728x90 AdSpace

  • Latest News

    27 August 2016

    Dengan Multatuli Harus Melawan Buta Tuli



    Oleh Agam Wispi
    (Harian Rakjat, Sabtu, 5 Maret 1960)

    “De Javaan wordt onder drukt,” kata Multatuli, --“Orang Indonesia ditindas”. Pengenalan pernyataan dan pemberontakan sekaligus dalam kalimatnya yang paling singkat ini tapi begitu tegas dan terangnya tentang Indonesia, tak dapat ditolak oleh siapa pun juga pada zamannya. Dan sampai di manakah keberanian manusia Indonesia sekarang, di tahun 1960 ini untuk mengaku kepada dirinya sendiri bahwa orang Indonesia itu ditindas, selain dari pengucapan remang-remang “Revolusi belum selesai” yang juga menghiasi bibir “Droogstoppel” tahun 1960? Namun bagi mereka yang kini berjuang dengan semboyan “untuk kemerdekaan yang penuh bagi Indonesia” (negeri sosialis tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan yang penuh!) maka perkataan keramat Multatuli “Orang Indonesia ditindas” itu mendapatkan gaung.

    Demikianlah, dalam malam peringatan ke-140 hari lahirnya Multatuli di Sekretariat Pusat LEKRA baru-baru ini, penyair Rivai Apin menyatakan harapannya agar memperingati Multatuli hendaknya berarti membuka kemungkinan untuk mempersatukan pikiran-pikiran bersama. Dan bisakah kita mempersatukan pikiran kita bersama untuk dengan berani menangkap gagasan yang dilontarkan Multatuli itu “Orang Indonesia ditindas” ke dalam realitas-realitas masyarakat kita sekarang? Menjawab pertanyaan ini tentu akan meminta perjuangan-perjuangan sengit para sastrawan dan seniman-seniman kita sekalipun terhadap dirinya sendiri, setidak-tidaknya dia berhadapan dengan kenyataan “nasib” kesusastraan sekarang: 20% pajak tidak peduli di barisan manapun dia berada.

    Benar seperti yang dikatakan oleh Ketua LKN Sitor Situmorang malam itu bahwa Multatuli demikian terang dan jelasnya terbaca sehingga …. dia bisa lolos dari sensor zamannya dan tetap merangsang angkatan muda yang kemudian. Multatuli telah menjadi darah di dalam darah perjuangan kita, kata Rivai Apin, peringatan baginya sebagai orang besar amatlah penting. Memang, betapapun juga setelah melalui tahun-tahun yang kosong dari kenangan kepada Multatuli, malam itu kita telah berkumpul kembali dan saling berbicara: bahwa Multatuli bagi Sitor adalah seorang individu humanis yang perkataan individualnya telah hapus oleh sukadukanya terhadap rakyat Indonesia, seorang pengarang yang tidak memberi tempat bagi rasialisme dalam penulisannya dan betapa penting penerjemahan karya-karya Multatuli itu segera dilakukan untuk mendapatkan kontaknya yang integral dengan rakyat Indonesia. Bahwa Multatuli bagi Pramoedya seorang pengarang yang lebih tepat disebut seorang warga negara Indonesia oleh karena satunya dia dengan Indonesia dan yang dalam dunia sastra bisa dikatakan bahwa Indonesialah tanah airnya yang sebenarnya.

    Bahwa Multatuli sebagai buah dari kasih dan cintanya terhadap rakyat Indonesia telah menghasilkan satu-satunya kisah tentang percintaan rakyat desa yang hingga kini tiada duanya. Saidjah dan Adinda. Sangat menarik uraian Pramoedya yang menyorot khusus pada Saidjah dan Adinda itu tentang kecintaan rakyat kepada alat kerjanya yang dirampas penguasa: “Kerbau Bapak Saidjah dirampas dan waktu meluku sudah dekat, dia beli kerbau baru dari kepingan perak sarung keris pusakanya, kerbau itu dirampas lagi, beli lagi, dirampas lagi ….”

    Saya teringat di tahun-tahun ketika tanah petani di Tanjung Morawa dan Binjai dicucuri darah (bukan keringat!) petaninya sendiri dan “Saidjah dan Adinda” dipanggungkan Bakri Siregar pertama kali.

    Begitu takutnya mereka yang berdosa kepada rakyat sebab telah menjual tanah petani kepada modal asing perkebunan, sehingga seorang penulis resensi drama harus ke pengadilan. Multatuli telah membuat “Droogstoppel-Droogstoppel” Sumatera Timur gemetar ….! Saidjah dan Adinda telah turut menyingkapkan kenyataan kebenaran.

    Kita sambut hangat pernyataan Sitor tentang perlunya penerjemahan Multatuli sebab kepada rakyat dia akan lebih banyak menyingkapkan kebenaran dan kenyataan: bahwa penjajah tak berharga sepeser pun bagi nilai-nilai kemanusiaan, bahwa penjajah harus dilawan, tidak boleh tidak. Dan dia akan mundur ke liang kubur.***

    Agam Wispi  

    Sumber tulisan:
    Dari fb Bung Dodit Tokohitam
    https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10208868720548869&set=pb.1640187151.-2207520000.1472233100.&type=3&theater
     

     
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Dengan Multatuli Harus Melawan Buta Tuli Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top