Oleh Ubaidilah Muchtar
Eduard Douwes Dekker yang kemudian lebih dikenal dengan
nama Multatuli dilahirkan pada tanggal 2 Maret 1820. Ia berasal dari keluarga
sederhana. Lahir di Amsterdam. Ayahnya Engel Douweszoon Dekker adalah seorang
nakhoda. Sytske Eeltje Klein adalah nama ibunya Multatuli.
Eduard anak keempat sebenarnya anak kelima. Antje, lahir
di tahun 1818 dan hanya hidup dua belas hari. Kakak perempuannya, Chatarina
(1809-1849, menikah dengan seorang nakhoda
kapal. Kakak laki-lakinya, Pieter (1812-1861), seorang pendeta. Eduard
tidak suka kepada kakaknya yang pendeta itu karena sering menggurui. Eduard
lebih cocok dengan Jan (1818-1864), kakaknya yang seorang lagi, yang tiga
setengah tahun lebih tua dari dia. Adiknya, Willem (1823), tiga tahun lebih
muda dari Eduard, meninggal pada usia tujuh belas tahun dalam kecelakaan di
Laut Utara. Eduard sangat kehilangan adiknya. Sejak kematian si bungsu, ibunya
tidak pernah mengenakan perhiasan, cincin maupun bros. Segala sesuatu yang
penah dipakai si bungsu disimpan di lemari tertentu dan tidak boleh diubah.
Sejak kecil Eduard pemberani dan memihak kepada yang
lemah. Pernah topi seorang anak kebawa angina dan masuk ke Sungai Amstel. Tanpa
memikirkan bahaya, Eduard mendaki dinding bendungan yang terjal untuk mengambil
topi itu.
Umur delapan belas tahun ia pergi ke Hindia Belanda.
Tepatnya tanggal 23 September 1838 ia berangkat ke Batavia dengan kapal
Dorothea yang dinakhodai oleh ayahnya dan dengan saudaranya Jan sebagai juru
mudi kedua. Tahun 1839 ia menjadi pegawai negeri di Hindia Belanda sebagai
Dewan Pengawas Keuangan di Algemene Rekenkamer. Tahun 1842 ia pindah ke Sumatra
Barat dan menjadi kontrolir di Natal. Karena tidak dapat mempertanggungjawabkan
isi kas yang dipegangnya kurang f 2,106 ia dipindahkan ke Padang dan mulai
akrab dengan kemiskinan.
September 1845 ia aktif kembali dan bertugas secara
berturut-turut di Karawang, Bagelen, dan Manado. Ia bertemu dengan calon istrinta,
Tine, di Parakan Salak. Mereka bertunangan pada tanggal 18 Agustus 1845 dan
menikah pada 10 April 1846 di Cianjur.
Sebulan setelah menikah, tepatnya pada 18 Mei 1845, Eduard
diangkat menjadi komis di kantor residen dari residen Bagelen, di Purworejo,
sebuah tempat yang sangat terpencil waktu itu.
Domine Pieter, seperti tertulis dalam “Multatuli yang
Penuh Teka-Teki” (1988) karya Willem Frederik Hermans, menulis tanggal 4
Oktober 1847 kepada Kruseman, “Kami menerima surat yang sangat menyenangkan dari
Eduard, ketika ia masih di kantor residen Bagleen di pulau Jawa. Ia memang
sangat menginginkan promosi—namun ia sudah sangat senang bersama istrinya di
rumah. Dalam surat ini (kalau tak salah surat tanggal 18 Juni) ia berbicara dan
mengemukakan pikirannya yang sehat kepada Ayah, seperti biasanya riang gembira,
ringan cepat, ramah jenaka, tajam—tapi apa yang tertulis itu menurut perasaanku
menunjukkan bahwa jiwanya sudah mulai membaik, mulai tenang, bahwa ia sudah
menyadari bahwa tidak segalanya agung dan indah apa yang pernah disebutnya
demikian dan yang diburu-burunya dengan sangat tinggi!”
Dua tahun lebih Dekker tinggal di Purworejo, dengan
miskin tapi jujur. Rochussen, gubernur jenderal, mengunjunginya dan Dekker
adalah satu-satunya pejabat yang tidak menerangi rumahnya karena tidak punya
uang untuk itu. Atasannya, residen Bagelen, Von Schmidt auf Altenstadt,
menyebutkan dalam daftar kecakapannya bahwa kelakuan dan cara hidup Dekker
baik, ia banyak kepandaiannya, rajin, hormat, tapi bebas dalam sikapnya.
Bulan Oktober 1848 ia menjadi sekretaris di Manado. Tahun
1851 Eduard mulai jaya lagi. Ia diangkat menjadi asisten residen di Ambon dan
jatuh sakit karena terlalu lelah. Tahun 1852 ia berlibur bersama Tina ke
Belanda. Di sanalah, Edu alias Max kecil lahir.
Di Belanda Eduard tetap hidup tak disiplin. Kadang ia
tampak seperti tuan besar, kadang seperti mahasiswa abad kesembilan belas.
Utangnya menumpuk. Di meja rolet Kasino Spa hartanya amblas.
Mei 1855 Dekker kembali ke Batavia bersama keluarganya.
Dekker tinggal di Bogor dan menerima uang tunggu. Lewat relasi dan istrinya ia
bisa berhubungan dengan Duymaer van Twist, gubernur jenderal yang mengangkatnya
sebagai asisten residen Lebak pada 21 Januari 1856.
Tanggal 24 Februari 1856 ia mengirim laporan tertulis
kepada residen Banten, Brest van Kempen di Serang. Dalam suratnya ia menggugat
Adipati Karta Nata Nagara, Bupati Lebak menyalahgunakan kekuasaan. Selain itu,
Bupati Lebak dicurigainya melakukan pemerasan. Laporan tersebut berdasarkan
pada catatan pedahulunya, Carolus yang meninggal akibat diracun menantu bupati.
Dekker mengusulkan agar Bupati Lebak cepat dibawa ke Serang untuk tidak
mempengaruhi pendukunganya apabila dilakukan pengusutan.
Dua hari setelah mendapatkan surat tesebut, Residen
Banten, Brest van Kempen mengunjungi Lebak untuk membicarakan tuduhan yang
dilancarkan oleh Dekker. Brest van Kempen meminta Dekker menyerahkan
bukti-bukti yang dijadikannya sebagai dasar dalam melakukan seranga. Dekker
menolak. Ia ingin agar Adipati Lebak dibawa telebih dahulu ke Serang. Brest van
Kempen langsung melapor kepada gubernur jenderal dan minta Dekker dipecat
karena tidak patuh kepada atasan dan dianggap tidak cakap dalam memegang
urusan. Gubernur Jenderal van Twist mengenal Dekker secara pribadi ia tidak memecatnya
namun memindahkannya ke Ngawi. Dekker menolak pemidahan itu dan minta berhenti.
Permintaan itu dikabulkan tanggal 4 April 1856. Tanggal 20 April ia
meninggalkan Lebak dan kemudian ke Belanda. Istri dan anaknya ditinggalkan di
Batavia. Setelah berputar-putar di Jerman. Belanda, dan Belgia, ia sia-sia
melamar pekerjaan baru di dinas kolonial.
Januari 1858 Dekker tiba di Brussel, Belgia. Di kamar
loteng Losmen Au Prince Belge, selama satu bulan di musim gugur 1859 ia menulis
buku Max Havelaar. Buku tersebut
tidak berkenan di hati penguasa Belanda. Namun Havelaar tetap menerbitkannya
melalui temannya, Jacob Van Lennep. Max
Havelaar terbit sebagai buku pada 14 Mei 1860. Buku Max Havelaar laris, tetapi Dekker tetap hidup dalam kemiskinan dan
kesehatannya bertambah mundur.
Istrinya, Tine meninggal di Venesia pada 13 September
1874. Di Wiesbaden, Dekker menerima telegram dari putranya, Edu, “Ibu
meninggal, kirim uang.” Mimi hari itu juga menulis kepada Mina Krueseman,
serang penggemar Multatuli. Isinya, “Mina yang baik. Dek baru menerima telegram
bahwa Tine telah meninggal dunia. Ia harus ke sana, tetapi tidak punya uang. Di
sana juga ada kesulitan. Apakah Anda bisa mengirimkan sesuatu?” Namun Dekker
tidak jadi pergi ke pemakaman Tine. Ia takut kehilangan ritme menulisnya.
Setahun kemudian Dekker menikah dengan Mimi.
Tanggal 4 Februari 1887 ia kedatangan tamu, teman
baiknya. Tamu tersebut membawa cerutu kegemarannya. Dua minggu sebelum ulang
tahunnya yang ke-67, tepatnya tanggal 19 Februari 1887, ia meninggal dunia di
tepian Sungai Rhein, Jerman. Tanggal 23 Februari 1887 ia diperabukan di
Krematorium Gotha. Ia adalah orang Belanda pertama yang diperabukan.***
Dimuat di Banten Pos, Senin, 6 Maret 2017, hlm. 14 Rubrik "Ruang Publik".
0 komentar:
Post a Comment