728x90 AdSpace

  • Latest News

    23 May 2017

    Jalan Hidup Multatuli





    Oleh Ubaidilah Muchtar

    Eduard Douwes Dekker yang kemudian lebih dikenal dengan nama Multatuli dilahirkan pada tanggal 2 Maret 1820. Ia berasal dari keluarga sederhana. Lahir di Amsterdam. Ayahnya Engel Douweszoon Dekker adalah seorang nakhoda. Sytske Eeltje Klein adalah nama ibunya Multatuli.
    Eduard anak keempat sebenarnya anak kelima. Antje, lahir di tahun 1818 dan hanya hidup dua belas hari. Kakak perempuannya, Chatarina (1809-1849, menikah dengan seorang nakhoda  kapal. Kakak laki-lakinya, Pieter (1812-1861), seorang pendeta. Eduard tidak suka kepada kakaknya yang pendeta itu karena sering menggurui. Eduard lebih cocok dengan Jan (1818-1864), kakaknya yang seorang lagi, yang tiga setengah tahun lebih tua dari dia. Adiknya, Willem (1823), tiga tahun lebih muda dari Eduard, meninggal pada usia tujuh belas tahun dalam kecelakaan di Laut Utara. Eduard sangat kehilangan adiknya. Sejak kematian si bungsu, ibunya tidak pernah mengenakan perhiasan, cincin maupun bros. Segala sesuatu yang penah dipakai si bungsu disimpan di lemari tertentu dan tidak boleh diubah.
    Sejak kecil Eduard pemberani dan memihak kepada yang lemah. Pernah topi seorang anak kebawa angina dan masuk ke Sungai Amstel. Tanpa memikirkan bahaya, Eduard mendaki dinding bendungan yang terjal untuk mengambil topi itu.
    Umur delapan belas tahun ia pergi ke Hindia Belanda. Tepatnya tanggal 23 September 1838 ia berangkat ke Batavia dengan kapal Dorothea yang dinakhodai oleh ayahnya dan dengan saudaranya Jan sebagai juru mudi kedua. Tahun 1839 ia menjadi pegawai negeri di Hindia Belanda sebagai Dewan Pengawas Keuangan di Algemene Rekenkamer. Tahun 1842 ia pindah ke Sumatra Barat dan menjadi kontrolir di Natal. Karena tidak dapat mempertanggungjawabkan isi kas yang dipegangnya kurang f 2,106 ia dipindahkan ke Padang dan mulai akrab dengan kemiskinan.
    September 1845 ia aktif kembali dan bertugas secara berturut-turut di Karawang, Bagelen, dan Manado. Ia bertemu dengan calon istrinta, Tine, di Parakan Salak. Mereka bertunangan pada tanggal 18 Agustus 1845 dan menikah pada 10 April 1846 di Cianjur.
    Sebulan setelah menikah, tepatnya pada 18 Mei 1845, Eduard diangkat menjadi komis di kantor residen dari residen Bagelen, di Purworejo, sebuah tempat yang sangat terpencil waktu itu.
    Domine Pieter, seperti tertulis dalam “Multatuli yang Penuh Teka-Teki” (1988) karya Willem Frederik Hermans, menulis tanggal 4 Oktober 1847 kepada Kruseman, “Kami menerima surat yang sangat menyenangkan dari Eduard, ketika ia masih di kantor residen Bagleen di pulau Jawa. Ia memang sangat menginginkan promosi—namun ia sudah sangat senang bersama istrinya di rumah. Dalam surat ini (kalau tak salah surat tanggal 18 Juni) ia berbicara dan mengemukakan pikirannya yang sehat kepada Ayah, seperti biasanya riang gembira, ringan cepat, ramah jenaka, tajam—tapi apa yang tertulis itu menurut perasaanku menunjukkan bahwa jiwanya sudah mulai membaik, mulai tenang, bahwa ia sudah menyadari bahwa tidak segalanya agung dan indah apa yang pernah disebutnya demikian dan yang diburu-burunya dengan sangat tinggi!”
    Dua tahun lebih Dekker tinggal di Purworejo, dengan miskin tapi jujur. Rochussen, gubernur jenderal, mengunjunginya dan Dekker adalah satu-satunya pejabat yang tidak menerangi rumahnya karena tidak punya uang untuk itu. Atasannya, residen Bagelen, Von Schmidt auf Altenstadt, menyebutkan dalam daftar kecakapannya bahwa kelakuan dan cara hidup Dekker baik, ia banyak kepandaiannya, rajin, hormat, tapi bebas dalam sikapnya.
    Bulan Oktober 1848 ia menjadi sekretaris di Manado. Tahun 1851 Eduard mulai jaya lagi. Ia diangkat menjadi asisten residen di Ambon dan jatuh sakit karena terlalu lelah. Tahun 1852 ia berlibur bersama Tina ke Belanda. Di sanalah, Edu alias Max kecil lahir.
    Di Belanda Eduard tetap hidup tak disiplin. Kadang ia tampak seperti tuan besar, kadang seperti mahasiswa abad kesembilan belas. Utangnya menumpuk. Di meja rolet Kasino Spa hartanya amblas.
    Mei 1855 Dekker kembali ke Batavia bersama keluarganya. Dekker tinggal di Bogor dan menerima uang tunggu. Lewat relasi dan istrinya ia bisa berhubungan dengan Duymaer van Twist, gubernur jenderal yang mengangkatnya sebagai asisten residen Lebak pada 21 Januari 1856.
    Tanggal 24 Februari 1856 ia mengirim laporan tertulis kepada residen Banten, Brest van Kempen di Serang. Dalam suratnya ia menggugat Adipati Karta Nata Nagara, Bupati Lebak menyalahgunakan kekuasaan. Selain itu, Bupati Lebak dicurigainya melakukan pemerasan. Laporan tersebut berdasarkan pada catatan pedahulunya, Carolus yang meninggal akibat diracun menantu bupati. Dekker mengusulkan agar Bupati Lebak cepat dibawa ke Serang untuk tidak mempengaruhi pendukunganya apabila dilakukan pengusutan.
    Dua hari setelah mendapatkan surat tesebut, Residen Banten, Brest van Kempen mengunjungi Lebak untuk membicarakan tuduhan yang dilancarkan oleh Dekker. Brest van Kempen meminta Dekker menyerahkan bukti-bukti yang dijadikannya sebagai dasar dalam melakukan seranga. Dekker menolak. Ia ingin agar Adipati Lebak dibawa telebih dahulu ke Serang. Brest van Kempen langsung melapor kepada gubernur jenderal dan minta Dekker dipecat karena tidak patuh kepada atasan dan dianggap tidak cakap dalam memegang urusan. Gubernur Jenderal van Twist mengenal Dekker secara pribadi ia tidak memecatnya namun memindahkannya ke Ngawi. Dekker menolak pemidahan itu dan minta berhenti. Permintaan itu dikabulkan tanggal 4 April 1856. Tanggal 20 April ia meninggalkan Lebak dan kemudian ke Belanda. Istri dan anaknya ditinggalkan di Batavia. Setelah berputar-putar di Jerman. Belanda, dan Belgia, ia sia-sia melamar pekerjaan baru di dinas kolonial.
    Januari 1858 Dekker tiba di Brussel, Belgia. Di kamar loteng Losmen Au Prince Belge, selama satu bulan di musim gugur 1859 ia menulis buku Max Havelaar. Buku tersebut tidak berkenan di hati penguasa Belanda. Namun Havelaar tetap menerbitkannya melalui temannya, Jacob Van Lennep. Max Havelaar terbit sebagai buku pada 14 Mei 1860. Buku Max Havelaar laris, tetapi Dekker tetap hidup dalam kemiskinan dan kesehatannya bertambah mundur.
    Istrinya, Tine meninggal di Venesia pada 13 September 1874. Di Wiesbaden, Dekker menerima telegram dari putranya, Edu, “Ibu meninggal, kirim uang.” Mimi hari itu juga menulis kepada Mina Krueseman, serang penggemar Multatuli. Isinya, “Mina yang baik. Dek baru menerima telegram bahwa Tine telah meninggal dunia. Ia harus ke sana, tetapi tidak punya uang. Di sana juga ada kesulitan. Apakah Anda bisa mengirimkan sesuatu?” Namun Dekker tidak jadi pergi ke pemakaman Tine. Ia takut kehilangan ritme menulisnya. Setahun kemudian Dekker menikah dengan Mimi.
    Tanggal 4 Februari 1887 ia kedatangan tamu, teman baiknya. Tamu tersebut membawa cerutu kegemarannya. Dua minggu sebelum ulang tahunnya yang ke-67, tepatnya tanggal 19 Februari 1887, ia meninggal dunia di tepian Sungai Rhein, Jerman. Tanggal 23 Februari 1887 ia diperabukan di Krematorium Gotha. Ia adalah orang Belanda pertama yang diperabukan.*** 
        
    Dimuat di Banten Pos, Senin, 6 Maret 2017, hlm. 14 Rubrik "Ruang Publik".

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Jalan Hidup Multatuli Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top