Almarhum Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang penulis besar Indonesia yang dikenal karena konsistensinya pada kemanusiaan dan kemandirian. Karenanya, Pram tidak hanya dikagumi karena karya-karya sastra dan sejarah yang handal, melainkan karena keutuhan komitmennya untuk menyatukan jiwanya dengan karya-karya yang ditulisnya.
Bagi penulis, Pramoedya Ananta Toer bukan hanya seorang sastrawan yang handal. Dedikasinya pada ilmu sejarah sesungguhnya membuatnya layak untuk diangkat sebagai sejarawan. Karya-karya yang ditulis Pramoedya Ananta Toer pun bukan hanya sebatas karya-karya sastra, melainkan juga karya-karya sejarah yang menarik.
Terlepas suka atau tidak suka, Pramoedya telah secara aktif mempraktikkan apa dikatakan AF Follard sebagai a scientific analysis of materials atas bahan-bahan dokumenter yang dipelajarinya, dan menyusun an artistic synthesis of result. Di tangan Pramoedya, buku sejarah tidak hadir dalam urutan tanggal, peristiwa, dan nama-nama besar yang harus dihafal. Sejarah dihadirkan sebagai suatu ruang dialog yang menarik dan terbuka bagi siapapun.
Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan tidak lain karena karya tersebut adalah salah satu karya yang mewakili salah satu karakter Pramoedya Ananta Toer sebagai seorang penulis. Novel itu dikemas dari melakukan kunjungan singkat Pramoedya Ananta Toer ke suatu desa di Banten Selatan pada tahun 1957. Meskipun lebih banyak bertutur tentang masa lalu, dan ditulis di masa lalu, namun baik tema maupun makna—yang tertulis maupun tidak tertulis—dalam tulisan Pram tetap relevan pada masa kini dan yang akan datang.
Novel tersebut diterbitkan pertama kali tahun 1958, kemudian dicetak ulang oleh Lentera Dipantara bulan April 2004. Menurut keterangan yang termuat dalam salah satu lembaran novel, Sekali Peristiwa di Banten Selatan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Rusia dan Ceko.
Orang boleh bercuriga dan mengatakan kadar novel tersebut terdongkrak oleh popularitas seorang Pramoedya. Namun tidak bagi saya. Novel ini adalah salah satu anak Jiwa Pram yang tetap memiliki nilai khusus yang dengan nilai itulah kefiguran Pram semakin kuat. Sama halnya dengan novel-novel lainnya, novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan tetap mampu menjadi makanan bathin dari bangsa yang tengah dilanda kekeringan ide.
Gagasan umum yang tertuang dalam novel itu cukup sederhana, yakni tentang memahami perubahan. Lebih khusus, tentang faktor-faktor dalam masyarakat yang sesungguhnya menjadi penentu perubahan. Tidak luput, Pram juga mengemukakan peranan pemimpin dan massa dalam memandu suatu perubahan atau mengubah keadaan sosial dari kemiskinan dan keterbelakangan menuju kesejahteraan dan kemajuan.
Banten Selatan ketika itu adalah daerah yang subur dan kaya sumber alam, namun dihuni kemiskinan dan keterbelakangan. Korupsi dan konspirasi antara Juragan si lurah jahat dan gerombolan parasit-parasit desa yang mengatasnamakan DI/TII, serta ketidak-adilan dan penindasan terhadap kaum-kaum yang melarat adalah keadaan yang secara historis menjadi penghambat kemajuan desa.
Penindasan yang kian hari makin intensif, memupuk keberanian orang-orang desa untuk bangkit dan melawan penindasan. Dengan penindasan-penindasan yang dilakukannya, klas-klas penguasa yang menindas sesungguhnya secara tidak langsung memenuhi syarat-syarat material untuk bangkitnya klas baru yang kelak akan menumbangkan kekuasaannya. Perlawanan-perlawanan tak kenal lelah dari mereka yang tertindas itulah, secara dialektis menjadi aspek yang menentukan tumbangnya kelaliman sekaligus memancarkan fajar harapan tentang perbaikan.
Beberapa tokoh yang terdapat dalam novel itu diambil dari orang-orang yang pernah ditemuinya. Mereka, menurut Pram dalam kata pengantar novel, adalah orang-orang yang mengenal daerah dan turut dalam suka dan duka perkembangan daerah tersebut.
Tokoh utama dalam novel itu adalah Lurah Ranta, seorang yang berasal dari klas buruh tani dan beberapa kali dipaksa menjadi maling suruhan. Keadaan ekonomi dan politiknya itulah yang membuatnya mengenal betul apa yang disebut dengan “kemelaratan”. Penindasan-penindasan yang dialaminya, melahirkan visi tentang perubahan. Perubahan yang tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang-orang yang tinggal di desanya.
Dengan bermodalkan persatuan dan gotong-royong Lurah Ranta dan orang-orang pendukungnya mengubah keterbatasan menjadi kelebihan serta kelemahan menjadi kekuatan. Dengan modal itulah, satu persatu hambatan berhasil ditanggulangi. Melalui setiap keberhasilan-keberhasilan yang diraih, terbitlah harapan-harapan untuk hidup lebih baik.
Novel ini diakhiri dengan happy ending, meski pun dalam kata pengantarnya Pram menyisipkan kabar bahwa tokoh lurah yang dia hadirkan dalam novel itu terpaksa melarikan diri ke daerah Sukabumi karena dikejar-kejar gerombolan DI/TII.
Melalui novel itu, Pram kembali mengangkat suatu gejala lokal yang memiliki makna universal. Banten Selatan adalah replika kecil dari suatu ruang yang kita sebut Indonesia. Tanahnya yang subur berikut sekian banyak kandungan mineral dan energi yang melimpah adalah simbol kekayaan alam Indonesia.
Kemiskinan dan penindasan, serta korupsi, kesewenangan, dan bencana-bencana alam maupun sosial akibat salah-kaprah kebijakan yang tak berkesudahan adalah representasi persoalan dan kegelisahan masyarakat Indonesia. Figur pemimpin seperti Lurah Ranta adalah aspirasi politik Rakyat Indonesia. Gotong-royong, persatuan, dan kemandirian adalah gagasan-gagasan sederhana dan kaya makna yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia.
Pram kembali mengemukakan bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang datang secara kebetulan. Kesadaran tentang perubahan tidak pernah lahir dari ruang hampa. Tidak perlu seorang nabi atau ideolog ternama untuk mencetuskan ide-ide tentang perubahan, sebab dalam kenyataannya kesadaran tentang perubahan ternyata lahir dari benak mereka yang hidup dalam keterbatasan dan kemiskinan. Justru keterbatasan dan kemiskinan itulah yang membuat kalangan itu memahami keadaan.
Secara esensi, perubahan pun tidak selamanya terkemas dalam kalimat yang rumit dan sulit dipahami. Untuk mendorong perubahan besar, ternyata tidak memerlukan seperangkat lengkap paket kebijakan yang diimpor dari negeri-negeri seberang, tidak pula harus ditopang dengan dana yang diambil dari utang. Perubahan besar adalah akumulasi dari lompatan-lompatan kecil yang taat proses, mandiri, disertai kerja keras, dan berkesinambungan.
Narasi utama dalam novel adalah keberpihakan pada mereka yang lemah. Secara lugas, Pram memberikan pedoman sekaligus mengasah keberanian mereka-mereka yang dikalahkan untuk bangkit dan merebut kemenangan. Pada saat yang bersamaan, Pram secara tajam memperingatkan mereka yang berkuasa dengan cara lalim bahwa hari depannya adalah kejatuhan yang tidak lain karena kelalimannya sendiri.
Pram kembali menegaskan ketidaksungkanannya untuk mengais narasi-narasi kecil dari sudut-sudut terpencil, untuk dirajutnya dalam tulisan yang memiliki makna besar dan kekal. Kemampuan Pram dalam menata hubungan bermartabat antara dirinya dengan kenyataan yang ditulisnya dan dengan khalayak yang membaca karyanya menjadi salah satu nilai jual tersendiri dari karya-karya Pram.
Pram memahami dan terus memerkuat pemahamannya tentang kebutuhan rakyat Indonesia akan perubahan. Pemahaman itulah yang menempa dirinya untuk juga memahami tugas sejarahnya sebagai penulis adalah menyelami dan menyimpulkan jalan perubahan yang dikehendaki.
Keterbatasan-keterbatasan tidak mesti membuatnya miskin kreasi, apalagi menjadi frustasi dan memotong jalan dengan melakukan plagiasi. Pram adalah seorang penulis yang mandiri dan patriotis. Pemenjaraan dan penindasan politik dialami berulang-ulang sepanjang hidupnya, tidak pernah berhasil mengurangi kecintaannya pada Indonesia.
Pram membuktikan kesungguhan cintanya pada Indonesia. Cinta tulus yang memang tidak selamanya harus dibungkus dengan kata-kata manis. Cinta secara esensi sebenarnya hanya bisa dibangun kokoh di atas fondasi yang disebut dengan kejujuran. Dengan cara itu, Pram tidak hanya mengangkat dirinya dari penghinaan, melainkan membantu bangsanya untuk bangkit dari keterpurukan.
Syamsul Ardiansyah
Bandung, 5 September 2006
Bagi penulis, Pramoedya Ananta Toer bukan hanya seorang sastrawan yang handal. Dedikasinya pada ilmu sejarah sesungguhnya membuatnya layak untuk diangkat sebagai sejarawan. Karya-karya yang ditulis Pramoedya Ananta Toer pun bukan hanya sebatas karya-karya sastra, melainkan juga karya-karya sejarah yang menarik.
Terlepas suka atau tidak suka, Pramoedya telah secara aktif mempraktikkan apa dikatakan AF Follard sebagai a scientific analysis of materials atas bahan-bahan dokumenter yang dipelajarinya, dan menyusun an artistic synthesis of result. Di tangan Pramoedya, buku sejarah tidak hadir dalam urutan tanggal, peristiwa, dan nama-nama besar yang harus dihafal. Sejarah dihadirkan sebagai suatu ruang dialog yang menarik dan terbuka bagi siapapun.
Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan tidak lain karena karya tersebut adalah salah satu karya yang mewakili salah satu karakter Pramoedya Ananta Toer sebagai seorang penulis. Novel itu dikemas dari melakukan kunjungan singkat Pramoedya Ananta Toer ke suatu desa di Banten Selatan pada tahun 1957. Meskipun lebih banyak bertutur tentang masa lalu, dan ditulis di masa lalu, namun baik tema maupun makna—yang tertulis maupun tidak tertulis—dalam tulisan Pram tetap relevan pada masa kini dan yang akan datang.
Novel tersebut diterbitkan pertama kali tahun 1958, kemudian dicetak ulang oleh Lentera Dipantara bulan April 2004. Menurut keterangan yang termuat dalam salah satu lembaran novel, Sekali Peristiwa di Banten Selatan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Rusia dan Ceko.
Orang boleh bercuriga dan mengatakan kadar novel tersebut terdongkrak oleh popularitas seorang Pramoedya. Namun tidak bagi saya. Novel ini adalah salah satu anak Jiwa Pram yang tetap memiliki nilai khusus yang dengan nilai itulah kefiguran Pram semakin kuat. Sama halnya dengan novel-novel lainnya, novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan tetap mampu menjadi makanan bathin dari bangsa yang tengah dilanda kekeringan ide.
Gagasan umum yang tertuang dalam novel itu cukup sederhana, yakni tentang memahami perubahan. Lebih khusus, tentang faktor-faktor dalam masyarakat yang sesungguhnya menjadi penentu perubahan. Tidak luput, Pram juga mengemukakan peranan pemimpin dan massa dalam memandu suatu perubahan atau mengubah keadaan sosial dari kemiskinan dan keterbelakangan menuju kesejahteraan dan kemajuan.
Banten Selatan ketika itu adalah daerah yang subur dan kaya sumber alam, namun dihuni kemiskinan dan keterbelakangan. Korupsi dan konspirasi antara Juragan si lurah jahat dan gerombolan parasit-parasit desa yang mengatasnamakan DI/TII, serta ketidak-adilan dan penindasan terhadap kaum-kaum yang melarat adalah keadaan yang secara historis menjadi penghambat kemajuan desa.
Penindasan yang kian hari makin intensif, memupuk keberanian orang-orang desa untuk bangkit dan melawan penindasan. Dengan penindasan-penindasan yang dilakukannya, klas-klas penguasa yang menindas sesungguhnya secara tidak langsung memenuhi syarat-syarat material untuk bangkitnya klas baru yang kelak akan menumbangkan kekuasaannya. Perlawanan-perlawanan tak kenal lelah dari mereka yang tertindas itulah, secara dialektis menjadi aspek yang menentukan tumbangnya kelaliman sekaligus memancarkan fajar harapan tentang perbaikan.
Beberapa tokoh yang terdapat dalam novel itu diambil dari orang-orang yang pernah ditemuinya. Mereka, menurut Pram dalam kata pengantar novel, adalah orang-orang yang mengenal daerah dan turut dalam suka dan duka perkembangan daerah tersebut.
Tokoh utama dalam novel itu adalah Lurah Ranta, seorang yang berasal dari klas buruh tani dan beberapa kali dipaksa menjadi maling suruhan. Keadaan ekonomi dan politiknya itulah yang membuatnya mengenal betul apa yang disebut dengan “kemelaratan”. Penindasan-penindasan yang dialaminya, melahirkan visi tentang perubahan. Perubahan yang tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang-orang yang tinggal di desanya.
Dengan bermodalkan persatuan dan gotong-royong Lurah Ranta dan orang-orang pendukungnya mengubah keterbatasan menjadi kelebihan serta kelemahan menjadi kekuatan. Dengan modal itulah, satu persatu hambatan berhasil ditanggulangi. Melalui setiap keberhasilan-keberhasilan yang diraih, terbitlah harapan-harapan untuk hidup lebih baik.
Novel ini diakhiri dengan happy ending, meski pun dalam kata pengantarnya Pram menyisipkan kabar bahwa tokoh lurah yang dia hadirkan dalam novel itu terpaksa melarikan diri ke daerah Sukabumi karena dikejar-kejar gerombolan DI/TII.
Melalui novel itu, Pram kembali mengangkat suatu gejala lokal yang memiliki makna universal. Banten Selatan adalah replika kecil dari suatu ruang yang kita sebut Indonesia. Tanahnya yang subur berikut sekian banyak kandungan mineral dan energi yang melimpah adalah simbol kekayaan alam Indonesia.
Kemiskinan dan penindasan, serta korupsi, kesewenangan, dan bencana-bencana alam maupun sosial akibat salah-kaprah kebijakan yang tak berkesudahan adalah representasi persoalan dan kegelisahan masyarakat Indonesia. Figur pemimpin seperti Lurah Ranta adalah aspirasi politik Rakyat Indonesia. Gotong-royong, persatuan, dan kemandirian adalah gagasan-gagasan sederhana dan kaya makna yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia.
Pram kembali mengemukakan bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang datang secara kebetulan. Kesadaran tentang perubahan tidak pernah lahir dari ruang hampa. Tidak perlu seorang nabi atau ideolog ternama untuk mencetuskan ide-ide tentang perubahan, sebab dalam kenyataannya kesadaran tentang perubahan ternyata lahir dari benak mereka yang hidup dalam keterbatasan dan kemiskinan. Justru keterbatasan dan kemiskinan itulah yang membuat kalangan itu memahami keadaan.
Secara esensi, perubahan pun tidak selamanya terkemas dalam kalimat yang rumit dan sulit dipahami. Untuk mendorong perubahan besar, ternyata tidak memerlukan seperangkat lengkap paket kebijakan yang diimpor dari negeri-negeri seberang, tidak pula harus ditopang dengan dana yang diambil dari utang. Perubahan besar adalah akumulasi dari lompatan-lompatan kecil yang taat proses, mandiri, disertai kerja keras, dan berkesinambungan.
Narasi utama dalam novel adalah keberpihakan pada mereka yang lemah. Secara lugas, Pram memberikan pedoman sekaligus mengasah keberanian mereka-mereka yang dikalahkan untuk bangkit dan merebut kemenangan. Pada saat yang bersamaan, Pram secara tajam memperingatkan mereka yang berkuasa dengan cara lalim bahwa hari depannya adalah kejatuhan yang tidak lain karena kelalimannya sendiri.
Pram kembali menegaskan ketidaksungkanannya untuk mengais narasi-narasi kecil dari sudut-sudut terpencil, untuk dirajutnya dalam tulisan yang memiliki makna besar dan kekal. Kemampuan Pram dalam menata hubungan bermartabat antara dirinya dengan kenyataan yang ditulisnya dan dengan khalayak yang membaca karyanya menjadi salah satu nilai jual tersendiri dari karya-karya Pram.
Pram memahami dan terus memerkuat pemahamannya tentang kebutuhan rakyat Indonesia akan perubahan. Pemahaman itulah yang menempa dirinya untuk juga memahami tugas sejarahnya sebagai penulis adalah menyelami dan menyimpulkan jalan perubahan yang dikehendaki.
Keterbatasan-keterbatasan tidak mesti membuatnya miskin kreasi, apalagi menjadi frustasi dan memotong jalan dengan melakukan plagiasi. Pram adalah seorang penulis yang mandiri dan patriotis. Pemenjaraan dan penindasan politik dialami berulang-ulang sepanjang hidupnya, tidak pernah berhasil mengurangi kecintaannya pada Indonesia.
Pram membuktikan kesungguhan cintanya pada Indonesia. Cinta tulus yang memang tidak selamanya harus dibungkus dengan kata-kata manis. Cinta secara esensi sebenarnya hanya bisa dibangun kokoh di atas fondasi yang disebut dengan kejujuran. Dengan cara itu, Pram tidak hanya mengangkat dirinya dari penghinaan, melainkan membantu bangsanya untuk bangkit dari keterpurukan.
Syamsul Ardiansyah
Bandung, 5 September 2006
0 komentar:
Post a Comment