728x90 AdSpace

  • Latest News

    17 August 2012

    Kendal


    Catatan ini ditulis hampir satu bulan sepulang dari kunjunganku ke Boja di Kendal di Jawa Tengah selama tiga hari (27-29 April 2012). Selama di Boja ada beberapa kegiatan yang kuikuti. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari acara Parade Obrolan Sastra V. Komintas Lereng Medini (KLM) menjadi penyelenggara. Bekerja sama dengan mailing-list Apresiasi Sastra (APSAS)  dengan Pondok Maos Guyub sebagai tempat acara. Kegiatan yang berlangsung mulai 26 April hingga 2 Mei ini tak kuikuti semua, sayang. Aku hanya mengikuti kegiatan, berikut. Pertama, Diskusi dengan komunitas yang ada di Semarang dan sekitarnya. Kedua, acara diskusi dengan Mas Iman Budhi Santosa dengan tema Puisi dan Kehidupan. Ketiga, acara Maraton Puisi. Keempat, Jalan-jalan Napak Tilas Penyair Iman Budhi Santosa ke Kebun Teh Medini.

    Sore di Ciputat. Sopir bus Rosalia Indah jurusan Semarang mulai menghidupkan mesin. Satu satu penumpang mulai memasuki badan bus yang licin ini. Kursi bernomor 5D kududuki. Bus bergerak membawaku ke timur. Matahari condong ke barat. Dari balik kaca jendela kuikuti jalan. Lebak Bulus dan Kampung Rambutan padat merayap. Bus bergerak masih pelan di Bekasi.

    Malam menghadang di Karawang. Cahaya lampu turun menjelang Cikampek. Di Sukamandi matahari benar-benar menghilang. Kursi di dalam bus ini terpenuhi penumpang. Semuanya dalam lamunannya masing-masing. Usia mereka beragam. Di sampingku seorang lelaki 40-an. Kantuk mengatupkan matanya.

    Di Patrol Indramayu bus menepi. Orang-orang turun dari bus dan berdiri dalam antrean mendapatkan piring. Makan secukupnya. Ada sayur lodeh dan ayam goreng. Teh manis menemani. Proses makan berjalan cepat. Semua penumpang kembali menduduki kursi. Masing-masing kembali dalam remang. Bus bergesa membelah pantura.

    Pertigaan Jerakah tinggal selangkah. Aku turun tepat di sana. Segelas teh panas menghangatkan perut. Pukul empat lewat sebelas. Sebuah pesan tiba. “Sampai mana? Turun di JERAKAH. Nyeberang jalan, cari angkut jurusan Boja, jangan ojek, angkut tunggu, nanti datang!”

    Bus kecil menunggu penumpang. Beberapa ibu membawa barang. Pulang dari pasar. Memadati bus. Ramai kudengar cerita mereka. Kutanya mereka ini bus sampai mana. Pasar Boja turun terakhir. Sopir duduk dengan tenang. Mobil bergerak bersama matahari yang semakin dekat. Lebih dekat lagi sedikit saat terbitnya di ufuk timur.

    Cuaca makin terang dan semakin terang sekitar jalan ketika Boja semakin lebih dekat lagi. Bus membelah jalanan dengan pepohon di sampingnya. Kabut pagi tersibak pelan. Barisan rumah-rumah dengan pagar rendah nampak jelas. Dalam cat warna putih yang dominan. Matahari seolah mengucap selamat datang.

    Boja kujejak. Tiga menit kemudian kutiba di sini. Di alamat yang kutuju, di Pondok Maos Guyub. Deret buku dalam rak tersimpan rapi. Beberapa di antaranya berbahasa Inggris. Beberapa foto dalam bingkai mengisi setiap jengkal tembok. Beberapa rak juga mengisi sebuah kamar dengan meja besar. Di depan rumah di tepi jalan sebuah penanda jelas terbaca.

    Di samping bangunan utama. Sebuah ruang diskusi dengan panggung permanen siap menyapa. Kursi-kursi plastik tertata rapi. Semalam ada obrolan, tentu. Di belakang panggung kolam ikan dengan ikan mas merah besar. Airnya terus mengalir.

    Matahari bergerak cepat. Koran pagi dan surabi gula merah dihidangkan. Obrolan berlanjut. Tiba juga aku di sini. Ini kali pertama kedatanganku. Tiga tahun sudah nama ini mengisi kepala. Namun tak jua kaki melangkah. Hingga pagi ini. Akhirnya terlaksana jua.

    Pondok Maos Guyub didirikan tahun 2007 oleh Sigit Susanto. Sigit Susanto asli kelahiran Boja, 21 Juni 1963. Sejak April tahun 1996 hingga kini menetap di Switzerland bersama istri, Claudia Beck. Sigit Susanto merupakan salah satu moderator di milis APSAS. Menulis novel Pegadaian tahun 2004. Di tahun yang sama juga menerbitkan buku Sosialisme di Kuba. Tulisannya jalan-jalan ke pelosok dunia telah dibukukan dengan judul Menyusuri Lorong-Lorong Dunia hingga kini telah sampai jilid 3. Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Kumpulan Catatan Perjalanan (November, 2005), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Kumpulan Catatan Perjalanan Jilid 2 (Maret 2008), dan Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Kumpulan Catatan Perjalanan Jilid 3 (April 2012). Menempati rumah orang tuanya, di Jalan Raya Bebengan No. 221 Bebengan, Boja, Kendal. Di situlah Pondok Maos Guyub berada.

    Jalanan ramai di depan rumah. Motor dan mobil terus mengalir. Anak-anak pergi sekolah. Kami masih di sini. Di teras depan rumah. Beberapa poster dan buku dikeluarkan. Mas Heri, Mas Tommas, dan Mas Sigit dalam kantuk yang sama. Begitu juga aku.

    Tengah hari lebih sedikit, Mas Heri datang bersama Mas Tommas. Membawa pecel dan nasi hangat. Pecel kusantap nasi dihabiskan. Berempat merapatkan siap makan bersama. Di teras Pondok Maos Guyub bersama hembus angin kami makan. Usai makan Mas Heri memasang beberapa puisi. Benang kasur di pasang. Satu ujungnya terikat di batang pohon ceri yang tumbuh di depan rumah. Sementara ujung yang lain terikat di atap bangunan. Puisi-puisi diikatkan. Angin meniupnya pelan. Puisi menyambut siapa yang datang.

    Peserta acara mulai berdatangan. Puisi-puisi menemu pembacanya. Peserta datang dalam rombongan yang berbeda. Rombongan pertama datang yaitu kawan-kawan Lembaga Sastra Rakyat (Lestra) dan Kebun Sastra. Kemudian menyusul beberapa tamu yang datang secara individu. Kursi-kursi terisi. Kursi-kursi menemu yang menempati.

    Saat Mas Heri sedang mengikat puisi. Rombongan dari Jogja tiba. Dalam rombongan itu terdapat Mas Iman Budhi Santosa. Selain Mas Iman ada juga Mas Bustan Basir Maras. Juga keempat orang lainnya yang datang bersama Mas Iman Budhi Santosa. Mas Iman akan mengisi acara diskusi puisi nanti malam. Dalam tajuk: Puisi dan Kehidupan.

    Menjelang sore diskusi dimulai. Sebelum diskusi beberapa orang membacakan sajaknya. Aku membaca kisah Saijah dan Adinda. Diskusi putaran pertama diisi oleh Mas Bustan Basir Maras dari Yogyakarta dengan Komunitas Gubuk Indonesia (KGI)nya dan Mas Adin dari Semarang dari  Komunitas Histeria. Mas Kelana menjadi pemandu diskusi menyoal sepak terjang komunitas ini.

    Sore merayap di Boja. Diskusi pertama selesai. Diskusi gelombang kedua siap dihidangkan. Pengisinya adalah tokoh sastra dari Kendal dan anggota Dewan Kesenian Jawa Tengah yang juga menjadi redaktur budaya Warta Jateng. Itu jika aku tidak salah. Sedangkan wasit diskusi gelombang kedua ini yaitu kawan Setia Naka Andrian dari Rumah Diksi.

    Malam dimanjakan dengan sup sastra dan nasi jagung. Makanan dalam beragam pilihan telah disajikan. Semua mengambil bagian. Tak terkecuali. Nasi jagung dan botok. Nasi biasa dan sup sastra. Tinggal dipilih. Ada juga ayam goreng. Soal sup sastra. Sup ini berisi macaroni yang berbentuk huruf-huruf. Dicampurkan ke dalam sup. Maka ketika akan menyantapnya. Terlihat huruf-huruf mengapung dalam sendok.

    Kita tinggalkan soal sup sastra. Malam menjelang pukul tujuh. Sebuah truk terbuka terparkir di depan Pondok Maos Guyub. Malam ini ada acara unik. Maraton puisi. Apa pula ini? Ya, benar. Acara jalan kaki sambil melapalkan puisi. Puisi dibaca nyaring. Tangan kanan memegang obor. Di tangan kiri ada teks puisi.

    Truk mengangkut rombongan ke Pasar Boja. Ramai suasana pasar. Malam minggu. Pedagang dan pembeli bertemu di alun-alun Pasar Boja. Cahaya lampu semarak. Ada permainan anak-anak rupanya juga. Komidi putar berjaya di Pasar Boja. Warga turun gunung. Meninggalkan rumah. Bergerak ke asal keramaian. Penuh sesak. Pak polisi dibantu pramuka sibuk meniup peluit. Sepeda motor dan pejalan kaki berbagi tanah untuk dijejak.

    Rombongan turun di depan toko pakaian. Mas Heri dan beberapa kawan mengisi obor dengan minyak tanah. Sumbat penutup dari kain dibasahi. Api dinyalakan. Jelaga mengisi langit. Cahaya obor dari bambu bersaing dengan cahaya lampu dari komidi putar dan kendaraan.

    Pembuka jalan merapal mantra. Mengangkat gagang sapu. Membersihkan jalan yang akan kami lalui. Polisi di samping kanan. Di belakangnya anggota pramuka. Mengiring perjalanan ini. Berbaris rapat. Obor sudah dipegang. Kami membuka acara dengan membaca puisi sekerasnya. Awak kamera sibuk mengambil gambar. Warga sibuk menyimak puisi kami.

    Kaki-kaki melangkah. Menderap. Menembus jalan yang ramai. Pasar Boja titik awal pemberangkatan kami. Maraton puisi. Maraton dapat berarti lomba lari jarak jauh (sejauh 10 kilometer atau lebih). Dapat pula berarti terus menerus. Marathon puisi merujuk pada makna yang kedua. Pembacaan puisi yang dilakukan terus menerus.

    Kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya penyair Wiji Thukul di tangan kiri Mas Heri. Wiji Thukul lahir di Kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah pada tanggal 26 Agustus 1963. Sejak tahun 1998 Wiji Thukul hilang. Dan tak kembali hingga saat ini bersama belasan aktivis lainnya. Sementara di tangan kiri Mas Sigit ada kumpulan puisi Heine. Kawan-kawan yang lain pun sama. Mereka memegang puisi. Di tangan kiriku novel Max Havelaar.

    Di sepanjang jalan yang dilalui warga yang tak pergi ke komidi putar ke luar rumah. Mereka ingin tahu. Ada apa? Mengapa ada yang membawa obor? Suara-suara siapa? Warga ke luar rumah menyaksikan maraton puisi. Dalam perjalanan, seorang gila ikut dalam rombongan. Menyempil tepat di belakang Mas Heri. Lelaki berusia belasan tahun ini mengikuti gerak kami. Ia berkata-kata. Mengikuti pembacaan puisi. Berkaus hijau. Mengenakan celana pendeka hitam. Rambut lurus. Muka bulat. Berbadan kekar sedikit tambun.

    Di depan Pondok Maos Guyub rombongan berhenti. Menghadap ke arah rumah. Sekali lagi membacakan puisi. Lalu memadamkan api perlahan. Selesai maraton puisi.

    Malam tiba giliran Mas Iman Budhi Santosa mengisi acara. Di pandu oleh Mas Heri, Mas Iman berbagi tips dalam menulis puisi. Juga berkisah tentang kehidupannya yang tak jauh-jauh dari puisi. Mas Iman Budhi Santosa menurut kawannya, penyair dan novelis F. Rahardi dalam buku Merajut Sunyi Membaca Nurani: Napak Tilas Jejak Penyair Iman Budhi Santosa di Medini yang diterbitkan oleh Komunitas Lereng Medini (2012) merupakan tokoh yang sejak 1969 sudah sangat dikenal namanya. Selain pendiri Persada Studi Klub di Jogja, tahun 1969 Iman Budhi Santosa juga sudah menerbitkan kumpulan puisi Antologi Alit, bersama Ragil Suwarna Pragolapati, dan Teguh Ranusastra Asmara.

    Sedangkan Bustan Basir Maras dalam buku tersebut menuliskan bahwa Mas Iman Budhi Santosa merupakan penyair senior di Yogyakarta. Di Yogyakarta Mas Iman Budhi Santosa mendapatkan sebutan Rama Iman. Gelar dan panggilan Rama diberikan secara cultural kepada Mas Iman, sesuai dengan kesepuhannya di dunia sastra dan jagat kebudayaan Yogyakarta.

    Mas Iman Budhi Santosa secara pelan dan mendalam menguraikan soal puisi dan kehidupan. Soal pilihan hidupnya pada puisi. Soal bagaimana menjadi penyair yang tak hanya sebatas. Soal bagaimana menguasai teknik menulis puisi. Dan soal lainnya yang seharusnya dimiliki bagi siapa saja yang akan menceburkan diri dalam puisi. Peserta dengan baik mengikuti diskusi ini. Diskusi soal kedalaman puisi. Puisi dan kehidupan.

    Hampir pukul setengah dua. Badan kurebahkan di panggung yang tadi digunakan acara. Di sampingku Mas Sigit juga sudah merebahkan badannya. Mimpi kujemput.

    Hari Minggu pagi. Acara hari ini adalah jalan-jalan dengan truk terbuka menuju perkebunan teh Medini. Peserta sudah siap. Truk terisi. Truk bergerak membelah jalanan Boja. Selepas pasar truk berbelok ke kiri. Menuju perkebunan Medini. Kabut turun pelan-pelan. Udara pegunungan segar menyapa. Mata dimanjakan hamparan kebun teh yang hijau. Langit biru cerah. Matahari belum terik menyapa kulit. Truk melahap tanjakan dan tikungan dengan sigap. Di belakang rombongan Mas Iman Budhi Santosa dalam Kijang warna coklat menguntit. Di atas truk keriangan membahana. Pagi tadi kawan dari Bogor, Mas Daurie Bintang Reborn tiba di Boja. Kini sudah ada di atas truk bersama rombongan.

    Di sini di perkebunan teh Medini ini Mas Iman Budhi Santosa pernah mengabdi. Mengabdi sejak hari Ahad tanggal 28 Maret 1971 sebagai karyawan bagian pembibitan di kebun teh lereng gunung Ungaran ini. Pada tahun 1975 ia harus mengundurkan diri dari perkebunan ini ketika ia memegang jabatan sebagai ketua Afdeling Medini.

    Sebuah bangunan beratap seng menjadi tempat pemberhentian kami. Truk menurunkan penumpang. Para peserta memenuhi ruang tempat daun teh hasil petikan ditimbang. Mas Heri membuka acara. Dilanjutkan dengan penyerahan buku Merajut Sunyi, Membaca Nurani kepada Mas Iman Budhi Santosa oleh Mas Sigit Susanto.

    Kemudian Mas Iman menyampaikan kisahnya ketika bekerja di perkebunan ini. Hembus udara yang segar menerpa tubuh. Sesegar apa yang disampaikan Mas Iman kepada para peserta. Saat Mas Iman sedang berbicara seorang kawan lama Mas Iman tiba. Selanjutnya beberapa peserta membacakan isi buku tersebut. Ada yang membaca puisi. Ada pula yang membaca potongan catatan dalam buku tersebut.

    Selepas dari kebun kami kembali menaiki truk. Menuju perumahan pegawai perkebunan. Di salah satu rumah kami menyantap makan siang. Makanannya enak sekali. Di depan kolam ikan. Selain kawan-kawan KLM dan Lestra dalam group ini kemudian kukenal ada penyair perempuan yang baru saja merilis buku, Astry Anjani. Di bawah pohon. Di teras rumah kami makan bersama.

    Hampir pukul empat ketika rombongan kembali tiba di Pondok Maos Guyub. Rencanaku memotong rambut di tempat potong rambut sekira 200 meter dari Pondok Maos Guyub. Ketika tiba di sana, kios potong rambut masih tutup. Kuhabiskan sisa sore dengan berjalan menyusuri jalanan Boja hingga ke jembatan. Sore yang hanya beberapa jam itu kunikmati menyusuri jalan di Boja. Desa Boja di waktu sore mengingatkan aku pada Desa Jejerukan tempat aku lahir dan dibesarkan.

    Menjelang malam aku berpamitan. Bus membawaku kembali ke barat.

    (Ubaidilah Muchtar, pengelola Taman Baca Multatuli di Ciseel, Sobang, Lebak, Banten)
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    2 komentar:

    1. wah, ini pak ubay yang dulu guru syifa budi yah?
      wah, kaget banget saya pak, tau2 muncul di kick andy..

      lanjutkan perjuanganny ya pak, saya sebagai murid bapak dulu di sd, jd ikutan bangga hahaa


      salam dr angkatan pertama syifa budi, edlyn p.

      ReplyDelete
    2. Benar, Edlyn Pinastika. Bagaimana kabar Edlyn, sekarang? Terima kasih, Edlyn. Semangat selalu untuk, Edlyn.

      Salam Multatuli,
      UMH

      ReplyDelete

    Item Reviewed: Kendal Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top