728x90 AdSpace

  • Latest News

    09 April 2013

    Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam

    Karya WS Rendra


    Bismillahir rahmaanir rahim.

    Allah! Allah!
    Napasmu menyentuh ujung jari-jari kakiku
    yang menyembul dari selimut.
    Aku membuka mata
    dan aku tidak bangkit dari tidurku.
    Aku masih mengembara
    di dalam jiwa

    Burung-burung terbakar di langit
    dan menggelepar di atas bumi.
    Bunga-bunga apyun diterbangkan angina
    jatuh di atas air
    hanyut di kali, dibawa ke samudera,
    disantap oleh kawanan hiu
    yang lalu menggelepar
    jumpalitan bersama gelombang

    Aku merindukan desaku
    lima belas kilo dari Rangkasbitung.
    Aku merindukan nasi merah,
    ikan pepes, desir air menerpa batu,
    bau khusus dari leher wanita desa,
    suara doa di dalam kabut.

    Musna. Musna. Musna.
    Para turis, motel dan perkebunan masuk desa
    Gadis-gadis desa lari ke kota
    bekerja dip anti pijat,
    para lelaki lari ke kota menjadi gelandangan
    Dan akhirnya
    digusur atau ditangkapi
    disingkirkan dari kehidupan.
    Rakyat kecil bagaikan tikus.
    Dan para cukong
    selalu siap membekali paraa penguasa
    dengan semprotan antihama
    Musna. Musna. Musna.

    Kini aku di sini. Di Rotterdam.
    Menjelang subuh. Angin santer.
    Jendela tidak kubuka,
    tapi tirainya aku singkapkan.
    Kaca basah. Musim gugur.
    Aku mencium bau muntah.
    Orang Negro histeris ketakutak
    dikejar terror kulit putih
    di tanah leluhurnya sendiri
    di Afrika Selatan
    Kekerasan, Kekuasaan. Kekerasan.
    Dan lantaran ada tambang intan di sana,
    kekuatan adikuasa orang-orang kulit putih
    juga termasuk yang democrat,
    memalingkan muka,
    bergumam seperti orang bego,
    dan mengulurkan tangan di bawah meja,
    melakukan kerjasam dagang
    dengan para penindas itu.
    Dusta. Dusta. Dusta.

    Ya, Allah Yang Maharahman!
    Tanganku mengambang di atas air
    bersama sampah peradaban.
    Apakah aku akan berenang melawan arus?
    Langit nampak dari jendela.
    Ada hujan bulu-bulu angsa.
    Aku hilang di dalam kegegapan.
    Aku tidak bisa bersikap apa-apa
    Ada trem lewat.
    Trem? Buldoser? Panser?
    Apakah aku akan menelpon Linde?
    Atau Adrian?
    Berapa lama akan sampai
    kalau sekarang aku menulis surat
    kepada Makoto Oda di Jepang?
    Sia-sia. Musna. Musna.

    Rotterdam! Rotterdam!
    Hiruk-pikuk suara pasar di Jakarta
    Bau daging yang terbakar.
    biksu di Vietnam protes membakar diri.
    Perang saudara di India yang badai.
    Aku termangu.
    Apakah aku akan menyalakan lampu?

    Terdengar lonceng berdentang
    Berapa kali tadi? Jam berapa sekarang?
    Ayahku di Rangkasbitung selalu bertanya:
    Kapan kamu akan menikah?
    Apakah kamu akan menikah dengan
    perempuan Indonesia atau Belanda?
    Kapan kamu akan memberiku seorang cucu?
    Apakah lampu akan kunyalakan?

    Di Rangkasbitung pasti musim hujan sudah datang.
    Kenapa aku harus punya anak?
    Kalau perang dunia ketiga meletus
    nuklir digunakan,
    angina bertiup,
    hujan turun
    setiap mega menjadi ancaman.
    Jadi anakku nanti harus mengalami semua ini?
    Rambut rontok. Kulit terkelupas.
    Ampas bencana tidak berdaya.
    Ah, anakku, sekali kamu dilahirkan
    tak mungkin kamu kembali mengungsi
    ke dalam rahim ibumu!

    Suara apakah itu?
    Electronic music?
    Jam berapa sekarang?
    Apakah sudah terlambat untuk salat subuh?
    Buku-buku kuliah di atas meja.
    Tanganku mengambang di atas air
    Tanganku menjamah kaca jendela.
    Hujan menerpa kaca jendela.
    Dan dari jauh datang mendekat:
    Wajahku.
    Apakah yang sedang aku lakukan?

    Ya Allah Yang Maharahman!
    Tanganku mengambang di atas air
    bersama sampah peradaban.
    Apakah aku harus berenang melawan arus?
    Astaga! Pertanyaan apa ini!
    Apakah aku takut? Ataukah aku menghiba?
    Apakah aku takut lalu menghiba?
    Pertanyaan apa ini!

    Ya, Allah Yang Maharahman.
    Aku akan menelpon Linde
    dan juga Adrian.
    Aku akan menulis surat kepada Makoto Oda.
    Tanganku mengepal di dalam air
    tercemar sampah peradaban.
    Tidak perlu aku merasa malu
    untuk bicara dengan imanku.

    Allah Yang Maharahman,
    imanku adalah pengalamanku.


    Bojong Gede, 6 Nopember 1990
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top