: membaca sambil bernalar tentang masa depan
(Pengantar Buku Rumah Multatuli: Kumpulan Catatan 2011 Menyusuri Jejak Multatuli)
Ben Abel
Ben Abel
Ada apa di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten? Bagi pemirsa televisi, pada bulan Februari lalu stasiun DAAI TV menayangkan sebuah film dokumenter yang berjudul Rumah Multatuli. Yang kemudian dianugerahi hadiah Favorit Penonton pada Selatan ke Selatan (StoS) Film Festival, di Jakarta. Gambar film ini sebagian diambil dari acara napaktilas jejak Multatuli yang diadakan pada Mei 2011. Diikuti para peserta reading group yang merupakan murid-murid sekolah (SD, SMP & SMA) setempat, ditambah kawanan pendukung dari berbagai kota.
Rumah Multatuli merupakan nama wadah Max Havelaar Reading Group Ciseel. Didirikan pada 10 November 2009, dengan nama TAMAN BACA MULTATULI. Digagaskembangkan oleh guru Ubaidilah Muchtar (Kang Ubai atau Pak Ubai). Pada acara napaktilas Multatuli peserta mendapat kesempatan mencatat semua yang dilihat, dirasa, dipikirkan, dan dikenang dari kegiatan membaca bersama, yang dilakukan setiap Selasa dan Kamis, semenjak 23 Maret 2010. Maka sebagian hasilnya dapat kita simak seperti yang hadir dalam buku di tangan pembaca sekarang.
Mari kita kenal sedikit tentang Multatuli. Ia penulis Belanda yang hidup antara tahun 1820-1887. Mencipta novel Max Havelaar (1859). Menurut penulis Amerika, Louis Fisher dalam The Story of Indonesia (1950) kehadiran buku ini membuat negeri Belanda guncang. Ia membuat mereka merasa ketakutan dan malu sekaligus. D.H. Lawrence penulis pengantar edisi bahasa Inggris (1927) menyatakan novel ini merupakan karya yang paling mengganggu (a most irritating work). Ia samakan dengan buku Uncle Tom’s Cabin, penginspirasi gerakan anti-perbudakan dan kampanye kesetaraan antarras di Amerika Serikat, yang kemudian menimbulkan perang saudara (civil war, 1861–1865). Darmono S. Hubojo (penulis Majalah Indonesia, 1951) mencatat bahwa; Multatuli telah menggugat kelobatamakan para pemimpin palsu, yang hanya mencari kesenangan dan kenikmatan sendiri, meskipun semua itu dicapai dari cucuran keringat dan air mata rakyat yang tidak berdaya. Multatuli dengan caranya berusaha membawa mereka yang khilaf dan sesat itu ke jalan yang benar. Dan sastrawan kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer membicarakan buku ini dalam tulisannya berjudul The Book That Killed Colonialism (Buku yang membunuh kolonialisme—The New York Times Magazine, 19 April 1999). Bahkan dalam mahakaryanya Bumi Manusia salah satu tokoh diberi nama Max Tolenaar yang merupakan anak rohani dari Max Havelaar.
Setelah terbit, bagaimana negeri Belanda bisa guncang? Karena buku ini mampu membeberkan segala keburukan sistem kolonial di Hindia Belanda (Indonesia kita sekarang). Ini membuat para pembaca Belanda merasa seperti hidup di atas kesengsaraan negeri lain. Akibatnya sangat memukul kesadaran untuk insaf, yang mendorong gerak pembebasan dengan ide reformasi administrasi dan sistem pemerintahan di Hindia Belanda. Ini dikenal sebagai politik etik yang tujuannya mengembangkan irigasi, mobilisasi penduduk antarpulau, dan pendidikan. Untuk emansipasi manusia.
Hingga awal abad ke-20 sejumlah kecil orang Indonesia yang kebanyakan anak para priayi, mulai pula merasakan dampaknya, serta tak ketinggalan ikut membaca dan mempelajarinya. Pada saat bersamaan kaum liberal Belanda semakin kuat, maka kebangkitan pun menuju puncaknya dalam revolusi tahun 1940-an. Yaitu revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Semangat kemerdekaan ini bukan sekadar di Indonesia tetapi juga ke seluruh negeri terjajah di Afrika.
Dalam pengantar edisi Indonesia terjemahan H.B. Jassin (1972) Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudajaan R.I. masa itu, mencatat bahwa Multatuli mempunyai arti khusus bagi bangsa Indonesia. Karena bukunya merupakan bahan dokumentasi yang penting bagi studi ilmu-ilmu kemasyarakatan dan politik. Tetapi lebih lagi nilai yang tiada taranya adalah segi-segi kemanusiaan, kesatriaan, dan pendidikan watak yang ditampilkannya.
Buku hebat ini pun tak lepas dari kritik. Seperti Rob Nieuwenhuys (penulis Belanda) dengan buku Hikayat Lebak terjemahan Sitor Situmorang (1977) menilai bahwa Max Havelaar, benar-benar sebuah roman. Yang mengkhayalkan dan membumbui keadaan nyata menjadi sebuah cerita. Dia sama sekali tak menganggap kritik buku ini atas kekejaman pamong praja Lebak kala itu, sebagai sesuatu yang benar. Kritik Multatuli dinilai cumalah kritik etika, tanpa menuding hal yang lebih besar, yakni kolonialisme itu sendiri. Kritik begini memang banyak dan keras. Tapi bila nama Multatuli tidak surut-surut karenanya, perlu dipertanyakan: Mengapa kolonialisme dihapus, kalau feodalisme tetap saja memeras rakyat? Mungkin di masa itu, rakyat Lebak memang dengan rela saja menyerahkan kerbaunya, dan melakukan kerja paksa demi kanjeng Bupati. Tetapi sesuaikah itu semua dengan harkat manusia? Inilah Multatuli menyerukan suara mereka yang digilas kekuasaan, atas nama apa pun.
Tetapi banyak kritik sesungguhnya menyerang kepribadian si pengarang yang bernama Eduard Douwes Dekker. Bisa kita baca dalam buku Willem Frederick Hermans, Multatuli yang penuh teka-teki, terjemahkan H.B. Jassin (1988). Dalam pengantarnya sastrawan Subagio Sastrowardoyo memperingatkan: Multatuli memang penting bagi Indonesia, dan bagi pembaca Indonesia menariklah mengikuti riwayat hidupnya …… tetapi kita tidak boleh silap, bahwa di dalam periode yang amat panjang sesudah gagasan-gagasan Multatuli didengar dan berpengaruh itu, di dalam masa-masa penjajahan yang suram dan menekan itu, Multatuli dengan Max Havelaar-nya makin lama makin nampak sebagai tokoh yang makin susut sosok kepribadiannya di ufuk sejarah, yang berteriak sia-sia di tengah padang pasir yang tak memantulkan kembali kumandang suaranya.
Maksudnya greget semangat dari apa-apa yang disuarakan oleh Multatuli dalam buku Max Havelaar dalam meringkus ketidakadilan, melawan pembodohan dan pemiskinan ini, janganlah dibiarkan pupus. Tetapi nyalakanlah, jadi lentera abadi. Salah satu cara mengenal, melanjutkan semangat pikiran tersebut ke dalam pengidupan kebermasyarakatan kita, adalah dengan membaca bukunya. Terutama kalangan pemuda-pelajar kita. Satu peringatan yang sungguh bijak, karena ia memberi tanda agung akan betapa kejujuran di dalam karya ini, dari sekian masa setelah terbit, sekalipun terus-menerus dihujani banyak kritik keras, toh tetap relevan dibaca dan terus menggugah. Di sinilah kekuatan jenius kesusasteraan Eduard Douwes Dekker. Seperti satu ungkapan yang sering nian dikutip darinya, yaitu:
sebab kita bersuka-cita bukan karena memotong padi, kita bersuka-cita karena memotong padi yang kita tanam.
Emansipasi memang jiwa yang mengubah diri sendiri menjadi sesuatu yang berkembang, bergerak dan berdayaguna memajukan penalaran. Di sinilah kesetaraan, kejujuran Max Havelaar Reading Group di Ciseel. Mereka bukan saja membaca dan membicarakan Max Havelaar, tetapi dengan semangat yang sama bernalar akan lingkungan suasana hidup keseharian sendiri yang masih terpencil, sekalipun sesungguhnya tidaklah begitu jauh dari metropolitan Jakarta.
Dari Kampung Ciseel, inilah ceritanya Rumah Multatuli.
Ithaca, New York, Maret 2012
Ben Abel
Pekerja Perpustakaan
Koleksi Pusat Studi Asia Tenggara
Cornell University
0 komentar:
Post a Comment