Oleh Ubaidilah Muchtar
Matahari jelang sore. Hangat menyentuh kulit. Ini
untuk pertama kali. Aku naik busway. Di depan toko buku Guru Bangsa di Pondok Pinang. Aku membeli tiket. Busway membawaku
ke pemberhentian terakhir, Harmoni. Kawanku terus memberi petunjuk. Pesan singkatnya
memenuhi kotak pesan. Tiba di Harmoni. Kusaksikan orang-orang bergerak cepat hendak
melanjutkan perjalanan. Sambung busway. Menuju tempat tujuan masing-masing. Di
beberapa pintu tampak penumpang berjubel. Penumpang yang hendak masuk dan
keluar bertabrakan. Suara plat baja bergesek dengan sepatu. Derit menderit dan
bergemuruh. Di luar, kemacetan Jakarta tampak sekali.
Pesan datang kembali kawanku tidak menunggu di
Harmoni. Ia menunggu di Gambir. Aku diminta melanjutkan perjalanan sampai di
Gambir. Gambir kini tujuanku. Beberapa halte terlewati. Di halte Gambir aku
turun. Berjalan menuju stasiun Gambir dalam cahaya remang. Ini kukira sudah
menjelang Isa.
Perjuangan menunggu tanpa kepastian. Bertanya dan
kembali memeriksa loket. Berdiri dalam antrean panjang. Ini antrean penumpang
yang kehabisan karcis. Petugas berulang kali menyampaikan karcis ke beberapa
tujuan sudah habis. Masih menunggu. Sebab ada harapan muncul. Salah seorang
petugas mengatakan akan ada gerbong tambahan.
Masih menunggu. Apakah benar ada gerbong tambahan
atau hanya harapan palsu? Apakah masih ada karcis tersisa atau habis terjual?
Apakah kami akan jadi berangkat dengan kereta api atau naik angkutan lainnya?
Malam merambat cepat. Pukul sembilan telah lewat. Harapan menjadi kenyataan.
Gerbong tambahan benar ada. Dua lembar karcis kereta api akhirnya kami terima.
Satu lembar untuk kawanku, Husni K Effendi. Satu lembar lagi untuk aku.
Meski karcis kereta api telah kuterima namun inilah
kebiasaan tidak baik. Kami tidak merencanakan kepergian dengan baik. Harusnya
jauh-jauh hari kami mempersiapkannya. Mencari karcis tanpa kepastian membuat
hati tidak karuan.
Para penumpang memasuki badan kereta. Kereta api
Argo Bromo Anggrek Malam bernomor EKS-5 tujuan Surabaya Pasar Turi meninggalkan
Gambir. Jam menunjuk angka 9.30. Lampu-lampu sepanjang rel. Rumah-rumah,
persimpangan, lampu kendaraan, gedung-gedung. Terlewati dalam gelap. Kereta
mempercepat lajunya. Kawanku Husni duduk dekat jendela. Aku duduk di
sebelahnya. Di kursi bernomor 2D.
Sepanjang perjalanan menuju Surabaya kami habiskan
dengan berbicara. Bertukar cerita. Berbagi kisah dan peristiwa. Husni kawanku
sejak 2004. Kami pernah bersama di Bandung. Kami pernah tergabung dalam Jaringan Peduli Kemanusiaan. Kami biasa
bertemu di tempat asyik, Ultimus. Toko Buku dan penerbitan keren di Bandung. Jika
pembaca tidak percaya silakan mampir ke Ultimus. Jika tidak salah kabar awal
April ini Ultimus menempati rumah di kawasan belakang Kampus ITENAS. Sewaktu aku
dan Husni bertemu, Ultimus masih di Lengkong. Depan Kampus UNPAS.
Baik kita kembali ke kereta. Kereta akan mengantar
kami ke Surabaya. Namun tujuan kami lebih jauh lagi. Kami akan ke Kediri. Ya,
kami akan ke Kediri. Kediri, Jawa Timur. Kami akan menghadiri hajatan peserta Reading Group novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Pemangku hajatnya Komunitas Gelaran
Buku Daar el Fikr, Jambu, Kayen Kidul, Kediri. Pimpinannya, Mas A Iwan Kapit.
Selama dua hari kami akan berada di sana. Sabtu-Ahad, 5-6 Mei 2012.
Malam ini kami memperoleh kabar ada pembubaran
diskusi buku di Jakarta. Kabar kami terima di dalam kereta. Beberapa koran maya
cepat memberitakan. Kawanku terus memantau perkembangan. Menjelang pagi kawanku
baru tidur. Namun sayang baru saja ia menikmati tidurnya. Petugas kereta telah
meminta selimut tanda stasiun tujuan sudah dekat.
Matahari pagi. Sawah-sawah menguning. Sinar matahari
silau menembus jendela kereta. Hinggap di mata. Sawah dan perkebunan. Rumah-rumah
pedesaan. Deru suara kereta. Rel dan roda. Kami sebentar lagi tiba di Pasar
Turi Surabaya. Pemangku hajat memberi tahu bahwa ada rombongan dari Surabaya
juga hendak ke Kediri. Kami akan pergi bersama. Rombongan Mbak Sasa membawa
kendaraan sendiri. Kami menumpang ikut serta.
Pasar Turi di depan mata. Kereta berhenti. Kaki
melangkah meninggalkan kereta. Tanah Surabaya kujejak. Di luar stasiun Mbak
Sasa telah menunggu. Mbak Sasa, pemandu Reading
Group novel Naga Bumi karya Seno
Gumira Ajidarma. Tempatnya di dbuku Bibliopolis, Surabaya.
Kami ikut di kendaraannya. Aku duduk di jok paling
belakang dengan kawannya Mbak Sasa yang kemudian kutahu bernama Mas Fatan dan
Mbak Habsari Savitri. Di depanku Kawan Husni dan seorang yang tak kuketahui
namanya. Mbak Sasa duduk di samping pengemudi. Mobil meninggalkan Pasar Turi.
Surabaya masih pagi. Di depan kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya mobil berhenti.
Dua orang ikut serta pula. Seorang pemuda kemudian kuketahui bernama Mas Shofa.
Kini di dalam mobil kami bersembilan.
Saling berkenalan sepanjang jalan. Bercerita juga.
Banyak hal kami bicarakan. Tak kuingat kota kota yang kami lewati. Hanya
Jombang yang singgah di kepala. Di sepanjang Jombang mataku tertubruk pada
hamparan pohon tebu. Kiri dan kanan jalan. Jika rumah sedang alpa maka kebun
tebu hadir. Tebu dan kebun tebu.
Penerjemah Max
Havelaar kukabari jika aku baru saja melalui kotanya, Jombang. Ya, yang
menerjemahkan novel Max Havelaar
selain Hans B. Jassin juga ada seorang perempuan. Ia tinggal di Jombang. Hans
B. Jassin terjemahannya diterbitkan pertama kali oleh Djambatan tahun 1972
hingga cetakan kesembilan tahun 2005. Sedangkan Mbak Yuni atau Andi Tenri
Wahyuni terjemahannya diterbitkan Narasi tahun 2008. Selain Max Havelaar terjemahan Hans B. Jassin,
di Taman Baca Multatuli juga tersedia terjemahan Mbak Yuni. Kami memakai
terjemahan Mbak Yuni untuk dibaca bersama. Ada 25 eksemplar banyaknya. Aku
mengabarinya jika ada sempat waktu ia kuundang datang ke Kediri. Jombang dan
Kediri kukira bertetangga.
Mobil terus melaju. Sebelum memasuki Jambu kami
makan dulu. Semangkuk bakso dan lontong mengisi perut. Baksonya enak. Mbak Sasa
pernah makan di sini. Mbak Sasa pernah datang ke Gelaran Buku Daar el Fikr, Jambu
sebelum perayaan ini. Saat perayaan ini, Mbak Sasa pula yang menerbitkan buku
kumpulan cerpan anak-anak Jambu. Cerpen anak-anak Jambu berjudul Bunga Jambu: Himpunan Cerita Pendek Remaja
Dusun Jambu Kediri (2012) juga
akan dibedah di perhelatan ini.
Anak-anak Jambu luar biasa. Mas Kapit yang bernama
lengkap Ahmad Ikhwan Susilo yang utama, tentu. Mas Kapit yang memandu anak-anak
Jambu pandai membaca dan menulis. Sebelum Bunga
Jambu (2012), anak-anak Jambu juga pernah menerbitkan dua buku, yaitu: Aku dan Ibuku: Catatan Bakti Sepekan
Anak-anak Jambu Kediri (2009) dan Kampungku
Puisiku: Himpunan Puisi Remaja Jambu Kediri (2011).
Di depan sebuah sekolah kami berhenti. Inilah MTs
Miftahul Huda, Jambu. Di depan sekolah di antara rimbunnya pohonan tampak
sebuah panggung besar. Sebuah spanduk warna biru menjadi latar panggung.
Spanduk itu bertuliskan Cangkrukan Buku.
Cangkrukan dalam bahasa Jawa berarti
mendiskusikan, membicarakan, atau obrolan di pos ronda dalam bahasa Indonesia. Kutahu
dari Mas Ragil arti kata cangkrukan
ini. Ya, inilah hajatan buku. Hajatan anak-anak Jambu yang terbiasa membaca
buku Pak Pramoedya Ananta Toer: Jalan
Raya Pos Jalan Daendels.
Di panggung tampak beberapa siswa sedang menyanyikan
sebuah lagu. Di depan panggung ada karpet tergelar. Beberapa siswa duduk rapi
di sana. Dalam balutan warna-warni pakaian. Di samping kiri panggung, di teras
kelas beberapa guru tampak asyik menyimak. Juga terlihat sudah ada di sana
beberapa kawan dari Semarang, Jakarta, Pekalongan, Kendal, Yogyakarta, dan
Jember. Ada Mas Sigit Susanto, Mas Heri Chandra Santosa, Mas Daurie Bintang,
Mas Tommas Titus Kurniawan, Mas Adi Toha, Mas Nody Arizona, Mas Aris Aditya,
Mas Faiz Ahsoul. Juga tampak Mbak Astuti Ananta Toer, adiknya Mbak Astuti, dan
juga Mas Adit. Mas Adit, cucunya Pak Pram. Sedang Mbak Astuti adalah anaknya
Pak Pram.
Mbak Astuti sengaja diundang untuk menyaksikan
anak-anak Jambu. Ya, anak-anak Jambu yang sudah berpuluh kali membaca dengan
teliti dan pelan buku ayahnya. Mbak Astuti akan berbicara nanti malam. Sebelum
ke Kediri ini, aku sempat ke rumah Pak Pram. Rumahnya Pak Pram yang kini
ditinggali oleh Mbak Astuti di Bojong Gede, Depok. Aku pergi ke rumah Mbak
Astuti untuk mengantarkan buku dan main. Ya, sekalian juga menyampaikan bahwa
di Kediri ada kelompok pembaca Jalan Raya
Pos Jalan Daendels karya Pak Pram. Tak kusangka di rumahnya terdapat patung
kecil Multatuli. Miniatur patung Multatuli yang ada di Amsterdam, Belanda.
Miniatur patung Multatuli itu diberikan oleh seniman Indonesia yang tinggal di
Belanda ketika Pak Pram berkunjung ke sana tahun 1999.
Kembali ke hajatan di Kediri. Kami turun dari mobil.
Kutuju pintu menuju panggung perhelatan. Sebuah gapura dari bambu. Di bawahnya
buku tamu ditunggu beberapa siswa. Sebuah meja. Juga tumpukan dus makanan.
Kuisi buku kamu. Kuterima kotak makanan. Aku menuju ke serambi kelas. Duduk
berbaur dengan beberapa kawan pegiat sastra dari beberapa komunitas. Pembawa
acara memanggil Mas Heri Chandra Santosa. Mas Heri dan juga seorang penyair
dari Kediri akan membedah kumcer Bunga
Jambu. Mas Heri pemandu Reading Group
novel Ronggeng Dukuh Paruk di Kendal,
Jawa Tengah. Sekaligus pengelola Pondok Baca Ajar di Dusun Meteseh, Kendal.
Mas Heri dan penyair dari Kediri menyampaikan
pendapatnya tentang Bunga Jambu. Para
peserta asyik menyimak. Makanan dari kotak terus dinikmati. Siang yang hangat.
Selepas acara cangkrukan kumcer Bunga Jambu dilanjutkan dengan
bincang-bincang reading group. Para
pemandu reading group diundang untuk menempati
panggung. Oh ya, saya lupa bahwa dari Kendal juga ikut serta Mbak Jamali. Mbah
Jamali luar biasa. Tahun sebelumnya, Mbah Jamali pernah diajak Mas Sigit ke
Lebak. Di Lebak selama dua hari kami banyak berjalan kaki. Dan Mbak Jamali
hebat. Jalannya kuat sekali. Nah, di Kediri Mbak Jamali juga hadir. Mbah Jamali
juga ikut naik pentas. Berbicara tentang reading
group. Selain Mbah Jamali, ada Mas Kapit, Mas Heri, Mas Nody, Mbak Sasa,
Mas Sigit, Mas Faiz, juga aku. Kami berbagi pengalaman seputar reading group di tempat
masing-masing.
Selepas acara berbagi pengalaman seputar reading group, para peserta diajak
mengunjungi perpustakaan Gelaran Buku Daar el Fikr. Terletak di belakang
sekolah. Sekira tiga rumah dari sekolah, sebelah kiri jalan. Rumahnya cantik
dan menarik. Di salah satu ruangan terdapat rak buku. Rak penuh buku. Juga beberapa
poster terpasang di dinding. Rak-rak buku dilapisi oleh plastik transparan.
Plastik bertujuan untuk melindungi buku dari debu. Oh ya, saat Mas Heri sedang
berbicara di panggung datang Mbak Ita Siregar. Mbak Ita dari Jakarta datang
bersama seorang kawan. Aku dengar kawan-kawan memanggilnya Mas Yo. Ya, Mas Yo.
Mbak Ita datang dengan dibonceng Mas Yo. Di dinding ruangan tersebut juga
tampak kliping koran yang memberitakan aktivitas anak-anak Jambu dalam sebuah
bingkai kaca. Kami berfoto bersama dengan latar buku-buku.
Lepas dari perpustakaan Gelaran Buku kami menuju ke
rumah Mas Kapit. Di rumah Mas Kapit kami menyimpan tas dan meluruskan badan.
Beberapa saat kami duduk-duduk. Di rumah Mas Kapit sudah ada dua orang dari
koran lokal. Mereka sedang mewawancarai Mas Kapit. Mbak Astuti juga ada di
sana. Tak lama kemudian hidangan santap makan dimulai. Nikmat sekali. Ada lalapan
semacam lotek yang kuingat. Nasi putih panas. Juga kerupuk dan lauk. Wah, luar
biasa! Makan bersama.
Sore datang. Aku berbincang dengan kakak Mas Kapit
di dapur. Juga keponakannya Mas Kapit. Mas Kapit anak bungsu. Kakaknya tiga.
Laki-laki semua. Di dapur kami berkenalan. Juga menikmati keripik dan air teh
hangat. Beberapa kawan bergantian memasuki kamar mandi. Membersihkan badan.
Berganti pakaian.
Di sekitar rumah Mas Kapit banyak orang menjemur
kacang. Meski pohon tebu mengepung di mana-mana. Namun ada banyak kacang di
sini. Kacang tanah. Mereka menjemur banyak kacang. Berkarung-karung banyaknya.
Di setiap rumah ada halaman dengan coran. Di tempatku di Subang menyebut
halaman untuk menjemur padi ini, karatag.
Karatag di tempatnya Mas Kapit
digunakan untuk menjemur kacang. Aku sempat berbicara dengan seorang ibu yang
sedang mengumpulkan kacang. Menumpuknya lalu menutupnya dengan terpal.
Kacang-kacang ini nantinya akan dikirim ke pabrik. Di dekat sini ada pabrik
kacang. Para petani menjual kacang kering tersebut ke pabrik. Demikian ibu tersebut
menjelaskan.
Rumah di jambu berderet-deret. Pagarnya hampir sama.
Pagar batu bata. Pagar bercat putih. Pagarnya tidak tinggi. Di beberapa pagar
tampak hiasan atau kata-kata. Jalan-jalan lurus dan mulus. Bersih dan terawat.
Rumah-rumah tampak seragam. Di belakang rumah Mas Kapit ada warga memelihara
sapi. Di depan rumah ada pohon mangga. Beberapa pohon mangga. Menjadikan rumah
sejuk dan teduh. Beberapa kursi tampak di samping rumah.
Selepas maghrib acara dimulai. Sebelum maghrib Mbak
Ita pamitan dan diantar Mas Yo menuju terminal bus. Beberapa pedagang memenuhi
pinggir jalan menuju sekolah malam itu. Panggung di antara rimbunan pohon
terang. Meski beberapa orang sedang menambah jumlah lampu. Suara dari sound system mengisi telinga. Acara
dimulai dengan meminta Mbak Astuti dan Mas Adit untuk ke atas panggung. Mas
Kapit memandu acara bincang-bincang. Mbak Astuti berbicara tentang kebiasaan
Pak Pram semasa hidup. Juga masa-masa kecil Mbak Astuti. Waktu tanya jawab
tiba. Beberapa peserta mengajukan pertanyaan.
Hujan turun tiba-tiba. Peserta berteduh di serambi
ruang sekolah. Juga para tamu. Obrolan diteruskan di sana. Namun hujan terus
turun. Akhirnya, Mas Kapit memutuskan acara disudahi di panggung ini. Dan akan
dilanjutkan di rumah. Malam merayap pelan. Hujan menghujam Jambu. Kami berjalan
menuju rumah. Jarak dari sekolah menuju rumah sekira 500 meter.
Ya, malam itu kami kembali ngobrol di rumah Mas
Kapit. Dalam catatanku beberapa kawan
yang hadir di sana di antaranya: Mas Faiz Ahsoul, Mas Ayub, Mas Kapit, Mas
Nyipto W., Mas Aris Aditya, Mas Nody, Mas Erfin S., Mas Husni, Mas Heri, Mas
Adi Toha, Mas Nasir, Mas Fatan, Mbak Ayyu M., Mbak Restu Dwi, Mas Zanuarifki,
Mas Shofa, Mas Jabar Abdullah, Mas Rego S., Mbak Habsari Savitri, Mas Daurie,
Mas Tommas, Mas Aris Thofira, Mbak Ning Sasa, dan Mas Sigit.
Inilah malam yang luar biasa. Kawan-kawan dari
jaringan Komunitas Reading Group (KRG)
dapat berkumpul. Kawan-kawan yang menggeluti pembacaan novel secara pelan.
Membaca intensif novel. Membaca novel secara lambat. Kawan-kawan yang selama
ini hanya berbincang dan saling berbagi informasi di dunia maya. Malam ini
dapat bertemu muka. Berbicara langsung. Malam ini malam yang luar biasa. Begitu
menurutku. Malam yang makin menguatkan niatku untuk terus melaju dengan Reading Group novel Max Havelaar dengan anak-anak di Taman Baca Multatuli. Di Lebak, di
Provinsi Banten. Malam ini malam yang luar biasa. Kawan-kawan saling menguatkan
dan memperteguh jalan. Jalan yang dipilih. Jalan sastra. Jalan sastra dengan
membaca novel yang murah, massal, dan bernilai sosial. Jalan reading group dan komunitas baca.
Ada pemandu Reading
Group Ronggeng Dukuh Paruk, Mas Heri Chandra Santosa. Mas Heri juga
mengenal baik perkembangan Reading Group
The Old Man and the Sea yang dipandu Mbak Esther Mahanani. Ada pemandu Reading
Group Naga Bumi, Mbak Sasa. Ada pemandu Reading
Group Gadis Jeruk, Mas Nody Arizona. Ada pemandu Reading Group Jalan Raya Pos Jalan Daendels, Mas Kapit. Ada pemangku dan pemilik tempat Reading Group Kitab Betalejemur Adammakna Mas Faiz Ahsoul. Ada peserta Reading Group Ulysses Mas Sigit Susanto.
Ada pemandu Reading Group Max Havelaar dan Saija. Juga yang berencana akan
melakukan Reading Group Cerita Calon
Arang, yaitu Mbak Ayyu M Fikriyah dari Pondok Maos Cendono, Kediri.
Hampir tengah malam. Kurebahkan badan. Istirahat
menjelang esok hari. Di rumah Mas Kapit kami tidur. Kuambil sarung. Kumasukan
badan ke dalamnya. Di sebelahku Mas Tommas. Mas Heri, Mas Husni, dan Mas Adi
Toha di bagian kiriku. Mas Sigit di kananku. Mas Jabar Abdullah di bagian yang
lain. Malam di Jambu. Malam minggu di Jambu.
Ini hari Minggu. 6 Mei 2012. Pagi hari selepas
menikmati teh manis. Di dekat sungai. Setelah melalui kebun kacang dan tebu di
belakang sekolah. Kami yoga bersama. Yoga benar-benar tepi kali. Yoga pagi di
pinggir kali. Di bawah rumpun bambu. Beralas tikar dan daun bambu kering.
Memeragakan gerakan demi gerakan. Hingga gerakan terakhir. Berdiri dengan
kepala.
Sepulang dari tempat yoga, odong-odong yang akan
membawa kami keliling Kediri sudah ada. Di samping sekolah odong-odong diparkir.
Odong-odong warna biru dengan mesin diesel. Beberapa siswa sudah tampak hadir.
Mereka datang dengan mengendarai sepeda. Sepeda diparkir di halaman sekolah.
Kemudian memenuhi odong-odong. Namun kami harus mandi. Menuju rumah. Mandi dan
sarapan pagi. Lantas bergabung dengan anak-anak Jambu di dalam odong-odong.
Odong-odong melaju. Melewati kampung demi kampung.
Melewati dusun dan desa. Nama kampung atau dusun unik. Sayang aku tak
mencatatnya. Jika kawan kelak keliling Kediri dari Jambu akan melewatinya. Atau
Mas Kapit kelak akan menyebutkan nama kampung atau dusun yang menurutku
unik-unik itu. Apakah benar ada nama Dusun Kasih di sana. Atau Dusun Rindu. Aku
lupa mencatatnya. Inilah jeleknya perjalanan tanpa buku catatan. Hanya
mengandalkan ingatan. Ingatan yang terbatas ini. Maafkan kekurang fasihanku
ini.
Odong-odong yang kami naiki masih melaju. Aku duduk
di dekat pintu. Gerbong kedua. Kursi pertama. Di sampingku Mas Sigit dan Mbak
Ayyu. Jalanan bagus. Di kiri dan kanan jika telah lewat perkampungan ya, tentu,
kebun tebu. Oh iya, pagi tadi setelah kami yoga rombongan Yogyakarta, Surabaya,
dan Mbak Astuti pulang lebih awal. Sementara kami melaju naik odong-odong.
Selamat jalan kawan-kawan. Selamat sampai rumah. Odong-odong terus membelah
kampung dan dusun. Kukira juga kecamatan. Tujuan pertama kali sebuah tempat
ibadah. Ada pemandian di sana. Odong-odong berhenti. Kaki turun. Di samping
odong-odong, halaman dengan rumput terhampar. Ada gapura tinggi dari batu. Di
halaman depan gapura itu kami istirahat sejenak. Duduk di hamparan rumput.
Odong-odong telah dimatikan mesinnya. Dan diparkir petugas.
Memasuki kawasan ini sepi kurasa. Sunyi dan aura
magis menyebar. Setelah melewati garpura dengan menaiki tangga, mata tertuju
pada tempat ibadah. Sebuah bangunan dengan tembok setinggi dada. Di dalamnya
kulihat seorang nenek sedang beribadah. Khusuk kulihat. Beberapa pohon beringin
besar memayungi. Di samping tempat ibadah ada tempat mandi. Di belakang tempat
mandi ada kolam besar. Jika hendak mandi bisa pilih di kolam atau di
kamar-kamar yang juga disediakan. Rombongan kami mendapatkan penjelasan dari
kuncen yang kulihat masih muda. Kami duduk di tangga di pojok kiri gapura. Di
depan gapura tempat kami duduk-duduk beberapa kendi berisi air berderet-deret.
Sengaja disediakan jika pengunjung kehausan. Kuncen menjelaskan namun terlihat
kurang ramah. Anak-anak yang kritis membuatnya kelabakan menjawab pertanyaan.
Namun untung ada Mas Sigit juga Mbak Ayyu yang juga ikut menjelaskan. Aku duduk
di bagian atas. Sesekali melihat ke beberapa pengunjung yang lain. Ada
pengunjung membawa sepeda. Sepeda balap. Sepeda diboyong ke dalam. Lalu
dimandikan. Juga beberapa pasangan yang datang dengan membawa jerigen. Jerigen
diisi air lalu dibawa pulang. Atau hanya sekadar datang dan minum dari kendi
yang berderet-deret itu.
Lama kami menikmati suasana sepi dan teduh di
pemandian keramat ini. Selepas mendengarkan penjelasan dari kuncen sambil
menulis, anak-anak bebas bergerak. Sebagian besar melihat-lihat sekitar.
Memasuki kolam atau melihat sumur dekat beringin. Aku duduk di depan tempat
ibadah. Di tangga menghadap tempat ibadah. Matahari keluar dari celah
daun-daun. Menyinari tempat sepi ini. Di luar pagar tempat pemandian keramat
ini kulihat warga beraktivitas. Menunggu warung. Duduk-duduk di bengkel sepeda.
Atau membersihkan rumah.
Odong-odong meninggalkan tempat pemandian keramat Kamandanu. Aku teringat sandiwara di
radio sewaktu kecil. Ada tokoh namanya Arya Kamandanu. Apakah ada hubungannya?
Aku tidak tahu. Ah, payah pengetahuanku! Odong-odong mengeluarkan asap. Mesin
diesel menyedot solar. Mesin seperti Kubota
atau Dongpeng ini di tempatku
biasa digunakan untuk heleran padi. Di sini digunakan untuk menarik
odong-odong. Luar biasa. Odong-odong melaju terus melaju. Membelah kebun tebu.
Menuju Simpang Lima Gumul. Benar ya, namanya Simpang
Lima Gumul. Bangunan besar. Di persimpangan jalan di Kediri. Bangunan ini mirip
aslinya yang ada di Paris. Namanya Musee de l’Arc de Triomphe. Bangunan ini
lebih terkenal dengan sebutan SLG. Bangunan ini menjadi ikon Kabupaten Kediri. Letaknya
sekitar 6 kilometer dari Kota Kediri dan 120 kilometer dari Bandara Juanda
Surabaya. Posisinya tepat di tengah jalur lima jalan arah ke Pare, Kediri,
Plosoklaten, Pesantren, dan Malang.
Bangunan ini tingginya 28 meter, 8 lantai. Di bagian
bawah bangunan besar berbentuk pagar ini ada ruangan-ruangan. Ada 3 jalan terowongan
bawah tanah menuju monument. Di atasnya tempat kumpul beragam komunitas.
Komunitas yang paling mencolok adalah komunitas dance. Mereka ngedance
ramai-ramai. Membawa tape dan mengeluarkan suara keras-keras. Di bagian yang
lain di dalam terdapat komunitas gambar. Mereka sedang menggambar bersama. Juga
banyak pengunjung lainnya. Keluarga yang ingin bersantai. Menikmati desiran
angin. Juga ramainya suasana. Kami duduk melingkar di salah satu pintu. Mas
Sigit mengeluarkan sulapan. Penonton ramai. Konsentrasi peserta dance terpecah.
Akhirnya menghentikan gerakan dan menikmati sulapan. Aku bertugas memotret.
Kamera Mas Sigit kupegang. Kuambil beberapa jepretan.
Ini kesalahanku lainnya, selain tidak membawa
catatan. Aku juga tidak mempersiapkan karcis kepulangan. Maka dengan membuat
repot Mas Kapit dan Rifki aku diantar menuju Stasiun Kediri. Di stasiun, karcis
tidak ada. Semua habis. Mas Kapit mengantar aku dan Mas Husni ke tempat bus.
Bus Harapan Jaya akhirnya membawa
Husni ke Jakarta. Sedang aku masih penasaran naik kereta. Maka Mas Kapit
menyarankan agar aku mengikutinya kembali ke rombongan. Dan nanti malam akan
mengantarkan aku ke Stasiun Kertosono. Aku setuju. Ah, aku merepotkan mereka!
Maafkan aku selama ini yang membuat repot panitia.
Aku kembali ke rombongan setelah keliling Kota
Kediri. Kota kecil yang bersih. Jalanan bersih dan rapi. Berderet toko. Juga Abang
becak di tepi jalan. Kuingat ada Jalan Kartini. Kami melintasi alun-alun dan
Masjid Agung. Mas Kapit sebentar singgah di pom bensin. Kami kembali ke
rombongan di Simpang Lima Gumul. Tiba di sana nasi bungkus menunggu. Aku
melahapnya. Tak lama kemudian kembali ke odong-odong di pelataran. Odong-odong
dihidupkan. Di pelataran ini banyak pedagang makanan dan pakaian. Ramai yang
berjualan. Pasar Tugu namanya. Pasar Sabtu-Minggu. Odong-odong berlari menuju
ke dekat rumah Mas Kapit. Ke daerah Jambu. Tetapi nanti dulu.
Ya, benar. Nanti dulu. Kami tidak langsung kembali
ke Jambu. Di depan sebuah sanggar ketoprak kami berhenti. Sanggar ketoprak ini
dipimpin Pak Koyek. Nama sanggarnya Suryo Budoyo. Kami memasuki pelataran
sanggar Ketoprak Suryo Budoyo. Di depan tampak panggung dari bambu. Seluas
kira-kira 7x3 meter. Ada beberapa gulungan kain yang sudah diwarnai. Kain atau
spanduk yang digulung itu jadi latar untuk cerita saat ketoprak berlangsung.
Pak Koyek dan seoranng kawannya menerima kami.
Peserta Sastra Odong-odong duduk
melingkar di atas panggung. Pak Koyek dan kawannya di depan kami. Aku di dekat
tangga. Juga Mas Tommas dan Mas Daurie. Tangga dari bambu itu bisa dilepas
sebab hanya diikat tali plastik seadanya. Di belakang panggung ada beberapa
kamar dari triplek. Seorang ibu tampak sedang membersihkan beras di tampah. Di
dekat tangga menuju panggung ada WC sederhana. Sebuah kloset. Ember bekas cat
dan gayung. Kloset itu ditutup dengan karung. Aku minta izin untuk kencing
kepada ibu yang sedang membersihkan beras.
Di depan panggung, di bawah beberapa ibu juga tampak
duduk-duduk. Di dekat pintu masuk dekat jalan seorang bapak sedang tiduran di
warung. Pak Koyek menjelaskan tentang hidup dan kehidupan para pemain ketoprak
Suryo Bedoyo ini. Juga tentang keyakinannya untuk tetap mempertahankan kelangsungan
rombongan ketoprak ini. Menurut Pak Koyek penerus ketoprak ini adalah anak
perempuannya. Pak Koyek menunjuk anak perempuannya yang sedang duduk di kelas 3
SMK. Kulihat seorang anak gadis duduk di bawah panggung. Rambutnya panjang.
Duduk bersama ibu-ibu.
Selepas dari Ketoprak Suryo Budoyo peserta Sastra Odong-odong kembali naik
odong-odong. Odong-odong bergerak. Mesin diesel mengepulkan asap. Suaranya yang
bising memekakan telinga. Asyik. Membelah jalan sore ini. Odong-odong berhenti
di dekat sekolah. Semua peserta turun. Aku dan kawan-kawan menuju rumah Mas
Kapit. Tiba di rumah. Aku menuju dapur. Kamar mandi terpakai. Aku duduk. Di
dapur ada kakaknya Mas Kapit yang baru saja datang dari Ngawi. Ia datang
bersama istri dan anaknya. Kami ngobrol sambil menikmati gorengan tempe kering
bawa kakak Mas Kapit dari Ngawi. Oleh-oleh khas Ngawi. Anaknya juga ada di
sana. Aku main dengan anak kakaknya Mas Kapit. Pintu kamar mandi terbuka.
Segera kupamit untuk mandi. Membersihkan badan.
Di depan rumah Mas Kapit di pintu masuk rumah. Di
pintu pagar aku duduk bertiga. Ada Mas Sigit juga Mas Heri. Kami berbincang di
sana hingga suasana benar-benar gelap. Mas Kapit baru saja datang. Ia
menyampaikan bahwa setengah jam akan sampai di Kertosono. Mas Kapit pergi
mandi. Benar. Selepas mandi aku diboncengnya menuju Kertosono. Sepanjang jalan
Mas Kapit mengemudikan sepeda motor dengan kencang. Supra X 125 ngebut menuju Kertosono. Sesekali Mas Kapit mengambil
handphone dari saku jaketnya. Melihat sebentar isi pesan. Lalu menjawabnya.
Mengetik dengan tangan kiri. Tangan kanan tetap memuntir gas. Rasanya
deg-degan. Ngebut jawab SMS. Dan aku diboncengnya. Jalan kami lalui
berbeda-beda. Kadang kebun tebu. Terkadang perumahan warga. Terkadang jalan
ramai. Namun lebih banyak sepi. Aku melewati pasar. Menurut Mas Kapit ini sudah
bukan Kediri lagi. Namun sudah masuk daerah Nganjuk. Sepeda motor memasuki tempat
parkir Stasiun Kertosono (KTS)
Benar. Kereta api menuju Gambir masih ada. Wah, luar
biasa! Setengah jam sampai dari Jambu ke Kertosono. Ngebut sambil sesekali
lihat handphone dan jawab pesan. Aku memasuki loket. Membeli karcis.
Kusampaikan tujuanku ke Gambir. Aku dan Mas Kapit duduk di lantai stasiun.
Kukeluarkan satu buku kumpulan catatan anak-anak Ciseel: Rumah Multatuli. Kuberikan untuk Mas Kapit. Sebelum pergi Mas Kapit
memberiku tiga buku catatan anak-anak Jambu.
Mas Kapit memesan kopi. Kami duduk sambil ngobrol.
Tidak terlalu lama menunggu. Kereta tiba. Kami berpamitan. Kusampaikan terima
kasih atas kebaikan Mas Kapit. Kaki melangkah menuju kereta. Kereta Bima No. 33
kumasuki. Aku duduk di kursi 3D.
Kulambaikan tangan. Mas Kapit di luar jendela. Kereta menjauhkan aku.
Mas Kapit hilang tak terlihat lagi. Kuingat Stasiun Madiun kulewati. Malam di
kereta Bima.
Ini pagi 7 Mei. Tiba aku di Stasiun Gambir. Kediri
baru saja kujejaki. Jalan menuju Lebak Bulus dengan Metro Mini P 20 dari depan
Gambir kujalani. Hari ini Senin, 7 Mei 2012. Hari pertama anak-anak Sekolah
Dasar mengerjakan soal Ujian Nasional. Ah, aku tidak sempat mengantar istriku
pergi mengawas! Namun siang sebelum anak-anak pulang dari sekolah di Pondok
Pinang, aku sudah di depan sekolah. Tidak bisa mengantar namun lebih awal
menjemput. Terima kasih kawan-kawan Kediri. Kediri, ya, aku pernah ke Kediri.
Naik odong-odong dan menyaksikan anak-anak pembaca Pramoedya berlaga. Salam.
Sampai jumpa.
0 komentar:
Post a Comment