Catatan Minggu Ke-16 Tahun II RG Max Havelaar
Pembacaan novel Max Havelaar dalam Group Reading Max Havelaar baru saja usai. Suara jangkrik dan hewan malam jelas terdengar di samping Taman Baca Multatuli. Tikar kutarik lalu kulipat. Kupergi ke dapur mengambil sapu. Ruangan selesai dibersihkan. Kembali kugelar tikar. Anak-anak sudah kembali ke rumah. Suara bedug dipukul. Kuambil lampu minyak. Kulihat isinya tinggal setengah. Kuambil minyak tanah di botol kaca di ruang belakang. Lampu minyak sudah terisi. Kunyalakan korek api. Lampu menyala. Kupergi ke depan taman baca. Kupasangkan lampu.
Malam di Ciseel. Selesai sembahyang keinginan menulis catatan ini tak terbendung. Suara jangkrik makin keras. Menemani. Sore tadi kami baru saja selesai membaca Max Havelaar. Selasa, 1 November 2011. Ini pertemuan kami ke-16 membaca Max Havelaar. Kami berkumpul setiap Selasa seperti baru saja terjadi di sini. Di Taman Baca Multatuli di Kampung Ciseel.
Baru saja kami selesaikan pembacaan tentang sosok Havelaar dan istrinya., Tina. Tina dan Havelaar juga anaknya yang berusia tiga tahun baru saja turun dari kereta. Perjalanan yang melelahkan menuju Rangkasbitung dari Serang. Selain Havelaar, Tina, dan anaknya, Edu dalam rombongan itu juga terdapat Residen Banten, Tuan Slijmering (Si Lidah Bergetah) alias Brest van Kempen.
Tak akan kuceritakan secara utuh pembacan Max Havelaar sore tadi. Aku hanya ingin bercerita tentang sosok Havelaar dan Tina, istrinya. Ya, itu saja. Maka selepas kunyalakan lampu kuambil kertas dan kutulis catatan ini. Catatan yang kutulis dengan tinta warna biru.
Di bawah lampu 15 watt dari tenaga matahari. Di atas tikar sambil telungkup kuselesaikan catatan ini. Pertemuan ke-16 di tahun kedua tadi sore diikuti 25 peserta. Kami membaca Bab 6 Max Havelaar. Tidak satu bab penuh, tentunya. Kami memulai pada halaman 96 dan selesai di halaman 103. Selasa ini hujan tidak turun hingga sore hari. Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Meskipun langit menyimpan awan hitam yang selalu siap menumpahkan hujan.
Aku kembali ke deskripsi sosok Havelaar. Pembaca tentu ingin tahu bagaimana sosok Havelaar ini. Aku akan memberitahu pembaca, tentunya. Namun nanti. Tunggu sebentar. Aku ingin menuliskan kesan peserta reading Max Havelaar sore tadi terlebih dahulu.
Elah Hayati menulis seperti berikut. “Tahu nggak sifat Max Havelaar? Sifatnya itu baik hatinya, matanya tajam seperti silet. Semoga kita bisa seperti Max Havelaar ya…!” Itu kesan yang Elah tulis. Lain lagi Suryati. Ya, Suryati. Peserta yang hampir tak pernah tidak hadir di setiap pembacaan Max Havelaar. Suryati menulis seperti ini, “Istri Havelaar itu pakaiannya itu sederhana sekali. Walaupun ia istri dari Asisten Residen Lebak.” Itu penilaian Suryati atas pakaian yang dikenakan oleh Tina. Tina, istri dari Havelaar. Asisten Residen Lebak yang baru saja tiba di Rangkasbitung.
Adakah kesan yang lain? Ya, tentu saja ada. Rohanah menulis, “ Teman-teman. Ayolah, membaca! Havelaar adalah seorang pria berusia tiga puluh lima tahun. Tubuhnya langsing dan gerakannya cekatan. Tak ada yang luar biasa dari penampilannya kecuali bagian atas bibirnya yang pendek dan suka bergerak-gerak.”
Kukira Rohanah menulis seperti dalam novel. Jadi aku tak harus menuliskan kembali pembukaan tentang deskripsi sosok Havelaar. Pembaca akan bosan. Apakah benar begitu? Kulanjutkan saja ya. Ini kesan yang ditulis Mariah. “Bunga kecil berwarna putih dengan wangi seperti melati memainkan peranan penting dalam setiap balada dan legenda. Sama seperti mawar bagi kita.” Kukira Mariah menulis tentang bunga khas Belanda, tulip. Lalu di mana tentang sosok Tina dan Havelaar dalam kesan Mariah. Oh, aku baru saja menemukannya. Di akhir paragraf ada tertulis, “Terakhir, rambutnya ditata ala Chinoise (gaya Cina), dengan setangkai kecil melati di konde-nya… begitulah gayanya berpakaian.” Nah, di kata melati dan konde ada catatan kaki.
Konde merupakan gulungan rambut di belakang leher. Tidak pernah diikat dengan pita yang terpisah atau karet, namun selalu terikat dengan jalinan rambut. Jika chignon jelas memakai rambut palsu, konde bukan chignon.
Terus peseta yang lain menulis kesan apa. Mereka tentu saja menulis. Seperti kesan Cecep yang menuliskan kalimat yang terdapat dalam sampul depan novel. “Buku pertama yang membuka mata dunia tentang busuknya Kolonialisme Hindia Belanda, dan memberi ilham bangsa Indonesia untuk merdeka.”
Aku kembali ke sosok Havelaar. Ini janji yang kutuliskan di awal catatan ini. Ya, sosok Havelaar.
Havelaar adalah seorang pria berusia tiga puluh lima tahun. Tubuhnya langsing dan gerakannya cekatan. Tak ada yang luar biasa dari penampilannya kecuali bagian atas bibirnya yang pendek dan suka bergerak-gerak, dan mata besarnya yang berwarna biru pucat, yang tampak seperti melamun jika dia sedang dalam perasaan tenang, namun menembakkan api jika dia menemukan sebuah ide bagus. Rambut lurusnya tergerai panjang dan lembut di pelipisnya, dan saya sangat memahami bahwa bagi orang yang baru pertama kali melihatnya akan memperoleh kesan bahwa mereka berhadapan dengan salah satu orang hebat di bumi baik di kepala dan di jiwa. Dia adalah sebuah “perahu kontardiksi”. Tajam seperti silet, namun berhati lembut seperti seorang gadis, dia selalu menjadi yang pertama dalam merasakan kepedihan yang ditimbulkan dari kata-kata pahitnya, dan dia lebih menderita akibatnya dibandingkan dengan orang yang disakitinya. Dia cepat mengerti; dia langsung memehami hal yang sangat terhormat dan paling membingungkan; dia gembira jika dapat memecahkan masalah sulit, yang untuk itu tidak diperlukan banyak tenaga, pembelajaran atau kerja keras… Namun seringkali dia tidak memahami sesuatu yang sederhana, anak kecil dapat menjelaskan hal itu padanya. Penuh rasa cinta pada kejujuran dan keadilan, dia seringkali mengabaikan orang terdekatnya, tugas yang paling nyata, dengan maksud untuk meluruskan kesalahan yang terletak lebih tinggi, lebih jauh, atau lebih dalam, dan hal itu mungkin membuatnya butuh usaha besar untuk berjuang. Dia ksatria dan pemberani, namun seperti Don Quixote, sering menyia-nyiakan keberaniannya di kincir angin. Dia terbakar dalam ambisi yang tak terpenuhi, sehingga membuat segala perbedaan dalam masyarakat tampak tidak penting baginya, lagi pula dia berpikir bahwa kebahagiaan terbesarnya terletak dalam ketenangan, kehidupan rumah tangga yang terasing. Seorang penyair dengan perasaan tertinggi atas kata, dia memimpikan sisitem matahari dari sebuah percikan, mengisinya dengan makhluk ciptaannya, merasakan dirinya sebagai pemimpin dari dunia yang dia wujudkan sendiri… lalu, segera setelah itu dia benar-benar mampu melanjutkan, tanpa khayalan sedikit pun, sebuah percakapan mengenai harga beras, aturan tatabahasa, keuntungan ekonomis dari peternakan di Mesir. Tidak satu pun pengetahuan yang asing baginya. Dia meramalkan apa yang tidak dia ketahui, dia memiliki panca indera tingkat tinggi untuk menerapkan hal kecil yang dia ketahui—semua orang tahu namun hanya sedikit saja, dan dia, meskipun mengetahui lebih banyak dari orang lain, bukan pengecualian terhadap aturan ini—menerapkan hal kecil yang dia ketahui dengan cara yang akan melipatgandakan ukuran pengetahuannya. Dia akurat dan teratur, lagipula sangat sabar; namun semua itu adalah disiplin diri—keakuratan, kedisiplinan, dan kesabaran tidak begitu saja ada pada dirinya, karena dalam benaknya ada kecenderungan untuk berfoya-foya. Dia lambat dan berhati-hati dalam menilai, meskipun dia tidak menunjukkannya saat dia menyatakan kesimpulannya dengan cepat. Keyakinannya sangat jelas untuk dinilai orang sebagai sesuatu yang kekal, dan lagi dia sering membuktikan bahwa kepercayaan itu kekal. Segala sesuatu yang hebat dan mulia, menarik perhatiannya, dan pada saat yang sama dia juga sesederhana dan senaif anak kecil. Dia jujur, terutama saat kejujuran berubah menjadi kedermawanan, dan bersedia melupakan hutang sebesar ratusan gulden karena dia telah mendermakan ribuan gulden. Dia jenaka dan menghibur saat dia merasa leluconnya dipahami, namun bila tidak dia kasar dan membatu. Hangat pada teman-temannya, dia—terkadang terlalu bersedia—berteman dengan mereka yang menderita. Dia senditif terhadap cinta dan perhatian…jujur dengan perkataannya, sekali diucapkan… tunduk terhadap hal-hal kecil, namun teguh pada sikap keras kepala bila dia anggap berguna untuk menunjukkan karakter… rendah hati dan penolong terhadap orang-orang yang mengakui keunggulan mentalnya, namun penuntut saat mereka mencoba memperdebatkannya… terus terang keluar dengan rasa bangga, dan diam tak menentu ketika dia khawatir ketulusannya dianggap sebagai ketololan… ketika terpengaruh dengan hawa nafsu mengenai kesenangan rohani… pemalu dan kaku ketika dia mencoba menjelaskan hal yang tidak dipahami mengenai dirinya, namun pandai berbicara ketika dia merasa bahwa kata-katanya jatuh di tanah yang subur… melempem ketika tidak didesak oleh dorongan hatinya, namun antusias, bersemangat jika begitu… Terakhir, dia ramah, berkelakuan baik, dan suci dalam perilakunya: itulah, kurang lebih, Havelaar! (Max Havelaar, 2008, hal. 101-103)
Kuberdiri menuju pintu. Kubuka pintu. Di luar gelap, namun terang. Kunang-kunang terbang banyak sekali. Di rumah Kak Rusdi tidak lagi terdengar suara anak-anak mengaji. Gerimis mulai turun. Jika sudah begini. Semua orang tua mengharuskan anak-anak ada di dekatnya. Aku sering khawatir dengan kondisi Ciseel. Jika huja lebat turun. Terbayang jika bukit-bukit yang mengelilingi Ciseel runtuh. Namun aku tidak harus mengkhawatirkannya. Mereka sudah turun-temurun tinggal di Ciseel. Namun sekali lagi tidak kupungkiri jika selalu saja muncul kekhawatiran itu. Jika hujan turun. Tapi sudahlah. Kukira malam makin dalam dan sunyi menyelimuti. Ciseel sepi.
Oh…oh… tunggu sebentar. Pintu diketuk dari luar. Siapa yang datang. Jam menunjuk pukul setengah sepuluh. Anak-anak Ciseel datang. Sanadi, Dedi Kala, Tomi, Ulung, dan satu lagi Marhasim. Dedi Kala dan Marhasim mengambil bundel koran anak. Ulung mengambil buku kumpulan cerpen. Tomi dan Sanadi bermain catur. Hujan tidak lagi gerimis. Butirannya menghujam genting. Deras. Kunang-kunang terbang menjauh. Kututup lampu minyak di depan Taman Baca Multatuli dengan seng. Asap hitam keluar dari samping. Kini kuyakin, kuucapkan selamat malam dan terima kasih.
Pembacaan novel Max Havelaar dalam Group Reading Max Havelaar baru saja usai. Suara jangkrik dan hewan malam jelas terdengar di samping Taman Baca Multatuli. Tikar kutarik lalu kulipat. Kupergi ke dapur mengambil sapu. Ruangan selesai dibersihkan. Kembali kugelar tikar. Anak-anak sudah kembali ke rumah. Suara bedug dipukul. Kuambil lampu minyak. Kulihat isinya tinggal setengah. Kuambil minyak tanah di botol kaca di ruang belakang. Lampu minyak sudah terisi. Kunyalakan korek api. Lampu menyala. Kupergi ke depan taman baca. Kupasangkan lampu.
Malam di Ciseel. Selesai sembahyang keinginan menulis catatan ini tak terbendung. Suara jangkrik makin keras. Menemani. Sore tadi kami baru saja selesai membaca Max Havelaar. Selasa, 1 November 2011. Ini pertemuan kami ke-16 membaca Max Havelaar. Kami berkumpul setiap Selasa seperti baru saja terjadi di sini. Di Taman Baca Multatuli di Kampung Ciseel.
Baru saja kami selesaikan pembacaan tentang sosok Havelaar dan istrinya., Tina. Tina dan Havelaar juga anaknya yang berusia tiga tahun baru saja turun dari kereta. Perjalanan yang melelahkan menuju Rangkasbitung dari Serang. Selain Havelaar, Tina, dan anaknya, Edu dalam rombongan itu juga terdapat Residen Banten, Tuan Slijmering (Si Lidah Bergetah) alias Brest van Kempen.
Tak akan kuceritakan secara utuh pembacan Max Havelaar sore tadi. Aku hanya ingin bercerita tentang sosok Havelaar dan Tina, istrinya. Ya, itu saja. Maka selepas kunyalakan lampu kuambil kertas dan kutulis catatan ini. Catatan yang kutulis dengan tinta warna biru.
Di bawah lampu 15 watt dari tenaga matahari. Di atas tikar sambil telungkup kuselesaikan catatan ini. Pertemuan ke-16 di tahun kedua tadi sore diikuti 25 peserta. Kami membaca Bab 6 Max Havelaar. Tidak satu bab penuh, tentunya. Kami memulai pada halaman 96 dan selesai di halaman 103. Selasa ini hujan tidak turun hingga sore hari. Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Meskipun langit menyimpan awan hitam yang selalu siap menumpahkan hujan.
Aku kembali ke deskripsi sosok Havelaar. Pembaca tentu ingin tahu bagaimana sosok Havelaar ini. Aku akan memberitahu pembaca, tentunya. Namun nanti. Tunggu sebentar. Aku ingin menuliskan kesan peserta reading Max Havelaar sore tadi terlebih dahulu.
Elah Hayati menulis seperti berikut. “Tahu nggak sifat Max Havelaar? Sifatnya itu baik hatinya, matanya tajam seperti silet. Semoga kita bisa seperti Max Havelaar ya…!” Itu kesan yang Elah tulis. Lain lagi Suryati. Ya, Suryati. Peserta yang hampir tak pernah tidak hadir di setiap pembacaan Max Havelaar. Suryati menulis seperti ini, “Istri Havelaar itu pakaiannya itu sederhana sekali. Walaupun ia istri dari Asisten Residen Lebak.” Itu penilaian Suryati atas pakaian yang dikenakan oleh Tina. Tina, istri dari Havelaar. Asisten Residen Lebak yang baru saja tiba di Rangkasbitung.
Adakah kesan yang lain? Ya, tentu saja ada. Rohanah menulis, “ Teman-teman. Ayolah, membaca! Havelaar adalah seorang pria berusia tiga puluh lima tahun. Tubuhnya langsing dan gerakannya cekatan. Tak ada yang luar biasa dari penampilannya kecuali bagian atas bibirnya yang pendek dan suka bergerak-gerak.”
Kukira Rohanah menulis seperti dalam novel. Jadi aku tak harus menuliskan kembali pembukaan tentang deskripsi sosok Havelaar. Pembaca akan bosan. Apakah benar begitu? Kulanjutkan saja ya. Ini kesan yang ditulis Mariah. “Bunga kecil berwarna putih dengan wangi seperti melati memainkan peranan penting dalam setiap balada dan legenda. Sama seperti mawar bagi kita.” Kukira Mariah menulis tentang bunga khas Belanda, tulip. Lalu di mana tentang sosok Tina dan Havelaar dalam kesan Mariah. Oh, aku baru saja menemukannya. Di akhir paragraf ada tertulis, “Terakhir, rambutnya ditata ala Chinoise (gaya Cina), dengan setangkai kecil melati di konde-nya… begitulah gayanya berpakaian.” Nah, di kata melati dan konde ada catatan kaki.
Konde merupakan gulungan rambut di belakang leher. Tidak pernah diikat dengan pita yang terpisah atau karet, namun selalu terikat dengan jalinan rambut. Jika chignon jelas memakai rambut palsu, konde bukan chignon.
Terus peseta yang lain menulis kesan apa. Mereka tentu saja menulis. Seperti kesan Cecep yang menuliskan kalimat yang terdapat dalam sampul depan novel. “Buku pertama yang membuka mata dunia tentang busuknya Kolonialisme Hindia Belanda, dan memberi ilham bangsa Indonesia untuk merdeka.”
Aku kembali ke sosok Havelaar. Ini janji yang kutuliskan di awal catatan ini. Ya, sosok Havelaar.
Havelaar adalah seorang pria berusia tiga puluh lima tahun. Tubuhnya langsing dan gerakannya cekatan. Tak ada yang luar biasa dari penampilannya kecuali bagian atas bibirnya yang pendek dan suka bergerak-gerak, dan mata besarnya yang berwarna biru pucat, yang tampak seperti melamun jika dia sedang dalam perasaan tenang, namun menembakkan api jika dia menemukan sebuah ide bagus. Rambut lurusnya tergerai panjang dan lembut di pelipisnya, dan saya sangat memahami bahwa bagi orang yang baru pertama kali melihatnya akan memperoleh kesan bahwa mereka berhadapan dengan salah satu orang hebat di bumi baik di kepala dan di jiwa. Dia adalah sebuah “perahu kontardiksi”. Tajam seperti silet, namun berhati lembut seperti seorang gadis, dia selalu menjadi yang pertama dalam merasakan kepedihan yang ditimbulkan dari kata-kata pahitnya, dan dia lebih menderita akibatnya dibandingkan dengan orang yang disakitinya. Dia cepat mengerti; dia langsung memehami hal yang sangat terhormat dan paling membingungkan; dia gembira jika dapat memecahkan masalah sulit, yang untuk itu tidak diperlukan banyak tenaga, pembelajaran atau kerja keras… Namun seringkali dia tidak memahami sesuatu yang sederhana, anak kecil dapat menjelaskan hal itu padanya. Penuh rasa cinta pada kejujuran dan keadilan, dia seringkali mengabaikan orang terdekatnya, tugas yang paling nyata, dengan maksud untuk meluruskan kesalahan yang terletak lebih tinggi, lebih jauh, atau lebih dalam, dan hal itu mungkin membuatnya butuh usaha besar untuk berjuang. Dia ksatria dan pemberani, namun seperti Don Quixote, sering menyia-nyiakan keberaniannya di kincir angin. Dia terbakar dalam ambisi yang tak terpenuhi, sehingga membuat segala perbedaan dalam masyarakat tampak tidak penting baginya, lagi pula dia berpikir bahwa kebahagiaan terbesarnya terletak dalam ketenangan, kehidupan rumah tangga yang terasing. Seorang penyair dengan perasaan tertinggi atas kata, dia memimpikan sisitem matahari dari sebuah percikan, mengisinya dengan makhluk ciptaannya, merasakan dirinya sebagai pemimpin dari dunia yang dia wujudkan sendiri… lalu, segera setelah itu dia benar-benar mampu melanjutkan, tanpa khayalan sedikit pun, sebuah percakapan mengenai harga beras, aturan tatabahasa, keuntungan ekonomis dari peternakan di Mesir. Tidak satu pun pengetahuan yang asing baginya. Dia meramalkan apa yang tidak dia ketahui, dia memiliki panca indera tingkat tinggi untuk menerapkan hal kecil yang dia ketahui—semua orang tahu namun hanya sedikit saja, dan dia, meskipun mengetahui lebih banyak dari orang lain, bukan pengecualian terhadap aturan ini—menerapkan hal kecil yang dia ketahui dengan cara yang akan melipatgandakan ukuran pengetahuannya. Dia akurat dan teratur, lagipula sangat sabar; namun semua itu adalah disiplin diri—keakuratan, kedisiplinan, dan kesabaran tidak begitu saja ada pada dirinya, karena dalam benaknya ada kecenderungan untuk berfoya-foya. Dia lambat dan berhati-hati dalam menilai, meskipun dia tidak menunjukkannya saat dia menyatakan kesimpulannya dengan cepat. Keyakinannya sangat jelas untuk dinilai orang sebagai sesuatu yang kekal, dan lagi dia sering membuktikan bahwa kepercayaan itu kekal. Segala sesuatu yang hebat dan mulia, menarik perhatiannya, dan pada saat yang sama dia juga sesederhana dan senaif anak kecil. Dia jujur, terutama saat kejujuran berubah menjadi kedermawanan, dan bersedia melupakan hutang sebesar ratusan gulden karena dia telah mendermakan ribuan gulden. Dia jenaka dan menghibur saat dia merasa leluconnya dipahami, namun bila tidak dia kasar dan membatu. Hangat pada teman-temannya, dia—terkadang terlalu bersedia—berteman dengan mereka yang menderita. Dia senditif terhadap cinta dan perhatian…jujur dengan perkataannya, sekali diucapkan… tunduk terhadap hal-hal kecil, namun teguh pada sikap keras kepala bila dia anggap berguna untuk menunjukkan karakter… rendah hati dan penolong terhadap orang-orang yang mengakui keunggulan mentalnya, namun penuntut saat mereka mencoba memperdebatkannya… terus terang keluar dengan rasa bangga, dan diam tak menentu ketika dia khawatir ketulusannya dianggap sebagai ketololan… ketika terpengaruh dengan hawa nafsu mengenai kesenangan rohani… pemalu dan kaku ketika dia mencoba menjelaskan hal yang tidak dipahami mengenai dirinya, namun pandai berbicara ketika dia merasa bahwa kata-katanya jatuh di tanah yang subur… melempem ketika tidak didesak oleh dorongan hatinya, namun antusias, bersemangat jika begitu… Terakhir, dia ramah, berkelakuan baik, dan suci dalam perilakunya: itulah, kurang lebih, Havelaar! (Max Havelaar, 2008, hal. 101-103)
Kuberdiri menuju pintu. Kubuka pintu. Di luar gelap, namun terang. Kunang-kunang terbang banyak sekali. Di rumah Kak Rusdi tidak lagi terdengar suara anak-anak mengaji. Gerimis mulai turun. Jika sudah begini. Semua orang tua mengharuskan anak-anak ada di dekatnya. Aku sering khawatir dengan kondisi Ciseel. Jika huja lebat turun. Terbayang jika bukit-bukit yang mengelilingi Ciseel runtuh. Namun aku tidak harus mengkhawatirkannya. Mereka sudah turun-temurun tinggal di Ciseel. Namun sekali lagi tidak kupungkiri jika selalu saja muncul kekhawatiran itu. Jika hujan turun. Tapi sudahlah. Kukira malam makin dalam dan sunyi menyelimuti. Ciseel sepi.
Oh…oh… tunggu sebentar. Pintu diketuk dari luar. Siapa yang datang. Jam menunjuk pukul setengah sepuluh. Anak-anak Ciseel datang. Sanadi, Dedi Kala, Tomi, Ulung, dan satu lagi Marhasim. Dedi Kala dan Marhasim mengambil bundel koran anak. Ulung mengambil buku kumpulan cerpen. Tomi dan Sanadi bermain catur. Hujan tidak lagi gerimis. Butirannya menghujam genting. Deras. Kunang-kunang terbang menjauh. Kututup lampu minyak di depan Taman Baca Multatuli dengan seng. Asap hitam keluar dari samping. Kini kuyakin, kuucapkan selamat malam dan terima kasih.
0 komentar:
Post a Comment