Oleh Daurie Bintang Reborn
Tahun lalu ke Ciseel, aku mengendarai motor
sendiri dan hampir putus asa menemui kenyataan jalanan yang berbatu, sangat
sempit, dan beresiko terjun bebas ke jurang. Tahun ini, mencoba naik
kendaraan umum dari Bogor bersama “Three Musketeers” Sigit,
Heri, dan Tommas. Anggota kawanan baru menyertai, namanya Kang Rama Prabu
dari Bandung yang kemudian menjelma menjadi pasukan SAR Rusia.
Menaiki bus kecil dari Bogor menuju Pasar
Cipanas, lebih dari separuh perjalanan kami berdiri, bukan karena gak dapat
kursi, namun kasihan dengan penumpang lain. Bus yang memang jarang dan
jarak panjang dengan penumpang yang selalu penuh. Jalanan berdebu, banyak
lubang, dan tak pernah berubah dari tahun ke tahun.
Tiga jam kemudian kami turun di Pasar Cipanas,
langsung diserbu tukang ojek yang berebutan. Saat kutulis catatan ini, aku
menduga profesi tukang ojek menjamur di sana terkait dengan banyaknya anak muda
tamatan SD atau SLTP yang tak melanjutkan sekolahnya, kebanyakan tukang ojek
masih muda dan berdarah panas.
Rombongan ojek melaju menuju Pasar Ciminyak
sekitar 8 km dan bablas menuju Ciseel. Memasuki jalanan menuju desa
Cangkeuteuk nan indah, Rama Prabu mulai histeris. Siapapun yang
pertama kali menyusuri jalanan menuju Ciseel yang berbukit dan kebanyakan
hanya seukuran 1 meter berbatas tebing serta jurang, pasti akan mengalami
sensasi. Ada kegembiraan karena pemandangan yang sangat
alami dan indah bercampur ketakutan, sebab taruhannya nyawa jika sampai masuk
jurang di jalanan licin dan terjal.
Sampai di dusun Ciseel bersimbah peluh, panggung
sudah ada dan suasana mulai ramai. Beristirahat sejenak di Taman Baca
Multatuli–ruang kontrakan dari rumah Pak RT–yang dijadikan posko kawan-kawan
dari beragam kota. Bedanya kali ini ada Pak Camat Sobang yang hadir
bertandang. Kawan-kawan dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang
sudah hadir, ada juga Ariv Yudie dari Semarang.
Tak lama kemudian kegiatan mulai berjalan,
diawali drama Saidjah Adinda dari anak-anak peserta Reading Group Max
Havelaar di lapangan sekolah. Tak ada bedanya dengan
pementasan tahun lalu, selain beberapa aksesoris pakaian anak-anak
sedikit bertambah. Namun selalu ada keseruan tersendiri, apalagi
kerbau sungguhan jadi salah satu pemerannya dan kerbau bergerak semaunya
sendiri. Penonton tertawa melihat ulah kerbau, padahal pemainnya
jadi takut.
Selesai pementasan, aku mulai Science
Show, beberapa percobaan science ala pemain sulap aku mainkan. Harapannya
bisa jadi penambah rasa keingintahuan anak-anak, selain itu bisa jadi metode
belajar yang kreatif buat guru-gurunya.
Sore harinya kami menengok lahan di pertengahan
dusun yang rencananya akan dibuat taman baca. Kick Andy Hope dan
Tanoto Foundation yang bertandang memberikan sumbangan 50 juta rupiah
untuk sarana dan prasarana membangun taman baca. Ada yang
berbeda tahun ini, aku lihat hampir merata antena TV di setiap rumah.
Tahun lalu tak ada listrik, jadinya tak ada TV.
Malam harinya acara di panggung disajikan
pembacaan puisi 6 bahasa, kesenian yang hampir punah Gegendeh [pukul lesung
sembari bernyanyi] dan pencak silat. Tentu saja ada sulapan dari Sigit
yang meriah. Aku kaget pembukaan pentas tahun ini ada
juga petasan seperti kawinan ala betawi dan kembang api, mirip tahun baruan di
kota.
Tengah malam itu ada kejutan, aku sudah masuk sleeping
bag dan Opang
datang dari Jakarta, menembus Dusun Ciseel dengan ojek malam hari, itu patut
dicatat sebagai hal luar biasa, apalagi itu pertama kalinya datang ke
Ciseel.
Besok paginya perjalanan ke Baduy Dalam, kami
berjalan kaki dari Dusun Ciseel menuju Cikadu sekitar 1 jam. Jalanan yang
terus menanjak cukup menguras tenaga, sementara terik
menyegat. Dilanjutkan naik truk menuju Cijahe, sekitar 2
jam. Sebagian anak-anak mengendarai motor sendiri. Hampir tengah hari
kami sampai di Cijahe, seluruh peserta makan siang dengan bekal yang dibawa
sebelum berjalan kaki lagi menuju Baduy Dalam.
Aku memutuskan istirahat di Cijahe di rumah yang
dijadikan transit, badan mulai demam dan kurang fit. Aku merasakan badanku
udah memberi alarm. Ternyata ada sekitar 10 anak yang juga tidak ikut ke Baduy
Dalam, entah apa alasannya. Dan memang selama seminggu selepas dari
Ciseel, pergelangan tangan dan jari-jariku mati rasa, gangguan otot yang
lengket dengan syaraf.
Setelah berbincang dengan empunya rumah dan
beberapa orang Baduy Dalam yang juga transit di sana, aku mulai rebahan dan
meluruskan badan di tikar ruang tamu. Aku tersentak ketika di dekat
telingaku ada HP milik anak-anak yang memutar lagu cukup keras. HP
itu diletakkan di dekat kepalaku, persis di samping telinga dan ini kejadian
luar biasa ajaibnya bagiku. Aku menegurnya dengan halus dan
mereka cuek, seakan tak terjadi apa pun dan perilakunya tak mengganggu orang
lain. Ini catatan khusus buatku tentang attitude yang mungkin harus
diajarkan kang Ubai pada anak-anak di sekolahnya. Bahwa teknologi
harusnya tak membunuh attitude. Aku memaklumi ini bagian
dari Euphoria yang melanda Ciseel atas nama teknologi yang baru mereka cicipi.
Meski di Ciseel sinyal susah dan hampir tak ada,
tahun ini anak-anak kebanyakan udah punya HP dan rata-rata dengan fitur audio
video ala smart phone. Mungkin ini imbas dari sudah masuknya
listrik di Dusun Ciseel tahun ini.
Aku juga lihat perilaku kurang bagus, mereka buang
sampah sembarangan saat makan snack, aku dan empunya rumah
sempat mengingatkan, namun mereka tetap cuek. Aku membersihkan bekas
sampah mereka makan. Ini juga catatan khusus yang ingin kusampaikan,
buatku percuma saja jika mereka membaca Max Havelaar dan segala perilaku
baik yang diajarkan novel tersebut, jika untuk hal kecil seperti buang sampah
masih sembarangan.
Menjelang malam kami sampai di lapangan Dusun Cikadu
dan mulai berjalan kaki lagi menelusuri jalanan berbatu dan berbukit, hari
sudah gelap dan aku menyalakan senter untuk menerangi jalan. Bergantian
anak-anak dijemput dengan motor oleh orang tuanya atau
teman-temannya. Sampai di Dusun Cikadu, tersisa kami berlima [Daurie,
Rama, Heri, Opang, dan Ariv] beristirahat di teras rumah penduduk. Kami
memutuskan menginap di sana jika seandainya tak ada jemputan motor, negosiasi
dengan empunya rumah sudah dijalankan. Tak sanggup lagi kaki melangkah
menuju Dusun Ciseel, ternyata kami dijemput motor warga dan akhirnya dievakuasi
ke Ciseel.
Malam harinya panggung hiburan kembali digelar.
Ada pertunjukan Qasidah, kesenian Ngagondang, kesenian debus, pemutaran liputan
Kick Andy Hope dan pemutaran beberapa film lainnya. Aku memutuskan
beristirahat di taman baca. Sebab tak ada yang baru dari apa yang
dipentaskan serta badan masih demam.
Pemutaran tayangan Kick Andy Hope dengan
sosok Ubai dan kegiatan Reading Grup “Max Havelaar” di Taman Baca
Multatuli cukup menyita perhatian warga. Sayang
sekali di tayangan tersebut tak ada interview dengan warga, seperti: Pak RT
yang ruang tamu rumahnya dijadikan taman baca, buatku ini penting sebab
perannya sangat besar. Ubai juga sama sekali tak menyinggung kerja
jaringan komunitas di tayangan tersebut, padahal itu adalah momentum untuk
memperkenalkan sebuah bentuk kerja komunitas independen dan relawan yang
terlibat dalam beragam kegiatan. Mereka yang
mau dan bersedia datang ke Ciseel serta mensupport kegiatan di sana adalah relawan
yang bekerja dalam sunyi, sekecil apa pun support kawan-kawan jaringan layak
diapresiasi, khususnya Sigit yang menginisiasi kegiatan Reading Group di
beberapa daerah.
Tahun ini panggung pertunjukan penontonnya jauh
berkurang, perkiraanku warga lagi terbius dengan televisi yang memang baru
mereka bisa nikmati setelah listrik menjamah dusun tersebut tahun
ini. Hampir tiap rumah memutar lagu keras-keras dari perangkat audio
video, aliran musiknya beragam sesuai selera.
Kecemasan sempat menghantui aku dan
kawan-kawan akan dampak televisi, namun bagiku televisi tak bisa disalahkan
jika nanti anak-anak berkurang minatnya ke taman baca. Pengelola taman
baca bisa melakukan beragam kegiatan kreatif yang menarik, misalnya: membuat
kerajinan dari daur ulang, belajar bahasa inggris dengan audio video, belajar
menggambar dan membuat animasi dengan perangkat komputer, dan banyak kegiatan
lainnya.
Hadirnya listrik dan TV serta teknologi lainnya
bisa untuk memajukan pengetahuan anak-anak, wawasan mereka juga bisa bertambah
luas, mereka butuh interaksi dengan dunia luar agar jadi motivasi buat terus
belajar.
Jangankan di dusun, taman baca di perkotaan yang
hanya menjadikan taman baca sebagai museum buku atau gudang buku seperti
perpustakaan, tak sedikit yang mati suri, bahkan bubar. Gak ada kaitannya
dengan listrik, televisi, atau teknologi apa pun. Mereka bubar karena
beragam alasan klise, tidak kreatif bikin kegiatan yang menarik.
Kegiatan Reading Group tetap berjalan,
sebab itu memperkaya wawasan dan menjadikan anak-anak terbiasa menyerap
perlahan laku kehidupan. Namun harus ditambah dengan kegiatan lainnya yang
menarik dan mengembangkan bakat anak-anak. Sebab tak semua lulusan SD/SLTP
di Dusun Ciseel dan sekitarnya melanjutkan sekolah.
Sejujurnya dengan padatnya kegiatan dan
perjalanan yang cukup menguras energi, aku tak sempat bicara banyak dan
bersentuhan dengan anak-anak peserta kegiatan serta warga di dusun
tersebut. Aku ingin mendengar langsung apa yang mereka inginkan dan
butuhkan serta beragam cerita yang mengalir dari mulut anak-anak atau
warga. Moment seperti ini yang sebenarnya aku dan beberapa kawan
ingin temui dalam perjalanan ke Ciseel. Selama perjalanan dengan
truk dan berjalan kaki hampir tak bisa kulakukan percakapan dengan peserta,
sebab kami sibuk berpegangan agar tak terjatuh sepanjang jalan.
Tahun depan mungkin perlu diadakan
kegiatan yang bisa dilakukan bersama antara relawan dan anak-anak peserta di
sekolah serta warga, berupa lomba atau workshop, seperti: kerajinan, permainan
tradisional, menulis, menggambar, teater, lomba membuat atau menghias tempat
sampah yang nantinya dibagikan pada warga, dll.
Terus berjalan buat Kang Ubai dan warga Ciseel
serta kawan-kawan jaringan yang berkolaborasi di jalan sunyi.
0 komentar:
Post a Comment