Reading Groups Minggu Kelima Max Havelaar
Oleh Multaubai
Dear Reader,
Namaku Ubaidilah Muchtar dan mengajar di SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang di Lebak, Banten. Aku membacakan buku Max Havelaar karya Multatuli kepada anak-anak di Taman Baca Multatuli setiap hari Selasa dan aku tahu manfaatnya. Taman Baca Multatuli terletak di kampung Ciseel. Aku mencoba mendirikannya di akhir tahun 2009. Aku membawa buku dari koleksiku dan mereka yang baik yang mau berbagi buku. Maka untuk mereka bersiaplah menerima bermilyar-milyar terima kasih dariku. Ketika aku membacakan Max Havelaar kepada anak-anak usia SMP aku yakin ini akan berguna untuk mereka. Setidak-tidaknya dapat menambah pengetahuan mereka, terutama pengetahuan tentang seseorang—Belanda tulen—yang satu setengah abad yang silam, begitu bersedia bertindak gigih, begitu rela berkorban dan menderita, memperjuangkan keadilan bagi penduduk di tanah —Lebak—yang miskin ini, yang sengsara dan dianiaya, yang dalam istilahnya—Multatuli—disebut orang-orang Jawa (Indonesia).
Aku mohon maaf jika mengatakan daerah ini miskin. Namun demikianlah kiranya adanya. Taman Baca Multatuli ada di daerah yang hingga kini belum teraliri listrik milik negara—PLN—seperti yang kita nikmati sekarang. Empat kampung yang ada di sekitar Taman Baca Multatuli di antaranya: Cigaclung, Ciparahu, Cikadu, Babakan Aceh juga belum teraliri listrik. Aku merasakan bagaimana sukarnya memasuki daerah ini. Kita akan menyebut daerah ini daerah terpencil. Namun semangat anak-anaknya begitu besar. Meraka anak-anak yang menurutku rajin, cerdas, dan berbakat. Hanya keadaan yang membuat mereka dinamakan terpencil.
Aku memutuskan mengadakan Reading Groups Max Havelaar . Pertama kali melakukannya, aku gemetaran. Aku membaca dan mereka mendengar. Mereka bertanya dan aku menjawab. Mereka membaca ulang dan aku memastikan setiap kalimat atau kata setidaknya mereka paham. Tidak buruk, tetapi tidak cukup, aku tahu sekarang. Maka sejak pertemuan pertama usai hingga sekarang aku selalu mencoba membuat variasi meski belum tentu maksimal. Well, reader, mereka suka reading groups ini! Aku juga. Pukul empat sore hingga pukul enam kami membaca, sekali seminggu. Meski di dalam jadwal yang kutulis Every Tuesday: 16.00-17.30 nyatanya terkadang hingga adzan maghrib tiba kami baru selesai.
Kami kini memasuki minggu kelima. Reading Groups Max Havelaar minggu kelima terlaksana Selasa, 20 April 2010. Kami mulai memasuki episode Lebak. Memasuki Bab 5 kami diajak beralih situasi, dari Belanda menuju Indonesia, dari kota Amsterdam menuju daerah pedesaan, perbatasan antara Pandeglang dan Lebak. Tentu saja daerah Banten berbeda dengan Amsterdam. Aku membaca bagian yang disampaikan Stern ini. Para peserta mendengarkan.
Suatu pagi sekitar pukul sepuluh terdapat kesibukan dan keributan yang tidak biasa di jalan utama Jawa, yang menghubungkan divisi Pandeglang dan Lebak. "Jalan utama" mungkin sedikit berlebihan jika ditujukan pada jalan setapak lebar, yang kasar dan sangat jauh dari baik untuk disebut "jalan". Namun saat, dengan kereta yang ditarik dengan empat ekor kuda, Anda meninggalkan serang, daerah kota utama di Kresidenan Bantam, daerah tujuan ke Rangkas Bitung, pusat kota yang baru Lebak, Anda sudah pasti akan tiba di sana segera atau lain waktu.
Pepen yang kritis segera menanyakan mengapa Lebak disebut pusat kota yang baru. Ya, Pepen kukira sangat berbakat, ingatannya kuat, dan rajin. Meskipun aku tahu semua peserta berbakat. Maka kusampaikan bahwa Lebak sempat menjadi pusat kota baru di kresidenan Banten. Bahkan hingga kini pendopo yang berada di wilayak Pemkab Lebak dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya. Peserta yang lain bertanya apa arti kata "divisi". Maka aku menjawab bahwa divisi itu maksudnya bagian atau kelompok. Di paragraf di atas divisi maksudnya dapat disamakan dengan kabupaten sekarang.
Paragraf selanjutnya aku baca dengan pelan. Kusampaikan para peserta untuk menandai jika ada kata yang kurang dimengerti nanti setelah selesai kubaca satu paragraf mereka boleh bertanya. Paragraf selanjutnya menjelaskan tentang jalan. Ya, jalan, reader! Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.
Konsekuensinya, tidak ada layanan pos kuda di Eropa—bahkan tidak di Inggris, Rusia atau Hongaria—yang bisa menandingi dengan yang ada di Jawa. Melewati tepian gunung tinggi, menyusupi jurang ngarai yang membuat Anda ngeri, kereta pos yang diberi muatan meluncur maju dengan tidak mengurangi kecepatan lari kuda.....
"Tuhanku, jalannya hilang ... hilang! Kita akan jatuh ke jurang!" jerit para penumpang yang belum berpengalaman. "Tidak ada jalan... yang ada hanya tebing curam!"
Ya, begitulah kelihatannya. Jalannya menekuk, dan tepat ketika satu loncatan lagi para hewan yang berderap itu bisa mengirim para pemimpin ke angkasa, kuda-kuda itu berbelok dan mengayun kereta melewati belokan. Mereka terbang di atas lereng gunung, yang tidak Anda lihat beberapa saat sebelumnya, dan... jurang dalam terhampar di belakang Anda.
Aku teringat, bahwa aku memiliki buku tentang jalan raya ini. Ya, ada bukunya Pramoedya Ananta Toer berjudul "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels". Aku berdiri sebentar kuambil di rak buku tersebut. Kuperlihatkan ke peserta. Buku ini diterbitkan Lentera Dipantara. Aku memperlihatkan buku terbitan keenam tersebut. Pada saat pembacaan paragraf ini aku sengaja membaca seekspresif mungkin. Aku meningikan volume suaraku saat membaca "Tuhan, jalannya hilang... hilang! Kita akan jatuh ke jurang", "Tidak ada jalan... yang ada hanya tebing curam!". Setelah pembacaan paragraf ini selesai, aku menjelaskan mengapa jalan ini disebut jalan pos.
Paragraf selanjutnya kami baca bergiliran. Di paragraf selanjutanya, cerita memasuki seputar keramaian di seputar perbatasan Pandeglang dan Lebak. Keramaian terjadi saat menunggu asisten residen yang baru. Di dalam keramaian ini tampak para pemimpn Distrik (Kecamatan, sekarang) Lebak, pimpinan tingkat tinggi, juga ada Regen Lebak Adipati Karta Natanegara. Diceritakan juga gambaran tentang rumah "pendopo sementara" di Jawa dan hubungan negeri Belanda dan penduduk, dan juga hubungan pembesar Belanda dan pembesar bumiputera. Pendopo adalah semacam ekspresi yang paling sederhana dari ide "atap" semacam topi lebar. Pendopo dibangun dari empat atau enam tiang bambu yang dipancangkan di atas tanah dan setiap ujungnya dihubungkan dengan bambu-bambu yang lain, kemudian ditutup dengan daun nipah. Tempat semacam ini digunakan untuk mengeluelukan kepala baru di perbatasan.
Ketika menceritakan pendopo, aku mendengar Nurdiyanta mengatakan. "Daunnya itu dari daun kirai, ya?". Kirai biasa dipakai di pedesaan sebagai atap. Daun kirai disusun dan selanjutnya dijepit dengan bambu. Kujawab, ya pada Nurdiyanta.
Hindia Belanda (Indonesia tempo dulu) terbagi jadi dua bagian: (1) satu bagian yang mengakui kedaulatan pemerintah Belanda sebagai pelindung tetapi dengan pemerintahan langsung masih tergantung pada kepala-kepala Bumiputera (2) satu bagian, termasuk di dalamnya seluruh pulau Jawa langsung takluk pada negeri Belanda, artinya orang Jawa adalah kaula Belanda dengan raja mereka Raja Belanda. Turunan raja dan tuannya-tuannya dahulu sekarang adalah pejabat Belanda dan pajak yang dibayar rakyat Jawa akan masuk ke dalam kas negeri Belanda.
Sebagai asisten residen, Havelaar berada di bawah residen. Dengan sistem baru, orang Jawa adalah kaula Belanda atau rakyat Belanda. Residen adalah gubernur daerah di bawah kontrol Gubernur Jenderal. Residen inilah yang mewakili Kekuasaan Belanda terhadap penduduk Jawa karena residen dan pejabat-pejabat bawahannya yang dikenal rakyat dan bukan pejabat tinggi yang duduk di Betawi. Residen membawahi tiga, empat, atau lima daerah atau kabupaten yang dikepalai asisten residen, semacam Havelaar.
Lebak, tempat Max Havelaar bertugas, digambarkan sebagai sebuah daerah pedalaman yang miskin, yang di dalamnya tidak terdapat banyak orang Eropa. Untuk mencapai daerah itu orang, pada waktu itu, harus melalui "jalan besar" Daendels dan jalan yang berliku-liku, mendaki dan menurun, dengan jurang-jurang yang dalam di pinggirnya, dengan kondisi jalan yang buruk, dan hanya bisa dilalui dengan jalan kaki atau kendaraan kereta kuda dan kuda-kuda. Wilayah Lebak masih penuh dengan hutan dan semak-semak sehingga ular banyak hidup di sana (juga terdapat di pekarangan Havelaar) dan binatang buas lainnya.
Dalam bertugas, seorang asisten residen akan didampingi oleh kepala Bumiputera berpangkat tinggi yang bergelar Regen (sekarang: Bupati). Regen kebanyakan berasal dari golongan bangsawan dan sering berkeluarga dengan raja-raja, meskipun sekarang hanya pejabat bayaran tetapi secara politis pengaruh feodal masih dapat digunakan. Akibatnya, tidak tertutup kemungkinan asisten residen yang mengepalai wilayah dalam praktiknya tidak memiliki kedudukan yang lebih tinggi karena pengetahuan Regen tentang tempat, karena kelahirannya, karena pengaruh dan juga cara hidupnya. Pejabat Eropa yang tidak senang tidak perlu ditakutkan karena akan muncul penggantinya tetapi kepala Bumiputera yang marah dapat menjadi benih huru-hara dan pemberontakan.
Ya, pada bab 5 ini banyak disampaikan tentang sistem kekuasaan. Pembacaan paragraf demi paragraf sangat pelan. Aku mencoba menjelaskan hierarki kekuasaan ini dengan mengulang dan menanyakan peserta jika tak paham. Mereka bertanya dan aku mencoba menjawabnya. Pembahasan mengenai sistem kekuasaan ini diuraikan panjang lebar dalam bagian ini. Di Reading Groups minggu kelima ini kami menemukan kata-kata sulit seperti: Landgraves, Margraves, Gaugraves, Prefects, Count, Dukes, Provinsi, Baron, Banneret, Autochthonous, Bangsawan, Regen, Inferior, Superior, Sawah, Gagah, Tipar. Aku menjelaskan kata-kata ini dan mencoba memberikan contoh dalam bahasa yang mudah dipahami peserta.
Reading Groups minggu kelima ini berakhir di paragraf penghasilan seorang pemimpin Jawa. Penghasilan pemimpin Jawa berasal dari empat sumber. Gaji tetap, pendapatan dari sumber khusus, bonus, dan dari tenaga serta kekayaan para bawahan secara sewenang-wenang. Pipih terlihat paling tidak suka dengan pendapatan pemimpin dari sumber keempat. Reading Groups minggu kelima berakhir saat hari telah gelap. Pipih dan Mariah membereskan buku. Menyimpannya kembali ke rak. Pepen, Nurdiyanta, dan Sanadi merapikan tikar. Oh iya reader, minggu ini aku membawa spanduk ke Taman Baca Multatuli. Aku memasangnya. Di spanduk itu ada tulisan:
Hayu Urang Maca!
Di Taman Baca Multatuli
Ciseel Sobang Lebak
Ayo, Kita Membaca!
Di Taman Baca Multatuli
Ciseel Sobang Lebak
Let's Read!
At Taman Baca Multatuli
Ciseel Sobang Lebak
Sampai di sini dulu ya. Maaf jika catatan ini membosankan. Aku tahu itu. Namun karenaku telah memulai aku akan berusaha terus sampai jumpa minggu besok ya. Buka terus catatan yang akan datang.
—Ubaidilah Muchtar,
Sawangan, Depok
0 komentar:
Post a Comment