728x90 AdSpace

  • Latest News

    09 April 2013

    Nyanyian Adinda untuk Saijah

    Karya WS Rendra


    Di Kalijodo aku menyanyi di dalam hati.
    Kawih asih seperti pohon tanpa daun.
    Mengandung duka seperti pohon tanpa akar.
    Saat adalah malam menanti pagi.

    Saijah, akang!
    Tanpa petunjuk dan jejak yang nyata
    tembang cintaku yang berdebu
    mencari kamu.

    Sebelum sepuluh tahun yang lalu
    cintaku tabah lagunya menderu
    Tapi kini ia jengah
    Merayap dengan penuh rasa malu.

    Akang, aku telah berdosa
    Tanpa daya aku nodai cinta.

    Tak lama setelah akang berangkat ke Sumatera,
    aku gelisah dalam jarring rindu asmara.
    Setiap menjelang masa datang bulan
    wajahmu selalu membayang.
    Rasanya seperti menjadi gila.

    Setiap kali memuncak rasa rindu
    rasa gatal menjalar ke putting-putting susu.
    Rasa geli yang lembut di seluruh kulit perut.
    Sungai darah di tubuhku bergolak.
    Aku terengah-engah
    dan bernapas lewat mulut.
    Akang, alangkah berat rasanya
    bila jantungku berdetak
    jauh dari jantungmu.

    Pada suatu hari
    di masa aku linglung oleh rindu kepadamu
    aku kenal lelaki seperti seorang bapa
    di balai desa.
    Ia mandor proyek jalan raya.
    Di desa yang dirundung kemiskinan
    ia menjadi harapan dan hiburan.
    Suka berbagi rokok
    mampu memberi pekerjaan.
    Royal dalam pergaulan
    dan kata-katanya mengandung keramahan.
    Waktu itu aku berjualan kue ketan,
    pisang rebus dan nasi dengan sayuran.
    Ia selalu memborong sisa dagangan.
    Kepada buruhnya dibagi-bagikan.
    Aku terpesona kepada kemampuan uangnya
    dan sikapnya yang seperti bapa.
    Kepadaku ia selalu berkata
    jangan ragu nyusul akang ke Sumatera.
    Dan bila di balik rumpun pisang
    ia memeluk pundakku
    tangannya terasa hangat dan nikmat
    membuat hidupku jadi sentosa.

    Lalu datang surat akang dari Menggala.
    Akang bilang mau membuka lading di Karta
    Aku kembali linglung dan gila.
    Dada menjadi tungku dan rindu menjadi bara.
    Kepada Pak Mandor aku bercerita semuanya.
    Kembali pundakku merasakan pelukannya.
    Dalam kedamaian yang hangat ia berkata:
    “Siapkan dirimu.
    Seminggu lagi kuantar kamu
    menyusul Saijah ke Sumatera.”

    Ya, Allah, seumur hidup belum pernah keluar desa.
    Kini gerbang kurungan tiba-tiba terbuka.
    Keluasan dunia menjadi goda yang mempesona.

    Seluruh warga desa memberi restu
    waktu kami pamit berangkat ke Sumatera.
    Di dalam bis ia genggam tanganku.
    Rasanya sirna hidup miskin dan sengsara.
    Kami melaju kea rah surya.

    Apa tahuku tentang jalan ke Sumatera!
    Tapi toh aku ada pandu, ada bapa.
    Ia mengajak nginap di Karawaci.

    Di waktu malam ia mengetuk pintu.
    Ia memberiku kain, selendang dan baju baru.
    Ketika aku meluap oleh rasa gembira
    ia memelukku dengan tiba-tiba.
    Tubuhnya rapat ke seluruh tubuhku.
    Susuku yang kenyal tertekan ke dadanya
    menyebabkan darahku bergelora.
    Tak bisa bilang tidak.
    Kepalaku hilang di dalam kemabukan
    ketika ia bertubi-tubi
    menciumi wajah dan leherku.

    Malam itu ia ambil perawanku.
    Keperkasaannya menindih kesadaranku.

    Akang, sejak malam itu di Karawaci
    aku telah menodai cinta kita.
    Aku telah menjamah dosa
    dan melengkapkannya ke dadaku.
    Ya, akang, aku telah menikmati candu dunia.

    Malam itu
    sambil terlentang dengan lunglai
    dan mendengar ia mendengkur di sampingku
    aku telah bertekad
    untuk menyerahkan jiwa ragaku
    kepada lelaki itu.

    Aku piker aku akan jadi istrinya.
    Ternyata ia hanya ingin menjadi tuan.
    Dan menikmati diriku selama sebulan.
    Tetapi aku ikhlas mengabdi
    tanpa melawan.

    Selanjutnya pada suatu hari
    ia bawa aku ke Cikupa.
    Dimana semua orang mengenalnya.
    Memang benar ia mandor
    tetapi rupanya
    ia juga majikan pelacuran.

    Bagaikan tertenung
    menikmati cinta dan derita
    aku selalu mematuhinya.
    Aku menjadi pelacur kesayangan.
    Di antara para sopir truk menjadi rebutan.

    Aku menjadi dagangan yang menguntungkan.
    Diedarkan ke Karawaci,
    Cimone, Cikupa, dan Balaraja.
    Di Cilegon aku diantri.

    Dari Karawaci sampai ke Merak
    di sepanjang jalur pembangunan,
    dari desa-desa yang porak poranda
    muncullah gadis-gadis remaja
    menjadi bunga di warung-warung pelacuran.

    Pabrik dan pelacuran
    adalah satu pasangan.
    Orang Korea, Jepang dan Jerman
    semua sudah aku rasakan
    Adalah di Cilegon
    aku pertama terkena rajasinga.

    Dengan tabah aku lawan penyakitku.
    Di jagat raya tidak kurang obat-obatan
    Dan ketika kembali seperti sediakala
    majikan membawa aku ke Ancol, Jakarta.

    Jakarta, oh, Jakarta!
    Pohon lampu-lampu neon.
    Sungai raya dengan arus mobil dan bis kota.
    Langganan yang bersih dan kaya.
    Setiap subuh sarapan di restoran.
    bangun siang terus ke took berbelanja.

    Hidup rasanya seperti mimpi.
    Tanpa bumi.
    Banyak yang terjadi.
    Tanpa ada yang masuk ke hati.
    Aku hanyut di dalam aneka pengalaman
    di mana selalu bukan aku yang berkuasa.

    Segala ingatan kepadamu, akang
    segera aku singkirkan.
    Rasa malu kepadamu
    aku benamkan ke dalam batin kebal rasa.
    Rajasinga demi rajasinga aku kalahkan.
    Sampai pada suatu hari
    aku merasa demam tinggi
    dan tubuhku serasa tanpa tulang.
    Sejak saat itu
    aku dirundung sakit tak tersembuhkan.
    Sakit kepala sering datang tiba-tiba.
    Rasa lemas tanpa daya.
    Kanker rahim.
    Berulang kali keputihan.

    Bagaikan barang rongsokan
    nilaiku merosot
    menjadi pelacur ketengan.
    Mengembara ke Kalidere,
    Muara Angke, Tanah Abang Bongkaran,
    dan Jati Petamburan.

    Sebagai mahluk setengah bangkai
    aku terlindung di tempat-tempat ini.
    Yang sudah sah
    menjadi gua-gua sampah
    Aku bercampur dengan mereka.
    Cendawan-cendawan kehidupan
    Menghibur para lelaki kumuh
    yang pura-pura lupa kemiskinan.

    Akhirnya, akang
    aku tersingkir ke Kalijodo.
    Tanpa rumah
    Tanpa kesehatan
    Tanpa perlindungan.

    Kini, di malam hari,
    teronggok di tepi jalan raya ini
    sambil menghadap kiblat arah desa kita,
    aku merasa mengambang
    di udara yang gelap gulita.
    Seakan aku mabuk dan mati rasa.
    Jasadku tak berdaya.
    Dunia lenyap
    Segala macam peristiwa berlalu.
    Namun tanpa aku duga,
    di dalam senyap muncul wajahmu.

    Ada kehangatan terasa dijidatku.
    Kepada bayangan wajahmu
    aku tembangkan kawih asih yang berdebu
    dengan mulutku yang bisu, biru, ternganga dan kaku.

    Akang, kamu seperti dewa.
    Sangat jauh dan mulia.
    Maafkan, aku sudah berdosa.
    Tembangku ini, akang
    ingin bergayut di pucuk bamboo.
    Sia-sia
    ia disambar truk gandeng yang lewat menderu.

    Bila tembangku ini selesai, akang,
    aku mati

    Depok, 14 januari 1991

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Nyanyian Adinda untuk Saijah Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top