oleh Sigit susanto
(Ini kisahku ketika mampir di rumah Multatuli di Amsterdam)
Peta Amsterdam sudah di tangan. Jalan-jalan tipis sudah disisir rapi. Tapi rumah Multatuli masih belum kami hampiri. Menjelang malam tiba, aku mencari rumah Multatuli di jalan Korjespoortsteeg.
Di depanku, berdirilah rumah bercat putih: rumah kelahiran Multatuli. Rumahnya dihimpit oleh gedung yang sejajar sama tinggi. Poster Multatuli menempel di jendela seperti menatap ke arah para pelacur di etalase kaca. Memasuki jalan itu pandangan dan langkahku dihadang oleh tiga atau empat pilar besi setinggi satu meter. Pilar-pilar itu berwarna merah dengan bentuk menyerupai lingga. Sebelum aku menemukan rumah Multatuli, sebenarnya wajahku sudah menatap etalase jendela yang di dalamnya berisi tubuh-tubuh berdandan menor bak boneka hidup dengan pose berdiri atau duduk. Di depan etalase itu ada seseorang yang menenteng telepon genggam. Wajahnya tumpah ke jalan pada orang-orang yang lewat. Tapi angannya terbang ke orang lain yang ia ajak bicara.
Aku kembali menatap poster itu. Di poster itu tertera jam buka museum:
Selasa, pukul: 10.00 - 17.00.
Sabtu dan Minggu, pukul: 12.00-17.00.
Alamat: Korsjespoorsteeg 20. 1015 AR Amsterdam.
Telp: 020-6381938. E-mail: multatulimuseum@zonnet.nl
Sekarang ini di deretan rumah tempat lahirnya seorang pujangga pemberontak sebesar Multatuli telah dihuni banyak pelacur. Mungkin ruas jalan itu masih merupakan perluasan kompleks Red Light. Tapi aku masih tetap merasa beruntung sebab rumah kelahiran Multatuli masih diabadikan. Paling tidak masih ada sebuah situs untuk mengenangnya. Sebab mungkin ada banyak rumah kelahiran sastrawan besar lain sudah tak dikenali lagi. Seandainya rumah mereka masih ada, itu pun sekadar rumah bekas hunian mereka. Tidak ada arsip atau kegiatan apapun yang diabadikan di dalam rumah hunian mereka.
(Ini kisahku ketika mampir di rumah Multatuli di Amsterdam)
Peta Amsterdam sudah di tangan. Jalan-jalan tipis sudah disisir rapi. Tapi rumah Multatuli masih belum kami hampiri. Menjelang malam tiba, aku mencari rumah Multatuli di jalan Korjespoortsteeg.
Di depanku, berdirilah rumah bercat putih: rumah kelahiran Multatuli. Rumahnya dihimpit oleh gedung yang sejajar sama tinggi. Poster Multatuli menempel di jendela seperti menatap ke arah para pelacur di etalase kaca. Memasuki jalan itu pandangan dan langkahku dihadang oleh tiga atau empat pilar besi setinggi satu meter. Pilar-pilar itu berwarna merah dengan bentuk menyerupai lingga. Sebelum aku menemukan rumah Multatuli, sebenarnya wajahku sudah menatap etalase jendela yang di dalamnya berisi tubuh-tubuh berdandan menor bak boneka hidup dengan pose berdiri atau duduk. Di depan etalase itu ada seseorang yang menenteng telepon genggam. Wajahnya tumpah ke jalan pada orang-orang yang lewat. Tapi angannya terbang ke orang lain yang ia ajak bicara.
Aku kembali menatap poster itu. Di poster itu tertera jam buka museum:
Selasa, pukul: 10.00 - 17.00.
Sabtu dan Minggu, pukul: 12.00-17.00.
Alamat: Korsjespoorsteeg 20. 1015 AR Amsterdam.
Telp: 020-6381938. E-mail: multatulimuseum@zonnet.nl
Sekarang ini di deretan rumah tempat lahirnya seorang pujangga pemberontak sebesar Multatuli telah dihuni banyak pelacur. Mungkin ruas jalan itu masih merupakan perluasan kompleks Red Light. Tapi aku masih tetap merasa beruntung sebab rumah kelahiran Multatuli masih diabadikan. Paling tidak masih ada sebuah situs untuk mengenangnya. Sebab mungkin ada banyak rumah kelahiran sastrawan besar lain sudah tak dikenali lagi. Seandainya rumah mereka masih ada, itu pun sekadar rumah bekas hunian mereka. Tidak ada arsip atau kegiatan apapun yang diabadikan di dalam rumah hunian mereka.
0 komentar:
Post a Comment