728x90 AdSpace

  • Latest News

    11 August 2012

    Multatuli dan Pak Matsani


    Catatan Minggu ke-43 Reading Group Novel Max Havelaar

    Seekor ular tanah meninggalkan sarangnya di Gunung Menir. Mengular menuju gorong-gorong. Gorong-gorong tak jauh dari Taman Baca Multatuli. Dua puluh lima meter saja jaraknya. Di musim kemarau seperti saat ini ular tanah mencari tempat yang sejuk. Gorong-gorong itu selalu terisi air meski sedikit. Air memenuhi gorong-gorong dari saluran MCK yang letaknya tiga rumah di bagian atas Taman Baca Multatuli.

    Pukul empat sore. Suryati, Erna, Herti, Rukanah, dan Sadah berjalan menuju rumah Pak Fajrudin. Di rumah ini anak-anak Ciseel mengaji. Selama bulan puasa anak-anak mengaji di sore hari. Tak seperti biasanya sehabis maghrib. Mereka mampir sebentar di Taman Baca Multauli. Kuyakinkan bahwa mereka harus mengaji terlebih dahulu. Baru kemudian kami akan membaca bersama novel Max Havelaar.

    Saat anak-anak mengaji, Pak Matsani mempersiapkan beras. Pak Matsani akan mengeluarkan kewajibannya. Ia akan menunaikan fitrah untuk anak-anaknya, Mariah dan Ucu Suhernah. Tujuh liter beras telah siap dibawanya ke rumah Pak Fajrudin. Ia membawanya dalam karung kecil. Di tentengnya beras di pundaknya. Sarung dan peci dikenakannya.

    Elah Hayati baru saja memasuki pintu Taman Baca Multatuli. Disusul kemudian oleh Mariah, Sumyati, Ida Yanti, Acih, Iis Dahlia, dan Mariam. Juga hadir Si Opi. Bocah Ciseel berusia enam tahun yang selalu hadir ikut mendengarkan pembacaan Max Havelaar. Dua puluh lima eksemplar novel Max Havelaar diturunkan setengahnya dari rak. Buku merah yang berisi catatan kesan dan pesan peserta diedarkan.

    Suryati. Erna, dan Herti bergegas meninggalkan rumah Pak Fajrudin. Pak Matsani berangkat menuju rumah yang baru saja ditinggalkan Suryati. Dibawanya beras fitrah. Pak Matsani melintas di depan Taman Baca Multatuli. Kami sudah memegang novel Max Havelaar. Paragraf lima Bab 13 kubaca pelan.

    Saya tiba di Padang dengan tujuan untuk segera meninggalkan pedalaman itu. Namun saya berada dalam ikatan tugas untuk menunjukkan rasa hormat saya pada Gubernur, dan saya mencoba untuk begitu. Bagaimanapun juga, dia memberi kabar bahwa dia tidak bisa menerima saya, juga saya harus menunda keberangkatan saya ke pos yang baru hingga perintah lebih lanjut. Anda akan mengerti jika saya sangat terkejut karena ini, semakin terkejut karena suasana hatinya ketika dia meninggalkan saya di Natal, yang membuat saya berpikir bahwa dia memiliki pendapat yang baik tentang saya. (MH, hlm. 216)


    Suryati, Herti, dan Erna ikut dalam rombongan ketika paragraf lima ini selesai kubaca. Menyusul kemudian Rukanah, Sujana, Yani, Sadah, Irman, Niah, Elis, Suha, Nuraeni, Oom, dan Radi. Kami berdua puluh satu membaca Max Havelaar di pertemuan ke-43. Kamis, 9 Agustus 2012.

    Kami membaca kisah saat Havelaar bertugas di Padang dan dipecat oleh atasannya Gubernur Pantai Selatan Sumatra. Sembilan bulan lamanya Havelaar hidup dalam derita di Padang. Ia diskors oleh atasannya Jenderal Vandamme. Havelaar diskors sebab dituduh menyebabkan kerugian dalam kas pemerintahan. Hal ini terjadi tahun 1843.

    Paragraf selanjutnya menjelaskan bagaimana penderitaan Havelaar yang tidak mendapatkan batuan apa pun. Bahkan semua orang menjauhinya. Tidak ada yang mau memberikan bantuan padanya. Kubaca paragraf selanjutnya. Semua peserta memperhatikan paragraf dalam Max Havelaar.

    Saya mengenal beberapa orang di Padang, tapi dari yang saya dengar—sebenarnya saya sadari dari tingkah laku mereka—bahwa Jenderal sangat marah pada saya. Saya bilang saya sadari, karena, pada pos terdepan seperti di Padang saat itu, jumlah kebaikan yang ditunjukkan pada Anda bisa dianggap sebuah ukuran, sebagai barometer pengakuan seseorang di mata Gubernur. Saya merasa angin topan sedang berputar (terancam), meskipun saya tidak tahu dari mana angin akan berhembus. Karena saya sedang membutuhkan uang, saya meminta pada pria ini dan itu untuk menolong diri saya, saya sungguh kaget karena saya menerima penolakan di mana-mana! Di Padang, tidak kurangseperti tempat lain di Hindia, perilaku memberi utang biasanya cukup bebas. Dengan kata lain, orang-orang akan bersedia meminjamkan beberapa ratus gulden pada seorang pengawas dalam pemindahan yang terampok di suatu tempat secara tidak terduga. Tapi bagi saya semua bantuan tertolak. Saya memaksa beberapa dari mereka untuk memberi tahu alasannya, sedikit demi sedikit akhirnya saya tahu jika kesalahan dan kelalaian telah ditemukan dalam pembukuan saya di Natal, sehingga membuat saya dicurigai atas ketidakjujuran pembukuan. Bahwa ada kesalahan pada rekening perkiraan saya, bukanlah hal yang mengagetkan. Saya akan kaget kalau tidak ada kesalahan di dalamnya. Namun saya merasa aneh jika Gubernur, yang menyaksikan sendiri fakta jika saya harus terus-menerus berjuang, jauh dari tugas saya, melawan ketidakpuasan masyarakat serta usaha gigih mereka untuk memberontak… bahwa dia, dia sendiri berterima kasih atas apa yang dia sebut “keberanian” saya, sekarang telah melabeli kesalahan di pembukuan saya dengan nama penipuan atau ketidakjujuran. Tentu saja tidak ada yang tahu lebih baik dari dia bahwa kasus seperti itu tidak ada karaguan lagi kecuali terdapat force majeure (kekuatan yang memaksa)? (MH, hlm. 216-217)

    Havelaar tidak mendapatkan bantuan dari siapa pun. Semua bantuan tertolak untuk Havelaar. Padahal Havelaar telah nyata dan terlihat oleh atasannya ia berjuang sekuat tenaga. Berjuang tidak hanya soal pembukuan. Namun lebih dari itu, Havelaar harus meredam gejoka rakyat yang sangat kuat untuk memberontak. Rakyat yang ingin memberontak karena tidak puas atas pemerintahan.

    Pada akhirnya Havelaar mengetahui bahwa bukan soal ia telah menyebabkan ceroboh dan salah dalam pembukuan. Penyebab senyatanya adalah memang sedang terjadi konflik kepentingan di antara pejabat yang bertanggung jawab di Sumatra. Havelaar menegaskan bahwa pemberian label “tidakjujur” haruslah berdasarkan bukti yang sangat kuat. Bahkan hanya sebatas untuk menganggapnya saja. Namun tentu saja atasan Havelaar di Padang tidak mau mengakui hal itu. Seakan-akan dia (Gubernur) merasa jika masalah yang tidak penting harus memberi jalan pada yang lebih penting.

    Inilah yang kami baca di pertemuan ke-43, Kamis, 9 Agustus 2012. Langit di atas kampung Ciseel tiba-tiba menghitam. Listrik tak menyala dengan sempurna. Sinarnya tak setengahnya yang menyala. Warga Ciseel menyebutnya: spaneng. Semula aku akan mengajak anak-anak buka puasa bersama seperti minggu lalu telah disepakati. Tapi langit makin menghitam. Orang tua sebagian menjemput anaknya. Novel Max Havelaar telah dirapikan dan disimpan kembali ke rak. Sebagian peserta masih mengisi buku merah yang berkeliling.

    Pak Matsani beranjak dari rumah Pak Fajrudin. Beras fitrah telah diserahkannya. Sebentar lagi adzan maghrib berkumandang. Peserta reading paling terakhir, Sujana, Herti, Suha, dan Elis menutup pintu Taman Baca Multatuli. Kurapikan buku kesan dan pesan juga kamera yang tadi digunakan untuk mengambil gambar. Sebuah buku tulis milik Sumyati juga kurapikan.

    Di depan gorong-gorong yang tak jauh dari Taman Baca Multatuli Pak Matsani melintas. Belum sampai sandal jepitnya menyentuh tengah gorong-gorong. Ular tanah menyambar telapak kaki bagian atasnya. Pak Matsani tak sempat menghindar. Ular telah menyemburkan racunnya. Selepas menggigit bagian punggung kaki Pak Matsani. Ular secepat ingatan Pak Matsani yang terkejut telah meloloskan diri. Masuk ke dalam gorong-gorong.

    Maghrib telah tiba di Ciseel. Semua berbuka. Pak Matsani tiba di rumah. Aktivitas warga Ciseel berjalan seperti biasa. Taraweh dibagi dalam dua gelombang. Perempuan di awal dan laki-laki setelahnya.

    Keramaian terjadi pukul satu malam. Istri Pak Matsani meminta bantuan pemuda yang tidur di masjid agar mengumumkan bahwa suaminya butuh bantuan. Warga terbangun. Begitu pula Pak Muldin. Rumah Pak Muldin bersebelahan dengan rumah Pak Matsani. Pak Muldin dan Pak Idon mempersiapkan tandu. Sebatang bambu ikut dipersiapkan. Pak Matsani muntah dan buang air. Racun ular tanah telah mengganggu darah ditubuhnya.

    Lima sepeda motor disiapkan. Pak Kosim telah lebih dahulu meninggalkan Ciseel. Puskesmas Ciminya menjadi tujuannya. Pak Kosim harus memastikan ada tempat untuk Pak Matsani. Pak Muldin dan Pak Idon berdiri memegang bambu di bagian depan. Pak Roke dan Pak Jaya bertugas memikul bambu di bagian belakang. Pak Matsani sudah di dalam sarung di tandu berempat.

    Penerangan dari cahaya lampu dari sepeda motor dan senter. Keluarga Pak Matsani dan beberapa warga Ciseel mengantar menuju Puskesmas Ciminyak. Beberapa perempuan menangis. Pak Matsani dan rombongan pelan-pelan di telan gelap malam. Sepeda motor berjalan di depan. Keheningan kembali menyergap Kampung Ciseel.

    Multauli pernah menulis soal banyaknya ular di Rangkasbitung dalam Max Havelaar Bab 14.

    Terus terang, ular dan hewan pengganggu lainnya bisa ditemukan di mana saja di Hindia Timur. Namun di daerah yang populasinya lebih banyak, tempat orang-orang tinggal saling berdekatan, jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan di daerah seperti di Rangkasbitung. Jika Havelaar bisa membersihkan rumput yang tumbuh di pekarangannya hingga ke ujung jurang, ular-ular jelas masih terlihat di kebun sewaktu-waktu, tetapi jumlahnya tidak akan sebanyak sekarang. Sifat alami ular membuat mereka menyukai kegelapan dan tempat yang terlindungi dari cahaya ruang terbuka, maka jika pekarangan Havelaar selalu dibenahi, reptil-reptil itu tidak akan meninggalkan kemewahan liar di jurang kecuali, sebagaimana, tanpa bisa mereka cegah, ketika mereka tersesat. (MH, hlm. 247)

    Ah, semoga saja Pak Matsani pulih seperti sedianya. Ya, bukankah begitu, pembaca!         
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Multatuli dan Pak Matsani Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top