F.
Rahardi
Awal tahun 1980an, Pemerintah Kota
Yogyakarta, berencana menggusur pemukiman kumuh di sepanjang tepi Kali Code,
Gondolayu. Idealnya bantaran kali memang harus bersih dari bangunan, terlebih
Kali Code juga merupakan saluran material lahar dingin dari Puncak Merapi.
Waktu itu tak ada suara-suara yang membela masyarakat Kali Code. Maka Romo
(Yusuf Bilyarta Mangunwijaya 1929-1999), terjun membela masyarakat yang akan
tergusur itu. Antara tahun 1983-1987, Romo Mangun, tinggal di tepi Kali Code.
Pelan-pelan pemukiman ditata. Sebagai arsitek lulusan Jerman, Romo Mangun
menunjukkan kepiawaiannya.
Kawasan kumuh itu segera berubah
menjadi pemukiman rapi. Para mahasiswa UGM, Sanata Dharma, dan dari beberapa
perguruan tinggi di Yogya ikut terjun sebagai relawan, membantu masyarakat Kali
Code. Pemerintah Kota Yogya menyerah. Penggusuran dibatalkan. Romo Mangun telah
menunjukkan cara pembelaan terhadap kaum lemah dengan cara yang tepat, yakni
secara konkrit masuk ke satu komunitas masyarakat, yang paling mendesak untuk
dibantu. Tahun 2000an ini, saya melihat hal yang kurang lebih mirip, dengan
pola pembelaan yang dilakukan oleh Romo Mangun; namun dengan cara dan skala
yang berbeda, di lokasi yang berbeda pula.
Kelompok Baca Max Havelaar
Ubaidilah Muchtar (Ubai) adalah
lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tahun 2004. Dulunya UPI bernama
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung. Setelah sebentar menjadi
relawan sebuah LSM, ia kemudian menjadi guru Bahasa Indonesia di SMPN Satu Atap
3 Sobang, Kabupaten Lebak-Banten. Dia tinggal di Kampung Ciseel, masih di Desa
Sobang, sekitar delapan kilometer, dari sekolah tempatnya mengajar. Kawasan ini
berjarak sekitar 50 kilometer, dari Rangkasbitung, ibukota Kabupaten Lebak. Di
kampung Ciseel belum ada listrik, sinyal telepon seluler juga tak sampai ke
sana. Satu-satunya sarana transportasi hanyalah ojek sepeda motor.
Di rumah yang disewanya untuk tempat
tinggal, Ubai menaruh buku-buku, yang diperlukannya untuk mengajar, juga
buku-buku lain, termasuk buku sastra. Karena sama sekali tak ada hiburan,
anak-anak berdatangan untuk "numpang membaca". Karena listrik tak ada
berarti radio, dan televisi juga tak ada. Karena sinyal seluler tak ada berarti
BB, Ipad, Iphod, juga tak mungkin. Maka, membaca menjadi satu-satunya
alternatif hiburan bagi anak-anak. Ubai pun berupaya menambah buku-buku bacaan,
dan membawanya ke Ciseel. Sampai kemudian ia membuat rumah tempat tinggalnya
menjadi Taman Baca Multatuli. Ia pun membentuk Kelompok Baca (Reading Group) novel Max Havelaar.
Selama satu dekade belakangan ini,
di Indonesia, khususnya di Jawa memang bertumbuhan "taman baca" dan
"kelompok baca" semacam ini. Salah satunya Pondok Maos Guyub,
Bebengan, Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Pondok Maos Guyub, didirikan
oleh Sigit Susanto, penulis Buku Perjalanan (Travel Story), kelahiran Boja, yang sekarang bermukim di Zug,
Swiss. Sigit Susanto juga pendiri Komunitas Apresiasi Sastra (APSAS), di dunia
maya. Admin APSAS ada di tiga negara:
Swiss, Hongkong, dan Indonesia. "Kantong-kantong" APSAS terdiri dari
taman baca, dan kelompok baca, yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia
termasuk Taman Baca Multatulinya Ubai.
Sastra Multatuli 2011
Sigit Susanto, termasuk penulis dan
pegiat sastra yang low profile. Beda
dengan beberapa penulis dan pegiat yang berpenampilan garang, baik dalam
tulisan, maupun secara lisan. Kelompok-kelompok "garang" ini biasanya
memasang tokoh sastrawan, atau kelompok lain, untuk jadi sasaran tembak. Sigit
Susanto dengan APSASnya, membuat aktivitas tanpa sikap "garang"
seperti itu. Pribadi Sigit memang agak unik. Ia punya tradisi mudik tiap tahun
bersama istrinya, dan sekaligus membuat aktivitas sastra, bekerjasama dengan
komunitas-komunitas setempat. Tahun 2011, ia juga mudik, dan salah satu
aktivitas yang ia selenggarakan adalah Sastra Multatuli 2011.
Acara ini berlangsung tanggal 13 -
15 Mei 2011, dan berpusat di Kampung Ciseel, dengan penyelenggara Taman Baca
Multatuli, dan Kelompok Baca Max Havelaar. Meskipun ini acara
"kecil-kecilan", bolehlah saya menyamakannya dengan yang pernah
dilakukan oleh Romo Mangun tahun 1980an dulu. Bedanya, Romo Mangun berlatar
belakang pendidikan arsitek. Maka ia mendekati pemukiman kumuh di Kali Code,
dengan bermodalkan ilmu arsitekturnya. Ubai dan Sigit masuk ke kantong
"udik" ini dengan aktivitas apresiasi sastra, praktek menulis, dan
tanpa semangat untuk membantai pihak mana pun. Meskipun saya Katolik, dan Romo
Mangun Imam Katolik, saya kritis terhadap beliau.
Romo Mangun memang telah berpihak
terhadap yang lemah di Kali Code, dan kemudian juga di Kedung Ombo. Waktu itu
jarang ada yang berani kritis terhadap Pemerintahan Orde Baru. Namun demikian,
yang mendapatkan publisitas dari aktivitas tersebut, justru Romo Mangun. Dan
sekarang, tahun 2012 ini, saya sedih tiap kali lewat Kali Code. Apa yang telah
dilakukan oleh Romo Mangun, tak ada yang melanjutkan. Sigit Susanto, dan Ubai,
juga pasti masih banyak nama-nama lain, telah berbuat sesuatu yang lebih
strategis; dibanding yang telah dilakukan oleh Romo Mangun. Diam-diam mereka
memperkenalkan semangat untuk membaca, dan menulis di kalangan anak-anak, tanpa
niat mendapat publisitas.
F. Rahardi
(Ambarawa, 1950) tidak menyelesaikan pendidikan SMA-nya,
1967. Mengasuh majalah pertanian Trubus (1977-1997). Bukunya yang telah
terbit, kumpulan puisi Soempah WTS (1983), Catatan Harian Sang Koruptor
(1985), Tuyul (1990), Silsilah Garong (1990), Pidato Akhir Tahun Seorang
Germo (1997); kumpulan cerpen Kentrung Itelile (1993); prosa lirik
Migrasi Para Kampret (1993). Negeri Badak (Prosa Lirik, Visi Media 2007) meraih penghargaan SEA Write Award 2009. Lembata (Novel, Lamalera 2008) memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2009.
0 komentar:
Post a Comment