Langit cerah pagi ini. Meski sisa hujan semalam masih tersisa. Udara segar. Bau tanah. Anak-anak ramai bergerak menuju sekolah. Berseragam batik dengan bawahan merah atau biru. Menuju SDN Sobang 2 atau SMPN Satap 3 Sobang atau MI Al Hidayah. Semua membaur. Menyatu dalam irama kebersamaan. Ada yang berselempang tas. Ada pula yang menenteng buku. Semua bersemangat.
Saya bergerak menenteng dua tas menuju SMP. Satu tas punggung satu tas selempang. Meski di tengah hutan sekolah kami punya laptop. Bersama anak-anak saya menuju sekolah. Menyusuri jalan berbatu. Menurun dan menanjak. Melewati sawah dan barisan pohon jengjen. Pukul tujuh lima belas menit semua anak masuk kelas. Kelas delapan di sana jam pertama dan kedua saya berada.
Pagi ini saya ingin membawa anak-anak ke Taman Baca Multatuli. Saat maksud ini disampaikan, anak-anak pun menyambut baik. Jadilah acara kunjungan ini. Ada yang membaca komik, novel, memelototi majalah.
Pukul sembilan acara kunjungan harus berakhir. Pelajaran ketiga menunggu di kelas. Anak-anak kembali. Saya mengantanya hingga tiba di kelas. Hari ini hanya dua jam saya bertugas. Satu setengah jam kemudian saya sudah bersiap menuju Rangkasbitung. Sebelum menyeberang jembatan gantung di Co’o menyempatkan diri membeli gula aren. Langit cerah. Matahari terik di kepala.
Melewati Sajira yang sepi. Menyaksikan hamparan pegunungan. Deretan kelapa sawit di sepanjang perjalanan. Di kiri-kanan jalan bederet-deret pedagang Tangkuwe. Tangkuwe sejenis rambutan berasa asam. Mampir sebentar untuk empat ikat Tangkuwe. Gula Aren dan Tangkuwe ini sengaja saya bawa untuk oleh-oleh.
Perjalanan 48 kilometer ini selesai satu jam. Tiba di Jalan Multauli. Saya berbelok ke kanan di depan Rumah Sakit Misi. Tepat di depan SMPN 1 Rangkasbitung saya menuju sebuah rumah. Setahun yang lalu saya sempat menginap di sana. Rumah milik dua orang tua baik, Pak Haji Nisom Rahadi dan Ibu. Saya diterima dengan baik. Saya sampaikan maksud saya untuk mengunjunginya dan mengucapkan terima kasih. Selesai berbicang ini itu saya juga menyampaikan maksud untuk mengetahui jejak Multatuli di kota ini.
Penuh semangat Pak Nisom dan Ibu memberi petunjuk. Menurutnya, saya harus mencoba mencarinya di perpustakaan Saija dan Adinda di Jalan Letnan Muharram depan tempat praktek dr. Suranto. Perpustakaan ini berada tak jauh dari SMAN 3 Rangkasbitung.
Setelah berpamitan saya menuju ke alamat yang dimaksud. Namun sebelum tiba di alamat tersebut saya mampir di rumah tua peninggalan Belanda yang berada di depan RS Misi. Tiba di rumah tersebut saya bertemu Mas Padma. Ia pengurus Ikatan Mahasiswa Katolik yang menempati rumah tersebut. Setelah berbincang sebentar, ia mengemukakan bahwa rumah ini tidak memiliki hubungan dengan Multatuli. Saya mampir di rumah tersebut atas petunjuk salah seorang teman di Rangkasbitung. Namun informasi ini ternyata tidak tepat.
Perjalanan saya lanjutkan menuju Jalan Letnan Muharram. Tiba di sana tepat saat bubaran sekolah. Bertanya ke salah seorang siswa. Ia mengatakan tidak tahun perpustakaan Saija dan Adinda. Bertanya ke penjaga fotokopi depan SMA juga sama. Akhirnya menemukan jawaban dari penjaga toko pulsa. Menurutnya perpustakaan itu sudah pindah ke dekat balong. Saat menjelaskan ia pun menujuk sebuah rumah yang kini diisi perusahaan komunikasi. Rumah tersebut yang dulu dijadikan perpustakaan. Balong adalah sebuah kubangan air besar. Berdasarkan petunjuknya saya menuju balong. Di depan Hotel Ksatria saya berhenti. Saya teringat pernah menginap di hotel tersebut. Saya berada di sana satu Februari setahun yang lalu.
Di depan Hotel Ksatria ini perpustakaan Saija dan Adinda berada. Letaknya tepat di depan balong. Pukul 14.00 saya berada di depan perpustakaan. Sayang, perpustakaan sudah tutup. Saya menuju ke belakang perpustakaan. Di belakang perpustakaan ini tinggal Pak Badri. Rumah Pak Badri berada di lingkungan perpustakaan. Hanya pintu masuknya lewat jalan samping. Pak Badri pengelola perpustakaan Saija dan Adnda ini. Pak Badri sedang berbincang dengan seorang bapak di teras rumahnya saat saya tiba. Perpustakaan Saija dan Adinda hanya menyimpan buku Max Havelar. Sementara peninggalan yang lainnya tak disimpan di sana.
Perpustakaan ini sempat memiliki novel Saija dan Adinda. Namun dipinjam orang dan tak pernah kembali. Ia menyampaikan bahwa sepengetahuannya kini tak ada lagi peninggalan Multatuli di kota ini. Jika pun ada tinggal foto-foto yang kini disimpan di dapur pendopo kabupaten. Tepatnya di ruang makan pendopo. Jika mau melihatnya coba hubungi bagian rumah tangga dengan Pak Asep. Namun sebelum saya pergi, ia menyuruh saya menghubungi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang tak jauh dari rumahnya. Ia pun meminta saya untuk mendatangi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Adjidarmo. Menurutnya, di belakang gedung baru RSUD dr. Adjidarmo ada bangunan kecil yang tersisa. Saya pun berpamitan dan mengucapkan terima kasih. Informasi ini yang saya dapatkan dari Pak Badri tentang Multatuli.
Di sepanjang jalan menuju Disbudpar ramai sekali. Sore ini ada lomba drum band yang berpusat di alun-alun. Semua peserta harus berkeliling. Termasuk melalui jalan di depan kantor Disbudpar. Namun sayang di Disbudpar saya tak mendapatkan informasi apa pun. Tiga orang pegawai dari seksi sejarah dan budaya menggelengkan kepala ketika ditanya soal Multatuli. Ketiganya menyatakan bahwa Disbudpar tidak menyimpan apa pun yang berhubungan dengan Multatuli. Ironi sekali sebab setiap tahun dinas ini menyelenggarakan pemilihan Saija dan Adinda. Semacam pemilihan Abang dan None di Jakarta atau Mojang dan Jajaka di Bandung. Bahkan ketika saya menanyakan tentang syair lagu ‘Saija dan Adinda’ yang ditulis alm. Ki Syahri semuanya berkata tidak tahu.
Saya melanjutkan perjalanan ke RSUD dr. Adjidarmo. Tiba di RSUD dr. Adjidarmo saya langsung menuju ke bagian belakang. Di bagian belakang memang ada sebuah bangunan tua yang tak terurus. Kondisinya berantakan. Penuh sampah dan bahan bangunan.
Maklum gedung dua lantai di depannya adalah gedung baru. Rumah tua ini peninggalan Belanda. Satu bagian dindingnya memang menunjukkan tanda peninggalan masa lalu. Sementara bagian lainnya bangunan baru. Di belakang rumah tua ini terdapat bangunan yang kini jadi kantor bagian obat rumah sakit. Menurut tiga orang petugas yang baik di sana rumah ini banyak dikunjungi tamu.
Bahkan ada yang datang dari Belanda. Namun mereka tidak tahu sejarah rumah tersebut. Menurut seorang ibu yang lebih tua, rumah tersebut pernah dijadikan kantor obat sebelum dikosongkan. Masih menurutnya, dulu ada satu ruangan yang masih bertegel asli berupa marmer namun kini semuanya sudah diganti. Saya sempat memasuki rumah itu. Di dalamnya banyak sampah plastik dan debu. Bahkan di tembok bagian dalamnya ada corat-coret. Di bagian yang lain diisi semen dan kayu. Atapnya miring. Tak terurus. Di depannya ada tulisan JAGALAH KEBERSIHAN. Rumah itu tak terkunci.
Saya masih menyisakan beberapa tugas. Mengunjungi ruang makan pendopo. Mengunjungi SMPN 4 Rangkasbitung. Mencari informasi di bagian arsip kabupaten. Dan mungkin masih banyak jejak lainnya yang tak terungkap.
Saya bergerak menenteng dua tas menuju SMP. Satu tas punggung satu tas selempang. Meski di tengah hutan sekolah kami punya laptop. Bersama anak-anak saya menuju sekolah. Menyusuri jalan berbatu. Menurun dan menanjak. Melewati sawah dan barisan pohon jengjen. Pukul tujuh lima belas menit semua anak masuk kelas. Kelas delapan di sana jam pertama dan kedua saya berada.
Pagi ini saya ingin membawa anak-anak ke Taman Baca Multatuli. Saat maksud ini disampaikan, anak-anak pun menyambut baik. Jadilah acara kunjungan ini. Ada yang membaca komik, novel, memelototi majalah.
Pukul sembilan acara kunjungan harus berakhir. Pelajaran ketiga menunggu di kelas. Anak-anak kembali. Saya mengantanya hingga tiba di kelas. Hari ini hanya dua jam saya bertugas. Satu setengah jam kemudian saya sudah bersiap menuju Rangkasbitung. Sebelum menyeberang jembatan gantung di Co’o menyempatkan diri membeli gula aren. Langit cerah. Matahari terik di kepala.
Melewati Sajira yang sepi. Menyaksikan hamparan pegunungan. Deretan kelapa sawit di sepanjang perjalanan. Di kiri-kanan jalan bederet-deret pedagang Tangkuwe. Tangkuwe sejenis rambutan berasa asam. Mampir sebentar untuk empat ikat Tangkuwe. Gula Aren dan Tangkuwe ini sengaja saya bawa untuk oleh-oleh.
Perjalanan 48 kilometer ini selesai satu jam. Tiba di Jalan Multauli. Saya berbelok ke kanan di depan Rumah Sakit Misi. Tepat di depan SMPN 1 Rangkasbitung saya menuju sebuah rumah. Setahun yang lalu saya sempat menginap di sana. Rumah milik dua orang tua baik, Pak Haji Nisom Rahadi dan Ibu. Saya diterima dengan baik. Saya sampaikan maksud saya untuk mengunjunginya dan mengucapkan terima kasih. Selesai berbicang ini itu saya juga menyampaikan maksud untuk mengetahui jejak Multatuli di kota ini.
Penuh semangat Pak Nisom dan Ibu memberi petunjuk. Menurutnya, saya harus mencoba mencarinya di perpustakaan Saija dan Adinda di Jalan Letnan Muharram depan tempat praktek dr. Suranto. Perpustakaan ini berada tak jauh dari SMAN 3 Rangkasbitung.
Setelah berpamitan saya menuju ke alamat yang dimaksud. Namun sebelum tiba di alamat tersebut saya mampir di rumah tua peninggalan Belanda yang berada di depan RS Misi. Tiba di rumah tersebut saya bertemu Mas Padma. Ia pengurus Ikatan Mahasiswa Katolik yang menempati rumah tersebut. Setelah berbincang sebentar, ia mengemukakan bahwa rumah ini tidak memiliki hubungan dengan Multatuli. Saya mampir di rumah tersebut atas petunjuk salah seorang teman di Rangkasbitung. Namun informasi ini ternyata tidak tepat.
Perjalanan saya lanjutkan menuju Jalan Letnan Muharram. Tiba di sana tepat saat bubaran sekolah. Bertanya ke salah seorang siswa. Ia mengatakan tidak tahun perpustakaan Saija dan Adinda. Bertanya ke penjaga fotokopi depan SMA juga sama. Akhirnya menemukan jawaban dari penjaga toko pulsa. Menurutnya perpustakaan itu sudah pindah ke dekat balong. Saat menjelaskan ia pun menujuk sebuah rumah yang kini diisi perusahaan komunikasi. Rumah tersebut yang dulu dijadikan perpustakaan. Balong adalah sebuah kubangan air besar. Berdasarkan petunjuknya saya menuju balong. Di depan Hotel Ksatria saya berhenti. Saya teringat pernah menginap di hotel tersebut. Saya berada di sana satu Februari setahun yang lalu.
Di depan Hotel Ksatria ini perpustakaan Saija dan Adinda berada. Letaknya tepat di depan balong. Pukul 14.00 saya berada di depan perpustakaan. Sayang, perpustakaan sudah tutup. Saya menuju ke belakang perpustakaan. Di belakang perpustakaan ini tinggal Pak Badri. Rumah Pak Badri berada di lingkungan perpustakaan. Hanya pintu masuknya lewat jalan samping. Pak Badri pengelola perpustakaan Saija dan Adnda ini. Pak Badri sedang berbincang dengan seorang bapak di teras rumahnya saat saya tiba. Perpustakaan Saija dan Adinda hanya menyimpan buku Max Havelar. Sementara peninggalan yang lainnya tak disimpan di sana.
Perpustakaan ini sempat memiliki novel Saija dan Adinda. Namun dipinjam orang dan tak pernah kembali. Ia menyampaikan bahwa sepengetahuannya kini tak ada lagi peninggalan Multatuli di kota ini. Jika pun ada tinggal foto-foto yang kini disimpan di dapur pendopo kabupaten. Tepatnya di ruang makan pendopo. Jika mau melihatnya coba hubungi bagian rumah tangga dengan Pak Asep. Namun sebelum saya pergi, ia menyuruh saya menghubungi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang tak jauh dari rumahnya. Ia pun meminta saya untuk mendatangi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Adjidarmo. Menurutnya, di belakang gedung baru RSUD dr. Adjidarmo ada bangunan kecil yang tersisa. Saya pun berpamitan dan mengucapkan terima kasih. Informasi ini yang saya dapatkan dari Pak Badri tentang Multatuli.
Di sepanjang jalan menuju Disbudpar ramai sekali. Sore ini ada lomba drum band yang berpusat di alun-alun. Semua peserta harus berkeliling. Termasuk melalui jalan di depan kantor Disbudpar. Namun sayang di Disbudpar saya tak mendapatkan informasi apa pun. Tiga orang pegawai dari seksi sejarah dan budaya menggelengkan kepala ketika ditanya soal Multatuli. Ketiganya menyatakan bahwa Disbudpar tidak menyimpan apa pun yang berhubungan dengan Multatuli. Ironi sekali sebab setiap tahun dinas ini menyelenggarakan pemilihan Saija dan Adinda. Semacam pemilihan Abang dan None di Jakarta atau Mojang dan Jajaka di Bandung. Bahkan ketika saya menanyakan tentang syair lagu ‘Saija dan Adinda’ yang ditulis alm. Ki Syahri semuanya berkata tidak tahu.
Saya melanjutkan perjalanan ke RSUD dr. Adjidarmo. Tiba di RSUD dr. Adjidarmo saya langsung menuju ke bagian belakang. Di bagian belakang memang ada sebuah bangunan tua yang tak terurus. Kondisinya berantakan. Penuh sampah dan bahan bangunan.
Maklum gedung dua lantai di depannya adalah gedung baru. Rumah tua ini peninggalan Belanda. Satu bagian dindingnya memang menunjukkan tanda peninggalan masa lalu. Sementara bagian lainnya bangunan baru. Di belakang rumah tua ini terdapat bangunan yang kini jadi kantor bagian obat rumah sakit. Menurut tiga orang petugas yang baik di sana rumah ini banyak dikunjungi tamu.
Bahkan ada yang datang dari Belanda. Namun mereka tidak tahu sejarah rumah tersebut. Menurut seorang ibu yang lebih tua, rumah tersebut pernah dijadikan kantor obat sebelum dikosongkan. Masih menurutnya, dulu ada satu ruangan yang masih bertegel asli berupa marmer namun kini semuanya sudah diganti. Saya sempat memasuki rumah itu. Di dalamnya banyak sampah plastik dan debu. Bahkan di tembok bagian dalamnya ada corat-coret. Di bagian yang lain diisi semen dan kayu. Atapnya miring. Tak terurus. Di depannya ada tulisan JAGALAH KEBERSIHAN. Rumah itu tak terkunci.
Saya masih menyisakan beberapa tugas. Mengunjungi ruang makan pendopo. Mengunjungi SMPN 4 Rangkasbitung. Mencari informasi di bagian arsip kabupaten. Dan mungkin masih banyak jejak lainnya yang tak terungkap.
0 komentar:
Post a Comment