Adinda! Adinda!
Aku dirampok orang di jalan.
Mereka tikan perutku, punggungku dan leherku.
Mereka rampas seluruh uang simpananku.
Ya, Allah!
Tinggal beberapa kilo dari kampong.
Membawa sepuluh tahun kerinduan.
Yang terbayang kini berkabut.
Yang tergenggam kini luput.
Adinda! Adinda!
Kemiskinan telah memisahkan kita.
Sepuluh tahun menahan dahaga asmara
Alangkah sulit cinta di zaman edan,
di dalam hidup penuh ancaman.
Semua hak dianggap salah.
Tak punya apa-apa dianggap sampah.
Alangkah hina orang yang kalah.
Meskipun miskin tanpa daya
aku toh harus berupaya
karena takut gila
dan dosa.
Tapi kini
setelah kudapat rezekiku,
aku tercampak ke dalam rawa.
Gugur sudah harapan rinduku.
Sia-sia jasadku menahan nyawa.
Orang miskin dihabisi orang-orang miskin.
Adinda! Adinda!
Kamukah itu yang muncul dari kabut?
Kusangka kamu, kusangka maut.
Aduh, berahi diakhir hari!
Badanku meregang
waktu wajahmu membayang.
Mulutku kering oleh gairah nafsu.
Tubuhmu telanjang di langit.
Kelangkangku dibelai kupu-kupu
Tanganku menggapai, menggeenggam dadamu.
Adinda!
Seribu kunang-kunang
menghiasi rambutmu yang tergerai
dan menyentuh mukaku
karena tubuhmu turun dari langit
menghimpit tubuhku.
Lalu kurasa lidahmu
masuk ke dalam mulutku.
Dan bersamaan dengan truk gandeng
yang lewat menderu,
muncratlah air berahiku.
Sesudah itu
perlahan-lahan
lenyaplah bayanganmu
bersama nyawaku.
Depok I, 12 Januari 1991
0 komentar:
Post a Comment