"ADUH!" ucap penduduk yang kami jumpai di Ter minal Rangkasbi tung saat tahu tujuan kami. Tujuan kami tidak lain ke kawasan Ciminyak, Kampung Ciseel, Lebak, Banten. Kawasan yang dianggap terisolasi dari ojek, karena perjalanannya cukup ekstrem dengan tanjakan, tebing curam, dan jalan setapak yang berbatu. Kenyataannya memang begitu. Untuk mencapai lokasi yang berada di provinsi tetangga Ibu Kota, Jakarta, itu bukan perkara mudah. Kami memulainya dengan naik kereta dari Jakarta menuju Stasiun Rangkasbitung, dilanjutkan dengan menumpang mobil elf menuju Pasar Ciminyak yang ada setiap 3 jam sekali dengan biaya Rp20 ribu.
Perjuangan baru dimulai dari Pasar Ciminyak. Akses ke Ciseel hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor. Karena itu, jangan kaget ongkos ojek bisa mencapai Rp50 ribu karena kondisi jalanan yang tidak bagus. Apa sebenarnya yang dicari di Ciseel? Di kaki Gunung Halimun-Salak yang terpencil itu kami menemukan bahwa buku bisa membawa manusia berkelana jauh dari lokasi mereka. Ada Taman Baca Multatuli di sana, komunitas belajar independen yang mengadakan berbagai aktivitas berhubungan dengan pustaka, seni-sastra, jurnalistik, seni rupa, dan drama. Ubaidilah Muchtar-lah yang mendirikan Taman Baca Multatuli pada Maret 2010. Sejak akhir 2009, pria yang akrab dipanggil Ubai itu dipindahkan mengajar ke SMPN Satu Atap 3 Sobang.
Karena bertugas jauh dari istrinya yang tinggal di Depok, Ubai sempat mengontrak di rumah milik Ketua RT bernama Syarif. Sebelum memiliki tempat sendiri, di rumah Ketua RT itu pula Taman Baca Multatuli menumpang, demi menampung anak-anak yang ingin memenuhi rasa haus akan membaca dan belajar menulis. Sesekali, mereka juga membaca buku di tepian Sungai Ciminyak.
Berkat sumbangan, kini aktivitas taman baca itu pindah ke bangunan 7x4 meter di atas tanah seluas 90 meter persegi. Tempat baru itu ditempati sejak 23 Oktober 2012.
Multatuli
Salah satu buku kesukaan anak-anak ialah Multatuli. Perkenalan mereka dengan buku itu, kata Ubai, dinilai penting karena dekat dengan kehidupan mereka. Multatuli, yang berarti `aku yang banyak menderita' itu, sejatinya nama pena Eduard Douwes Dekker yang pernah menjadi Asisten Residen di Lebak pada 1856. Kegiatan yang mengawali taman baca tersebut merupakan pembacaan novel Max Havelaar, salah satu karya Multatuli. Novel itu menyuarakan pembelaan terhadap rakyat tertindas, banyak bercerita soal kesewenangan yang terjadi di Lebak, dan, Ciseel pun berada di Lebak. Menariknya, konsep yang digunakan Ubai bukanlah pola baca yang menuntut cepat selesai.
Mereka justru membaca dengan sangat perlahan. Pertama kali mereka menamatkan pembacaan Max Havelaar pada 21 Februari 2011, setelah 11 bulan. Pembacaan berikutnya, mereka baru tamat setelah 2,4 tahun. "Saat menemukan istilah yang tidak dipahami, mereka tanya. Misalnya tete-a-tete, istilah dari bahasa Prancis yang artinya percakapan dua orang secara tatap muka," contoh Ubai. Alasan lain pembacaan yang lambat ialah rentang usia peserta yang berbeda. Banyak dari mereka belum bisa baca dan tulis. Meski lambat, anakanak itu paham secara kontekstual dengan kehidupan mereka. Sumiati, 15, misalnya. Siswi kelas 1 sekolah menengah kejuruan itu berpendapat bahwa novel berusia lebih dari 154 tahun tersebut masih relevan dengan kehidupan belakangan ini.
"Misalnya tentang pejabat-pejabat yang korupsi," katanya tanpa ragu mengambil Gubernur Banten Atut Chosiyah sebagai contoh. Lebih mengejutkan lagi, peserta lain, Irman, turut menimpali, "Iya itu adiknya (Tubagus Chaeri Wardana) juga (korupsi)." Bocah berusia 13 tahun itu merasakan betul bahwa ketertinggalan yang dialami penduduk di tempat tinggalnya merupakan buah kesewenangan pihak yang memiliki kekuasaan. Meski sudah tamat, kegiatan membaca buku Max Havelaar terus berjalan. Reading group Max Havelaar dilakukan tiap Rabu pukul 16.00-17.30 WIB, sedangkan, reading group novelet Saija berbahasa Sunda dige;ar setiap Kamis.
Perubahan
Menanamkan kebiasaan membaca pada anak-anak Ciseel bukan perkara mudah. Apalagi ketika berhadapan dengan kebutuhan ekonomi, di saat anak-anak turut membantu keluarga mereka bekerja. Kini semua sudah berubah. Mereka mulai terbiasa membaca dan para orangtua juga akrab dengan istilah reading group. Maka tak mengherankan jika terdengar celetukan bercampur antara bahasa Sunda dan Inggris, "Hei, ari maneh kunaon teu `reading'?" (Hei, kamu kenapa tidak ikut `reading' (membaca)?" Kendala lain ialah kesibukan Ubai sebagai guru di dua tempat, yakni SMPN Satu Atap 3 Sobang dan SMPN 1 Cipanas. Nurdiyanta, 20, peserta kelompok baca Max Havelaar, mengaku sempat dibuat kecewa. "Dulu sempat lumayan lama Pa Ubai tidak ada karena sibuk, jadi tidak ada `reading'.
Ada yang gantikan, tapi rasanya beda," ungkapnya. Meski merupakan peserta paling tua, Nurdiyanta mengaku itu buka masalah. Namun, pria yang kesehariannya bertani itu khawatir dengan pergeseran kebiasaan. "Sekarang di kampung kita ada listrik, banyak yang lebih suka nonton TV daripada membaca. Saya takut begitu," akunya. Sebagai catatan, sejak Agustus 1,5 tahun silam, Ciseel mulai dialiri listrik dan sedikit banyak hal itu mengubah kehidupan mereka. Kini, anak-anak Ciseel sudah bisa membaca dan menulis buku harian, bermain drama, menonton film, dan belajar bahasa Inggris. Setahun sekali, tepat pada 15 Mei, mereka menggelar Ciseel Day dengan menyusuri jejak Multatuli di Rangkasbitung.
0 komentar:
Post a Comment