Sumber: http://best-sellerbooks.blogspot.com/2014/07/resensi-buku-max-havelaar.html
Kisah yang “Membunuh” Kolonialisme
MULTATULI atau Eduard Douwes Dekker (1820-1887) menulis Max Havelaar setelah selama 18 tahun mengabdi sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda. Karier Multatuli sebagai penulis berlangsung 18 tahun, sama seperti masa kariernya sebagai pegawai pemerintah. Multatuli kemudian mengasingkan diri ke Jerman dan meninggal pada Februari 1887.
Eduard Douwes Dekker adalah mantan Asisten Lebak, Banten, pada abad ke-19. Douwes Dekker terusik nuraninya melihat penerapan sistem tanam paksa oleh pemerintah Belanda yang menindas bumiputra. Dengan nama pena Multatuli, yang berarti aku menderita, dia mengisahkan kekejaman tanam paksa yang menyebabkan ribuan pribumi kelaparan, miskin, dan menderita. Mereka diperas oleh kolonial Belanda dan pejabat pribumi korup yang sibuk memperkaya diri. Hasilnya, Belanda menerapkan Politik Etis dengan mendidik kaum pribumi elite sebagai usaha “membayar” utang mereka kepada pribumi.
Meski pendidikan hanya terbuka bagi kaum elite yang loyal kepada pemerintah Hindia Belanda, setidaknya kesempatan itu membuka mata para priyayi pribumi tentang kondisi dunia. Bahkan, Pramoedya Ananta Toer (pengarang yang lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun, --pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia yang telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing) berpendapat bahwa reformasi pendidikan kaum elite ini pada akhirnya memunculkan pergerakan nasional, yang memunculkan negara Indonesia dan mengakhiri kolonialisme Belanda pada 1945, serta memicu gerakan-gerakan antikolonialisme di Afrika. Karena itu, Pramoedya menyebut Max Havelaar sebagai buku yang “membunuh” kolonialisme.
Penerbit Qanita mempersembahkan Max Havelaar sebagai salah satu buku yang penting dalam khazanah sastra klasik Indonesia. Sebuah karya yang mengunggah kebobrokan pemerintahan dan ketidakpedulian para pejabat, sebuah penyakit yang menjadi momok di Lebak dan Indonesia hingga masa kini. Sebuah karya sastra yang memperkaya batin pembacanya.
Qanita menerjemahkan Max Havelaar dari edisi bahasa Inggris terjemahan Baron Alphonse Nahuys, dengan referensi edisi terjemahan Indonesia oleh HB Jassin. Penerbit juga melakukan beberapa penyesuaian minor agar bahasanya lebih bisa diterima pembaca sekarang, tetapi dengan tetap mempertahankan nuansa klasiknya.
Tragis, lucu, dan humanis, Max Havelaar, salah satu karya klasik yang mendunia. Kemunculannya menggemparkan dan mengusik naruni. Buku ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan diadaptasi dalam film dan drama, gaung kisah Max Havelaar masih menyentuh pembaca sejak terbit tahun 1860 hingga kini. Selamat membaca.
Judul : MAX HAVELAAR
ISBN : 978-602-1637-45-6
Penulis : Multatuli
Penerbit : Qanita, PT Mizan Pustaka
Cetakan : 2014
Jenis Cover : Soft Cover
Tebal : 480 halaman
Dimensi : 13 x 20,5 cm
Kisah yang “Membunuh” Kolonialisme
MULTATULI atau Eduard Douwes Dekker (1820-1887) menulis Max Havelaar setelah selama 18 tahun mengabdi sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda. Karier Multatuli sebagai penulis berlangsung 18 tahun, sama seperti masa kariernya sebagai pegawai pemerintah. Multatuli kemudian mengasingkan diri ke Jerman dan meninggal pada Februari 1887.
Eduard Douwes Dekker adalah mantan Asisten Lebak, Banten, pada abad ke-19. Douwes Dekker terusik nuraninya melihat penerapan sistem tanam paksa oleh pemerintah Belanda yang menindas bumiputra. Dengan nama pena Multatuli, yang berarti aku menderita, dia mengisahkan kekejaman tanam paksa yang menyebabkan ribuan pribumi kelaparan, miskin, dan menderita. Mereka diperas oleh kolonial Belanda dan pejabat pribumi korup yang sibuk memperkaya diri. Hasilnya, Belanda menerapkan Politik Etis dengan mendidik kaum pribumi elite sebagai usaha “membayar” utang mereka kepada pribumi.
Meski pendidikan hanya terbuka bagi kaum elite yang loyal kepada pemerintah Hindia Belanda, setidaknya kesempatan itu membuka mata para priyayi pribumi tentang kondisi dunia. Bahkan, Pramoedya Ananta Toer (pengarang yang lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun, --pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia yang telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing) berpendapat bahwa reformasi pendidikan kaum elite ini pada akhirnya memunculkan pergerakan nasional, yang memunculkan negara Indonesia dan mengakhiri kolonialisme Belanda pada 1945, serta memicu gerakan-gerakan antikolonialisme di Afrika. Karena itu, Pramoedya menyebut Max Havelaar sebagai buku yang “membunuh” kolonialisme.
Penerbit Qanita mempersembahkan Max Havelaar sebagai salah satu buku yang penting dalam khazanah sastra klasik Indonesia. Sebuah karya yang mengunggah kebobrokan pemerintahan dan ketidakpedulian para pejabat, sebuah penyakit yang menjadi momok di Lebak dan Indonesia hingga masa kini. Sebuah karya sastra yang memperkaya batin pembacanya.
Qanita menerjemahkan Max Havelaar dari edisi bahasa Inggris terjemahan Baron Alphonse Nahuys, dengan referensi edisi terjemahan Indonesia oleh HB Jassin. Penerbit juga melakukan beberapa penyesuaian minor agar bahasanya lebih bisa diterima pembaca sekarang, tetapi dengan tetap mempertahankan nuansa klasiknya.
Tragis, lucu, dan humanis, Max Havelaar, salah satu karya klasik yang mendunia. Kemunculannya menggemparkan dan mengusik naruni. Buku ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan diadaptasi dalam film dan drama, gaung kisah Max Havelaar masih menyentuh pembaca sejak terbit tahun 1860 hingga kini. Selamat membaca.
Judul : MAX HAVELAAR
ISBN : 978-602-1637-45-6
Penulis : Multatuli
Penerbit : Qanita, PT Mizan Pustaka
Cetakan : 2014
Jenis Cover : Soft Cover
Tebal : 480 halaman
Dimensi : 13 x 20,5 cm
0 komentar:
Post a Comment