Senin, 19 April 2010 | 04:46 WIB
Hingga 150 tahun sejak diterbitkan pertama kali, Max Havelaar tetap menjadi sumber inspirasi bagi banyak gerakan sosial. Kini Max Havelaar tidak hanya merujuk pada judul sebuah karya sastra, tetapi juga menjadi nama jalan, museum, hingga merek produk kopi dan teh yang diperdagangkan dengan sistem fair trade.
"Tak ada novel lain di Belanda yang bisa memengaruhi kesusasteraan dan opini publik seperti Max Havelaar,” kata Marita Mathijsen, Profesor Sastra Belanda Modern Universitas Amsterdam Belanda dalam peringatan 150 tahun Max Havelaar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Senin (12/4).
Dengan delapan halaman naskah pidato, Marita membahas keunggulan Max Havelaar dari sisi estetika dan etika. Menurutnya, Max Havelaar bukan saja karya sastra yang disajikan dengan satire, lucu, serta memuat nilai-nilai humanisme dan etika yang abadi. Pencapaian di sisi estetika dan etika itulah yang membuat Max Havelaar bertahan, bahkan terus menempati posisi puncak dalam daftar karya sastra Belanda hingga kini.
Max Havelaar adalah buku yang ditulis Multatuli. Buku itu diluncurkan pertama kali pada 15 Mei 1860 oleh penerbit De Ryter di Amsterdam, Belanda. Multatuli yang berarti ”saya sudah banyak menderita” itu merupakan nama pena dari Eduard Douwes Dekker, seorang pegawai di kantor Pemerintah Kolonial Belanda di Hindia Belanda.
Marita mencatat, Douwes Dekker tiba di Batavia pada 1839 saat berusia 19 tahun. Pada Januari 1856, ia kemudian tiba di Rangkas Bitung, sebuah desa kecil di Lebak, Banten.
Di desa kecil itu, Douwes Dekker melihat warga hidup dalam kemiskinan, dieksploitasi, dan ditindas. Mereka tidak hanya harus melayani pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan sistem tanam paksa, tetapi juga tuan-tuan pribumi yang secara tradisional menjadi raja mereka. Dari desa kecil inilah kisah Max Havelaar bermula.
Rasa bersalah
Melalui tokoh Max Havelaar, Multatuli alias Douwes Dekker bertutur tentang kondisi pribumi yang miskin dan tertindas di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Munculnya Max Havelaar itu menimbulkan gelombang rasa bersalah kolektif pada diri orang Belanda. ”Mereka menjadi sadar bahwa yang dilakukan salah,” kata Marita.
Karya itu juga memunculkan perdebatan sengit di parlemen Belanda. Sejarah kemudian mencatat bahwa buku tersebut menjadi salah satu pemicu berakhirnya sistem tanam paksa di Hindia Belanda dan dimulainya politik etis dengan pembangunan sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi.
Menurut Marita, pengaruh Max Havelaar tidak hanya berhenti di situ. Muatan nilai humanisme dan etika dalam karya ini membuatnya menjadi sumber inspirasi bagi gerakan sosial lain yang muncul jauh setelah diterbitkannya Max Havelaar.
Pada tahun 1900, Max Havelaar dan Multatuli menjadi bahan bacaan penting bagi gerakan reformasi, vegetarian, dan sosialis yang mulai mencuat. Gerakan perempuan yang muncul sekitar tahun 1920 juga menjadikan buku ini sebagai sumber bacaan penting. Gerakan humanis yang muncul pasca-Perang Dunia II di Belanda juga dipengaruhi buku tersebut.
Meski memberi pengaruh besar pada gerakan sosial yang muncul setelahnya, Marita mengakui, Max Havelaar bukanlah karya yang antikolonial. Pengakuan itu ia sampaikan guna menjawab pertanyaan dari peserta diskusi yang mempersoalkan sikap Multatuli terhadap kolonialisme. Melalui karyanya, Douwes Dekker dinilai hanya hendak memperbaiki sistem kolonialisme dan bukan menghapusnya. ”Dia memang bukan orang yang antikolonial,” tuturnya.
Akan tetapi, Max Havelaar memang tidak bisa dibaca dengan perspektif antikolonial yang muncul jauh setelah era Douwes Dekker. Karya ini mestinya dibaca dengan melihat konteks zaman itu. ”Karya ini tentu saja ditulis oleh orang kulit putih dan dari perspektif orang kulit putih. Saat karya ini ditulis, belum ada pikiran tentang antikolonial. Namun, pada zamannya, apa yang disampaikan dalam karya ini sangat luar biasa,” tuturnya.
Bagi Marita, terlepas dari perdebatan yang muncul, Max Havelaar tetaplah sebuah karya besar karena berhasil mengubah suatu tatanan pada zamannya.
Setelah 150 tahun, Max Havelaar pun terus hidup. Berbeda dengan kebanyakan pelajar Indonesia yang hanya mengenal Multatuli dari buku wajib sejarah, karya ini tetap populer di kalangan pelajar Belanda. Max Havelaar juga masih selalu ditengok masyarakat Belanda masa kini yang membutuhkan panduan dalam menyikapi keberadaan imigran dari Afrika dan Amerika Selatan di negaranya.
Max Havelaar dan Multatuli kini juga ditemui di banyak tempat sebagai nama jalan, museum, merek kopi, hingga nama perahu. Dengan semua itu, Max Havelaar tetap hidup hingga kini di Belanda....(Idha Saraswati/Kompas)
Hingga 150 tahun sejak diterbitkan pertama kali, Max Havelaar tetap menjadi sumber inspirasi bagi banyak gerakan sosial. Kini Max Havelaar tidak hanya merujuk pada judul sebuah karya sastra, tetapi juga menjadi nama jalan, museum, hingga merek produk kopi dan teh yang diperdagangkan dengan sistem fair trade.
"Tak ada novel lain di Belanda yang bisa memengaruhi kesusasteraan dan opini publik seperti Max Havelaar,” kata Marita Mathijsen, Profesor Sastra Belanda Modern Universitas Amsterdam Belanda dalam peringatan 150 tahun Max Havelaar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Senin (12/4).
Dengan delapan halaman naskah pidato, Marita membahas keunggulan Max Havelaar dari sisi estetika dan etika. Menurutnya, Max Havelaar bukan saja karya sastra yang disajikan dengan satire, lucu, serta memuat nilai-nilai humanisme dan etika yang abadi. Pencapaian di sisi estetika dan etika itulah yang membuat Max Havelaar bertahan, bahkan terus menempati posisi puncak dalam daftar karya sastra Belanda hingga kini.
Max Havelaar adalah buku yang ditulis Multatuli. Buku itu diluncurkan pertama kali pada 15 Mei 1860 oleh penerbit De Ryter di Amsterdam, Belanda. Multatuli yang berarti ”saya sudah banyak menderita” itu merupakan nama pena dari Eduard Douwes Dekker, seorang pegawai di kantor Pemerintah Kolonial Belanda di Hindia Belanda.
Marita mencatat, Douwes Dekker tiba di Batavia pada 1839 saat berusia 19 tahun. Pada Januari 1856, ia kemudian tiba di Rangkas Bitung, sebuah desa kecil di Lebak, Banten.
Di desa kecil itu, Douwes Dekker melihat warga hidup dalam kemiskinan, dieksploitasi, dan ditindas. Mereka tidak hanya harus melayani pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan sistem tanam paksa, tetapi juga tuan-tuan pribumi yang secara tradisional menjadi raja mereka. Dari desa kecil inilah kisah Max Havelaar bermula.
Rasa bersalah
Melalui tokoh Max Havelaar, Multatuli alias Douwes Dekker bertutur tentang kondisi pribumi yang miskin dan tertindas di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Munculnya Max Havelaar itu menimbulkan gelombang rasa bersalah kolektif pada diri orang Belanda. ”Mereka menjadi sadar bahwa yang dilakukan salah,” kata Marita.
Karya itu juga memunculkan perdebatan sengit di parlemen Belanda. Sejarah kemudian mencatat bahwa buku tersebut menjadi salah satu pemicu berakhirnya sistem tanam paksa di Hindia Belanda dan dimulainya politik etis dengan pembangunan sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi.
Menurut Marita, pengaruh Max Havelaar tidak hanya berhenti di situ. Muatan nilai humanisme dan etika dalam karya ini membuatnya menjadi sumber inspirasi bagi gerakan sosial lain yang muncul jauh setelah diterbitkannya Max Havelaar.
Pada tahun 1900, Max Havelaar dan Multatuli menjadi bahan bacaan penting bagi gerakan reformasi, vegetarian, dan sosialis yang mulai mencuat. Gerakan perempuan yang muncul sekitar tahun 1920 juga menjadikan buku ini sebagai sumber bacaan penting. Gerakan humanis yang muncul pasca-Perang Dunia II di Belanda juga dipengaruhi buku tersebut.
Meski memberi pengaruh besar pada gerakan sosial yang muncul setelahnya, Marita mengakui, Max Havelaar bukanlah karya yang antikolonial. Pengakuan itu ia sampaikan guna menjawab pertanyaan dari peserta diskusi yang mempersoalkan sikap Multatuli terhadap kolonialisme. Melalui karyanya, Douwes Dekker dinilai hanya hendak memperbaiki sistem kolonialisme dan bukan menghapusnya. ”Dia memang bukan orang yang antikolonial,” tuturnya.
Akan tetapi, Max Havelaar memang tidak bisa dibaca dengan perspektif antikolonial yang muncul jauh setelah era Douwes Dekker. Karya ini mestinya dibaca dengan melihat konteks zaman itu. ”Karya ini tentu saja ditulis oleh orang kulit putih dan dari perspektif orang kulit putih. Saat karya ini ditulis, belum ada pikiran tentang antikolonial. Namun, pada zamannya, apa yang disampaikan dalam karya ini sangat luar biasa,” tuturnya.
Bagi Marita, terlepas dari perdebatan yang muncul, Max Havelaar tetaplah sebuah karya besar karena berhasil mengubah suatu tatanan pada zamannya.
Setelah 150 tahun, Max Havelaar pun terus hidup. Berbeda dengan kebanyakan pelajar Indonesia yang hanya mengenal Multatuli dari buku wajib sejarah, karya ini tetap populer di kalangan pelajar Belanda. Max Havelaar juga masih selalu ditengok masyarakat Belanda masa kini yang membutuhkan panduan dalam menyikapi keberadaan imigran dari Afrika dan Amerika Selatan di negaranya.
Max Havelaar dan Multatuli kini juga ditemui di banyak tempat sebagai nama jalan, museum, merek kopi, hingga nama perahu. Dengan semua itu, Max Havelaar tetap hidup hingga kini di Belanda....(Idha Saraswati/Kompas)
0 komentar:
Post a Comment