oleh Petrik Matanasi
Tapi, Edward Douwes Dekker bukan Adam. Entah ia turunan Adam yang keberapa? Jika dia tidak percaya pada Darwin—yang mengarahkan bahwa manusia adalah turunan kera. Dekker yang satu ini, punya deritanya sendiri. Pergi jauh dari Negeri Belanda. Menuju koloni di Hindia Belanda. Demi sebuah hidup baru baginya.
Beberapa daerah telah dijelajahi Dekker sebagai semacam controleur Belanda—dalam jajaran Pangreh Praja. Dekker lalu melihat penderitaan para petani di Indonesia. Pengalaman sebagai pegawai Belanda di Indonesia lalu dituangkannya dalam tulisannya yang monumental, Max Havelaar. Sebuah novel, yang diadaptasi dari pengalamannya. Max Havelaar tak lain adalah Dekker sendiri.
Dekker mencatat derita kaum pribumi. Ternyata, penjajah bukan yang berbeda kulit semata. Yang sama kulit pun, yang adalah kaum priyayi, memaksakan diri menjajah yang lebih lemah darinya demi kehormatan. Begitulah hukum rimba mengabadi. Dekker, juga Max dalam novel, sendiri adalah bagian dari penindasan itu sendiri. Dimana penderitaan lahir dari penindasan.
Rupanya, Dekker punya penderitaannya sendiri. Melihat penderitaan juga penderitaan baginya. Sulit melawan juga. Dekker jelas tak mampu melawan sistem kolonial yang begitu kuat. Dimana kolonialisme telah memperkaya raja Belanda. Dekker tidak akan berhasil sepertinya. Kolonialisme adalah barang berharga bagi kerajaan Belanda. Begitu juga tanam paksa yang diterapkan dalam kolonialisme.
Dekker yang begitu tersiksa itu bisa selesaikan juga Max Havelaar-nya. Dalam sebulan, ditahun 1859, naskah itu dirampungkan. Tahun berikutnya, 1860, naskah itu terbit. Segera karyanya menuai hasil yang luar biasa. Dekker memakai nama Multatuli—yang artinya aku yang banyak menderita.
Dekker menuangkan deritanya sebagai saksi atas sistem yang jahat. Max Havelaar menuntut sistem tanam paksa segera diakhiri. Benar saja, satu dekade kemudian, setelah kantong kerajaan penuh oleh tanam paksa yang menguras keringat orang pribumi itu, berakhir pada 1870. Dimana derita rakyat koloni berganti lagi. tidak berakhir. Hanya tanam paksa yang berakhir.
Sejarah dunia menyajikan beribu siksa bagi banyak manusia. Banyak yang tersisa, banyak yang menderita. Itulah dunia. Derita adalah warisan abadi bagi rakyat jelata. Kesenangan hanya milik keluarga para raja. Derita rakyat jelata terletak pada masalah perut. Derita keluarga raja, biasanya lebih karena kehormatan. Rasanya, semua orang punya deritanya sendiri.
Banyak yang harus menderita. Bahkan ada yang harus lebih menderita dari yang lainnya. Bahkan ada jalan, bahkan banyak jalan yang melalui penderitaan panjang. Dimana derita harus dimaknai. Derita bukan lagi sebuah kesakitan bagi dirinya, tapi sesuatu yang harus dinikmatinya. Ini pasti jalan gila. Sudah pasti jalan yang sunyi.
Tak banyak dari orang tahu, bahkan tak banyak yang inginkan jalan itu. Sedikit orang yang memilihnya. Multatuli, adalah orang terseret dalam kesunyian karena sikapnya. Menulis mungkin juga jalan sunyi penuh derita bagi beberapa orang. Menulis, punya tuntutan tersendiri dalam memaknai penderitaan. Entah sebagai siksaan ataupun sebagai lelucon.
NB: Eduard Douwes Dekker (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli "aku telah bertahan") , adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda. Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150338969215563
Max Havelaar adalah bingkisan luar biasa. Dimana terangkum derita tanam paksa yang melanda pribumi.SIKSA adalah kekal. Karena siksa bagian dari hidup. Mana yang tanpa siksa? Terlebih roman gelap Fyodor Dostoyevsky. Dimana keputus-asaan dan derita adalah warna paling cerah. Siksa telah menyatu dengan manusia sejak Adam turun ke dunia. Dimana Adam harus hidup dalam kerasnya alam dan kesunyian. Betapa beratnya menjadi manusia pertama. Entah Adam anggap itu derita atau tidak?
Tapi, Edward Douwes Dekker bukan Adam. Entah ia turunan Adam yang keberapa? Jika dia tidak percaya pada Darwin—yang mengarahkan bahwa manusia adalah turunan kera. Dekker yang satu ini, punya deritanya sendiri. Pergi jauh dari Negeri Belanda. Menuju koloni di Hindia Belanda. Demi sebuah hidup baru baginya.
Beberapa daerah telah dijelajahi Dekker sebagai semacam controleur Belanda—dalam jajaran Pangreh Praja. Dekker lalu melihat penderitaan para petani di Indonesia. Pengalaman sebagai pegawai Belanda di Indonesia lalu dituangkannya dalam tulisannya yang monumental, Max Havelaar. Sebuah novel, yang diadaptasi dari pengalamannya. Max Havelaar tak lain adalah Dekker sendiri.
Dekker mencatat derita kaum pribumi. Ternyata, penjajah bukan yang berbeda kulit semata. Yang sama kulit pun, yang adalah kaum priyayi, memaksakan diri menjajah yang lebih lemah darinya demi kehormatan. Begitulah hukum rimba mengabadi. Dekker, juga Max dalam novel, sendiri adalah bagian dari penindasan itu sendiri. Dimana penderitaan lahir dari penindasan.
Rupanya, Dekker punya penderitaannya sendiri. Melihat penderitaan juga penderitaan baginya. Sulit melawan juga. Dekker jelas tak mampu melawan sistem kolonial yang begitu kuat. Dimana kolonialisme telah memperkaya raja Belanda. Dekker tidak akan berhasil sepertinya. Kolonialisme adalah barang berharga bagi kerajaan Belanda. Begitu juga tanam paksa yang diterapkan dalam kolonialisme.
Dekker yang begitu tersiksa itu bisa selesaikan juga Max Havelaar-nya. Dalam sebulan, ditahun 1859, naskah itu dirampungkan. Tahun berikutnya, 1860, naskah itu terbit. Segera karyanya menuai hasil yang luar biasa. Dekker memakai nama Multatuli—yang artinya aku yang banyak menderita.
Dekker menuangkan deritanya sebagai saksi atas sistem yang jahat. Max Havelaar menuntut sistem tanam paksa segera diakhiri. Benar saja, satu dekade kemudian, setelah kantong kerajaan penuh oleh tanam paksa yang menguras keringat orang pribumi itu, berakhir pada 1870. Dimana derita rakyat koloni berganti lagi. tidak berakhir. Hanya tanam paksa yang berakhir.
Sejarah dunia menyajikan beribu siksa bagi banyak manusia. Banyak yang tersisa, banyak yang menderita. Itulah dunia. Derita adalah warisan abadi bagi rakyat jelata. Kesenangan hanya milik keluarga para raja. Derita rakyat jelata terletak pada masalah perut. Derita keluarga raja, biasanya lebih karena kehormatan. Rasanya, semua orang punya deritanya sendiri.
Banyak yang harus menderita. Bahkan ada yang harus lebih menderita dari yang lainnya. Bahkan ada jalan, bahkan banyak jalan yang melalui penderitaan panjang. Dimana derita harus dimaknai. Derita bukan lagi sebuah kesakitan bagi dirinya, tapi sesuatu yang harus dinikmatinya. Ini pasti jalan gila. Sudah pasti jalan yang sunyi.
Tak banyak dari orang tahu, bahkan tak banyak yang inginkan jalan itu. Sedikit orang yang memilihnya. Multatuli, adalah orang terseret dalam kesunyian karena sikapnya. Menulis mungkin juga jalan sunyi penuh derita bagi beberapa orang. Menulis, punya tuntutan tersendiri dalam memaknai penderitaan. Entah sebagai siksaan ataupun sebagai lelucon.
NB: Eduard Douwes Dekker (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli "aku telah bertahan") , adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda. Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150338969215563
0 komentar:
Post a Comment