728x90 AdSpace

  • Latest News

    15 August 2016

    Rumah Si Burung Kenari

    oleh: Ubaidilah Muchtar


    Ini tentang Rumah si Burung Kenari “Multatuli” di Rangkasbitung.

    Pembaca yang baik,
    Di sekitar tengah tahun 2014 pernah saya utarakan dugaan ini kepada Mas Bambang Eryudhawan dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Hadir pula di sana Bung Bonnie Triyana dan Mbak Annissa Gultom. Bung Bonnie adalah pemimpin redaksi Majalah Historia dan Mbak Nissa kurator Museum Kain di Bali. Kami bertemu di kantor Historia di Tanah Abang. Hal yang saya sampaikan di sela-sela obrolan tentang Museum Multatuli itu adalah soal bekas rumah asisten residen Lebak, Havelaar. Ya, rumah Havelaar! Saya menduga bahwa rumah yang pernah ditempati oleh Havelaar mirip bahkan mungkin saja adalah bangunan yang kini menjadi gedung negara di kompleks Pemda Kabupaten Lebak. Bangunan yang sekarang ini terletak tepat di belakang pendopo Kabupaten Lebak.
    “Kalau itu benar bisa jadi disertasi, Bung!” celetuk Bung Bonnie.
    Bangunan yang saya maksud sangat cocok dengan penjelasan dalam Max Havelaar. Siang ini saya membuka kembali novel Max Havelaar. Dari tiga terjemahan bahasa Indonesia hanya terjemahan H.B. Jassin, Penerbit Djambatan (1972-2005), yang tidak menyertakan tabel bagian-bagian rumah Havelaar. Dua terjemahan lainnya masing-masing terbitan Narasi (2015, hlm. 228) dan Qanita (2016, hlm. 269) menyertakannya tabel tersebut. Max Havelaar edisi bahasa Belanda (1947), Jerman (1997), dan Italia (2007) ternyata memang tidak menyertakan tabel tersebut. Tabel bagian rumah Havelaar dapat ditemukan di Max Havelaar edisi Penguin Classics (1987, hlm. 1990) (Lihat Foto 1). Saya menggunakan Max Havelaar terbitan Narasi (2016).
    Penjelasan tentang rumah asisten residen Lebak, Havelaar disampaikan oleh Stern dan dapat pembaca simak di Max Havelaar bab 13 sebagai berikut.

    Anda keliru jika menganggap sebuah rumah di Jawa dengan sudut pandang Eropa, dan membayangakan kumpulan batu dengan kamar luas dan kecil saling bertumpuk, dengan jalan di depannya, para tetangga di sebelah kanan dan kiri para lares et penates (dewa rumah-tangga) bersandar di rumah Anda, dan taman kecil di belakang rumah berisi tiga semak buah currant. Di hampir setiap kasus, rumah-rumah di Hindia Timur hanya satu lantai. Ini tampak aneh bagi pembaca Eropa, karena ini karakteristik peradaban—atau yang disetujui seperti itu—untuk menganggap segala keanehan adalah alami. Rumah-rumah di Hindia Timur sunggu berbeda dengan rumah kita, tapi bukan rumah mereka yang aneh, melainkan rumah kita. Orang pertama yang mengizinkan dirinya merasakan kemewahan untuk tidak tidur sekamar dengan sapi-sapinya tidak meletakkan ruangan kedua di atas rumahnya, melainkan di sisi rumah pertama; karena bangunan dengan satu lantai lebih nyaman bagi penghuninya. Rumah kita yang tinggi terlahir karena sempitnya lahan: kita mencari ke angkasa apa yang tidak dapat ditemukan di tanah, akibatnya semua pembantu wanita yang, pada malam hari, menutup jendela loteng tempat dia tidur adalah sebuah proses nyata atas kelebihan penduduk... meskipun dia sendiri memikirkan sesuatu yang sangat berbeda, seperti yang ingin saya percaya. (Max Havelaar, hlm. 227)

    Stern pada bagian ini memasukkan visinya dengan membandingkan rumah pejabat Belanda di Belanda dan pejabat Belanda (juga bupati) di Hindia. Rumah yang ditempati Havelaar di Lebak dibandingkan dengan rumah-rumah kebanyakan di Belanda yang bertingkat. Rumah Havelaar dijelaskan Stern seperti berikut:

    Di pedesaan, oleh karena itu, di mana peradaban dan kelebihan penduduk masih belum memeras kemanusiaan ke atas dengan tekanan dari bawah, rumah-rumah di sana tanpa lantai atas; dan Havelaar bukalah pengecualian dari aturan ini. Untuk memasukinya... tetapi tidak, akan saya buktikan bahwa saya meninggalkan pernyataan yang indah. Memberi: sebuah persegi panjang yang harus Anda bagi menjadi dua puluh satu kompartemen, tiga kotak melintang, tujuh kotak menurun. Kita akan memberi angka masing-masing kompartemen ini, dimulai dari pojok kiri atas melangkah dari kirike kanan, sehingga angka 4 akan berada di bawah angka 1, angka 5 di bawah 2, begitu seterusnya. (Max Havelaar, hlm. 227-228)

    Pembaca yang baik,
    Ayo, coba bayangkan ke-21 kotak tersebut! Atau jika memungkinkan silakan buat kotak-kotak tersebut. Lalu ikuti petunjuk berikut ini! Sebenarnya lebih tepat disebut penjelasan. Ini dia penjelasan Stern tentang rumah Havelaar.

    Angka 1, 2, dan 3 masing-masing membentuk beranda depan, yang terbuka di tiga sisi dan atapnya diletakkan di depan kolom itu. Dari sana Anda melewati pintu ganda memasuki galeri dalam, yang diwakili oleh kompartemen 4, 5, dan 6. Kompartemen 7, 9, 10, 12, 13, 15, 16 dan 18 adalah kamar-kamar, kebanyakan memiliki pintu terbuka di tengahnya. Tiga angka tertinggi 19, 20, dan 21, membentuk beranda belakang yang terbuka, dan angka yang tidak saya sertakan—8, 11, 14 dan 17—membentuk semacam koridor. Saya bangga dengan penjelasan ini! (Max Havelaar, hlm. 228)

    Penjelasan bagian-bagian rumah yang saya sampaikan waktu itu kepada Mas Bambang adalah seperti yang disampaikan Stern tersebut. Rumah Havelaar memiliki 21 bagian. Bangunan dengan penjelasan seperti yang dikemukakan ini cocok dengan bangunan negara atau gedung negara di Pemda Kab. Lebak saat ini. Jika pembaca pernah ke Lebak, bangunan yang saya maksud adalah bangunan yang di bagian samping kirinya terdapat daftar nama-nama bupati yang pernah memimpin Lebak. Pada bagian belakang bangunan sering digunakan sebagai ruang makan. Nah, bangunan itu yang saya maksud cocok dengan penjelasan Stern dalam Max Havelaar (Foto 2).
    Tamu yang datang ke Lebak biasanya diterima oleh bupati di bangunan ini. Bangunan ini juga digunakan sebagai tempat istirahat bupati. Di bagian depannya terdapat 4 pilar bulat berwarna putih. Ada dua pintu besar di tengah-tengah. Di samping kiri ada daftar nama-nama bupati tertulis di batu berwana hitam yang dipasang di dinding (Foto 3). Di bagian kiri dan kanan terdapat kamar dengan jendela besar.  
    Rumah Havelaar ini juga berdiri di pekarangan yang sangat luas yang sulit dibandingkan dengan pekarangan di Belanda.

    Pekarangan Havelaar sangat luas—faktanya, mungkin terdengar aneh, di satu sisi bisa dianggap tanpa batas, karena dibatasi oleh jurang yang membentang hingga ke tepian Ciujung, sungai yang salah satu anak sungainya memagari Rangkas Bitung dari sekian banyak anak sungai yang ada. Sulit dikatakan di mana tanah Havelaar berakhir dan di mana tanah milik umum dimulai, karena batasan antara mereka selalu berubah berdasarkan tinggi rendahnya tingkat air Ciujung, yang sekarang menarik tepiannya sehingga hampir tidak terlihat kemudian mengisi jurang itu lagi sampai di titik yang sangat dekat dengan rumah Asisten Residen. [Max Havelaar, hlm. 229]

    Pembaca yang baik,
    Pekarangan Havelaar tertutup rerumputan sehingga membuat pekarangan menjadi sukar untuk dibersihkan. Selain itu, beragam jenis serangga akan beterbangan bergerombol mengitari lampu di malam hari sehingga membuat sukar untuk membaca dan menulis. Banyak pula ular dan binatang pengganggu lainnya bersembunyi di balik belukar. Stern lalu menjelaskan lapangan rumah Havelaar. Menurutnya:

    “Lapangan” ini terhampar di depan Anda, ketika Anda berdiri menghadap beranda depan memunggungi rumah. Di sebalah kiri Anda adalah bangunan, serta “ruang pertemuan” yang berangin tempat Havelaar berpidato di depan para pemimpin; di bagian belakangnya terbentang jurang, dari sana sejauh mata memandang adalah sungai Ciujung. Tepat di belakang kantor berdiri rumah Asisten Residen lama, yang sementara ini ditempati Ny. Slotering; karena akses masuk dari jalan utama ke pekarangan hanya bisa melalui dua jalan yang membatasi dua sisi petak rumput, jika ditelusuri akan membawa kita memasuki pekarangan menuju dapur atau kandang kuda, yang berada di belakang bangunan utama, yang juga melewati kantor atau rumah Ny. Slotering. Di samping dan di belakang bangunan utama terhampar kebun yang cukup lebar, yang juga telah menarik perhatian Tina karena banyaknya bunga di sana, dan khususnya karena Max kecil bisa sering bermain di sana. (Max Havelaar, hlm. 230)

    Dari penjelasan Stern tersebut, jika dilihat kondisi saat ini dengan asumsi bahwa gedung negara adalah rumah Havelaar, maka penjelasannya sebagai berikut. Tanah lapangan itu sekarang menjadi alun-alun Rangkasbitung. Di bagian kiri yang merupakan gedung dengan kantor-kantor, kas dan ruang rapat saat ini menjadi Gedung DPRD Kab. Lebak dan kantor Perpustakaan Daerah Lebak. Di bagian belakangnya merupakan jurang sampai sungai Ciujung. Bagian belakang lebih tepat jika dikatakan sebagai anak sungai Ciujung yaitu Sungai Ciberang. Di seberang kantor-kantor ada rumah asisten residen lama yang diisi oleh Ny. Slotering. Bagian ini merupakan bangunan yang saya duga kini diisi oleh Radio Pemda Lebak dekat Perpustakaan Daerah. Nah, yang jadi pertanyaan mengapa gedung tempat minum tidak disebutkan oleh Stern? Gedung yang saya maksud adalah gedung kecil di samping kanan gedung utama (Foto 4). Lalu bangunan di belakang RSUD Dr. Ajidarmo itu rumah siapa? ****

    Depok, 12 Agustus 2016
    Ubaidilah Muchtar, Guru SMPN Satap 3 Sobang dan pemandu reading group novel Max Havelaar di Taman Baca Multatuli.


    Catatan: Tulisan ini tidak bermaksud membuktikan bahwa rumah di belakang Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD Dr. Ajidarmo Lebak) itu bukan rumah yang pernah digunakan Asisten Residen Lebak, Multatuli (Foto 5). Tulisan ini hanya menjelaskan bahwa rumah yang pernah ditinggali oleh Multatuli secara bentuk, ukuran, dan jumlah kamarnya cocok dengan bangunan yang kini jadi gedung negara di kompleks Pemda Lebak yang terletak di belakang pendopo Lebak. Hal ini sesuai dengan apa yang diterangkan Multatuli dalam Max Havelaar Bab 13.


    (Foto 1: Tabel bagian-bagian rumah asisten residen Lebak, Havelaar dalam Max Havelaar, Penguin Classics, 1987, hlm. 190)
     (Foto 2: Gedung Negara Kabupaten Lebak)


    (Foto 3: Daftar nama bupati dan masa bakti  Kabupaten Lebak)


    (Foto 4: Gedung tempat bupati minum kopi/teh.)


    (Foto 5: Rumah di belakang RSUD Dr. Ajidarmo Lebak yang saat ini diberi plang sebagai Rumah Multatuli.)
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Rumah Si Burung Kenari Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top