dua truk
menjadi satu truk, karena truk yang kecilan akan pulang duluan. Sampai di
dekata lapangan lagi, semua penumpang ditumpahkan.
Malam telah menyandera,
langit sudah mulai berganti baju hitam. Jalan kampung kami lalui, melewati
jembatan gantung panjang. Jembatan ini tahun lalu belum ada, kami harus
menyebarng sungai termasuk motor berenang di kali berair dangkal.
Masih ingat sekali usai
jembatan gantung ini anak-anak bisik-bisik, di sebelah kanan ada kuburan. Kali
ini benar-benar jalan setapak di tengah sawah. Tak ada anak yang jalan
sendirian, semua bergerombol. Motor penjemput dari Ciseel datang silih
berganti, mereka mungkin orang tua atau kakak ynag menjemput anak atau adiknya.
Beberapa kali anak-anak Ciseel melewati aku sambil pamitan, “Duluan, Mas
Sigit.“ Tak jarang pengendara motor itu berhenti ingin memboncengkan aku. Tapi
aku selalu menolak, selama adik-adik masih berjalan dengan mata tumit kaki, aku
tak mau duluan.
Melewati tikungan tajam,
kami menuruni Desa Ciseel. Rumah-rumah sudah terang dengan TV besar terpajang
di ruang tamu. Beberapa rumah memutar lagu-lagu ndang dut keras-keras. Rumah
Kang Sarif, tempat Taman Baca Multatuli berada sudah di depan mata. Aku merasa
petualangan kali ini tidak separah tahun lalu, dimana aku dan Mbak Ita Siregar
kesasar di tengah sawah, dan menyeberang kali dalam cahaya lampu kunang-kunang.
Kawan-kawan antre mandi.
Kali ini rumah Kang Sarif, ketua RT itu sudah membangun kamar mandi baru dilengkapi
dengan toilet. Kalau tahun lalu aku harus ke sungai malam petang, kini cukup di
toilet di rumah.
Usai makan malam dengan
semur jengkol dan sajian khas desa, kami para tamu luar kota turun ke depan
rumah. Sebuah panggung sudah siap dengan peralatan hiburan. Layar putih sudah
terpancang di atas jalan menanjak.
Puisi Ibu karya
Multatuli dibaca oleh bocah, dilanjutkan Erlang dan aku membacakan hasil
perjalanan tahun lalu ke jejak Multatuli di Rangkasbitung dan Kampung Baduy.
Ada anak-anak yang membacakan kisahnya tahun lalu dengan sebut nama-nama Mbak
Ita Siregar, Mbak Esther, Mas Daurie. Dalam hati aku kagum, sepertinya
anak-anak malu berdekatan dengan kami, namun nama-nama mereka tulis dengan
tepat.
Hiburan folklore mengisi
malam terakhir kami di Ciseel, ibu-ibu berpakaian warna-warni menyanyi dengan
pinggulnya sedikit digerak-gerakkan. Musik sederhana lesung kayu ditabuh saling
beriringan. Kesenian Ngagondang ini salah satu bentuk kreasi seni warga
setempat. Hiburan panggung diakhiri dengan musik Qasidah, alunannya Arab,
lagunya bahasa Sunda.
Acara penutupan adalah
tayangan film dokumenter karya Metro TV. Aku saksikan, banyak anak-anak yang
tersorot di layar, tampil banyak diteriaki oleh kawan-kawan. Orang tua juga
ikut senang, merasa anak-anaknya sudah menjadi bintang film dadakan.
Mata sudah tak bisa
diajak berlama-lama, kami satu per satu undur diri mencari tempat tidur. Layar
masih memancarkan film-film susulan, yakni Rhoma Irama dan Wiro Sableng, entah
sampai berapa lama lagi warga desa setia menontonnya.
Jika mengingat saat kami
berangkat ke sini dari Bogor, dua hari lalu. Bus Rudi ukuran sedang
membawaku dari pintu keluar tempat tinggal Daurie di Bogor. Perjalanan panjang
menuju Ciminyak, harus sering berdiri, mengingat ada nenek dan ibu muda sambil
menyusui anak masuk. Tak tega rasanya membiarkan mereka yang berdiri, sedang
kami santai duduk dengan nyaman. Bisa kutafsirkan, tanpa latihan Yoga setiap
hari, tubuh ini sudah terkapar. Bagaimana tidak, rute yang kami jalani, dari
Boja-Kendal ke Kediri, ke Bandung, ke Bogor, dan ke Ciseel. Setiap malam
biasanya banyak obrolan sampai larut pagi sekitar pukul 02.00.
Aku baru tahu ada sebuah
kota kecil bernama Ci Jogja. Memangnya banyak orang Jogja di sini? Sebelum
sampai Ciminyak, rombongan kecil kami, Daurie, Rama Prabu, Tommas, dan Heri
turun. Tukang ojek sudah menanti, transaksi terjadi. Disepakati per orang
Rp75.000,00 Hitung-hitung harga ojek dari Ciminyak ke Ciseel juga Rp50.000,00
jadi beralasanlah. Ketika ojek-ojek ini memasuki jalan di Ciminyak, ternyata ada
tanda-tanda khusus dari pengojek Ciminyak kepada pengojek luar. Mereka hendak
meminta uang, karena merasa wilayahnya diserobot. Untung pengojek yang
kuboncengi cukup dikenal, sehingga bebas tak membayar. Pengojek ini bilang
punya istri dan anak. Motornya juga masih baru. Ketika jalanan menurun tajam,
aku mengambruk ke tubuhnya, baru kutahu ada benda keras mengganjal di sebelah
kanan. Kutanyakan, ia ngaku, itu pisau dari kakeknya. Hem,…ini daerah golok
rupanya.
0 komentar:
Post a Comment