728x90 AdSpace

  • Latest News

    09 April 2013

    Demi Orang-Orang Rangkasbitung

    karya WS Rendra 

    Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
    Salam sejahtera!
    Nama saya Multatuli.
    Datang dari masa lalu.
    Dahului abdi kerajaan Belanda.
    Ditugaskan di Rangkasbitung,
    ibukota Lebak saat itu.
    Satu pengalaman yang penuh ujian.
    Rakyat ditindas oleh bupati mereka sendiri.
    Petani hanya bisa berkeringat,
    tidak bisa tertawa
    dan hak pribadi diperkosa.
    Demi kepentingan penjajahan,
    Kerajaan Belanda bersekutu dengan kejahatan ini.
    Sia-sia saya mencegahnya.
    Kalah dan tidak berdaya.

    Saya telah menyaksikan
    bagaimana keadilan telah dikalahkan
    oleh para penguasa
    dengan gaya yang anggun
    dan sikap yang gagah.
    Tanpa ada ungkapan kekejaman di wajah mereka.
    Dengan bahasa yang rapi
    mereka keluarkan keputusan-keputusan
    yang tidak adil terhadap rakyat.
    Serta dengan budi bahasa yang halus
    mereka saling membagi keuntungan
    yang mereka dapat dari rakyat
    yang kehilangan tanah dan ternaknya.
    Ya, semuanya dilakukan
    sebagai suatu kewajaran.

    Dan bangsa kami di negeri Belanda
    pada hari minggu berpakaian rapi,
    berdoa dengan tekun.
    Sesudah itu bersantap bersama,
    menghayati gaya peradaban tinggi,
    bersama sanak keluarga,
    menghindari perkataan kotor,
    dan selalu berbicara
    dalam tata bahasa yang patut,
    sambil membanggakan keuntungan besar
    di dalam perdagangan kopi,
    sebagai hasil yang efisien
    dari tanam paksa di tanah jajahan.
    Dengan perasaan mulia dan bangga
    kami berbicara
    tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan.
    Ya, begitulah.
    Kami selalu mencuci tangan sebelum makan
    dan kami meletakkan serbet di pangkuan kami.
    Dengan kemuliaan yang sama pula
    ketika kami memerintahkan para marsose
    agar membantai orang-orang Maluku dan orang-orang Java
    yang mencoba mempertahankan kedaulatan mereka!

    Ya, kami adalah bangsa
    yang tidak pernah lupa mencuci tangan.

    Kita bisa menjadi sangat lelah
    apabila merenungkan gambaran kemanusiaan
    dewasa ini.
    Orang Belanda dahulu
    juga  mempunyai keluh kesah yang sama
    apabila berbicara tentang keadaan mereka
    di zaman penjajahan oleh Spanyol.
    Mereka memberi nama yang buruk
    kepada Pangeran Alba yang sangat menindas.
    Tetapi sekarang apakah mereka lebih baik
    dari Pangeran yang jahat itu?

    Tentu tidak hanya saya
    yang merasa gelisah
    terhadap dawat hitam
    yang menodai iman kita.
    Pikiran yang lurus menjadi bercela
    karena tidak pernah bisa tuntas
    dalam menangani keadilan.
    Sementara waktu terus berjalan
    dan terus memperlihatkan keluasan keadaannya.
    Kita tidak bisa seimbang
    dalam menciptakan keluasan ruang
    di dalam pemikiran kita.
    Memang kita telah bisa berpikir
    lebih canggih dan kompleks,
    tetapi belum bisa lebih bebas
    tanpa sekat-sekat
    dibanding dengan keluasan waktu.
    Bagaimana keadilan bisa ditangani
    dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat?
    Ya, saya rasa kita memang lelah.
    Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini.

    Bukankah keadaan keadilan di sini
    belum lebih baik dari zaman penjajahan?
    Dahulu rakyat Rangkasbitung
    tidak mempunyai hak huku
    apabila mereka berhadapan kepentingan
    dengan Adipati Lebak.
    Sekarang
    apakah rakyat kecil
    sudah mempunyai hak hukum
    apabila mereka berhadapan kepentingan
    dengan Adipati-adipati masa kini?
    Dahulu
    Adipati Lebak bisa lolos dari hukum
    Sekarang
    Adipati-adipati yang kejam dan serakah
    apakah sudah bisa dituntut oleh hukum?
    Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
    adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
    Negara Anda mungkin sudah merdeka.
    Tetapi apakah bangsa Anda juga sudah merdeka?
    Apakah bangsa tanpa hak hukum
    bisa disebut bangsa merdeka?

    Para pemimpin Negara-negara maju
    bisa menitikkan air mata
    apabila mereka berbicara tentang demokrasi
    kepada para putranya.
    Tetapi di kolam renang
    dengan sangat santai dan penuh kewajaran
    mereka mengangkat telepon
    untuk memberikan dukungan
    kepada para tiran dari negara lain
    demi kuntungan-keuntungan materi bangsa mereka sendiri.

    Oh, Ya, Tuhan!
    Saya mengatakan semua ini
    sambil merasakan rasa lemas
    yang menghinggapi seluruh tubuh saya.
    Saya mencoba tetap bisa berdiri
    meskipun rasanya
    tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya.
    Saya sedang melawan perasaan sia-sia
    Saya melihat
    Negara-negara maju memberikan bantuan ekonomi.
    Dan sebagai hasilnya
    banyak rakyat dari dunia berkembang
    kehilangan tanah mereka,
    supaya orang kaya bisa main golf,
    atau supaya ada bendungan
    yang memberikan sumber tenaga listrik
    bagi industri dengan modal asing.
    Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan,
    mendapat ganti rugi
    untuk setiap meter persegi dari tanahnya
    dengan uang yang sama nilainya
    dengan satu pak sigaret bikinan Amerika.

    Barangkali kehadiran saya sekarang
    mulai tidak mengenakkan suasana?
    Keadaan ini dulu sudah saya alami.
    Apakah orang seperti saya harus dilanda oleh sejarah?

    Tetapi ingat:
    sementara sejarah selalu melahirkan
    masalah ketidakadilan,
    tetapi ia juga selalu melahirkan
    orang seperti saya.
    Menyadari hal ini
    tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia.

    Tuan-tuan, para penguasa dunia,
    kita sama-sama memahami sejarah.
    Senang atau tidak senang
    ternyata tuan-tuan tidak bisa
    meniadakan saya.
    Nama saya Multatuli
    saya bukan buku yang bisa dilarang dan dibakar.
    Juga bukan benteng yang bisa dihancurleburkan.
    Saya Multatuli:
    sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri.
    Oleh karena itu
    saya tidak bisa disamaratakan dengan tanah.

    Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
    apabila ada keadaan yang celaka,
    apakah perlu ditambah celaka lagi?
    Pada intinya inilah pertanyaan sejarah
    kepada Anda semua.
    Tuan-tuan dan nyonya-nyoya
    yang hadir di sini,
    setelah memahami sejarah,
    saya betul tidal lagi merasa sepi.
    Dan memang tidak relecan lagi bagi saya
    untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia,
    sebab jelaslah sudah kewajiban saya.
    ialah: hadir dan mengalir.

    Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
    terima kasih.
    Bojong Gede, 5 Nopember 1990
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Demi Orang-Orang Rangkasbitung Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top