oleh Sigit Susanto
Judul: Saidjah dan Adinda (Saidjah und Adinda)
Penulis: Multatuli.
Penerbit: Der Kinderbuchverlag Berlin-DDR 1988, bahasa Jerman.
Penerjemah: Hans Herfurth.
Tebal: 42 halaman.
Tangis Kita, Tangis untuk Semua
Kisah cinta tak sampai antara bocah lelaki Saidjah (9 tahun) dengan gadis Adinda, (6 tahun). Sejak Saidjah berusia 7 tahun, sudah menggembalakan kerbau ayahnya. Celakanya kerbau ayah Saidjah itu dirampas penjajah Belanda, sebab ayah Saidjah terlambat membayar pajak. Ayah Saidjah menjual keris warisan ayahnya kepada seorang China. Kerbau itu dihargai sebesar 24 Gulden. Ayah Saidjah membeli kerbau baru lagi. Saidjah kecil cepat akrab dengan kerbau barunya. Kerbau ini seperti biasa dipakai untuk mengerjakan sawah.
Lagi-lagi kerakusan Belanda, kerbau yang sudah menyatu dengan Saidjah ini diambil paksa oleh Belanda lagi. Terpaksa ayah Saidjah menjual barang warisan orang tuanya lagi. Kali ini berupa dua penyangga perak kelambu nyamuk dengan harga 18 Gulden. Ayah Saidjah benar-benar terpuruk dalam kemiskinan. Paling mengundang pilu, Saidjah mendengar dari kakak Adinda, bahwa kerbau-kerbau yang diambil paksa oleh Belanda biasa dijagal dijadikan daging. Saidjah sedih sekali. Ia sudah terlanjur menjalin hubungan batin yang akrab dengan kerbaunya.
Pada suatu hari tiba-tiba ada harimau merunduk dan menerkam kerbau. Saidjah dan kerbaunya lari tunggang langgang dan berhasil menyelamatkan diri. Hanya di bagian leher kerbau itu sempat terluka. Pada akhirnya kerbau itu diambil lagi oleh orang Belanda. Habislah apa yang dimiliki ayah Saidjah. Terpaksa ayah Saidjah meninggalkan desanya dan merantau ke kota Buitonzorg (kini dikenal dengan nama Bogor). Nasib beruntun, ia ditangkap Belanda dan dijebloskan ke bui. Belanda menganggap ayah Saidjah pergi meninggalkan daerahnya tanpa punya surat izin. Ia mendekam di bui tinggal menunggu ajalnya.
Sementara Saidjah berangkat dewasa memasuki usia 15 tahun. Sesuai wangsit ayahnya, ia disuruh mengawini Adinda. Merasa ia miskin di desa, Saidjah hendak merantau ke Batavia menjadi kusir kuda. Kabarnya banyak tuan-tuan Belanda membutuhkan kusir kuda. Perpisahan tak terelakan antara pasangan muda belia, Saidjah dan Adinda. Kelak mereka akan kawin dan membeli dua kerbau perkasa.
Romantika remaja desa bersemburat deras, Saidjah berjanji,
“Jika aku kembali lagi, dari jauh akan meriakimu.”
Adinda mengelak,
“Bukankah di desa banyak orang menumbuk padi, bagaimana bisa dengar terikanmu?”
Saidjah akhirnya ingat, saat ia pertama kali diberi bunga melati oleh Adinda di bawah pohon jati. Aroma romantis itu akan dikekalkan lagi. Di situlah kelak mereka akan menganyam janji untuk bertemu. Saidjah mewanti-wanti, agar Adinda menunggu dengan sabar. Adinda bisa membuat sarong. Dan kelak selama tiga kali 12 bulan atau 36 bulan (3 tahun), pasti Saidjah akan tiba kembali. Untuk menghitungnya, Saidjah punya akal, agar setiap bulan baru, Adinda bisa melubangi alu (alat penumbuk padi). Jika jumlah lubang sudah mencapai 36 buah, bersiap-siaplah menjemput Saidjah di bawah pohon jati.
Nasib tak bisa ditebak. Selama kealpaan Saidjah di desa, sudah banyak peristiwa buruk menimpa. Ibu Adinda dan adik perempuan Adinda meninggal. Ketika Saidjah pulang, rumah Adinda sudah tiada. Ayah Adinda mengajak dua anaknya pergi ke daratan Sumatra. Ia dan anak-anaknya tak mampu bertahan hidup di Jawa. Pajak yang diterapkan Belanda mencekik petani miskin. Ia dan Adinda serta kakak Adinda pertama ke Tjilang Kahan di sekitar Lebak. Mereka tidak pergi ke Krawang atau Preanger. Ayah Adinda tahu, toh ayahnya Saidjah ke arah situ akhirnya dijebloskan ke bui oleh Belanda. Sebab itu mereka menuju ke pulau Sumatra, tepatnya di Lampung.
Kisah cinta tak sampai ini diceritakan oleh Multatuli dengan teknik mendongeng. Masih sama seperti pada novel Max Havelaar, dimana sang penulis sering menyelonong mengatakan,
“Wahai para pembaca yang budiman. Sudah kukatakan, kisahku ini membosankan.”
Tak hanya sampai di situ, Multatuli menaburi dengan lagu-lagu yang ditulis seperti baris-baris puisi. Ia bilang,
“Seandainya aku bisa mengalihbahasakan dari bahasa Melayu ke bahasa Italia. Banyak metafor menyusup di sela-sela narasi. Tangis kita, tangis untuk semua.”
Multatuli
Buku ini diberi pengantar oleh penerjemahnya. Ia sebutkan, kisah Saidjah dan Adinda berlangsung di Jawa antara tahun 1845-1850. Ketidakberdayaan bercinta pasangan remaja desa ini berkat hukum Belanda yang rakus. Banyak orang Jawa tidak bisa lagi hidup di tanahnya sendiri. Mereka pergi ke Sumatra.
Multatuli yang nama aslinya Eduard Douwes Dekker lahir 2 Februari 1820 di Amsterdam. Multatuli diambil dari bahasa Latin, bahasa yang ditekuni Dekker ini yang berarti: Banyak yang telah kupikul (viel habe ich getragen). Ayahnya seorang kapten kapal niaga. Ketika ia berusia 18 tahun diangkat sebagai pegawai administrasi bagian juru tulis di Batavia. Selanjutnya ia bertugas di Sumatra, Sulawesi dan Maluku. Tahun 1856, ia ditempatkan di Bantam (Mungkin kini Banten) Jawa Barat. Di sini ia menyaksikan sendiri sistem kerja paksa. Petani Jawa semakin miskin. Kelaparan di mana-mana. Yang menyebalkan kesewenangan para bangsawan Jawa yang bersekongkol dengan penjajah Belanda. Akibat kolaborasi kaum bangsawan sendiri dan penjajah itu, petani yang menderita. Multatuli melihat ketidakadilan itu, lalu ia melayangkan surat protes kepada gubernur jenderal. Protes Multatuli justru menjadi bumerang. Ia tidak boleh menentang kekuasan. Ujungya pada tahun 1857 ia dipulangkan ke Eropa. Untuk tinggal di negerinya sendiri juga tidak mungkin. Sejak tahun 1860 sebagian besar hidupnya sampai meninggalnya berada di Jerman. Tahun 1940 Hitler masuk Belanda, otomatis melemahkan posisi koloni Belanda di Indonesia. Pada 27 Februari 1942, kekuatan Jepang dan Hitler Jerman bersatu di bawah komando Belanda. Sementara itu kapal perang Inggris, Amerika dan Australia di laut Jawa. 17 Agustus 1945 Indonesia memerdekakan diri. Lewat payung Inggris, Belanda mencoba mengambil alih lagi kekuasaan di Jawa. Peperangan berdarah hingga 4 tahun lamanya. Secara resmi tahun 1949, kemerdekaan Indonesia baru diakui. Riwayat yang diceritakan Multatuli tentang Saidjah dan Adinda, hingga jelang kemerdekaan tak pernah berubah.
Buku kecil ini juga memuat beberapa ilustrasi yang menggambarkan para petani yang terkapar di tanah karena kelaparan. Tokoh Saidjah dilukis bercaping sedang naik kerbau dan muncul seekor harimau. Adinda mengenakan rok panjang dan rambut panjang. Di depan Adinda Saidjah bersarung dan ikat kepala tak berbaju.
Sumber Wikipedia menyebutkan, novelet ini dianggap sebagai karya pertama di Eropa yang menentang kolonialisme. Masyarakat Sastra Belanda ( Maatschappij der Nederlandse Letterkunde) tahun 2002 telah menobatkan Multatuli sebagai sastrawan Belanda paling penting di segala zaman. Kakak Multatuli, Jan Duwes Dekker, sebagai kakek dari Ernest Douwes Dekker yang biasa dikenal dengan Danudirja Setiabudi (pahlawan nasional). Karya Multatuli yang lain, “Surat Cinta” (Minnebriefe) dalam bentuk novel ditulis di Amsterdam 8 Juni 1861 dan “Max Havelaar”, “The School for Prince” (1875). (Sigit Susanto)
Judul: Saidjah dan Adinda (Saidjah und Adinda)
Penulis: Multatuli.
Penerbit: Der Kinderbuchverlag Berlin-DDR 1988, bahasa Jerman.
Penerjemah: Hans Herfurth.
Tebal: 42 halaman.
Tangis Kita, Tangis untuk Semua
Kisah cinta tak sampai antara bocah lelaki Saidjah (9 tahun) dengan gadis Adinda, (6 tahun). Sejak Saidjah berusia 7 tahun, sudah menggembalakan kerbau ayahnya. Celakanya kerbau ayah Saidjah itu dirampas penjajah Belanda, sebab ayah Saidjah terlambat membayar pajak. Ayah Saidjah menjual keris warisan ayahnya kepada seorang China. Kerbau itu dihargai sebesar 24 Gulden. Ayah Saidjah membeli kerbau baru lagi. Saidjah kecil cepat akrab dengan kerbau barunya. Kerbau ini seperti biasa dipakai untuk mengerjakan sawah.
Lagi-lagi kerakusan Belanda, kerbau yang sudah menyatu dengan Saidjah ini diambil paksa oleh Belanda lagi. Terpaksa ayah Saidjah menjual barang warisan orang tuanya lagi. Kali ini berupa dua penyangga perak kelambu nyamuk dengan harga 18 Gulden. Ayah Saidjah benar-benar terpuruk dalam kemiskinan. Paling mengundang pilu, Saidjah mendengar dari kakak Adinda, bahwa kerbau-kerbau yang diambil paksa oleh Belanda biasa dijagal dijadikan daging. Saidjah sedih sekali. Ia sudah terlanjur menjalin hubungan batin yang akrab dengan kerbaunya.
Pada suatu hari tiba-tiba ada harimau merunduk dan menerkam kerbau. Saidjah dan kerbaunya lari tunggang langgang dan berhasil menyelamatkan diri. Hanya di bagian leher kerbau itu sempat terluka. Pada akhirnya kerbau itu diambil lagi oleh orang Belanda. Habislah apa yang dimiliki ayah Saidjah. Terpaksa ayah Saidjah meninggalkan desanya dan merantau ke kota Buitonzorg (kini dikenal dengan nama Bogor). Nasib beruntun, ia ditangkap Belanda dan dijebloskan ke bui. Belanda menganggap ayah Saidjah pergi meninggalkan daerahnya tanpa punya surat izin. Ia mendekam di bui tinggal menunggu ajalnya.
Sementara Saidjah berangkat dewasa memasuki usia 15 tahun. Sesuai wangsit ayahnya, ia disuruh mengawini Adinda. Merasa ia miskin di desa, Saidjah hendak merantau ke Batavia menjadi kusir kuda. Kabarnya banyak tuan-tuan Belanda membutuhkan kusir kuda. Perpisahan tak terelakan antara pasangan muda belia, Saidjah dan Adinda. Kelak mereka akan kawin dan membeli dua kerbau perkasa.
Romantika remaja desa bersemburat deras, Saidjah berjanji,
“Jika aku kembali lagi, dari jauh akan meriakimu.”
Adinda mengelak,
“Bukankah di desa banyak orang menumbuk padi, bagaimana bisa dengar terikanmu?”
Saidjah akhirnya ingat, saat ia pertama kali diberi bunga melati oleh Adinda di bawah pohon jati. Aroma romantis itu akan dikekalkan lagi. Di situlah kelak mereka akan menganyam janji untuk bertemu. Saidjah mewanti-wanti, agar Adinda menunggu dengan sabar. Adinda bisa membuat sarong. Dan kelak selama tiga kali 12 bulan atau 36 bulan (3 tahun), pasti Saidjah akan tiba kembali. Untuk menghitungnya, Saidjah punya akal, agar setiap bulan baru, Adinda bisa melubangi alu (alat penumbuk padi). Jika jumlah lubang sudah mencapai 36 buah, bersiap-siaplah menjemput Saidjah di bawah pohon jati.
Nasib tak bisa ditebak. Selama kealpaan Saidjah di desa, sudah banyak peristiwa buruk menimpa. Ibu Adinda dan adik perempuan Adinda meninggal. Ketika Saidjah pulang, rumah Adinda sudah tiada. Ayah Adinda mengajak dua anaknya pergi ke daratan Sumatra. Ia dan anak-anaknya tak mampu bertahan hidup di Jawa. Pajak yang diterapkan Belanda mencekik petani miskin. Ia dan Adinda serta kakak Adinda pertama ke Tjilang Kahan di sekitar Lebak. Mereka tidak pergi ke Krawang atau Preanger. Ayah Adinda tahu, toh ayahnya Saidjah ke arah situ akhirnya dijebloskan ke bui oleh Belanda. Sebab itu mereka menuju ke pulau Sumatra, tepatnya di Lampung.
Kisah cinta tak sampai ini diceritakan oleh Multatuli dengan teknik mendongeng. Masih sama seperti pada novel Max Havelaar, dimana sang penulis sering menyelonong mengatakan,
“Wahai para pembaca yang budiman. Sudah kukatakan, kisahku ini membosankan.”
Tak hanya sampai di situ, Multatuli menaburi dengan lagu-lagu yang ditulis seperti baris-baris puisi. Ia bilang,
“Seandainya aku bisa mengalihbahasakan dari bahasa Melayu ke bahasa Italia. Banyak metafor menyusup di sela-sela narasi. Tangis kita, tangis untuk semua.”
Multatuli
Buku ini diberi pengantar oleh penerjemahnya. Ia sebutkan, kisah Saidjah dan Adinda berlangsung di Jawa antara tahun 1845-1850. Ketidakberdayaan bercinta pasangan remaja desa ini berkat hukum Belanda yang rakus. Banyak orang Jawa tidak bisa lagi hidup di tanahnya sendiri. Mereka pergi ke Sumatra.
Multatuli yang nama aslinya Eduard Douwes Dekker lahir 2 Februari 1820 di Amsterdam. Multatuli diambil dari bahasa Latin, bahasa yang ditekuni Dekker ini yang berarti: Banyak yang telah kupikul (viel habe ich getragen). Ayahnya seorang kapten kapal niaga. Ketika ia berusia 18 tahun diangkat sebagai pegawai administrasi bagian juru tulis di Batavia. Selanjutnya ia bertugas di Sumatra, Sulawesi dan Maluku. Tahun 1856, ia ditempatkan di Bantam (Mungkin kini Banten) Jawa Barat. Di sini ia menyaksikan sendiri sistem kerja paksa. Petani Jawa semakin miskin. Kelaparan di mana-mana. Yang menyebalkan kesewenangan para bangsawan Jawa yang bersekongkol dengan penjajah Belanda. Akibat kolaborasi kaum bangsawan sendiri dan penjajah itu, petani yang menderita. Multatuli melihat ketidakadilan itu, lalu ia melayangkan surat protes kepada gubernur jenderal. Protes Multatuli justru menjadi bumerang. Ia tidak boleh menentang kekuasan. Ujungya pada tahun 1857 ia dipulangkan ke Eropa. Untuk tinggal di negerinya sendiri juga tidak mungkin. Sejak tahun 1860 sebagian besar hidupnya sampai meninggalnya berada di Jerman. Tahun 1940 Hitler masuk Belanda, otomatis melemahkan posisi koloni Belanda di Indonesia. Pada 27 Februari 1942, kekuatan Jepang dan Hitler Jerman bersatu di bawah komando Belanda. Sementara itu kapal perang Inggris, Amerika dan Australia di laut Jawa. 17 Agustus 1945 Indonesia memerdekakan diri. Lewat payung Inggris, Belanda mencoba mengambil alih lagi kekuasaan di Jawa. Peperangan berdarah hingga 4 tahun lamanya. Secara resmi tahun 1949, kemerdekaan Indonesia baru diakui. Riwayat yang diceritakan Multatuli tentang Saidjah dan Adinda, hingga jelang kemerdekaan tak pernah berubah.
Buku kecil ini juga memuat beberapa ilustrasi yang menggambarkan para petani yang terkapar di tanah karena kelaparan. Tokoh Saidjah dilukis bercaping sedang naik kerbau dan muncul seekor harimau. Adinda mengenakan rok panjang dan rambut panjang. Di depan Adinda Saidjah bersarung dan ikat kepala tak berbaju.
Sumber Wikipedia menyebutkan, novelet ini dianggap sebagai karya pertama di Eropa yang menentang kolonialisme. Masyarakat Sastra Belanda ( Maatschappij der Nederlandse Letterkunde) tahun 2002 telah menobatkan Multatuli sebagai sastrawan Belanda paling penting di segala zaman. Kakak Multatuli, Jan Duwes Dekker, sebagai kakek dari Ernest Douwes Dekker yang biasa dikenal dengan Danudirja Setiabudi (pahlawan nasional). Karya Multatuli yang lain, “Surat Cinta” (Minnebriefe) dalam bentuk novel ditulis di Amsterdam 8 Juni 1861 dan “Max Havelaar”, “The School for Prince” (1875). (Sigit Susanto)
Novel ini kubaca waktu masih SD. Pastinya saya tidak ingat, mungkin kelas 3 atau 4. Yang kuingat waktu itu novel ini sobek di bagian depan dan ada beberapa halaman yang sudah tidak jelas lagi tulisannya. Buku ini usang mungkin karena umurnya. Tapi, buku ini menyita perhatianku. Kalau mamak memanggil, saya pura-pura tidak mendengar dan bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Saya tidak tahu bahwa ternyata itu karya sastra, sampai saya belajar di SMU, pelajaran Bahasa Indonesia yang membahas karya sastra.
ReplyDeleteSaya iseng-iseng mencari di google, dan ternyata ada blog yang memposting ini.Tema blog anda sangat pas: "Satu ikhtiar kecil untuk menghidupkan ingatan melalui bacaan." Saya hanya bertanya-tanya: masih adakah perpustakaan sekolah yang menyediakan ini atau karya sastra menjadi barang langka yang hanya ditemukan melalui koleksi penikmatnya ataukah di pasar barang bekas. Perpustakaan SMP saya dulu, sekarang ini sudah tidak memiliki lagi Atheis karya Achdiat K. Mihardja dan Sukreni Gadis Bali karya A.A. Panji Tisna yang dimilikinya dulu. Kalo menghitung masa 1998 s.d 2012 artinya 14 tahun, pastinya buku itu sudah dimakan rayap karena tidak diperhatikan dan mungkin sudah dibakar. Saya hanya berpendapat, seharusnya hal itu digiatkan lagi agar kita tahu bahwa bangsa Indonesia punya karya sastra sendiri.
Terima kasih atas postingan anda.
Perlu digalakan lagi buku-buku satra lama untuk dipekenalkan kepada generasi sekarang
ReplyDelete