Oleh MH Ubaidilah
Multatuli? Ya, Multatuli. Multatuli merupakan nama samaran dari Eduard Douwes Dekker. Nama Multatuli diambil dari bahasa Latin yang berarti “Aku sudah menderita cukup banyak” atau “Aku sudah banyak menderita”. Multatuli lahir di Amsterdam, Belanda pada tanggal 2 Maret 1820 tepatnya di Korsjespoorsteeg. Multatuli memiliki saudara bernama Jan. Jan tak lain adalah kakek dari Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (lebih dikenal dengan nama Danudirja Setiabudi atau Setiabudi) Pahlawan Nasional.
Multatuli yang namanya pernah dijadikan akademi sastra dan bahasa Indonesia di Jakarta itu dikenal sebagai humanis besar, bukan saja mengenal kolonialisme dan wataknya, juga mengenal rakyat jajahan, dan lebih menghayati keterbatasannya dalam penghidupan, dalam berbudaya, dalam berlawan, bahkan dalam bercinta. Multatuli kecil adalah pribadi yang pandai dan cerdas. Ayahnya seorang kapten kapal yang memiliki penghasilan cukup. Keluarganya termasuk keluarga mapan dan berpendidikan. Multatuli disekolahkan oleh Ayahnya di sekolah Latin.
Tahun 1838 Multatuli untuk pertama kalinya pergi ke Pulau Jawa. Pertama kali ia tiba di Indonesia pada tanggal 4 Januari 1839 tepatnya di Batavia yang kini bernama Jakarta. Jenjang kerjanya dimulai dari menjadi pegawai Dewan Dinas Keuangan di Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar pekerjaan sebagai ambtenaar (pegawai negeri) pamong praja di Sumatra Barat. Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels kemudian mengirimnya ke kota Natal sebagai kontroler kelas dua.
Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan setelah keluar dari pekerjaannya. Baru pada bulan September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia.
Tahun 1845 Multatuli ditunjuk sementara sebagai sekretaris asisten residen di Karawang. Sambil menunggu penempatan tugas, Multatuli menjalin asmara dengan Everdina Huberta Baroness dari Wijnbergen. Gadis keturunan bangsawan. Pada tanggal 10 April 1846, ia yang saat itu telah ditunjuk sebagai pegawai di kantor perumahan di Poerworedjo, menikah dengan Tine.
Ditunjuk sebagai sekretaris residen di Manado, Sulawesi tahun 1848. Akhir April 1849, merupakan masa-masa karier terbaik Multatuli. Multatuli yang pemikirannya sangat maju tentang rancangan peraturan guna perubahan dalam sistem hukum kolonial membuat ia diperhatikan atasannya, residen Scherius. Ia juga mendapat perhatian para pejabat di Bogor. Kariernya pun meningkat dari sekretaris residen menjadi asisten residen. Asisten residen merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda. Multatuli menerima jabatan ini dan ditugasi di Ambon pada bulan Oktober 1851.
Saat bertugas di Ambon, Multatuli tidak sepaham dengan Gubernur Maluku. Multatuli akhirnya mengajukan cuti dengan alasan kesehatan. Pada hari Natal tahun 1852, Multatuli bersama istrinya, Tine tiba di pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam. Tanggal 1 Januari 1854 lahir anak pertamanya, Edu.
Pada tanggal 10 September 1855, Multatuli dan istrinya kembali ke Batavia. Tak lama kemudian ia diangkat menjadi Asisten Residen Lebak, Banten, yang bertempat di Rangkasbitung. Pengangkatan Multatuli sebagai Asisten Residen Lebak terhitung sejak 21 Januari 1856. Sehari kemudian, ia memberikan pidato di hadapan para bawahannya. Multatuli melaksanakan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab. Namun, ia menemukan keadaan di Lebak yang sangat buruk bahkan lebih buruk dari keadaan yang didapatkannya dari berita. Perlakuan buruk itu dilakukan oleh Adipati Karta Natta Nagara dan menantunya. Multatuli mengambil sikap membela rakyat yang terhisap oleh pengusaha perkebunan kopi yang bersekongkol dengan bupati yang dilindungi oleh Residen Belanda. Mulatuli melancarkan perjuangan melawan ketidakadilan dengan menulis surat tertanggal 24 Februari kepada Gubernur Jenderal A.J. Duymaer van Twist. Multatuli menulis surat tanpa terlebih dahulu melalui atasannya, Residen Lebak Brest van Kempen. Hal itu Mulatuli lakukan karena ia mengetahui Residen Lebak tidak akan menggubris laporannya. Namun apa yang terjadi Gubernur Jenderal A.J. Duymaer van Twist pun tak menghiraukan laporannya, bahkan Multatuli dianggap “mbalelo”, dituduh tidak cakap menjadi pejabat, dan dituding melawan prosedur. Multatuli pun mengundurkan diri. Pengunduran dirinya dikabulkan tanggal 4 April 1856.
Multatuli meninggalkan Lebak dan tinggal di Batavia. Tak lama kemudian, Multatuli meninggalkan Batavia menuju Eropa tanpa ditemani anak dan istrinya. Tanggal 1 Juni 1857, lahir putrinya Nonnie. Pada awal tahun 1858 dia tiba di ibukota Belgia, Brussel. Tinggal di kamar loteng sebuah penginapan bernama “In de kleine prins”, di rue (jalan) de la Fourche nomor 52. Di kamar kecil itu lahirlah karyanya, roman kepahlawanan pembela rakyat tertindas, berjudul “Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappij” (Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda). Novel itu ditulisnya antara bulan September hingga bulan Desember 1859 yang kemudian terbit pertama kali pada tahun 1860. Dalam sejarah banyak orang tersentak karena novel ini dan berlanjut hingga sekarang.
Tahun 1861 ia menerbitkan Over vrijen arbeid in Nederlandsche Indie (Kebebasan Buruh di Hindia Belanda), Wijs mij de plaats waar ik gezaaid heb (Tunjukkan pada saya tempat di mana aku menabur), dan Minnebrieven (Surat-surat Cinta).
Tahun 1862 Multatuli menerbitkan De Ideen (Gagasan-gagasan) jilid pertama yang isinya kumpulan uraian pendapatnya mengenai politik, etika, dan filsafat; karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Naskah drama yang ditulisnya, di antaranya Vortenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan sukses. Multatuli tinggal bersama Mimi Hamamminck Schepel, seorang anak yang dianggap anaknya sendiri, di Wiesbaden, Jerman tahun 1864.
Tahun 1865 Multatuli menerbitkan jilid kedua dari De Ideen dan De Zegen Gods door Waterloo. Tulisannya Nog eens: Vrye arbeid in Nederlandsche Indie terbut tahun 1870. Setahun kemudian, ia menerbitkan Duizend-en-eenige hoofdstukken over specialitieten. Antara tahun 1871 hingga 1877 keluarlah jilid ketiga hingga ketujuh dari De Ideen (Gagasan-gagasannya). Tahun 1874, istrinya Tine meninggal di Venesia. Setahun kemudian, ia menikah dengan Mimi (Maria Hamminck Schepel). Pada tahun 1875 juga ia melakukan pementasan perdana untuk dramanya Sekolah para Raja di Amsterdam. Di tahun tersebut, Multatuli banyak menerima surat. Tahun 1877 Multatuli yang banyak menginspirasi para tokoh besar di Indonesia ini tidak lagi mengarang hanya menulis berbagai surat. Karier kepenulisannya sama dengan kariernya sebagai seorang pejabat: 18 tahun. Multatuli kemudian pindah ke Ingelheim an Rhein dekat sungai Rhein sampai akhir hayatnya. Multatuli meninggal di Jerman tanggal 19 Februari 1887 ketika ia tertidur di kursi sofa. Mayatnya dikremasi di Gotha pada 23 Februari.
Multatuli memang merupakan contoh yang cerah dan sangat menarik dalam perjalanan waktu dan lembaran sejarah. Khususnya bagi Indonesia. Bukankah tokoh-tokoh seperti R.A. Kartini, Tirto Adhi Soerjo, Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra, kelompok Angkatan Pujangga Baru, dan generasi kini sangat mengagumi karena pengaruhnya yang sangat besar dan bermakna? Tidak hanya dalam memberontak terhadap sistem kolonialisme, seperti tanam paksa melainkan juga kepada adat, kekuasaan, dan feodalisme yang hingga kini masih menghisap rakyat tertindas.
Ada tiga ciri khas yang melekat di dalam diri Multatuli. Pertama, dia sangat peduli dengan orang tertindas. Dia sangat peka ketika melihat ketidakadilan terjadi. Ia sangat cemas melihat warga Indonesia dulu akibat salah perlakuan, salah urus, memperlakukan pekerja sebagai budak. Ia cemas jika warga Indonesia akan lenyap seperti warga Indian Amerika. Kedua, dia merasa bahwa dia harus melakukan sesuatu. Multatuli harus menegakan keadilan. Ketiga, Multatuli sangat berbakat dalam hal menulis. Indonesia khusunya Lebak berperan penting dalam karya-karya Multatuli. Cara pandang atas hubungan antarmanusia. Orang kulit putih jangan merasa lebih hebat karena saat itu kebetulan lebih maju. Harus menghormati orang lain, membangun komunikasi, peduli dengan kepribadian orang lain. Itu semua yang didorong Multatuli. Semua itu terdapat di dalam Max Havelaar, novel kepahlawanan pembela rakyat tertindas.
(Sumber: dari berbagai sumber)
Multatuli? Ya, Multatuli. Multatuli merupakan nama samaran dari Eduard Douwes Dekker. Nama Multatuli diambil dari bahasa Latin yang berarti “Aku sudah menderita cukup banyak” atau “Aku sudah banyak menderita”. Multatuli lahir di Amsterdam, Belanda pada tanggal 2 Maret 1820 tepatnya di Korsjespoorsteeg. Multatuli memiliki saudara bernama Jan. Jan tak lain adalah kakek dari Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (lebih dikenal dengan nama Danudirja Setiabudi atau Setiabudi) Pahlawan Nasional.
Multatuli yang namanya pernah dijadikan akademi sastra dan bahasa Indonesia di Jakarta itu dikenal sebagai humanis besar, bukan saja mengenal kolonialisme dan wataknya, juga mengenal rakyat jajahan, dan lebih menghayati keterbatasannya dalam penghidupan, dalam berbudaya, dalam berlawan, bahkan dalam bercinta. Multatuli kecil adalah pribadi yang pandai dan cerdas. Ayahnya seorang kapten kapal yang memiliki penghasilan cukup. Keluarganya termasuk keluarga mapan dan berpendidikan. Multatuli disekolahkan oleh Ayahnya di sekolah Latin.
Tahun 1838 Multatuli untuk pertama kalinya pergi ke Pulau Jawa. Pertama kali ia tiba di Indonesia pada tanggal 4 Januari 1839 tepatnya di Batavia yang kini bernama Jakarta. Jenjang kerjanya dimulai dari menjadi pegawai Dewan Dinas Keuangan di Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar pekerjaan sebagai ambtenaar (pegawai negeri) pamong praja di Sumatra Barat. Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels kemudian mengirimnya ke kota Natal sebagai kontroler kelas dua.
Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan setelah keluar dari pekerjaannya. Baru pada bulan September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia.
Tahun 1845 Multatuli ditunjuk sementara sebagai sekretaris asisten residen di Karawang. Sambil menunggu penempatan tugas, Multatuli menjalin asmara dengan Everdina Huberta Baroness dari Wijnbergen. Gadis keturunan bangsawan. Pada tanggal 10 April 1846, ia yang saat itu telah ditunjuk sebagai pegawai di kantor perumahan di Poerworedjo, menikah dengan Tine.
Ditunjuk sebagai sekretaris residen di Manado, Sulawesi tahun 1848. Akhir April 1849, merupakan masa-masa karier terbaik Multatuli. Multatuli yang pemikirannya sangat maju tentang rancangan peraturan guna perubahan dalam sistem hukum kolonial membuat ia diperhatikan atasannya, residen Scherius. Ia juga mendapat perhatian para pejabat di Bogor. Kariernya pun meningkat dari sekretaris residen menjadi asisten residen. Asisten residen merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda. Multatuli menerima jabatan ini dan ditugasi di Ambon pada bulan Oktober 1851.
Saat bertugas di Ambon, Multatuli tidak sepaham dengan Gubernur Maluku. Multatuli akhirnya mengajukan cuti dengan alasan kesehatan. Pada hari Natal tahun 1852, Multatuli bersama istrinya, Tine tiba di pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam. Tanggal 1 Januari 1854 lahir anak pertamanya, Edu.
Pada tanggal 10 September 1855, Multatuli dan istrinya kembali ke Batavia. Tak lama kemudian ia diangkat menjadi Asisten Residen Lebak, Banten, yang bertempat di Rangkasbitung. Pengangkatan Multatuli sebagai Asisten Residen Lebak terhitung sejak 21 Januari 1856. Sehari kemudian, ia memberikan pidato di hadapan para bawahannya. Multatuli melaksanakan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab. Namun, ia menemukan keadaan di Lebak yang sangat buruk bahkan lebih buruk dari keadaan yang didapatkannya dari berita. Perlakuan buruk itu dilakukan oleh Adipati Karta Natta Nagara dan menantunya. Multatuli mengambil sikap membela rakyat yang terhisap oleh pengusaha perkebunan kopi yang bersekongkol dengan bupati yang dilindungi oleh Residen Belanda. Mulatuli melancarkan perjuangan melawan ketidakadilan dengan menulis surat tertanggal 24 Februari kepada Gubernur Jenderal A.J. Duymaer van Twist. Multatuli menulis surat tanpa terlebih dahulu melalui atasannya, Residen Lebak Brest van Kempen. Hal itu Mulatuli lakukan karena ia mengetahui Residen Lebak tidak akan menggubris laporannya. Namun apa yang terjadi Gubernur Jenderal A.J. Duymaer van Twist pun tak menghiraukan laporannya, bahkan Multatuli dianggap “mbalelo”, dituduh tidak cakap menjadi pejabat, dan dituding melawan prosedur. Multatuli pun mengundurkan diri. Pengunduran dirinya dikabulkan tanggal 4 April 1856.
Multatuli meninggalkan Lebak dan tinggal di Batavia. Tak lama kemudian, Multatuli meninggalkan Batavia menuju Eropa tanpa ditemani anak dan istrinya. Tanggal 1 Juni 1857, lahir putrinya Nonnie. Pada awal tahun 1858 dia tiba di ibukota Belgia, Brussel. Tinggal di kamar loteng sebuah penginapan bernama “In de kleine prins”, di rue (jalan) de la Fourche nomor 52. Di kamar kecil itu lahirlah karyanya, roman kepahlawanan pembela rakyat tertindas, berjudul “Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappij” (Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda). Novel itu ditulisnya antara bulan September hingga bulan Desember 1859 yang kemudian terbit pertama kali pada tahun 1860. Dalam sejarah banyak orang tersentak karena novel ini dan berlanjut hingga sekarang.
Tahun 1861 ia menerbitkan Over vrijen arbeid in Nederlandsche Indie (Kebebasan Buruh di Hindia Belanda), Wijs mij de plaats waar ik gezaaid heb (Tunjukkan pada saya tempat di mana aku menabur), dan Minnebrieven (Surat-surat Cinta).
Tahun 1862 Multatuli menerbitkan De Ideen (Gagasan-gagasan) jilid pertama yang isinya kumpulan uraian pendapatnya mengenai politik, etika, dan filsafat; karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Naskah drama yang ditulisnya, di antaranya Vortenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan sukses. Multatuli tinggal bersama Mimi Hamamminck Schepel, seorang anak yang dianggap anaknya sendiri, di Wiesbaden, Jerman tahun 1864.
Tahun 1865 Multatuli menerbitkan jilid kedua dari De Ideen dan De Zegen Gods door Waterloo. Tulisannya Nog eens: Vrye arbeid in Nederlandsche Indie terbut tahun 1870. Setahun kemudian, ia menerbitkan Duizend-en-eenige hoofdstukken over specialitieten. Antara tahun 1871 hingga 1877 keluarlah jilid ketiga hingga ketujuh dari De Ideen (Gagasan-gagasannya). Tahun 1874, istrinya Tine meninggal di Venesia. Setahun kemudian, ia menikah dengan Mimi (Maria Hamminck Schepel). Pada tahun 1875 juga ia melakukan pementasan perdana untuk dramanya Sekolah para Raja di Amsterdam. Di tahun tersebut, Multatuli banyak menerima surat. Tahun 1877 Multatuli yang banyak menginspirasi para tokoh besar di Indonesia ini tidak lagi mengarang hanya menulis berbagai surat. Karier kepenulisannya sama dengan kariernya sebagai seorang pejabat: 18 tahun. Multatuli kemudian pindah ke Ingelheim an Rhein dekat sungai Rhein sampai akhir hayatnya. Multatuli meninggal di Jerman tanggal 19 Februari 1887 ketika ia tertidur di kursi sofa. Mayatnya dikremasi di Gotha pada 23 Februari.
Multatuli memang merupakan contoh yang cerah dan sangat menarik dalam perjalanan waktu dan lembaran sejarah. Khususnya bagi Indonesia. Bukankah tokoh-tokoh seperti R.A. Kartini, Tirto Adhi Soerjo, Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra, kelompok Angkatan Pujangga Baru, dan generasi kini sangat mengagumi karena pengaruhnya yang sangat besar dan bermakna? Tidak hanya dalam memberontak terhadap sistem kolonialisme, seperti tanam paksa melainkan juga kepada adat, kekuasaan, dan feodalisme yang hingga kini masih menghisap rakyat tertindas.
Ada tiga ciri khas yang melekat di dalam diri Multatuli. Pertama, dia sangat peduli dengan orang tertindas. Dia sangat peka ketika melihat ketidakadilan terjadi. Ia sangat cemas melihat warga Indonesia dulu akibat salah perlakuan, salah urus, memperlakukan pekerja sebagai budak. Ia cemas jika warga Indonesia akan lenyap seperti warga Indian Amerika. Kedua, dia merasa bahwa dia harus melakukan sesuatu. Multatuli harus menegakan keadilan. Ketiga, Multatuli sangat berbakat dalam hal menulis. Indonesia khusunya Lebak berperan penting dalam karya-karya Multatuli. Cara pandang atas hubungan antarmanusia. Orang kulit putih jangan merasa lebih hebat karena saat itu kebetulan lebih maju. Harus menghormati orang lain, membangun komunikasi, peduli dengan kepribadian orang lain. Itu semua yang didorong Multatuli. Semua itu terdapat di dalam Max Havelaar, novel kepahlawanan pembela rakyat tertindas.
(Sumber: dari berbagai sumber)
artikel sejarah sangat bermanfaat, trims sobat.
ReplyDeletekenapa tidak ada referensi buku atau sumber lainnya? padahal isinya berbobot..
ReplyDelete