“Sebab
kita bersukacita bukan karena memotong padi; kita bersukacita karena memotong
padi yang kita tanam sendiri.”
Demikian kalimat terkenal dan sering dikutip
yang diambil dari novel masyhur, Max
Havelaar. novel Max Havelaar
dikarang oleh penulis Belanda, Eduard Douwes Dekker, kemudian dikenal
Multatuli. Novel Max Havelaar yang
mengambil cerita pengalaman Multatuli di Lebak ini telah dibaca selama 2 tahun
dalam kelompok Max Havelaar Reading Group.
Kelompok baca Max Havelaar ini
dilaksanakan di Taman Baca Multatuli setiap Selasa sore. Taman Baca Multauli
berlokasi di Kampung Ciseel, Kecamatan Sobang, Kab. Lebak, Banten.
Sebagai bentuk apresiasi atas umur novel
tersebut yang pada tanggal 14 Mei ini tepat: 152 Tahun. Taman Baca Multatuli
menggelar kegiatan bertajuk Sastra Multatuli 2012: 152 Tahun Max Havelaar, Multatuli bagi Indonesia. Kegiatan yang
berlangsung selama dua hari. Jumat-Sabtu, 11-12 Mei 2012. Berikut laporan
kegiatan acara Sastra Multatuli 2012.
Jumat, 11 Mei 2012
Drama
Saijah dan Adinda
Jumat, 11 Mei 2012 pukul 14.00 WIB. Kegiatan Sastra
Multatuli 2012 dengan tajuk 152 Tahun Max
Havelaar: Multatuli bagi Indonesia
dimulai dengan pementasan drama Saijah
dan Adinda. Drama dilaksanakan di halaman Madrasah Ibtidaiyah Al Hidayah
Ciseel. Drama Saijah dan Adinda
dipentaskan oleh anak-anak Taman Baca Multatuli. Drama Saijah dan Adinda ini juga menggunakan kerbau sungguhan sebagai
pemain.
Drama romantis-tragis ini berkisah tentang
sepasang pemuda dan gadis desa Saijah dan Adinda. Ayah Saijah dikisahkan
kehilangan kerbaunya setelah dicuri oleh pemimpin Distrik Parangkujang. Demang
Wiranatakusumah yang tak lain adalah menantu Adipati Lebak, Karta Nata Nagara.
Saijah lantas pergi ke Batavia
untuk mencari pekerjaan. Saijah pergi setelah ayah dan ibunya meninggal karena
kemiskinan. Saijah meninggalkan kekasihnya Adinda. Saijah berjanji akan kembali
setelah pergi selama tiga kali dua belas bulan lamanya. Adinda yang
ditinggalkan diminta untuk membuat hitungan bulan dengan tanda di kepala
lesung.
Kisah Saijah dan Adinda terdapat dalam Bab 17
Novel Max Havelaar.
Drama ini disaksikan oleh warga masyarakat
Ciseel, Camat Sobang, O. Najamudin dan tamu undangan yang datang dari beberapa kota. Di antaranya: Sigit
Susanto (pegiat sastra, moderator milis apresiasi sastra, dan penulis buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia) yang
bermukim di Swiss. Rama Prabu dari Dewantara Institut Bandung. Heri Chandra
Sentosa dari Pondok Baca Ajar, Kendal. Daurie Bintang Reborn dari Bogor. Penulis Niduparas
Erlang dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang. Ali Sobri, pegiat
kesenian dari Serang. Adi Prasetyo dari Kubah Budaya Serang. Boy Angky, guru
SMPN 1 Muncang, Lebak. Tommas Titus Kurniawan, potografer dari Semarang. Dian Hardiana dan Fifi dari
Pandeglang. M. Nofal Kurniawan dari Jakarta.
Ariv Yudi dari Laskar Cinta Pustaka, Semarang.
Usai drama, para pemain berfoto bersama dengan
camat Sobang dan peserta tamu. Acara dilanjutkan dengan sulapan dari Daurie
Bintang Reborn. Acara sulapan ini masih di lapangan MI Al Hidayah Ciseel.
Sulapan yang ditampilkan merupakan sulapan ilmiah.
Sore hari selepas makan. Peserta diajak untuk
melihat tanah yang akan dibangun Taman Baca Multatuli. Selama ini, Taman Baca
Multatuli menempati rumah milik ketua RT 02 Ciseel. Rumah dengan ukuran 5x3
meter yang dikontrak tiap bulan dan dijadikan sebagai taman baca.
Kesenian
Lesung dan Pencak Silat
Malam harinya, kegiatan Sastra Multatuli
berpindah ke sebuah panggung yang terletak di samping Taman Baca Multatuli.
Kegiatan malam hari dibuka dengan petasan dan kembang api. Sebelumnya, sesepuh
Ciseel, Bapak Barnas membuka acara. Dilanjutkan dengan ucapan selamat datang
oleh pengelola Taman Baca Multatuli, Ubaidilah Muchtar. Kegiatan selanjutnya diisi
dengan sulapan oleh Sigit Susanto. Selesai sulapan, pembacaan puisi Saijah
untuk Adinda yang dibacakan dalam 6 bahasa mengisi panggung. Keenam bahasa yang
dimaksud, yaitu Belanda, Jerman, Italia, Inggris,
Indonesia, dan
Sunda. Pembacaan puisi ini dilakukan oleh Siti Nurajizah (16 tahun), Mariah (15
tahun), Rukanah (14 tahun), Rohanah (16 tahun), Nurdiyanta (17 tahun), dan Siti
Nurhalimah (16 tahun). Masih pembacaan puisi oleh Irman (13 tahun). Irman
membacakan puisi berjudul “Lihatlah Bajing” karya Multatuli. Puisi yang
dibawakan sangat apik oleh Irman.
Ada juga
pembacaan catatan perjalanan menyusuri jejak Multatuli di Lebak, Banten.
Catatan kegiatan ini diambil dari buku Rumah
Multatuli: Kumpulan Catatan 2011 Menyusuri Jejak Multatuli. Semakin malam
kegiatan makin meriah dengan kesenian memukul lesung yang disebut gegendeh.
Kesenian memukul lesung ini ditampilkan oleh ibu-ibu warga Ciseel. Setelah
gegendeh, waktunya pencak silat. Pencak silat ditampilkan oleh anak-anak Ciseel
yang tergabung dalam rombongan Kendang Penca Paku Lumejang. Selesai pencak
silat, tetangga Kampung Ciseel, Cangkeuteuk. Menampilkan atraksi debus. Acara
malam pertama ditutup dengan suguhan dangdut hampir tengah malam.
Sabtu, 12 Mei 2012
Bertandang
Ke Baduy Dalam
Pagi sekali anak-anak Taman Baca Multatuli dan
peserta tamu acara Sastra Multatuli bergegas meninggalkan kampung Ciseel.
Tujuannya yaitu Lapangan Rasamala di Kampung Cikadu. Mereka menuju ke tempat
pemberhentian truk yang akan membawa mereka ke kampung Baduy Dalam di pedalaman
Kabupaten Lebak. Jalan kaki dari Ciseel menuju Rasamala ditempuh satu jam.
Keringat bercucuran. Jalan terjal dan menanjak tak menjadi halangan. Matahari
panas membakar. Tiba di lapangan Rasamala, para peserta langsung mengisi dua
buah truk yang telah menunggu. Perjalanan pun dimulai.
Jalur perjalanan yang akan kami lalui yaitu
Kampung Cijahe di Kecamatan Cirinten. Cijahe merupakan pintu masuk ke
perkampungan Baduy Dalam selain Ciboleger dan Cilebang. Truk melaju membelah
jalanan beraspal yang terkadang mulus dan berlubang. Beberapa pemuda Ciseel
menguntit truk dengan sepeda motor. Kami melalui Ciminyak, Pasir Nangka,
Cisimeut, Leuwi Damar, Ciboleger, dan Cirinten. Perjalan dengan truk
berlangsung selama dua jam. Beberapa anak mabuk kendaraan.
Tiba di Cijahe. Truk diparkir di depan rumah
Jaro Asep, Jaro Cijahe. Terpal warna biru digelar. Makanan bekal pun dibuka.
Anak-anak membuka perbekalan yang dibawa. Nasi dan lauknya. Peserta tamu
membuka nasi timbel 5 buah sebesar buah kelapa. Goreng jengkol, ikan asin,
telur balado, sambal, dan tempe
jadi menunya. Peserta semuanya makan.
Usai makan, Sigit Susanto dan Rama Prabu
memberikan tips seputar penulisan catatan. Ya, anak-anak yang mengikuti
kegiatan ini akan membuat catatan perjalanan. Selesai pengarahan para peserta
menyiapkan bekal air minum. Waktu menunjukkan pukul 11.30 WIB. Kami berjalan
dalam rombongan besar sejumlah 60 orang memasuki tanah Baduy Dalam. Perjalanan
kami kali ini ke Cibeo dan Cikartawana. Sedangkan Kampung Cikeusik telah kami
kunjungi setahun yang lalu. Jembatan kayu menjadi batas. Tanah merah dengan
semak dan pepohonan yang tidak terlalu tinggi menyambut kami. Matahari terik memanggang
para peserta.
Kampung Baduy Dalam tujuan pertama kami, yaitu
Cibeo. Perjalanan panjang antara Cijahe dan Cibeo dilalui dengan senang.
Anak-anak berjalan cepat. Di sungai Ciparahiang kami istirahat. Mencuci muka
dan kaki. Batu-batu besar menjadi tempat kami duduk. Air sungai Ciparahiang
dingin dan jernih. Perjalanan dilanjutkan. Kami tiba di Cibeo. Jembatan bambu
menjadi pintu masuk. Pohon-pohon besar dan rumpun bambu memagari Cibeo. Cibeo,
perkampungan warga Baduy Dalam. Rumah berjajar dalam bentuk dan bahan yang
sama. Kebersamaan yang luar biasa. Anak-anak bermain dalam balutan pakaian yang
sama. Di pinggang mereka terselip golok. Di kepala, ikat kepala menambah
wibawa. Ayam betah di kolong rumah. Perkampungan Cibeo bersih dan rapi. Batu
kali menghiasi gang di antara rumah. Sebuah lapangan dengan rumput hijau di
ujung deratan rumah. Asri. Tempat menumbuk padi di tepi sungai.
Beberapa orang ronda sedang bertugas. Pak Acang
sebagai pemandu memperkenalkan kami. Warga Cibeo ramah dan pandai berbahasa Indonesia. Rumah
di Cibeo ada 89 unit jumlahnya dengan 130 kepala keluarga. Beberapa peserta
mencatat. Sedangkan yang lain bertanya kepada warga yang sedang duduk di
bale-bale. Asap mengepul di tungku api di depan salah satu rumah. Sedangkan di
rumah yang lain, beberapa wanita dan laki-laki sedang menganyam kiray. Kiray
dianyam untuk dijadikan atap rumah mereka. Ada yang membersihkan bambu untuk dijadikan
tali. Ada yang
merapikan daun kiray. Ada
pula yang bertugas menjemur dan merapikan kiray yang sudah siap dipakai.
Selanjutnya peserta berpencar. Ada yang terus melanjutkan obrolan dengan
warga. Sebgaian menawar barang yang jadi oleh-oleh seperti ikat kepala,
gantungan kunci, gelang, tas dari kulit kayu, kain tenun, dan alat penghisap
rokok. Sebagian lagi menikmati sungai di belakang pemukiman warga Cibeo. Mandi
di sungai dengan airnya yang dingin dan jernih. Di bawah jembatan bambu. Bebatuan besar dan pohon rindang menjadi
pemandangan tambahan. Ada
pula yang menyaksikan ibu-ibu dan gadis Cibeo yang sedang menumbuk padi di
lesung.
Pukul 15.00 kami meninggalkan Cibeo. Warga Cibeo
baik hati memberi kami buah kokosan. Kami menyusuri jalan yang kami lalui
sebelumnya. Tepat setelah menyeberangi sungai Ciparahiang kami berbelok. Tujuan
kedua, Kampung Cikartawana. Di Cikartawana kami tak lama. 15 menit saja. Hampir
seluruh warga Cikartawana sedang di ladang. Cikartawana nyaris ditinggalkan
semua warga. Hanya menyisakan Ayah Sali yang sedang bertugas sebagai ronda di
kampung. Setelah bertanya dan para peserta mencatat. Akhirnya kami memulai
perjalanan pulang. Perjalanan menuju Kampung Cijahe.
Truk membawa kami kembali ke Lapangan Rasamala.
Matahari sudah tenggalam. Gelap menyergap kami di jalan menurun menuju Cikadu.
Di jembatan gantung Cikadu sebagian peserta dijemput dengan sepeda motor.
Panggung malam kedua menanti.
Puisi “Ibu”
Layar Tancap
Pembacaan puisi “Ibu” karya Multatuli yang
ditulis saat bertugas di Padang
membuka malam kedua acara Sastra Multatuli. Puisi ini dibacakan dengan menawan
oleh Cecep Nurkholis (13 tahun). Selanjutnya pembacaan puisi oleh Adi Prasetyo
dari Kubah Budaya Serang dan pembacaan cacatan perjalanan tahun 2011 oleh Sigit
Susanto dan Niduparas Erlang. Ibu-ibu
dan bapak-bapak warga Ciseel kemudian tampil ngagondang. Ngagondang adalah
kesenian rakyat berupa tarian dan nyanyian yang dibawakan secara bersama-sama.
Selanjutnya hiburan qasidah oleh Group Qasidah Ciseel.
Sebelum pemutaran film, Pak Kosim menutup acara
dengan memukul kentongan. Acara dilanjutkan dengan pemutaran film di antaranya:
Semangat Menembus Batas (Dokumenter
MetroTV), Garuda Di Dadaku, Rhoma Irama, dan Wiro Sableng hingga pukul lima
pagi.
Sampai jumpa di 153 Tahun Max Havelaar tahun depan.
salut atas kegiatannya
ReplyDelete