Oleh MH Ubaidilah
Ini catatanku. Catatan Reading Groups “Max Havelaar” perdana Selasa, 24 Maret 2010. Aku menuju Ciseel sehabis melaksanakan tugas mengajar di kampung sebelah, Cigaclung nama kampung itu. Pukul 13.00 waktu aku mengunci pintu ruang guru. Maklum akulah penghuni terakhir hari itu di sekolah. Biasanya juga begitu. Senin hingga Rabu. Aku meninggalkan sekolah sendirian. Berjalan kaki melewati sawah dan kebun di kiri dan kanan jalan. Aku menyempatkan diri untuk membeli buku folio besar dua buah di warung baru milik Pak Hendar di pertigaan Cigaclung. Akan kugunakan untuk daftar hadir dan kesan pesan peserta Reading Groups “Max Havelaar” di Taman Baca Multatuli. Tiba di Taman Baca Multatuli setelah setengah jam berjalan.
Aku biarkan tubuhku dingin sejenak. Kubersihkan beras dan kunyalakan kompor. Aku mau memasak untuk makan siang ini. Kuminta Aliyudin, anak kelas VIII yang biasa datang ke Taman Baca Multatuli untuk membeli beberapa butir telur dan mi instan. Aliyudin datang membawa belanjaan. Kami memasak sementara berdatangan M. Soleh, Sarta, Sujatna, Kang Sarif, dan Jaenudin. Kami makan bersama nasi liwet, mi instan, dan telur yang kumasak. Sehabis makan ada yang membaca ada juga yang membuka laptop. Sengaja tadi di sekolah kucharge. Ada genset di sekolah untuk mengetik dan mengeprint. Mereka membaca dan belajar mengenal laptop. Kadang sampai batreinya habis. Dipakai belajar mengetik.
Hatiku agak tak karuan. Hujan turun pukul 14.00 Aku punya kegiatan perdana hari ini. Reading Groups (membaca bersama) “Max Havelaar” kegiatanku. Max Havelar yang akan kami baca adalah novel yang ditulis Multatuli di sebuah kamar penginapan yang dikontraknya di Brussel, Belgia. “In de kleine prins” nama penginapan itu di jalan de la Fourche No.52. Multatuli yang romantis, lincah, spontan, dan jujur menulis Max Havelaar antara bulan September-Desember 1859. Dan setahun kemudian novel itu terbit pertama kali. Kini yang akan kami baca novel terjemahan berbahasa Indonesia yang terbit tahun 2008 terbitan Narasi. Di Taman Baca Multatuli ada 20 buah jumlahnya.
Kekhawatiranku memang kurang beralasan. Namun jika hujan tak juga reda mungkin para pengunjung Taman Baca Multatuli tak akan ada. Cemasku. Meski sehari sebelumnya telah kupasang dan kutulis dengan kapur di papan tulis pengumuman: Reading Groups Max Havelaar Every Tuesday: 16.00-17.30 Everyone may join at any time. Aku juga mengundang secara pribadi orang-orang yang biasa datang ke Taman Baca Multatuli. Juga mereka yang dituakan di Ciseel. Sayang mereka tak datang. Kehadiran mereka di tempat yang punya hajat sunatan mungkin lebih dibutuhkan. Sangka baikku.
Kekhawatiranku hilang. Satu jam kemudian hujan reda. Di Taman Baca Multatuli ada aku, Aliyudin, Sujatna, Dedi Kala, dan Pendi. Aliyudin dan Sujatna membantuku membuat daftar hadir pada buku folio. Sementara Pendi dan Dedi Kala membaca. Selesai mempersiapkan segalanya, Aliyudin meminta izin pulang sebentar untuk mandi. Aku juga bersiap-siap. Ini memang yang pertama untuk aku dan kawan-kawan.
Pukul 15.45 Aliyudin datang. Di luar sana. Di tempat yang agak jauh suara penyanyi dangdut terdengar samar-samar. Hari ini ada yang sunatan. Di jalan, ibu-ibu yang mau kondangan bergegas membawa baskom di tangan. Ada yang hendak berangkat dan ada yang pulang. Di Taman Baca Multatuli ada aku, Aliyudin, Sujatna, Dedi Kala, Pendi, Pepen, Nurdiyanta, Sanadi, Coni, dan Oji.
Pukul 16.00 kegiatan Reading Groups dimulai. Meski pesertanya baru bersepuluh denganku. Aku berharap dua puluh orang. Ketika pembacaan berlangsung lima menit datang Siti Alfiah, Sumi, Pipih Suyati, Rohanah, Anisah, Siti Nurhalimah, dan Mano Hidayat. Jumlah pesertanya jadi 17 orang.
Pembacaan dilakukan dengan pertama-tama aku membacakan per paragraf. Dilanjutkan dengan tanya jawab untuk kata atau kalimat yang tidak dipahami. Kemudian salah seorang peserta mengulangi pembacaan. Setelah peserta mengulangi pembacaan dan tidak ada lagi pertanyaan, aku melanjutkan pembacaan paragraf berikutnya. Begitu selanjutnya. Hingga satu bab pertama selesai sore itu. Beberapa pertanyaan muncul saat tanya jawab.
“Makelar itu apa?” tanya Aliyudin.
“Makelar itu perantara antara pedagang dan pembeli,” jawabku. “Kayak ayahnya Soleh, Pak Nurdin yang mengumpulkan durian untuk dijual kembali,” contohku.
“Oh, tengkulak!” seru Pendi.
“Ya,” sambutku
Di saat yang lain, Pipih bertanya tentang syah seharga sembilan puluh gulden di kalimat keenam paragfar keempat. Aku minta Pipih membacakan kalimatnya, “Saya adalah anggota “Artis”, dia memiliki sebuah syal berharga sembilan puluh gulden, meskipun demikian di antara kami tidak pernah ada percakapan bodoh mengenai cinta seperti itu, hal demikian tidak akan beristirahat hingga hal itu ada di ujung bumi.”
“Gulden teh mata uang Belanda,” jawab Pepen.
“Syal teh kain yang suka dipakai di leher kan?” tanya Oji.
“Iya, betul” jawabku. “Maksud kalimat itu tokoh saya adalah anggota kelompok Zoologi kerajaan Belanda Natura Artis Magistra, didirikan tanggal 1838; bersama kebun binatangnya di Amsterdan. Sedangkan dia yang dimaksud adalah istrinya.” Aku mencoba memberikan penjelasan.
“Kok sampai empat kali diulang-ulang kalimat Saya adalah Makelar Kopi, dan tinggal di Lauriergracht No. 37, Amsterdam,” tanya Siti Alfiah.
“Pengulangan itu disampaikan pengarang agar pembaca tidak bosan. Namanya repetisi. Nah, jika terus diulang sampai empat kali itu berarti Multatuli mencoba mengingatkan pembaca bahwa tokoh saya berprofesi sebagai makelar kopi yang tinggal di jalan Lauriergracht yang berarti Jalan Saluran Pohon Salam No. 37 di Amsterdam, Belanda,” jelasku semampuku.
Bab 1 ini berisi pengakuan keberpihakan si tokoh saya yang mencintai kebenaran dan semangat dalam menjalankan profesinya sebagai makelar kopi. Di Bab ini juga ditemukan banyak kalimat yang menurut hemat saya sangat menarik selain kalimat-kalimat yang memang sudah diberi tanda oleh pengarangnya. Kalimat-kalimat yang saya maksud di antaranya: “Merenggut rambut dari akarnya”, “Langkah yang sama merusak banyak orang”, “Bekerja untuk sebuah kehidupan”, “Kebenaran dan akal sehat”, “Bergulung dalam uang”, “Tidak ada kepala yang bercela”.
Beberapa pertanyaan yang lain juga muncul dari mereka. Aku memang tak mampu menjawab semua yang ditanyakan. Kukatakan kepada mereka yang tak bisa dijawab sekarang menjadi PR untukku. Tak kusangka kekhawatiranku tak terjadi. Semula aku merasa kawan-kawan kurang antusias. Tapi yang kudapatkan cukup baik. Pembacaan terus berlanjut. Begitu pun tanya jawab. Jadi secara keseluruhan kegiatannya bergerak dari pembacaan olehku dilanjutkan dengan tanya jawab. Salah seorang peserta membaca ulang. Kemudian dilanjutkan ke paragraf berikutnya. Dan diakhiri dengan membaca ulang seluruhnya.
Saat pembacaan berlangsung, beberapa anak seusia kelas 2 dan 3 SD yang biasa mengunjungi Taman Baca Multatuli seolah sungkan masuk. Kuajak mereka masuk namun mereka malah pergi. Mungkin mereka merasa canggung bergabung. Namun setelah acara selesai mereka datang kembali dan membaca.
Semua peserta membaca ulang satu bab yang baru saja dibaca. Usai membaca bersama, kusampaikan sedikit tentang sejarah Multatuli dan buku ini. Juga hubungnnya dengan Lebak.
“Yang ini Multauli itu?” tanya Mano sambil menunjuk ke sampul depan novel.
“Iya, betul.” Jawabku
“Nah, sekarang kita lihat fotonya yang lain,” kataku sambil membuka laptop. Kuperlihatkan beberapa foto Multatuli serta foto-foto yang kudapatkan dari Mr. Google dan bagian arsip Kabupaten Lebak. Peserta tampak antusias. Saat peserta melihat foto di laptop, kuminta Aliyudin membawakan permen yang telah kusiapkan. Peserta pun menikmatinya. Ya, sekadar teman baca saja. Semoga membantu konsentrasinya.
“Imahna nu eta (rumahnya yang ini)?” tanya Coni
“Iya, hanya yang asli mah cuma tembokna doang,” jelasku.
Kegiatan Reading Groups berakhir dengan foto bersama tepat pukul 17.45. Selesai foto bersama kuucapkan terima kasih dan mengingatkan kembali untuk datang Selasa depan. Eh, ada yang lupa. Peserta belum mengisi daftar hadir dan kesan pesan mengikuti kegiatan Reading Groups Max Havelaar ini. Mereka pun mengisi dengan bergantian. Sementara yang lain ada yang membaca kembali. Ada juga yang membaca buku yang lain. Mereka bertahan hingga Maghrib datang. Aku juga lupa memberikan saran agar kesan pesan yang mereka tulis sebaiknya berkenaan dengan kegiatan Reading Groups. Dipertemuan yang akan datang tentu saja masih banyak yang harus diperbaiki. Jika para pembaca ada yang mau ikut memberi saran tentu sangat kuharapkan. Saran apa saja.
Sekian catatanku. Catatan Reading Groups “Max Havelaar” perdana Selasa, 24 Maret 2010. Di Taman Baca Multatuli. Di Ciseel RT 04/05 di rumah Kang Sarif, Pak RT tea. Di Ciseel tentu saja belum ada listrik.
Ini catatanku. Catatan Reading Groups “Max Havelaar” perdana Selasa, 24 Maret 2010. Aku menuju Ciseel sehabis melaksanakan tugas mengajar di kampung sebelah, Cigaclung nama kampung itu. Pukul 13.00 waktu aku mengunci pintu ruang guru. Maklum akulah penghuni terakhir hari itu di sekolah. Biasanya juga begitu. Senin hingga Rabu. Aku meninggalkan sekolah sendirian. Berjalan kaki melewati sawah dan kebun di kiri dan kanan jalan. Aku menyempatkan diri untuk membeli buku folio besar dua buah di warung baru milik Pak Hendar di pertigaan Cigaclung. Akan kugunakan untuk daftar hadir dan kesan pesan peserta Reading Groups “Max Havelaar” di Taman Baca Multatuli. Tiba di Taman Baca Multatuli setelah setengah jam berjalan.
Aku biarkan tubuhku dingin sejenak. Kubersihkan beras dan kunyalakan kompor. Aku mau memasak untuk makan siang ini. Kuminta Aliyudin, anak kelas VIII yang biasa datang ke Taman Baca Multatuli untuk membeli beberapa butir telur dan mi instan. Aliyudin datang membawa belanjaan. Kami memasak sementara berdatangan M. Soleh, Sarta, Sujatna, Kang Sarif, dan Jaenudin. Kami makan bersama nasi liwet, mi instan, dan telur yang kumasak. Sehabis makan ada yang membaca ada juga yang membuka laptop. Sengaja tadi di sekolah kucharge. Ada genset di sekolah untuk mengetik dan mengeprint. Mereka membaca dan belajar mengenal laptop. Kadang sampai batreinya habis. Dipakai belajar mengetik.
Hatiku agak tak karuan. Hujan turun pukul 14.00 Aku punya kegiatan perdana hari ini. Reading Groups (membaca bersama) “Max Havelaar” kegiatanku. Max Havelar yang akan kami baca adalah novel yang ditulis Multatuli di sebuah kamar penginapan yang dikontraknya di Brussel, Belgia. “In de kleine prins” nama penginapan itu di jalan de la Fourche No.52. Multatuli yang romantis, lincah, spontan, dan jujur menulis Max Havelaar antara bulan September-Desember 1859. Dan setahun kemudian novel itu terbit pertama kali. Kini yang akan kami baca novel terjemahan berbahasa Indonesia yang terbit tahun 2008 terbitan Narasi. Di Taman Baca Multatuli ada 20 buah jumlahnya.
Kekhawatiranku memang kurang beralasan. Namun jika hujan tak juga reda mungkin para pengunjung Taman Baca Multatuli tak akan ada. Cemasku. Meski sehari sebelumnya telah kupasang dan kutulis dengan kapur di papan tulis pengumuman: Reading Groups Max Havelaar Every Tuesday: 16.00-17.30 Everyone may join at any time. Aku juga mengundang secara pribadi orang-orang yang biasa datang ke Taman Baca Multatuli. Juga mereka yang dituakan di Ciseel. Sayang mereka tak datang. Kehadiran mereka di tempat yang punya hajat sunatan mungkin lebih dibutuhkan. Sangka baikku.
Kekhawatiranku hilang. Satu jam kemudian hujan reda. Di Taman Baca Multatuli ada aku, Aliyudin, Sujatna, Dedi Kala, dan Pendi. Aliyudin dan Sujatna membantuku membuat daftar hadir pada buku folio. Sementara Pendi dan Dedi Kala membaca. Selesai mempersiapkan segalanya, Aliyudin meminta izin pulang sebentar untuk mandi. Aku juga bersiap-siap. Ini memang yang pertama untuk aku dan kawan-kawan.
Pukul 15.45 Aliyudin datang. Di luar sana. Di tempat yang agak jauh suara penyanyi dangdut terdengar samar-samar. Hari ini ada yang sunatan. Di jalan, ibu-ibu yang mau kondangan bergegas membawa baskom di tangan. Ada yang hendak berangkat dan ada yang pulang. Di Taman Baca Multatuli ada aku, Aliyudin, Sujatna, Dedi Kala, Pendi, Pepen, Nurdiyanta, Sanadi, Coni, dan Oji.
Pukul 16.00 kegiatan Reading Groups dimulai. Meski pesertanya baru bersepuluh denganku. Aku berharap dua puluh orang. Ketika pembacaan berlangsung lima menit datang Siti Alfiah, Sumi, Pipih Suyati, Rohanah, Anisah, Siti Nurhalimah, dan Mano Hidayat. Jumlah pesertanya jadi 17 orang.
Pembacaan dilakukan dengan pertama-tama aku membacakan per paragraf. Dilanjutkan dengan tanya jawab untuk kata atau kalimat yang tidak dipahami. Kemudian salah seorang peserta mengulangi pembacaan. Setelah peserta mengulangi pembacaan dan tidak ada lagi pertanyaan, aku melanjutkan pembacaan paragraf berikutnya. Begitu selanjutnya. Hingga satu bab pertama selesai sore itu. Beberapa pertanyaan muncul saat tanya jawab.
“Makelar itu apa?” tanya Aliyudin.
“Makelar itu perantara antara pedagang dan pembeli,” jawabku. “Kayak ayahnya Soleh, Pak Nurdin yang mengumpulkan durian untuk dijual kembali,” contohku.
“Oh, tengkulak!” seru Pendi.
“Ya,” sambutku
Di saat yang lain, Pipih bertanya tentang syah seharga sembilan puluh gulden di kalimat keenam paragfar keempat. Aku minta Pipih membacakan kalimatnya, “Saya adalah anggota “Artis”, dia memiliki sebuah syal berharga sembilan puluh gulden, meskipun demikian di antara kami tidak pernah ada percakapan bodoh mengenai cinta seperti itu, hal demikian tidak akan beristirahat hingga hal itu ada di ujung bumi.”
“Gulden teh mata uang Belanda,” jawab Pepen.
“Syal teh kain yang suka dipakai di leher kan?” tanya Oji.
“Iya, betul” jawabku. “Maksud kalimat itu tokoh saya adalah anggota kelompok Zoologi kerajaan Belanda Natura Artis Magistra, didirikan tanggal 1838; bersama kebun binatangnya di Amsterdan. Sedangkan dia yang dimaksud adalah istrinya.” Aku mencoba memberikan penjelasan.
“Kok sampai empat kali diulang-ulang kalimat Saya adalah Makelar Kopi, dan tinggal di Lauriergracht No. 37, Amsterdam,” tanya Siti Alfiah.
“Pengulangan itu disampaikan pengarang agar pembaca tidak bosan. Namanya repetisi. Nah, jika terus diulang sampai empat kali itu berarti Multatuli mencoba mengingatkan pembaca bahwa tokoh saya berprofesi sebagai makelar kopi yang tinggal di jalan Lauriergracht yang berarti Jalan Saluran Pohon Salam No. 37 di Amsterdam, Belanda,” jelasku semampuku.
Bab 1 ini berisi pengakuan keberpihakan si tokoh saya yang mencintai kebenaran dan semangat dalam menjalankan profesinya sebagai makelar kopi. Di Bab ini juga ditemukan banyak kalimat yang menurut hemat saya sangat menarik selain kalimat-kalimat yang memang sudah diberi tanda oleh pengarangnya. Kalimat-kalimat yang saya maksud di antaranya: “Merenggut rambut dari akarnya”, “Langkah yang sama merusak banyak orang”, “Bekerja untuk sebuah kehidupan”, “Kebenaran dan akal sehat”, “Bergulung dalam uang”, “Tidak ada kepala yang bercela”.
Beberapa pertanyaan yang lain juga muncul dari mereka. Aku memang tak mampu menjawab semua yang ditanyakan. Kukatakan kepada mereka yang tak bisa dijawab sekarang menjadi PR untukku. Tak kusangka kekhawatiranku tak terjadi. Semula aku merasa kawan-kawan kurang antusias. Tapi yang kudapatkan cukup baik. Pembacaan terus berlanjut. Begitu pun tanya jawab. Jadi secara keseluruhan kegiatannya bergerak dari pembacaan olehku dilanjutkan dengan tanya jawab. Salah seorang peserta membaca ulang. Kemudian dilanjutkan ke paragraf berikutnya. Dan diakhiri dengan membaca ulang seluruhnya.
Saat pembacaan berlangsung, beberapa anak seusia kelas 2 dan 3 SD yang biasa mengunjungi Taman Baca Multatuli seolah sungkan masuk. Kuajak mereka masuk namun mereka malah pergi. Mungkin mereka merasa canggung bergabung. Namun setelah acara selesai mereka datang kembali dan membaca.
Semua peserta membaca ulang satu bab yang baru saja dibaca. Usai membaca bersama, kusampaikan sedikit tentang sejarah Multatuli dan buku ini. Juga hubungnnya dengan Lebak.
“Yang ini Multauli itu?” tanya Mano sambil menunjuk ke sampul depan novel.
“Iya, betul.” Jawabku
“Nah, sekarang kita lihat fotonya yang lain,” kataku sambil membuka laptop. Kuperlihatkan beberapa foto Multatuli serta foto-foto yang kudapatkan dari Mr. Google dan bagian arsip Kabupaten Lebak. Peserta tampak antusias. Saat peserta melihat foto di laptop, kuminta Aliyudin membawakan permen yang telah kusiapkan. Peserta pun menikmatinya. Ya, sekadar teman baca saja. Semoga membantu konsentrasinya.
“Imahna nu eta (rumahnya yang ini)?” tanya Coni
“Iya, hanya yang asli mah cuma tembokna doang,” jelasku.
Kegiatan Reading Groups berakhir dengan foto bersama tepat pukul 17.45. Selesai foto bersama kuucapkan terima kasih dan mengingatkan kembali untuk datang Selasa depan. Eh, ada yang lupa. Peserta belum mengisi daftar hadir dan kesan pesan mengikuti kegiatan Reading Groups Max Havelaar ini. Mereka pun mengisi dengan bergantian. Sementara yang lain ada yang membaca kembali. Ada juga yang membaca buku yang lain. Mereka bertahan hingga Maghrib datang. Aku juga lupa memberikan saran agar kesan pesan yang mereka tulis sebaiknya berkenaan dengan kegiatan Reading Groups. Dipertemuan yang akan datang tentu saja masih banyak yang harus diperbaiki. Jika para pembaca ada yang mau ikut memberi saran tentu sangat kuharapkan. Saran apa saja.
Sekian catatanku. Catatan Reading Groups “Max Havelaar” perdana Selasa, 24 Maret 2010. Di Taman Baca Multatuli. Di Ciseel RT 04/05 di rumah Kang Sarif, Pak RT tea. Di Ciseel tentu saja belum ada listrik.
0 komentar:
Post a Comment