oleh MH Ubaidilah
Rabu (17/03/2010)—Mendung menggelayut di langit Sawangan. Tidak ada sisa hujan pagi ini. Rabu yang sendu begitu pikirku. Setelah berbenah tepat pukul 10.00 aku bergegas meninggalkan rumah. Dengan berjalan kaki aku menuju Jalan Raya Ciputat-Parung. Memberhentikan angkot jurusan Ciputat-Parung dan membayar sopir saat tiba di Pasar Ciputat. Tak sukar untuk menemukan bus jursan Ciputat-Senen. Bus telah menunggu dengan sedikit penumpang di dalamnya. Tak lama berselang bus dengan nomor trayek 76 itu meninggalka Ciputat.
Sampai di depan ITC Fatmawati, jalan bus oleng. Suara angin menderu keluar dari ban. Ban sebelah kiri bagian belakang harus diganti yang baru karena bocor. Seperempat jam telah berlalu. Bus belum juga dapat melanjutkan perjalanan. Penumpang dialihkan. Bus 76 yang ketiban penumpang dari bus yang nahas penuh sesak.
Di depan RS Cipto Mangunkusumo, aku turun. Bus meninggalkanku berbelok ke kiri. Aku menuju ke seberang jalan. Setelah sebelumnya membeli air minum di depan RSCM dan menanyakan alamat tujuanku. Aku menyusuri Jalan Salemba Raya. Tepat di depan Perpustakaan Nasional aku menghentikan langkah. Ya, ini tujuanku. Tujuanku hari ini mencari Multatuli di Perpustakaan Nasional.
Suara telefon berdering. Suara seorang kawan di seberang sana mengabarkan buku pesanan sudah sampai. Ah, harusnya memang pagi ini aku menjemput buku ke Bandung. Namun, tak apa besok aku akan menjemputnya. Begitu janjiku. Memasuki pelataran Perputakaan Nasional aku disambut air mancur di depan pendopo. Tampak tak banyak orang di luar gedung.
Pukul 13.30 aku mendaftarkan diri di Lantai I bagian keanggotaan. Lantai I gedung kedua dari depan. Menurut seorang yang sedang duduk di luar, gedung itu gedung baru. Di Lantai I aku menemukan melihat beberapa buku dipajang dalam kaca. Bagian keanggotaan, tempat penitipan tas, toko buku, dan beberapa unit komputer yang dipenuhi pengunjung.
Di bagian keangotaan tampak ramai. Para mahasiswa terlihat antre mendaftar. Aku satu yang bukan berstatus seperti mereka. Saat itu. Sebelumnya aku dianggap mahasiswa meski telah kutulis di formulir bahwa aku pengunjung umum. Mengisi formulir keanggotaan lalu menyerakan wajah untuk difoto dan kartu keanggotaan pun dicetak.
Prosesnya cepat. Tak perlu membayar. Yang unik, petugas yang melakukan pemotretan dan pencetakan kartu anggota itu seorang ibu yang sudah sepuh. Tentu saja ibu sudah sepuh. Mungkin pantas jika dipanggil nenek. Ia ramah dan suaranya nyaring. Sebentar sudah. Kini aku memiliki kartu keanggotaan Perpustakaan Nasional yang masa berlakunya hingga Maret 2015.
Selesai di bagian keanggotaan, aku menitipkan tas. Sayang, tak boleh membawa kamera. Jadi, kutinggalkan saja. Aku hanya menenteng buku kecil dan balpoin. Tujuanku ke Lantai III bagia koleksi umum dan Lantai V koleksi buku langka. Setiap pengunjung ternyata tak dapat langsung ke tempat yang dituju. Semua harus melewati Lantai II untuk mengisi daftar permintaan buku, berupa bon. Bon ini berisi lokasi buku, nomor panggil, tahun terbit, pengarang, judul, nama pembaca, nomor anggota, Tgl/Bln/Thn, dan tanda tangan pembaca serta petugas koleksi.
Aku anggota baru. Ini pengalaman pertamaku. Aku berusaha bertanya kepada petugas yang tampak loyo di kursi. Mungkin kelelahan. Seorang bapak tua. Ia hanya menunjuk ke bon itu. Aku mengambilnya. Aku melihat orang-orang mencari katalog buku yang akan dibacanya untuk diisikan pada bon. Ada dua cara untuk mencari katalog. Mencarinya di katalog online atau secara manual mencarinya di kotak-kotak kayu yang disusun berdasarkan judul atau pengarangnya. Secara online tentu lebih cepat. Namun antrean yang panjang tak memungkinkan untuk itu. Aku memilih cara kedua.
Aku memutuskan untuk mencari katalog berdasarkan nama pengarang. Maka kuambil kotak kayu dengan tiga huruf pertama, yaitu MUL. Aku mengisi bon. Aku membawa lima bon. Aku mengisinya dengan satu pengarang: Multatuli. Ya, aku mau mencari koleksi karya Multatuli di Perpustakaan Nasional. Sebelum berangkat ke Perpustakaan Nasional, aku menemukan tulisan yang menyatakan bahwa Tirto Adhi Soerjo (tokoh jurnalis) yang ditetapkan sebagai pahlawan tanggal 10 November 2006 amat meneladani Multatuli.
Hampir setiap tulisannya menyebut nama Multatuli. Aku juga menemukan tesis berjudul “Max Havelaar dan Citra Antikolonial Sebuah Tinjauan Postkolonial” yang ditulis oleh Christina Dewi Tri Murwani dari UGM. Satu minggu yang lalu aku berusaha mencari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan Multatuli. Aku menemukannya. Aku menemukan tulisan yang berisi semangat Multatuli dalam membunuh kolonialisme. Julukan Zamrud Khatulistiwa juga dari Multatuli. Aku juga menemukan tulisan yang mengatakan bahwa Multatuli tidak bisa membedakan tulisan fiksi dan nonfiksi, Multatuli kebingungan mengenai konsep kebenaran.
Setelah selesai mengisi bon, aku menyerahkannya kepada bapak tua. Ia membubuhkan tanda sebagai pengesahan. Aku dipersilakan menuju Lantai III Blok C. Di Lantai III Blok C, aku serahkan bon-bon itu kepada seorang ibu. Ibu itu berpesan bahwa pencarian akan lama. Jadi aku dipersilakan untuk menunggu. Menurutnya, aku salah menulis nomor panggil. Di katalog nomor panggil ditulis dalam tiga baris. Seharunya aku menulisnya dalam satu baris saja. Aku menulis berurut ke bawah 959.8 mul g. Seharusnya dituli sebaris saja. Aku pun menunggu. Sepuluh menit berselang, pesananku tiba. Tak disangka ibu yang mengajariku cara menulis nomor panggil itu baik hati. Aku memesan lima buku, ia menyodorkan padaku delapan buku.
1. De Geschiedenis van Woutertje Pieterse, Amsterdam-Uitgevers-Maatschappij “El Sevier”. 1921
2. De Bruid Daar boven, Amsterdam, Firma R.C. Meijer Kalverstaat, E. 246. 1864
3. De Raadselachtige Multatuli, De Bezige Bij, Amsterdam. 1987
4. Eduard Douwes Dekker-Multatuli, Eene Karakterstudie, Door J.B. Meerkerk, P. Noordhoff. Groningen. 1900
5. De Waarheid Oer Multatuli En Zijn Gezin (tanpa tahun)
6. Mulatuli Hooeden Van Lebak, Parnasus, Amsterdam (tanpa tahun)
7. Officieele Bescheiden Betreffende den dienst Van Multatuli, P.M.L. De Bruijn Prince, Jogjakarta, Firma H. Buning. 1900
8. Max Havelaar Atau Lelang Kopi Pesekutuan Dagang Belanda (terjemahan H.B Jassin), 1972. Penerbit D Jambatan (Percetakan Karya Nusantara, Bandung)
9. Max Havelaar Atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda (terjemahan H.B Jassin), 1991. Penerbit Djambatan (Percetakan Sapdodadi)
Aku membuka-buka buku yang sebagian besar berbahasa Belanda tersebut. Aku teringat cerita yang mengatakan bahwa logo salah satu koran di Indonesia terinspirasi setelah membaca buku Max Havelaar. Ya, sampul depan cetakan pertama edisi bahasa Indonesia. Sampul depan cetakan tahun 1972 itu berlatar pegunungan dengan seorang anak naik kerbau bertopi caping. Mungkin ini. Namun dimodifikasi sehingga si anak sedang meniup suling.
Setelah bertanya tentang boleh tidaknya memfotokopi, aku memutuskan untuk memfotokopi buku nomor enam dan delapan. Sayang, untuk yang nomor delapan tidak dapat terkabulkan hari ini sebab antrean yang mau memfotokopi panjang.
Pukul 16.30 aku meninggalkan Perpustakaan Nasional. Sampai di pelataran depan, aku mengontak kawan yang bekerja di Lantai V. Maksudku hanya mau menyapa dan mengatakan bahwa maksudku yang dulu pernah disampaikan kini terlaksana. Selain itu, aku mau menanyakan arah pulang. Temanku yang baik ternyata menghampiriku saat aku tengah menyantap ketoprak di pinggir jalan depan Perpustakaan Nasional. Kami berbincang sebagai kawan lama. Ia sudah dua tahun di Perpustakaan Nasional. Tugasnya mengurusi naskah-naskah lama berbahasa Sunda.
Hujan rintik mulai turun. Selesai dengan pedagang ketoprak dan berbincang dengan kawan lama, aku bergegas menuju perempatan Matraman. Menunggu bus 76 mengantarkanku ke Ciputat.
Rabu (17/03/2010)—Mendung menggelayut di langit Sawangan. Tidak ada sisa hujan pagi ini. Rabu yang sendu begitu pikirku. Setelah berbenah tepat pukul 10.00 aku bergegas meninggalkan rumah. Dengan berjalan kaki aku menuju Jalan Raya Ciputat-Parung. Memberhentikan angkot jurusan Ciputat-Parung dan membayar sopir saat tiba di Pasar Ciputat. Tak sukar untuk menemukan bus jursan Ciputat-Senen. Bus telah menunggu dengan sedikit penumpang di dalamnya. Tak lama berselang bus dengan nomor trayek 76 itu meninggalka Ciputat.
Sampai di depan ITC Fatmawati, jalan bus oleng. Suara angin menderu keluar dari ban. Ban sebelah kiri bagian belakang harus diganti yang baru karena bocor. Seperempat jam telah berlalu. Bus belum juga dapat melanjutkan perjalanan. Penumpang dialihkan. Bus 76 yang ketiban penumpang dari bus yang nahas penuh sesak.
Di depan RS Cipto Mangunkusumo, aku turun. Bus meninggalkanku berbelok ke kiri. Aku menuju ke seberang jalan. Setelah sebelumnya membeli air minum di depan RSCM dan menanyakan alamat tujuanku. Aku menyusuri Jalan Salemba Raya. Tepat di depan Perpustakaan Nasional aku menghentikan langkah. Ya, ini tujuanku. Tujuanku hari ini mencari Multatuli di Perpustakaan Nasional.
Suara telefon berdering. Suara seorang kawan di seberang sana mengabarkan buku pesanan sudah sampai. Ah, harusnya memang pagi ini aku menjemput buku ke Bandung. Namun, tak apa besok aku akan menjemputnya. Begitu janjiku. Memasuki pelataran Perputakaan Nasional aku disambut air mancur di depan pendopo. Tampak tak banyak orang di luar gedung.
Pukul 13.30 aku mendaftarkan diri di Lantai I bagian keanggotaan. Lantai I gedung kedua dari depan. Menurut seorang yang sedang duduk di luar, gedung itu gedung baru. Di Lantai I aku menemukan melihat beberapa buku dipajang dalam kaca. Bagian keanggotaan, tempat penitipan tas, toko buku, dan beberapa unit komputer yang dipenuhi pengunjung.
Di bagian keangotaan tampak ramai. Para mahasiswa terlihat antre mendaftar. Aku satu yang bukan berstatus seperti mereka. Saat itu. Sebelumnya aku dianggap mahasiswa meski telah kutulis di formulir bahwa aku pengunjung umum. Mengisi formulir keanggotaan lalu menyerakan wajah untuk difoto dan kartu keanggotaan pun dicetak.
Prosesnya cepat. Tak perlu membayar. Yang unik, petugas yang melakukan pemotretan dan pencetakan kartu anggota itu seorang ibu yang sudah sepuh. Tentu saja ibu sudah sepuh. Mungkin pantas jika dipanggil nenek. Ia ramah dan suaranya nyaring. Sebentar sudah. Kini aku memiliki kartu keanggotaan Perpustakaan Nasional yang masa berlakunya hingga Maret 2015.
Selesai di bagian keanggotaan, aku menitipkan tas. Sayang, tak boleh membawa kamera. Jadi, kutinggalkan saja. Aku hanya menenteng buku kecil dan balpoin. Tujuanku ke Lantai III bagia koleksi umum dan Lantai V koleksi buku langka. Setiap pengunjung ternyata tak dapat langsung ke tempat yang dituju. Semua harus melewati Lantai II untuk mengisi daftar permintaan buku, berupa bon. Bon ini berisi lokasi buku, nomor panggil, tahun terbit, pengarang, judul, nama pembaca, nomor anggota, Tgl/Bln/Thn, dan tanda tangan pembaca serta petugas koleksi.
Aku anggota baru. Ini pengalaman pertamaku. Aku berusaha bertanya kepada petugas yang tampak loyo di kursi. Mungkin kelelahan. Seorang bapak tua. Ia hanya menunjuk ke bon itu. Aku mengambilnya. Aku melihat orang-orang mencari katalog buku yang akan dibacanya untuk diisikan pada bon. Ada dua cara untuk mencari katalog. Mencarinya di katalog online atau secara manual mencarinya di kotak-kotak kayu yang disusun berdasarkan judul atau pengarangnya. Secara online tentu lebih cepat. Namun antrean yang panjang tak memungkinkan untuk itu. Aku memilih cara kedua.
Aku memutuskan untuk mencari katalog berdasarkan nama pengarang. Maka kuambil kotak kayu dengan tiga huruf pertama, yaitu MUL. Aku mengisi bon. Aku membawa lima bon. Aku mengisinya dengan satu pengarang: Multatuli. Ya, aku mau mencari koleksi karya Multatuli di Perpustakaan Nasional. Sebelum berangkat ke Perpustakaan Nasional, aku menemukan tulisan yang menyatakan bahwa Tirto Adhi Soerjo (tokoh jurnalis) yang ditetapkan sebagai pahlawan tanggal 10 November 2006 amat meneladani Multatuli.
Hampir setiap tulisannya menyebut nama Multatuli. Aku juga menemukan tesis berjudul “Max Havelaar dan Citra Antikolonial Sebuah Tinjauan Postkolonial” yang ditulis oleh Christina Dewi Tri Murwani dari UGM. Satu minggu yang lalu aku berusaha mencari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan Multatuli. Aku menemukannya. Aku menemukan tulisan yang berisi semangat Multatuli dalam membunuh kolonialisme. Julukan Zamrud Khatulistiwa juga dari Multatuli. Aku juga menemukan tulisan yang mengatakan bahwa Multatuli tidak bisa membedakan tulisan fiksi dan nonfiksi, Multatuli kebingungan mengenai konsep kebenaran.
Setelah selesai mengisi bon, aku menyerahkannya kepada bapak tua. Ia membubuhkan tanda sebagai pengesahan. Aku dipersilakan menuju Lantai III Blok C. Di Lantai III Blok C, aku serahkan bon-bon itu kepada seorang ibu. Ibu itu berpesan bahwa pencarian akan lama. Jadi aku dipersilakan untuk menunggu. Menurutnya, aku salah menulis nomor panggil. Di katalog nomor panggil ditulis dalam tiga baris. Seharunya aku menulisnya dalam satu baris saja. Aku menulis berurut ke bawah 959.8 mul g. Seharusnya dituli sebaris saja. Aku pun menunggu. Sepuluh menit berselang, pesananku tiba. Tak disangka ibu yang mengajariku cara menulis nomor panggil itu baik hati. Aku memesan lima buku, ia menyodorkan padaku delapan buku.
1. De Geschiedenis van Woutertje Pieterse, Amsterdam-Uitgevers-Maatschappij “El Sevier”. 1921
2. De Bruid Daar boven, Amsterdam, Firma R.C. Meijer Kalverstaat, E. 246. 1864
3. De Raadselachtige Multatuli, De Bezige Bij, Amsterdam. 1987
4. Eduard Douwes Dekker-Multatuli, Eene Karakterstudie, Door J.B. Meerkerk, P. Noordhoff. Groningen. 1900
5. De Waarheid Oer Multatuli En Zijn Gezin (tanpa tahun)
6. Mulatuli Hooeden Van Lebak, Parnasus, Amsterdam (tanpa tahun)
7. Officieele Bescheiden Betreffende den dienst Van Multatuli, P.M.L. De Bruijn Prince, Jogjakarta, Firma H. Buning. 1900
8. Max Havelaar Atau Lelang Kopi Pesekutuan Dagang Belanda (terjemahan H.B Jassin), 1972. Penerbit D Jambatan (Percetakan Karya Nusantara, Bandung)
9. Max Havelaar Atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda (terjemahan H.B Jassin), 1991. Penerbit Djambatan (Percetakan Sapdodadi)
Aku membuka-buka buku yang sebagian besar berbahasa Belanda tersebut. Aku teringat cerita yang mengatakan bahwa logo salah satu koran di Indonesia terinspirasi setelah membaca buku Max Havelaar. Ya, sampul depan cetakan pertama edisi bahasa Indonesia. Sampul depan cetakan tahun 1972 itu berlatar pegunungan dengan seorang anak naik kerbau bertopi caping. Mungkin ini. Namun dimodifikasi sehingga si anak sedang meniup suling.
Setelah bertanya tentang boleh tidaknya memfotokopi, aku memutuskan untuk memfotokopi buku nomor enam dan delapan. Sayang, untuk yang nomor delapan tidak dapat terkabulkan hari ini sebab antrean yang mau memfotokopi panjang.
Pukul 16.30 aku meninggalkan Perpustakaan Nasional. Sampai di pelataran depan, aku mengontak kawan yang bekerja di Lantai V. Maksudku hanya mau menyapa dan mengatakan bahwa maksudku yang dulu pernah disampaikan kini terlaksana. Selain itu, aku mau menanyakan arah pulang. Temanku yang baik ternyata menghampiriku saat aku tengah menyantap ketoprak di pinggir jalan depan Perpustakaan Nasional. Kami berbincang sebagai kawan lama. Ia sudah dua tahun di Perpustakaan Nasional. Tugasnya mengurusi naskah-naskah lama berbahasa Sunda.
Hujan rintik mulai turun. Selesai dengan pedagang ketoprak dan berbincang dengan kawan lama, aku bergegas menuju perempatan Matraman. Menunggu bus 76 mengantarkanku ke Ciputat.
0 komentar:
Post a Comment