Catatan Minggu ke-43 Reading Group Novel Max
Havelaar
Seekor ular tanah meninggalkan sarangnya di Gunung
Menir. Mengular menuju gorong-gorong. Gorong-gorong tak jauh dari Taman Baca
Multatuli. Dua puluh lima meter saja jaraknya. Di musim kemarau seperti saat
ini ular tanah mencari tempat yang sejuk. Gorong-gorong itu selalu terisi air
meski sedikit. Air memenuhi gorong-gorong dari saluran MCK yang letaknya tiga
rumah di bagian atas Taman Baca Multatuli.
Pukul empat sore. Suryati, Erna, Herti, Rukanah, dan
Sadah berjalan menuju rumah Pak Fajrudin. Di rumah ini anak-anak Ciseel
mengaji. Selama bulan puasa anak-anak mengaji di sore hari. Tak seperti
biasanya sehabis maghrib. Mereka mampir sebentar di Taman Baca Multauli.
Kuyakinkan bahwa mereka harus mengaji terlebih dahulu. Baru kemudian kami akan
membaca bersama novel Max Havelaar.
Saat anak-anak mengaji, Pak Matsani mempersiapkan
beras. Pak Matsani akan mengeluarkan kewajibannya. Ia akan menunaikan fitrah
untuk anak-anaknya, Mariah dan Ucu Suhernah. Tujuh liter beras telah siap dibawanya
ke rumah Pak Fajrudin. Ia membawanya dalam karung kecil. Di tentengnya beras di
pundaknya. Sarung dan peci dikenakannya.
Elah Hayati baru saja memasuki pintu Taman Baca
Multatuli. Disusul kemudian oleh Mariah, Sumyati, Ida Yanti, Acih, Iis Dahlia, dan
Mariam. Juga hadir Si Opi. Bocah Ciseel berusia enam tahun yang selalu hadir
ikut mendengarkan pembacaan Max Havelaar. Dua puluh lima eksemplar novel Max
Havelaar diturunkan setengahnya dari rak. Buku merah yang berisi catatan kesan
dan pesan peserta diedarkan.
Suryati. Erna, dan Herti bergegas meninggalkan rumah
Pak Fajrudin. Pak Matsani berangkat menuju rumah yang baru saja ditinggalkan
Suryati. Dibawanya beras fitrah. Pak Matsani melintas di depan Taman Baca
Multatuli. Kami sudah memegang novel Max Havelaar. Paragraf lima Bab 13 kubaca
pelan.
Saya tiba di Padang
dengan tujuan untuk segera meninggalkan pedalaman itu. Namun saya berada dalam
ikatan tugas untuk menunjukkan rasa hormat saya pada Gubernur, dan saya mencoba
untuk begitu. Bagaimanapun juga, dia memberi kabar bahwa dia tidak bisa
menerima saya, juga saya harus menunda keberangkatan saya ke pos yang baru
hingga perintah lebih lanjut. Anda akan mengerti jika saya sangat terkejut
karena ini, semakin terkejut karena suasana hatinya ketika dia meninggalkan
saya di Natal, yang membuat saya berpikir bahwa dia memiliki pendapat yang baik
tentang saya. (MH, hlm. 216)
Suryati, Herti, dan Erna ikut dalam rombongan ketika
paragraf lima ini selesai kubaca. Menyusul kemudian Rukanah, Sujana, Yani, Sadah,
Irman, Niah, Elis, Suha, Nuraeni, Oom, dan Radi. Kami berdua puluh satu membaca
Max Havelaar di pertemuan ke-43. Kamis, 9 Agustus 2012.
Kami membaca kisah saat Havelaar bertugas di Padang
dan dipecat oleh atasannya Gubernur Pantai Selatan Sumatra. Sembilan bulan
lamanya Havelaar hidup dalam derita di Padang. Ia diskors oleh atasannya Jenderal
Vandamme. Havelaar diskors sebab dituduh menyebabkan kerugian dalam kas
pemerintahan. Hal ini terjadi tahun 1843.
Paragraf selanjutnya menjelaskan bagaimana penderitaan
Havelaar yang tidak mendapatkan batuan apa pun. Bahkan semua orang menjauhinya.
Tidak ada yang mau memberikan bantuan padanya. Kubaca paragraf selanjutnya.
Semua peserta memperhatikan paragraf dalam Max Havelaar.
Saya mengenal beberapa
orang di Padang, tapi dari yang saya dengar—sebenarnya saya sadari dari tingkah
laku mereka—bahwa Jenderal sangat marah pada saya. Saya bilang saya sadari, karena, pada pos terdepan
seperti di Padang saat itu, jumlah kebaikan yang ditunjukkan pada Anda bisa
dianggap sebuah ukuran, sebagai barometer pengakuan seseorang di mata Gubernur.
Saya merasa angin topan sedang berputar (terancam), meskipun saya tidak tahu
dari mana angin akan berhembus. Karena saya sedang membutuhkan uang, saya
meminta pada pria ini dan itu untuk menolong diri saya, saya sungguh kaget
karena saya menerima penolakan di mana-mana! Di Padang, tidak kurangseperti
tempat lain di Hindia, perilaku memberi utang biasanya cukup bebas. Dengan kata
lain, orang-orang akan bersedia meminjamkan beberapa ratus gulden pada seorang
pengawas dalam pemindahan yang terampok di suatu tempat secara tidak terduga.
Tapi bagi saya semua bantuan tertolak. Saya memaksa beberapa dari mereka untuk
memberi tahu alasannya, sedikit demi sedikit akhirnya saya tahu jika kesalahan
dan kelalaian telah ditemukan dalam pembukuan saya di Natal, sehingga membuat
saya dicurigai atas ketidakjujuran pembukuan. Bahwa ada kesalahan pada rekening
perkiraan saya, bukanlah hal yang mengagetkan. Saya akan kaget kalau tidak ada
kesalahan di dalamnya. Namun saya merasa aneh jika Gubernur, yang menyaksikan
sendiri fakta jika saya harus terus-menerus berjuang, jauh dari tugas saya,
melawan ketidakpuasan masyarakat serta usaha gigih mereka untuk memberontak…
bahwa dia, dia sendiri berterima kasih atas apa yang dia sebut “keberanian”
saya, sekarang telah melabeli kesalahan di pembukuan saya dengan nama penipuan
atau ketidakjujuran. Tentu saja tidak ada yang tahu lebih baik dari dia bahwa
kasus seperti itu tidak ada karaguan lagi kecuali terdapat force majeure (kekuatan yang memaksa)? (MH, hlm. 216-217)
Havelaar tidak mendapatkan bantuan dari siapa pun.
Semua bantuan tertolak untuk Havelaar. Padahal Havelaar telah nyata dan
terlihat oleh atasannya ia berjuang sekuat tenaga. Berjuang tidak hanya soal
pembukuan. Namun lebih dari itu, Havelaar harus meredam gejoka rakyat yang
sangat kuat untuk memberontak. Rakyat yang ingin memberontak karena tidak puas
atas pemerintahan.
Pada akhirnya Havelaar mengetahui bahwa bukan soal
ia telah menyebabkan ceroboh dan salah dalam pembukuan. Penyebab senyatanya
adalah memang sedang terjadi konflik kepentingan di antara pejabat yang
bertanggung jawab di Sumatra. Havelaar menegaskan bahwa pemberian label
“tidakjujur” haruslah berdasarkan bukti yang sangat kuat. Bahkan hanya sebatas
untuk menganggapnya saja. Namun tentu saja atasan Havelaar di Padang tidak mau
mengakui hal itu. Seakan-akan dia (Gubernur) merasa jika masalah yang tidak
penting harus memberi jalan pada yang lebih penting.
Inilah yang kami baca di pertemuan ke-43, Kamis, 9
Agustus 2012. Langit di atas kampung Ciseel tiba-tiba menghitam. Listrik tak
menyala dengan sempurna. Sinarnya tak setengahnya yang menyala. Warga Ciseel
menyebutnya: spaneng. Semula aku akan mengajak anak-anak buka puasa bersama
seperti minggu lalu telah disepakati. Tapi langit makin menghitam. Orang tua
sebagian menjemput anaknya. Novel Max Havelaar telah dirapikan dan disimpan
kembali ke rak. Sebagian peserta masih mengisi buku merah yang berkeliling.
Pak Matsani beranjak dari rumah Pak Fajrudin. Beras
fitrah telah diserahkannya. Sebentar lagi adzan maghrib berkumandang. Peserta
reading paling terakhir, Sujana, Herti, Suha, dan Elis menutup pintu Taman Baca
Multatuli. Kurapikan buku kesan dan pesan juga kamera yang tadi digunakan untuk
mengambil gambar. Sebuah buku tulis milik Sumyati juga kurapikan.
Di depan gorong-gorong yang tak jauh dari Taman Baca
Multatuli Pak Matsani melintas. Belum sampai sandal jepitnya menyentuh tengah
gorong-gorong. Ular tanah menyambar telapak kaki bagian atasnya. Pak Matsani
tak sempat menghindar. Ular telah menyemburkan racunnya. Selepas menggigit
bagian punggung kaki Pak Matsani. Ular secepat ingatan Pak Matsani yang
terkejut telah meloloskan diri. Masuk ke dalam gorong-gorong.
Maghrib telah tiba di Ciseel. Semua berbuka. Pak
Matsani tiba di rumah. Aktivitas warga Ciseel berjalan seperti biasa. Taraweh
dibagi dalam dua gelombang. Perempuan di awal dan laki-laki setelahnya.
Keramaian terjadi pukul satu malam. Istri Pak
Matsani meminta bantuan pemuda yang tidur di masjid agar mengumumkan bahwa
suaminya butuh bantuan. Warga terbangun. Begitu pula Pak Muldin. Rumah Pak
Muldin bersebelahan dengan rumah Pak Matsani. Pak Muldin dan Pak Idon
mempersiapkan tandu. Sebatang bambu ikut dipersiapkan. Pak Matsani muntah dan
buang air. Racun ular tanah telah mengganggu darah ditubuhnya.
Lima sepeda motor disiapkan. Pak Kosim telah lebih
dahulu meninggalkan Ciseel. Puskesmas Ciminya menjadi tujuannya. Pak Kosim
harus memastikan ada tempat untuk Pak Matsani. Pak Muldin dan Pak Idon berdiri
memegang bambu di bagian depan. Pak Roke dan Pak Jaya bertugas memikul bambu di
bagian belakang. Pak Matsani sudah di dalam sarung di tandu berempat.
Penerangan dari cahaya lampu dari sepeda motor dan
senter. Keluarga Pak Matsani dan beberapa warga Ciseel mengantar menuju Puskesmas
Ciminyak. Beberapa perempuan menangis. Pak Matsani dan rombongan pelan-pelan di
telan gelap malam. Sepeda motor berjalan di depan. Keheningan kembali menyergap
Kampung Ciseel.
Multauli pernah menulis soal banyaknya ular di
Rangkasbitung dalam Max Havelaar Bab
14.
Terus terang, ular dan
hewan pengganggu lainnya bisa ditemukan di mana saja di Hindia Timur. Namun di
daerah yang populasinya lebih banyak, tempat orang-orang tinggal saling
berdekatan, jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan di daerah seperti
di Rangkasbitung. Jika Havelaar bisa membersihkan rumput yang tumbuh di
pekarangannya hingga ke ujung jurang, ular-ular jelas masih terlihat di kebun
sewaktu-waktu, tetapi jumlahnya tidak akan sebanyak sekarang. Sifat alami ular
membuat mereka menyukai kegelapan dan tempat yang terlindungi dari cahaya ruang
terbuka, maka jika pekarangan Havelaar selalu dibenahi, reptil-reptil itu tidak
akan meninggalkan kemewahan liar di jurang kecuali, sebagaimana, tanpa bisa mereka
cegah, ketika mereka tersesat. (MH, hlm. 247)
Ah, semoga saja Pak Matsani pulih seperti sedianya.
Ya, bukankah begitu, pembaca!
0 komentar:
Post a Comment