Oleh Agam Wispi
(Harian
Rakjat, Sabtu, 5 Maret 1960)
“De Javaan wordt onder drukt,” kata Multatuli, --“Orang
Indonesia ditindas”. Pengenalan pernyataan dan pemberontakan sekaligus dalam
kalimatnya yang paling singkat ini tapi begitu tegas dan terangnya tentang
Indonesia, tak dapat ditolak oleh siapa pun juga pada zamannya. Dan sampai di
manakah keberanian manusia Indonesia sekarang, di tahun 1960 ini untuk mengaku
kepada dirinya sendiri bahwa orang Indonesia itu ditindas, selain dari
pengucapan remang-remang “Revolusi belum selesai” yang juga menghiasi bibir
“Droogstoppel” tahun 1960? Namun bagi mereka yang kini berjuang dengan semboyan
“untuk kemerdekaan yang penuh bagi Indonesia” (negeri sosialis tidak mungkin ada
tanpa kemerdekaan yang penuh!) maka perkataan keramat Multatuli “Orang
Indonesia ditindas” itu mendapatkan gaung.
Demikianlah, dalam malam peringatan ke-140 hari lahirnya
Multatuli di Sekretariat
Pusat LEKRA baru-baru ini, penyair Rivai Apin menyatakan harapannya agar
memperingati Multatuli hendaknya berarti membuka kemungkinan untuk
mempersatukan pikiran-pikiran bersama. Dan bisakah kita mempersatukan pikiran
kita bersama untuk dengan berani menangkap gagasan yang dilontarkan Multatuli
itu “Orang Indonesia ditindas” ke dalam realitas-realitas masyarakat kita
sekarang? Menjawab pertanyaan ini tentu akan meminta perjuangan-perjuangan
sengit para sastrawan dan seniman-seniman kita sekalipun terhadap dirinya
sendiri, setidak-tidaknya dia berhadapan dengan kenyataan “nasib” kesusastraan
sekarang: 20% pajak tidak peduli di barisan manapun dia berada.
Benar seperti yang dikatakan oleh Ketua LKN Sitor
Situmorang malam itu bahwa Multatuli demikian terang dan jelasnya terbaca
sehingga …. dia bisa lolos dari sensor zamannya dan tetap merangsang angkatan
muda yang kemudian. Multatuli telah menjadi darah di dalam darah perjuangan
kita, kata Rivai Apin, peringatan baginya sebagai orang besar amatlah penting.
Memang, betapapun juga setelah melalui tahun-tahun yang kosong dari kenangan
kepada Multatuli, malam itu kita telah berkumpul kembali dan saling berbicara:
bahwa Multatuli bagi Sitor adalah seorang individu humanis yang perkataan
individualnya telah hapus oleh sukadukanya terhadap rakyat Indonesia, seorang
pengarang yang tidak memberi tempat bagi rasialisme dalam penulisannya dan
betapa penting penerjemahan karya-karya Multatuli itu segera dilakukan untuk
mendapatkan kontaknya yang integral dengan rakyat Indonesia. Bahwa Multatuli
bagi Pramoedya seorang pengarang yang lebih tepat disebut seorang warga negara
Indonesia oleh karena satunya dia dengan Indonesia dan yang dalam dunia sastra
bisa dikatakan bahwa Indonesialah tanah airnya yang sebenarnya.
Bahwa Multatuli sebagai buah dari kasih dan
cintanya terhadap rakyat Indonesia telah menghasilkan satu-satunya kisah
tentang percintaan rakyat desa yang hingga kini tiada duanya. Saidjah dan
Adinda. Sangat menarik uraian Pramoedya yang menyorot khusus pada Saidjah dan Adinda itu tentang kecintaan
rakyat kepada alat kerjanya yang dirampas penguasa: “Kerbau Bapak Saidjah
dirampas dan waktu meluku sudah dekat, dia beli kerbau baru dari kepingan perak
sarung keris pusakanya, kerbau itu dirampas lagi, beli lagi, dirampas lagi ….”
Saya teringat di tahun-tahun ketika tanah petani di
Tanjung Morawa dan Binjai dicucuri darah (bukan keringat!) petaninya sendiri
dan “Saidjah dan Adinda” dipanggungkan Bakri Siregar pertama kali.
Begitu takutnya mereka yang berdosa kepada rakyat
sebab telah menjual tanah petani kepada modal asing perkebunan, sehingga
seorang penulis resensi drama harus ke pengadilan. Multatuli telah membuat “Droogstoppel-Droogstoppel” Sumatera Timur gemetar ….! Saidjah dan Adinda telah
turut menyingkapkan kenyataan kebenaran.
Kita sambut hangat pernyataan Sitor tentang perlunya
penerjemahan Multatuli sebab kepada rakyat dia akan lebih banyak menyingkapkan
kebenaran dan kenyataan: bahwa penjajah tak berharga sepeser pun bagi
nilai-nilai kemanusiaan, bahwa penjajah harus dilawan, tidak boleh tidak. Dan
dia akan mundur ke liang kubur.***
Agam Wispi
Sumber tulisan:
Dari fb Bung Dodit Tokohitam
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10208868720548869&set=pb.1640187151.-2207520000.1472233100.&type=3&theater
0 komentar:
Post a Comment