Di Kalijodo aku menyanyi di dalam hati.
Kawih asih seperti pohon tanpa daun.
Mengandung duka seperti pohon tanpa akar.
Saat adalah malam menanti pagi.
Saijah, akang!
Tanpa petunjuk dan jejak yang nyata
tembang cintaku yang berdebu
mencari kamu.
Sebelum sepuluh tahun yang lalu
cintaku tabah lagunya menderu
Tapi kini ia jengah
Merayap dengan penuh rasa malu.
Akang, aku telah berdosa
Tanpa daya aku nodai cinta.
Tak lama setelah akang berangkat ke Sumatera,
aku gelisah dalam jarring rindu asmara.
Setiap menjelang masa datang bulan
wajahmu selalu membayang.
Rasanya seperti menjadi gila.
Rasanya seperti menjadi gila.
Setiap kali memuncak rasa rindu
rasa gatal menjalar ke putting-putting susu.
Rasa geli yang lembut di seluruh kulit perut.
Sungai darah di tubuhku bergolak.
Aku terengah-engah
dan bernapas lewat mulut.
Akang, alangkah berat rasanya
bila jantungku berdetak
jauh dari jantungmu.
Pada suatu hari
di masa aku linglung oleh rindu kepadamu
aku kenal lelaki seperti seorang bapa
di balai desa.
Ia mandor proyek jalan raya.
Di desa yang dirundung kemiskinan
ia menjadi harapan dan hiburan.
Suka berbagi rokok
mampu memberi pekerjaan.
Royal dalam pergaulan
dan kata-katanya mengandung keramahan.
Waktu itu aku berjualan kue ketan,
Waktu itu aku berjualan kue ketan,
pisang rebus dan nasi dengan sayuran.
Ia selalu memborong sisa dagangan.
Kepada buruhnya dibagi-bagikan.
Aku terpesona kepada kemampuan uangnya
dan sikapnya yang seperti bapa.
Kepadaku ia selalu berkata
jangan ragu nyusul akang ke Sumatera.
Dan bila di balik rumpun pisang
ia memeluk pundakku
tangannya terasa hangat dan nikmat
membuat hidupku jadi sentosa.
Lalu datang surat akang dari Menggala.
Akang bilang mau membuka lading di Karta
Aku kembali linglung dan gila.
Dada menjadi tungku dan rindu menjadi bara.
Kepada Pak Mandor aku bercerita semuanya.
Kembali pundakku merasakan pelukannya.
Dalam kedamaian yang hangat ia berkata:
“Siapkan dirimu.
Seminggu lagi kuantar kamu
menyusul Saijah ke Sumatera.”
Ya, Allah, seumur hidup belum pernah keluar desa.
Kini gerbang kurungan tiba-tiba terbuka.
Keluasan dunia menjadi goda yang mempesona.
Seluruh warga desa memberi restu
waktu kami pamit berangkat ke Sumatera.
Di dalam bis ia genggam tanganku.
Rasanya sirna hidup miskin dan sengsara.
Kami melaju kea rah surya.
Apa tahuku tentang jalan ke Sumatera!
Tapi toh aku ada pandu, ada bapa.
Ia mengajak nginap di Karawaci.
Di waktu malam ia mengetuk pintu.
Ia memberiku kain, selendang dan baju baru.
Ketika aku meluap oleh rasa gembira
ia memelukku dengan tiba-tiba.
Tubuhnya rapat ke seluruh tubuhku.
Susuku yang kenyal tertekan ke dadanya
menyebabkan darahku bergelora.
Tak bisa bilang tidak.
Kepalaku hilang di dalam kemabukan
ketika ia bertubi-tubi
menciumi wajah dan leherku.
Malam itu ia ambil perawanku.
Keperkasaannya menindih kesadaranku.
Akang, sejak malam itu di Karawaci
aku telah menodai cinta kita.
Aku telah menjamah dosa
dan melengkapkannya ke dadaku.
Ya, akang, aku telah menikmati candu dunia.
Malam itu
sambil terlentang dengan lunglai
dan mendengar ia mendengkur di sampingku
aku telah bertekad
untuk menyerahkan jiwa ragaku
kepada lelaki itu.
Aku piker aku akan jadi istrinya.
Ternyata ia hanya ingin menjadi tuan.
Dan menikmati diriku selama sebulan.
Tetapi aku ikhlas mengabdi
tanpa melawan.
Selanjutnya pada suatu hari
ia bawa aku ke Cikupa.
Dimana semua orang mengenalnya.
Memang benar ia mandor
tetapi rupanya
ia juga majikan pelacuran.
Bagaikan tertenung
menikmati cinta dan derita
aku selalu mematuhinya.
Aku menjadi pelacur kesayangan.
Di antara para sopir truk menjadi rebutan.
Aku menjadi dagangan yang menguntungkan.
Diedarkan ke Karawaci,
Cimone, Cikupa, dan Balaraja.
Di Cilegon aku diantri.
Dari Karawaci sampai ke Merak
di sepanjang jalur pembangunan,
dari desa-desa yang porak poranda
muncullah gadis-gadis remaja
menjadi bunga di warung-warung pelacuran.
Pabrik dan pelacuran
adalah satu pasangan.
Orang Korea, Jepang dan Jerman
semua sudah aku rasakan
Adalah di Cilegon
aku pertama terkena rajasinga.
Dengan tabah aku lawan penyakitku.
Di jagat raya tidak kurang obat-obatan
Dan ketika kembali seperti sediakala
majikan membawa aku ke Ancol, Jakarta.
Jakarta, oh, Jakarta!
Pohon lampu-lampu neon.
Sungai raya dengan arus mobil dan bis kota.
Langganan yang bersih dan kaya.
Setiap subuh sarapan di restoran.
Setiap subuh sarapan di restoran.
bangun siang terus ke took berbelanja.
Hidup rasanya seperti mimpi.
Tanpa bumi.
Banyak yang terjadi.
Tanpa ada yang masuk ke hati.
Aku hanyut di dalam aneka pengalaman
di mana selalu bukan aku yang berkuasa.
Segala ingatan kepadamu, akang
segera aku singkirkan.
Rasa malu kepadamu
aku benamkan ke dalam batin kebal rasa.
Rajasinga demi rajasinga aku kalahkan.
Sampai pada suatu hari
aku merasa demam tinggi
dan tubuhku serasa tanpa tulang.
Sejak saat itu
aku dirundung sakit tak tersembuhkan.
Sakit kepala sering datang tiba-tiba.
Rasa lemas tanpa daya.
Kanker rahim.
Berulang kali keputihan.
Bagaikan barang rongsokan
nilaiku merosot
menjadi pelacur ketengan.
Mengembara ke Kalidere,
Muara Angke, Tanah Abang Bongkaran,
dan Jati Petamburan.
Sebagai mahluk setengah bangkai
aku terlindung di tempat-tempat ini.
Yang sudah sah
menjadi gua-gua sampah
Aku bercampur dengan mereka.
Cendawan-cendawan kehidupan
Menghibur para lelaki kumuh
yang pura-pura lupa kemiskinan.
Akhirnya, akang
aku tersingkir ke Kalijodo.
Tanpa rumah
Tanpa kesehatan
Tanpa perlindungan.
Kini, di malam hari,
teronggok di tepi jalan raya ini
sambil menghadap kiblat arah desa kita,
aku merasa mengambang
di udara yang gelap gulita.
Seakan aku mabuk dan mati rasa.
Jasadku tak berdaya.
Dunia lenyap
Segala macam peristiwa berlalu.
Namun tanpa aku duga,
di dalam senyap muncul wajahmu.
Ada kehangatan terasa dijidatku.
Kepada bayangan wajahmu
aku tembangkan kawih asih yang berdebu
dengan mulutku yang bisu, biru, ternganga dan kaku.
Akang, kamu seperti dewa.
Sangat jauh dan mulia.
Maafkan, aku sudah berdosa.
Tembangku ini, akang
ingin bergayut di pucuk bamboo.
Sia-sia
ia disambar truk gandeng yang lewat menderu.
Bila tembangku ini selesai, akang,
aku mati
Depok, 14 januari 1991
0 komentar:
Post a Comment