oleh: Ubaidilah Muchtar
Ini tentang
Rumah si Burung Kenari “Multatuli” di Rangkasbitung.
Pembaca yang baik,
Di sekitar tengah tahun 2014 pernah saya utarakan dugaan
ini kepada Mas Bambang Eryudhawan dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Hadir
pula di sana Bung Bonnie Triyana dan Mbak Annissa Gultom. Bung Bonnie adalah
pemimpin redaksi Majalah Historia dan
Mbak Nissa kurator Museum Kain di Bali. Kami bertemu di kantor Historia di Tanah Abang. Hal yang saya
sampaikan di sela-sela obrolan tentang Museum Multatuli itu adalah soal bekas
rumah asisten residen Lebak, Havelaar. Ya, rumah Havelaar! Saya menduga bahwa
rumah yang pernah ditempati oleh Havelaar mirip bahkan mungkin saja adalah
bangunan yang kini menjadi gedung negara di kompleks Pemda Kabupaten Lebak.
Bangunan yang sekarang ini terletak tepat di belakang pendopo Kabupaten Lebak.
“Kalau itu benar bisa jadi disertasi,
Bung!” celetuk Bung Bonnie.
Bangunan yang saya maksud sangat cocok
dengan penjelasan dalam Max Havelaar.
Siang ini saya membuka kembali novel Max
Havelaar. Dari tiga terjemahan bahasa Indonesia hanya terjemahan H.B.
Jassin, Penerbit Djambatan (1972-2005), yang tidak menyertakan tabel bagian-bagian
rumah Havelaar. Dua
terjemahan lainnya masing-masing
terbitan Narasi (2015, hlm.
228) dan Qanita (2016, hlm. 269)
menyertakannya tabel tersebut. Max
Havelaar edisi bahasa Belanda (1947), Jerman (1997), dan Italia (2007)
ternyata memang tidak menyertakan tabel tersebut. Tabel bagian rumah Havelaar
dapat ditemukan di Max Havelaar edisi
Penguin Classics (1987, hlm. 1990) (Lihat Foto 1). Saya
menggunakan Max Havelaar terbitan Narasi (2016).
Penjelasan tentang rumah asisten
residen Lebak, Havelaar disampaikan oleh Stern dan dapat pembaca simak di Max Havelaar bab 13 sebagai berikut.
Anda keliru
jika menganggap sebuah rumah di Jawa dengan sudut pandang Eropa, dan
membayangakan kumpulan batu dengan kamar luas dan kecil saling bertumpuk,
dengan jalan di depannya, para tetangga di sebelah kanan dan kiri para lares
et penates (dewa rumah-tangga) bersandar di rumah Anda, dan taman kecil di
belakang rumah berisi tiga semak buah currant. Di hampir setiap kasus,
rumah-rumah di Hindia Timur hanya satu lantai. Ini tampak aneh bagi pembaca
Eropa, karena ini karakteristik peradaban—atau yang disetujui seperti itu—untuk
menganggap segala keanehan adalah alami. Rumah-rumah di Hindia Timur sunggu
berbeda dengan rumah kita, tapi bukan rumah mereka yang aneh, melainkan
rumah kita. Orang pertama yang mengizinkan dirinya merasakan kemewahan
untuk tidak tidur sekamar dengan sapi-sapinya tidak meletakkan ruangan kedua di
atas rumahnya, melainkan di sisi rumah pertama; karena bangunan
dengan satu lantai lebih nyaman bagi penghuninya. Rumah kita yang tinggi
terlahir karena sempitnya lahan: kita mencari ke angkasa apa yang tidak dapat
ditemukan di tanah, akibatnya semua pembantu wanita yang, pada malam hari,
menutup jendela loteng tempat dia tidur adalah sebuah proses nyata atas
kelebihan penduduk... meskipun dia sendiri memikirkan sesuatu yang sangat
berbeda, seperti yang ingin saya percaya. (Max
Havelaar, hlm. 227)
Stern pada bagian
ini memasukkan visinya dengan membandingkan rumah pejabat Belanda di Belanda
dan pejabat Belanda (juga bupati) di Hindia. Rumah yang ditempati Havelaar di
Lebak dibandingkan dengan rumah-rumah kebanyakan di Belanda yang bertingkat. Rumah Havelaar
dijelaskan Stern seperti berikut:
Di pedesaan,
oleh karena itu, di mana peradaban dan kelebihan penduduk masih belum memeras
kemanusiaan ke atas dengan tekanan dari bawah, rumah-rumah di sana tanpa lantai
atas; dan Havelaar bukalah pengecualian dari aturan ini. Untuk memasukinya...
tetapi tidak, akan saya buktikan bahwa saya meninggalkan pernyataan yang indah.
Memberi: sebuah persegi panjang yang harus Anda bagi menjadi dua puluh satu kompartemen,
tiga kotak melintang, tujuh kotak menurun. Kita akan memberi angka masing-masing
kompartemen ini, dimulai dari pojok kiri atas melangkah dari kirike kanan,
sehingga angka 4 akan berada di bawah angka 1, angka 5 di bawah 2, begitu
seterusnya. (Max Havelaar, hlm. 227-228)
Pembaca yang baik,
Ayo, coba bayangkan ke-21 kotak tersebut! Atau jika memungkinkan silakan
buat kotak-kotak tersebut. Lalu ikuti petunjuk berikut ini! Sebenarnya lebih
tepat disebut penjelasan. Ini dia penjelasan Stern tentang rumah Havelaar.
Angka 1, 2,
dan 3 masing-masing membentuk beranda depan, yang terbuka di tiga sisi dan atapnya
diletakkan di depan kolom itu. Dari sana Anda melewati pintu ganda memasuki
galeri dalam, yang diwakili oleh kompartemen 4, 5, dan 6. Kompartemen 7, 9, 10,
12, 13, 15, 16 dan 18 adalah kamar-kamar, kebanyakan memiliki pintu terbuka di
tengahnya. Tiga angka tertinggi 19, 20, dan 21, membentuk beranda belakang yang
terbuka, dan angka yang tidak saya sertakan—8, 11, 14 dan 17—membentuk semacam
koridor. Saya bangga dengan penjelasan ini! (Max Havelaar, hlm. 228)
Penjelasan
bagian-bagian rumah yang saya sampaikan waktu itu kepada Mas Bambang adalah
seperti yang disampaikan Stern tersebut. Rumah Havelaar memiliki 21 bagian.
Bangunan dengan penjelasan seperti yang dikemukakan ini cocok dengan bangunan
negara atau gedung negara di Pemda Kab. Lebak saat ini. Jika pembaca pernah ke
Lebak, bangunan yang saya maksud adalah bangunan yang di bagian samping kirinya
terdapat daftar nama-nama bupati yang pernah memimpin Lebak. Pada bagian
belakang bangunan sering digunakan sebagai ruang makan. Nah, bangunan itu yang
saya maksud cocok dengan penjelasan Stern dalam Max Havelaar (Foto 2).
Tamu yang datang ke
Lebak biasanya diterima oleh bupati di bangunan ini. Bangunan ini juga
digunakan sebagai tempat istirahat bupati. Di bagian depannya terdapat 4 pilar
bulat berwarna putih. Ada dua pintu besar di tengah-tengah. Di samping kiri ada
daftar nama-nama bupati tertulis di batu berwana hitam yang dipasang di dinding
(Foto 3). Di bagian kiri dan kanan terdapat kamar dengan jendela besar.
Rumah Havelaar ini
juga berdiri di pekarangan yang sangat luas yang sulit dibandingkan dengan
pekarangan di Belanda.
Pekarangan
Havelaar sangat luas—faktanya, mungkin terdengar aneh, di satu sisi bisa
dianggap tanpa batas, karena dibatasi oleh jurang yang membentang hingga ke
tepian Ciujung, sungai yang salah satu anak sungainya memagari Rangkas Bitung
dari sekian banyak anak sungai yang ada. Sulit dikatakan di mana tanah Havelaar
berakhir dan di mana tanah milik umum dimulai, karena batasan antara mereka
selalu berubah berdasarkan tinggi rendahnya tingkat air Ciujung, yang sekarang
menarik tepiannya sehingga hampir tidak terlihat kemudian mengisi jurang itu
lagi sampai di titik yang sangat dekat dengan rumah Asisten Residen. [Max Havelaar, hlm. 229]
Pembaca yang baik,
Pekarangan Havelaar
tertutup rerumputan sehingga membuat pekarangan menjadi sukar untuk
dibersihkan. Selain itu, beragam jenis serangga akan beterbangan bergerombol
mengitari lampu di malam hari sehingga membuat sukar untuk membaca dan menulis.
Banyak pula ular dan binatang pengganggu lainnya bersembunyi di balik belukar.
Stern lalu menjelaskan lapangan rumah Havelaar. Menurutnya:
“Lapangan” ini
terhampar di depan Anda, ketika Anda berdiri menghadap beranda depan
memunggungi rumah. Di sebalah kiri Anda adalah bangunan, serta “ruang
pertemuan” yang berangin tempat Havelaar berpidato di depan para pemimpin; di
bagian belakangnya terbentang jurang, dari sana sejauh mata memandang adalah
sungai Ciujung. Tepat di belakang kantor berdiri rumah Asisten Residen lama,
yang sementara ini ditempati Ny. Slotering; karena akses masuk dari jalan utama
ke pekarangan hanya bisa melalui dua jalan yang membatasi dua sisi petak
rumput, jika ditelusuri akan membawa kita memasuki pekarangan menuju dapur atau
kandang kuda, yang berada di belakang bangunan utama, yang juga melewati kantor
atau rumah Ny. Slotering. Di samping dan di belakang bangunan utama terhampar
kebun yang cukup lebar, yang juga telah menarik perhatian Tina karena banyaknya
bunga di sana, dan khususnya karena Max kecil bisa sering bermain di sana. (Max Havelaar, hlm. 230)
Dari penjelasan
Stern tersebut, jika dilihat kondisi saat ini dengan asumsi bahwa gedung negara
adalah rumah Havelaar, maka penjelasannya sebagai berikut. Tanah lapangan itu
sekarang menjadi alun-alun Rangkasbitung. Di bagian kiri yang merupakan gedung
dengan kantor-kantor, kas dan ruang rapat saat ini menjadi Gedung DPRD Kab.
Lebak dan kantor Perpustakaan Daerah Lebak. Di bagian belakangnya merupakan
jurang sampai sungai Ciujung. Bagian belakang lebih tepat jika dikatakan
sebagai anak sungai Ciujung yaitu Sungai Ciberang. Di seberang kantor-kantor
ada rumah asisten residen lama yang diisi oleh Ny. Slotering. Bagian ini
merupakan bangunan yang saya duga kini diisi oleh Radio Pemda Lebak dekat
Perpustakaan Daerah. Nah, yang jadi pertanyaan mengapa gedung tempat minum
tidak disebutkan oleh Stern? Gedung yang saya maksud adalah gedung kecil di
samping kanan gedung utama (Foto 4). Lalu bangunan di belakang RSUD Dr.
Ajidarmo itu rumah siapa? ****
Depok, 12 Agustus 2016
Ubaidilah
Muchtar, Guru SMPN Satap 3 Sobang dan pemandu reading
group novel Max Havelaar di Taman Baca Multatuli.
Catatan: Tulisan ini tidak bermaksud membuktikan bahwa
rumah di belakang Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD Dr. Ajidarmo Lebak) itu bukan
rumah yang pernah digunakan Asisten Residen Lebak, Multatuli (Foto 5). Tulisan
ini hanya menjelaskan bahwa rumah yang pernah ditinggali oleh Multatuli secara
bentuk, ukuran, dan jumlah kamarnya cocok dengan bangunan yang kini jadi gedung
negara di kompleks Pemda Lebak yang terletak di belakang pendopo Lebak. Hal ini
sesuai dengan apa yang diterangkan Multatuli dalam Max Havelaar Bab 13.
(Foto 1: Tabel bagian-bagian rumah asisten residen Lebak,
Havelaar dalam Max Havelaar, Penguin
Classics, 1987, hlm. 190)
(Foto 2: Gedung
Negara Kabupaten Lebak)
(Foto 3: Daftar nama bupati dan masa bakti Kabupaten Lebak)
(Foto 4: Gedung tempat bupati minum kopi/teh.)
0 komentar:
Post a Comment