Oleh: Anindita S. Thayf
Dimuat di Koran Tempo, 16/04/2016
Dalam wawancaranya dengan August Hans den Boef dan Kees Snoek, Pramoedya Ananta Toer berkata: "Siapa yang tidak kenal Multatuli akan dianggap tertinggal." Multatuli yang dimaksud Pram tidak lain adalah Eduard Douwes Dekker, sang Asisten Residen di Lebak. Selain itu, dia juga dikenal lewat novelnya, Max Havelaar. Novel tersebut berhasil menguliti sampai dalam kekejian kolonialisme Belanda di tanah jajahan.
Di Indonesia, Max Havelaar menjadi inspirasi bagi intelektual Indonesia, umpamanya, Kartini dan Tirto Adhi Soerjo, untuk memompa jiwa nasionalisme. Posisi penting inilah yang mendorong Pram mengusulkan pada Presiden Soekarno agar membuat patung Multatuli. Namun usul tersebut tidak dikabulkan.
Selang seratus tahun lebih, tanpa pernah diduga, Multatuli “bangkit” kembali di Lebak. Karya besarnya, novel Max Havelaar, dibaca oleh anak-anak Kampung Ciseel, Lebak, Banten, selama 37 minggu. Kisah pembacaan dengan tekun ditulis oleh Ubaidilah Muchtar dalam buku Anak-anak Multatuli.
Seorang guru SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang, Lebak, Banten, bernama Ubaidilah Muchtar awalnya hanya berusaha mengusir kesepiannya selama bertugas di daerah terpencil dengan mengumpulkan anak-anak di sekitar lokasi sekolahannya. Tempat itu belum terjangkau listrik. Jaring-jaring modernitas serupa televisi dan telepon seluler masih menjadi sesuatu yang asing. Anak-anak di sana tidak mengenal sinetron dan film kartun, tapi berkawan dengan kambing, buah durian, bahkan ular berbisa.
Sampai akhirnya Pak Guru Ubai mengajak mereka membaca Max Havelaar secara kolektif. Inilah mula berdirinya Taman Baca Multatuli. Usaha yang tekun itu berbayar ketika bocah-bocah Ciseel yang awalnya masih serupa tabula rasa itu berubah menjadi anak-anak Multatuli. Proses tranformasi inilah yang menjadi pusat kisah dari buku Anak-anak Multatuli.
Paulo Freire mengungkapkan bahwa pendidikan bukanlah bank. Ia mengkritik laku pendidikan yang menempatkan naradidik serupa bank yang hanya berfungsi untuk menyimpan pengetahuan. Naradidik bukanlah objek, sehingga menurut Fraire, ia mestilah diberi kebebasan untuk berimajinasi sesuai keinginannya, bukan malah dipaksa menghafal rumus-rumus dan isi buku pelajaran. Dalam proses pembacaan Max Havelaar inilah, bocah-bocah Ciseel diajak berimajinasi tentang pohon ketapang, Kampung Badur, kerbau Saijah, tangis Adinda hingga rumah Multatuli di Lebak. Dan, tentu saja, berimajinasi tentang bagaimana praktek-pratek penjajahan tersebut dilakukan.
Proses imajinasi merupakan latihan membebaskan pikiran. Sebagaimana lanskap imajinasi yang tak terbatas, pikiran pun demikian. Dengan begitu, pengetahuan tak berhenti pada proses “adalah”, tetapi meluas menjadi “apa”, “mengapa”, “dimana”, dan “bagaimana”. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, pengetahuan akan menemukan jalan untuk meluaskan dirinya sendiri.
Ketika pembacaan Max Havelaar tiba pada adegan yang terjadi Distrik Parangkujang, umpamanya, imajinasi anak-anak akan dibawa pada sosok Demang jahat yang merampas kerbau rakyat, termasuk kerbau Saijah. Pun, ketika narasi memperkenalkan seorang tokoh bernama Batavus Droogstoppel, imajinasi mereka langsung bekerja demi menyusun sosok rekaan Batavus sesuai isi cerita, ditambah pengalaman mereka.
Apa yang anak-anak itu lakukan bukan lagi sekadar intertekstual, melainkan menghubungkan cerita dengan kehidupan sehari-hari—manusia, alam dan lingkungan sosial. Maka yang terjadi kemudian adalah refleksi dan kontemplasi sebagaimana tanggapan Dedi Kala atas seorang tokoh antagonis bernama Adipati Karta Nata Negara muncul, "Kalau saya jadi bupati, saya nggak akan jahat sama rakyat." Di sinilah para pengaji Max Havelaar secara tidak langsung merasakan sesuatu yang jarang mereka dapatkan dalam kelas: pelajaran moral kehidupan. Apa yang mereka temukan bukan hanya sebatas pengetahuan seperti kaum sofis—berpengetahuan tetapi digunakan untuk menipu—tetapi juga nilai-nilai etika yang bisa menjadi pemandu untuk membedakan benar dan salah, baik dan buruk.
Selain nilai-nilai moral, dalam kehidupan yang semakin individualis ini, membaca Max Havelaar secara kolektif, seperti yang tergambar dalam Anak-anak Multatuli, ternyata bisa pula mengikis egoisme. Dengan membaca seperti itu, sifat egaliter dalam menghadapi teks akan bertumbuh. Teks tidak hanya dipahami secara tunggal, tapi juga multi tafsir.
Buku Anak-anak Multatuli boleh dikatakan unik. Dalam dunia literasi Indonesia, Anak-anak Multatuli merupakan buku pertama yang mencatat proses pembacaan bersama terhadap sebuah kitab sastra. Sejak hari pertama sampai hari terakhir, proses pembacaan itu dicatat dengan teliti oleh Ubaidilah. Sebagai buku yang bisa dikatakan sebagai catatan harian, sedikit hal yang mengganjal adalah bahasa tutur yang digunakan penulis masih terasa kaku. Selain itu, penulisan nama anak-anak peserta pembacaan yang selalu disisipkan di akhir cerita per minggu menimbulkan kesan seolah penulis “sedang mengabsen” muridnya. Semua itu membuat buku tebal ini agak membosankan saat dibaca.
Untuk menghindari hal tersebut, semestinya penulis menggunakan bahasa yang lentur dan diksi yang lebih beragam, juga menutup cerita per minggu dengan lebih kreatif. Dari sisi penyuntingan, editor tampak agak lalai saat melakukan tugasnya hingga kekeliruan huruf besar-kecil dan ketidakkonsistenan memberikan keterangan umur kepada peserta pembacaan Max Havelaar masih bisa ditemukan dalam buku ini.
Terlepas dari retak-retak itu, buku Anak-anak Multatuli bisa dijadikan pemantik bagi penggiat literasi di Indonesia. Di tengah karut marut dunia politik dan ekonomi bangsa ini, kita patut bersyukur bahwa nun jauh di sebuah kampung terpencil bernama Ciseel, masih ada seseorang yang tekun menyuntuki karya sastra dunia dan dicatat proses pembacaanya. Kehadiran buku Anak-anak Multatuli ini diharapkan bisa menumbuhkan apa yang dibawa oleh Multatuli itu sendiri, yaitu semangat humanis. Ubaidilah sudah mulai menanam benih nilai-nilai moral dari Multatuli di Ciseel, yang lain tinggal menanam di tempat masih-masing.
Dan seperti kata-kata Multatuli dalam Max Havelaar, "Sebab kita bersukacita bukan karena memotong padi. Kita bersukacita karena memotong padi yang kita tanam.” ***
*Penulis. Tinggal di Yogyakarta
Judul : Anak-Anak Multatuli
Penulis : Ubaidilah Muchtar
Editor : Vini Mariyane Rosya
Penerbit : ArkeaBooks
Cetakan : I, Desember 2015
Tebal : 488 hlm + xxx
Isbn : 978-602-70564-8-0
0 komentar:
Post a Comment