728x90 AdSpace

  • Latest News

    09 April 2013

    Orang Biasa

    Karya WS Rendra


    Apa artinya sebidang tanah?
    Apa artinya rumah?
    Apa artinya jauh dari sejarah?

    Semuanya itu terkait
    di dalam kisah hidupku.

    Setelah pension
    sebagai guru SD di Rangkasbitung
    aku menetap di sini.
    Sebuah desa kecil, di pinggir kota itu.

    Untung aku dulu sempat membeli tanah
    Memang murah, tetapi cocok dengan gaji guru.
    Dua puluh kali tujuh puluh meter.
    Memanjang ke belakang
    Dengan pagar batu kali. Separoh badan.
    Ketika istriku tercinta wafat
    aku makamkan ia di kebun belakang
    di bawah pohon gandaria.

    Di malam musim kemarau
    angin sangat berharga.
    Langit berdandan dengan beribu-ribu intan.
    Ada suara serangga-serangga malam
    Ada suara anak-anak belajar mengaji.
    Kami termenung terpesona.
    Aku dan gandaria.

    Dekat setelah aku pension,
    tanahku jadi korban pembangunan.
    Tinggal dua puluh kali tiga puluh meter.
    Akibat proyek jalan raya.

    Hilanglah pohon-pohon nangka.
    Bahkan rumah juga dibongkar.
    tinggal tanah enam ratus meter persegi,
    pagar batu kali separoh badan,
    rumpun bunga kana,
    kuburan istriku,
    dan gandaria.
    uang ganti rugi aku berikan kepada putra bungsuku.
    Untuk belajar ke Yogya.
    Sekarang ia pembantu rektor di Gadjah Mada.

    Putraku yang pertama seorang ksatria
    pangkatnya jenderal, jabatannya panglima.
    Anakku yang kedua wanita.
    Kawin dengan banker Jepang, tinggal di Osaka.

    Putraku yang bungsu tidak banyak bicara.
    Ia terlalu mengerti sifat ayahnya
    Tetapi kedua anakku yang lain banyak bicara.
    Karena tak paham dan juga tak tega.
    “Kenapa sisa tanah tak dijual saja?
    Dan ayah tinggal bersama saya.”

    Tidak
    aku akan menetap di sini sampai mati.
    Di bawah naungan gandaria.

    Apakah aku bertahan
    karena kuburan almarhum istriku?
    Tidak.
    Batu nisan yang aku dirikan
    hanya berguna untuk kami yang hidup
    Sebagai aktualisasi rasa hormat dan cinta.
    kuburan bisa dipindah kapan saja dan di mana saja.
    Di akhirat, di mana istriku berada,
    suatu kuburan tak ada maknanya.

    Lalu apakah karena ikatan
    kepada tanah tumpah darah?
    Jelas tidak.
    Aku lahir di desa Sengon, Yogyakarta.
    Setelah tamat Sekolah Guru bawah
    aku hanya punya satu lowongan
    tanpa lain pilihan,
    sebuah Sekolah Dasar
    di Rangkasbitung.

    Barangkali ada ikatan sejarah?
    Juga tidak.
    Di zaman revolusi kemerdekaan,
    meskipun aku masih sangat muda
    aku di Mraggen ikut bergerilya,
    melawan imperialis Inggris dan Belanda.
    Tidak. Tidak.
    Di Rangkasbitung
    aku tidak pernah terlibat dalam sejarah besar.
    Aku hanya mengajar di Sekolah Dasar
    sampai pension,
    dan tanahku terpotong
    gara-gara pembangunan jalan raya.
    Jelas ini bukan sejarah nasional
    apalagi internasional.

    Putriku bertanya:
    “Apakah ayah benar-benar mencintai Rangkasbitung?”
    Ya! Dengan tegas: ya!
    “Tetapi tempat macam apa ini?
    Cuma Rangkasbitung!
    Tidak sebanding dengan Osaka!”
    Cuma Rangkasbitung!
    Dan saya: Cuma manusia.
    Cuma guru SD. Sudah pension pula.
    Jangan berkata “Cuma”
    kalau bicara tentang cinta.
    Cinta itu peristiwa dalam roh.
    Roh. Bagaimana bisa dijelaskan dengan akal.
    Kita hanya bisa melukiskan bayangannya
    yang ragamnya berlaksa-laksa.
    Peristiwa di dalam roh tak bisa dijelaskan.
    ia hanya bisa dialami.
    Apakah kamu bisa mengalami
    pengalaman rohku?

    Ya. Memang.
    Rohku mencinta
    Rangkasbitung
    Dan:
    gandaria!

    Hm. Gandaria!
    Bahkan bukan aku yang menanamnya.
    Ia sudah ada waktu tanah ini kubeli.
    Aku sendiri kehabisan kata-kata.
    Aku sendiri tak bisa mengerti.
    Aku. Rangkasbitung. Gandaria.
    Jadi.

    Dari bangkai pohon nangka,
    beberapa batang bamboo,
    genteng, dan paku,
    aku dirikan rumahku ini.
    Rumah bilik. Empat kali lima meter.
    Kuat. Hangat. Rapi. Sempurna.
    Sisa halamannya aku tanami papaya-pepaya,
    dan rumpun pisang tanduk.
    Aku tidak ingin apa-apa lagi.

    Putraku yang pertama berkata:
    “Ayah kurang ambisi.
    Kalau ayah mau
    bisa menjadi lebih dari sekedar guru.”

    Salah lagi.
    Jangan sangka aku tidak pernah mencoba
    pengalaman lainnya.
    Menjadi tentara. Agen Koran.
    Penagih rekening. Mengurus restoran.
    Tetapi aku hanya mengalami kelengkapan diriku
    apabila menjadi guru.
    Semangatku bergelora,
    gairah hidupku menyala.
    dalam suka maupun duka,
    apabila aku menjadi guru.
    Memang tidak istimewa untuk ukuran dunia
    Sangat, sangat bisaa.
    Tetapi aku, Rangkasbitung dan gandari,
    sebenar-benarnya,
    adalah sangat, sangat bisaa.

    Kenapa anak-anakku menjadi gelisah,
    hanya karena aku mantap jadi orang bisaa?
    aku bukan panglima. Aku bukan bankir.
    Bahwa aku mendapat ijazah itu sudah anugerah.
    Ilmu hitung dan bahasa Inggris mendapat bilai lima.

    Tetapi! Te-ta-pi….
    aku bukan orang yang putus asa
    ataupun menderita.
    Aku gembira.
    Dan aku juga tidak rendah diri.
    Aku bangga
    Sangat bangga.
    Hidupku indah.
    Bukannya aku tidak pernah terganggu
    oleh suara lalu lintas jahanam
    yang tepat berada di depan hidungku.
    Tetapi aku juga melihat
    Kilasan-kilasan wajah sopir truk,
    orang-orang desa yang berjejal naik bis,
    orang-orang bule diangkut travel-bureau,
    dan debu, dan matahari,
    dan percayalah
    pada saat seperti itu
    alam semesta terbuka.
    Aku masuk ke dalam pangkuannya.
    Aku mendengar suara-suara
    Sumatra, India, Eropa,
    Peru, Australia
    Juga suara-suara kabut di langit
    cacing di tanah, hiu di lautan
    Aku mencium bau minyak rambut ibuku,
    bau lemak di kulit Jengis Khan,
    bau kulit istriku.
    Matahari dan rembulan hadir bersama.
    Luar biasa. Alangkah indahnya.
    Allahu Akbar. Allahu Akbar.

    Anak-anakku.
    Alangkah indahnya.
    Alangkah, alangkahnya….
    bismillahir rahmanir Rahiim.
    Alhamdu lillahi Rabbil ‘aalamin.
    Ar Rahmanir Rahiim.
    Maaliki yaumiddin.
    Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in
    Ihdinash shiraathal  mustaqim.
    Shiraathal ladzina an’amta ‘alaihim ghairl maghdubi
    ‘alaihim wa
    ladh dhaalin.
    Amin.

    Bojong Gede, 7 Nopember 1990
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Orang Biasa Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top