728x90 AdSpace

  • Latest News

    07 August 2016

    Menjejaki Petilasan Multatuli

     
    Kamis, 30 Juni 2016 | 10:14 WIB
    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2016/06/30/10142671/menjejaki.petilasan.multatuli?page=all

    KOMPAS
    - Natal, ibu kota Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada senja sebelum gelap menjemput malam, akhir April yang lalu. Natal tidak beda dengan kota-kota lama di sepanjang Pantai Barat Sumatera Utara. Menyimpan kisah besar, melapuk, dan sedang menggeliat membangun peradaban baru.
    Mengunjungi Natal, salah satu kota yang pernah dijejaki Eduard Douwes Dekker (1820-1877)-kota pertama tempat tinggalnya di Hindia Belanda pada tahun 1842 sebagai Kontrolir (satu tingkat di bawah Asisten Residen)-tidak rugi-rugi amat.

    Ironisnya, jasa Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli, artinya "aku telah banyak menderita"-kecuali di salah satu jalan di kota Natal, tidak ditabalkan di sepotong jalan pun di Indonesia. Padahal, di Amsterdam ada jalan bernama Multatuli Strasse.

    Nama kota Natal kalah pamor dengan buku Max Havelaar, karya monumental Douwes Dekker yang ditulisnya selama 6 bulan di rumah kecil di Jerman terbit pertama tahun 1859.
    Buku itu menghebohkan. Pemerintah Belanda merasa ditelanjangi.

    Buku itu menjadi salah satu topik pembahasan khusus dalam Tweede Kamer tahun 1860, di samping topik pemberian beasiswa bagi Willem Iskander (1840-1876), seorang inspirator ide kebangsaan lewat Kweekschool Tanobato (1862-1874), Panyabungan, Mandailing Natal sekarang, dulu namanya Mandailing Angkola.

    Kini di kota Pantai Barat Sumatera itu-perjalanan darat dari Sibolga selama 8 jam dengan kendaraan sendiri, sebentar istirahat makan siang di Jembatan Merah, Panyabungan dengan kopi tangkarnya yang terkenal-semakin habis petilasan Douwes Dekker.

    Selain kantor Douwes Dekker yang masih bisa ditinggali, sumur yang konon digali sendiri oleh Douwes Dekker di belakangnya, bekas benteng pertahanan yang terkikis di bibir pantai, dua bekas menara pengintai dan bekas gudang uang, tidak ada lagi sisa-sisa kebesaran Natal dan Douwes Dekker.

    Mungkin selain Sumur Multatuli, petilasan yang menonjol tinggal sebuah gubuk reyot di samping sumur. Rumah itu tempat tinggal Douwes Dekker selama bertugas di Natal.

    Rumah berukuran sekitar 4 meter x 2,5 meter itu beratap seng, dindingnya papan, ruang dalamnya berantakan. Tentu ini bukan rumah asli. Sebab, ada bekas fondasi yang ditandai dengan empat tiang fondasi semen dengan ukuran lebih lebar. "Rumah ini dulu ditempati Douwes Dekker, pernah ditempati orang, tetapi dibiarkan rusak, tidak ada yang bertanggung jawab," kata Erna (60), ibu rumah tangga yang menempati rumah di depan gubuk Douwes Dekker.

    Hal yang sama dikatakan oleh Basran-tokoh adat Masyarakat Natal. Katanya, "Padahal masih sering ada orang bule datang mengunjungi Natal, mencari petilasan Douwes Dekker." Apa pun yang terjadi, halaman belakang rumah itu saat ini ditumbuhi rumput liar, tempat buangan sampah, sementara di depannya-persis di samping Sumur Multatuli yang sampai saat ini airnya masih dipakai penduduk setempat-jadi peceran bekas limbah rumah tangga.

    Sama seperti bekas rumah Douwes Dekker, sumur tidak terpelihara. Padahal, di mulut gang tertulis nama Sumur Multatuli, lengkap dengan papan penunjuk arah. Padahal, dengan dua pipa menghunjam masuk ke sumur, satu pipa menyedot air untuk keperluan sanitasi SD Negeri 1 Natal dengan 380 siswa, satunya lagi untuk rumah penduduk di sekitar sumur, sumur ini berfungsi. Airnya jernih dengan beberapa ikan mujair berenang, di kanan-kiri rumput liar serta beberapa dinding yang melapuk rontok. Multatuli. Sumur berusia lebih dari 1,5 abad itu masih berfungsi.

    Di pintu masuk halaman sekolah berdiri kokoh bekas bangunan beton, berukuran 2 meter x 1,5 meter, konon bekas gudang uang di zaman Douwes Dekker. Kosong, biasa dipakai anak sekolah bermain-main sewaktu istirahat. Relatif bersih, apalagi di depan bangunan-lebih tepatnya kotak beton-itu ada ruang kosong yang terbuka. Sebutan gudang uang, mungkin benar, sebab selain ketebalan temboknya juga ada bekas pintu besi berlapis dua yang ketebalannya tidak kalah dari temboknya. Bedanya bekas tempat tinggal Douwes Dekker mirip gubuk, gudang uang ini kuat, sementara kantor Douwes Dekker kuat dan masih bisa ditempati sampai sekarang-bangunan rumah yang sudah pasti direnovasi berkali-kali yang terletak persis di depan sekolah dan hanya dipisahkan oleh Jalan Multatuli di depannya.

    Pagi itu, kota Natal ramai. Sedang kena giliran hari pasaran, kesempatan bertemunya berbagai barang dagangan sekaligus jadi sarana komunikasi antara penduduk. Barang dagangan apa saja bisa diperoleh di sana, mulai dari hasil bumi dan hasil laut, baju sampai HP beragam merek berikut pernik-perniknya. Ikan yang dugaannya menjadi barang dagangan utama di kota pantai itu, tidak lebih dari lima palak. Mengapa? "Di sini orang tidak suka makan ikan, harganya mahal. Nelayan juga sedikit," kata seorang pedagang ikan yang selama berjam-jam menunggu kedatangan calon pembeli.

    "Pantainya dangkal. Ikan tidak ada. Padahal, dulu katanya Natal jadi pusat perdagangan yang ramai. Kapal-kapal besar berlabuh, sebelum akhirnya barang-barang diangkut ke pedalaman lewat Sungai Batang Natal," tutur Basran. Karena itu, CPO yang dihasilkan dari wilayah ini-penghasilan utama Kecamatan Natal-akan diangkut lewat laut, dan tidak lewat pantai Natal. "Di Kecamatan Bantahan samping Kecamatan Natal sedang dibangun pelabuhan khusus untuk pengangkutan CPO sawit dengan biaya dari Jakarta."

    Poros Panyabungan-Natal
    Jarak Panyabungan, ibu kota Kabupaten Mandailing Natal (Madina), dengan Natal hanya sekitar 50 kilometer. Jalan mulus beraspal dengan beberapa bopeng di beberapa tempat, jarak itu perlu waktu sekitar 3 jam dengan kendaraan pribadi. Berkelok-kelok di tubir gunung dengan panorama hijau di kanan kiri di atas dan di bawah, Natal mudah dan panorama hijau terhampar. Eksotik. Jalan itu dulu dibuka dan dibangun oleh Alexander Philipus Godon (1816-1899), Asisten Residen Mandailing Angkola.

    Dikenal sebagai salah satu mentor Willem Iskander, selain Douwes Dekker dan kakaknya, Sutan Kuala Hutasiantar, serta sejumlah nama orang Belanda lainya, nama Godon "harum" di mata orang Mandailing. Selain kritis secara halus praktik pemerintahan jajahan Belanda, berbeda nasibnya dengan Douwes Dekker yang lugas dalam mengkritik pemerintahnya sehingga dinilai gagal sebagai birokrat, Godon berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat Mandailing. Di antaranya dia memperluas lahan perkebunan cokelat dan kopi secara besar-besaran.

    Untuk mempermudah arus perdagangan cokelat dan kopi, di tahun 1836 Godon membangun ruas jalan Panyabungan-Natal. Berkat jalan itu pengiriman komoditas perkebunan lancar, lewat pelabuhan di Natal. William Marsden dalam bukunya, The History of Sumatra Containing.. (terbit tahun 1783)-yang selalu jadi rujukan tentang sejarah lama Sumatera-memang tidak menyinggung jasa besar Godon. Tetapi, dari sumber-sumber lain, tercatat masa jabatan Godon yang bersamaan waktu dengan jabatan kontrolir Douwes Dekker di Natal, dinilai sukses.

    Douwes Dekker pun dalam Max Havelaar menyebut Godon sebagai teman dekat, dalam arti selain datang bersama ke Hindia Belanda, juga sama-sama sebagai seorang humanis dan pro-kemerdekaan. Berkat Godon, lewat poros jalan Panyabungan-Natal yang dibangunnya, kopi mandailing terkenal di Eropa, selain memberikan kesejahteraan rakyat.

    Kisah itu memang tinggal cerita masa lalu Natal. Ada juga beberapa kuburan Cina, tetapi terbengkalai. Natal berkonotasi dengan hari raya agama Kristen, tetapi di Natal "99 persen penduduknya beragama Islam", kata Basran. Tercatat pada abad ke-8 di sekitar Natal telah berdiri Kerajaan Rana Nata dengan salah satu rajanya bernama Rajo Putieh, seorang Persia yang mengajarkan agama Islam di Natal. Apa pun kisahnya, mengunjungi Natal ibarat menjejaki jejak langkah Multatuli, seorang tokoh yang berjasa dalam menelanjangi praktik penjajahan Belanda di Hindia Belanda, khususnya di Lebak.

    Selain sebagai birokrat yang gagal menurut Pemerintah Belanda, Multatuli dikenal sebagai pengarang besar. Sebagai Asisten Residen Lebak, Multatuli terang-terangan membuka persekongkolan pangreh praja dengan penjajah. Ia anti-penjajahan. Dalam posisinya sebagai birokrat dan penjajah, pilihan keberpihakannya kepada rakyat jajah itu paradoksal. Pilihan tegasnya tidak baru ketika di Lebak, tetapi jauh sebelumnya, diawali dengan jabatan Kontrolir di Natal.

    Ironisnya, justru di negeri tanah kelahiran yang dikritiknya, nama Multatuli ditempatkan terhormat. Kalau nama jalan terkait dengan ketokohan seseorang, di Amsterdam ada jalan Multatuli Strasse. Sebaliknya di Indonesia, hanya ada satu jalan-bukan jalan utama-di kota Natal, bernama Jl Multatuli. Lengkap sudah konotasi petilasan, yakni pembuangan jauh-jauh atau dilupakan! (ST Sularto/Nikson Sinaga)

    Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 29 Juni 2016, di halaman 25 dengan judul "Menjejaki Petilasan Multatuli".

    Catatan: Di Indonesia, selain di Natal, Jl. Multatuli juga terdapat di Rangkasbitung dan di Bandung. Di Rangkasbitung, Jl. Multatuli membentang dari utara ke selatan dari Alun-Alun Multatuli (Rangkasbitung) hingga ke Jembatan Sungai Ciujung sepanjang 1 km. Jl. Multatuli yang berada di Bandung terletak di sekitar Dipatiukur tepat berada di depan Kampus Unikom, panjangnya tidak lebih dari 500 meter.  
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Menjejaki Petilasan Multatuli Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top