oleh Leni Marlin Lase
[Pejalan dan editor di salah satu penerbitan di Yogyakarta.]
Saya belum pernah menjejakkan kaki di Banten. Selama ini, saya hanya melihat dari televisi dan mencoba membayangkan keadaan di sana seperti apa. Saat diajak Esther Mahanani untuk bertualang ke sebuah daerah di Banten, dengan sangat bahagia, saya mengiyakan. Catatan perjalanan ini ditulis di pengujung Mei, sebelum kenangan mengabur kemudian hilang. Ini catatan yang panjang, jadi ambil kopimu dan habiskan sore indah ini bersama saya.
Menuju Jakarta
Rencananya, saya akan bertemu Esther Mahanani (EM) di Stasiun Tawang, Semarang sebelum pukul 20.00 WIB. Kami berangkat bareng anggota rombongan lain dengan kereta Senja Utama, menuju Stasiun Senen, Jakarta. Karena saya berangkat siang dari Jogja, dan menebak bahwa perjalanan akan sangat jauh, maka saya berniat numpang mandi dulu di kos teman di bilangan Semarang Indah. Untung juga, kos teman ini berdekatan dengan stasiun Tawang sehingga agak mudah dicapai (thanks Retno untuk tumpangan dan anteran sampai ke Tawang).
Saya hampir lima tahun di Semarang, dan kadang-kadang datang ke sana mengunjungi teman-teman yang masih tinggal di kota itu. Hari itu, ketika kembali ke sana, ada sebongkah ingatan menyeruak ke ujung benak saya. Semarang demikian banyak berubah, saya agak sedikit kurang mengenalinya lagi.
Saya akhirnya sampai di Stasiun Tawang, dengan selamat, sehat, dan kenyang (sebelumnya sudah makan dulu). Saya bertemu dengan EM, kopi darat dengan Mas Sigit, dan berkenalan dengan Mbah Jamali. Sebelumnya saya agak kaget juga, karena EM tidak memberitahu siapa saja anggota rombongan. Hanya sempat SMS-an untuk memastikan posisi terakhir, dengan embel-embel : “Saya bareng orang-orang unik, lho nda..” Setelah bertemu, baru saya tahu seberapa unik yang dimaksudkan EM. Tidak berapa lama kemudian, datanglah seorang laki-laki dan seorang perempuan (tampaknya mereka ini ada hubungan khusus.. hahaha.. ). Inilah anggota rombongan yang terakhir, namanya Tommas, dengan dua M bukan H.
Senja Utama membelah malam dengan gagah. Kami dibawa menuju Ibukota. Di dalam kereta bisnis ini, saya dan EM melepas rindu (hueks hehe) setelah setahun lebih tidak ketemu. Selama ini kami hanya ngobrol via jejaring sosial, atau SMS jika perlu. Mas Sigit yang duduk bersama Mbah Jamali berulangkali berdiri dan ikut nimbrung, mungkin untuk mengatasi kegerahan. Kereta bisnis memang hanya dilengkapi kipas angin. AC ada tapi bukan Air Conditioner melainkan Angin Cendela, itupun hanya seimprit alias sedikit sekali.
Namun, akhirnya, perjalanan kurang tidur itu, bisa kami lewati. Kami tiba di Senen dengan sentosa sekitar pukul empat pagi kurang lebih. Sebelum kami turun, seorang anak muda datang menyemprotkan parfum ruangan di sela-sela tempat duduk, kemudian mengulurkan sebuah wadah, yang mungkin seharusnya diisi oleh uang. Kami tersenyum geli, merasa tahu diri sebagai sumber bau-bauan karena semalaman mendekam di kereta, keringatan, dan belum mandi.
Ciseel, Saya Datang
Dari stasiun Senen, jalur selanjutnya adalah menuju Terminal Tanah Abang, untuk mengambil kereta menuju Rangkasbitung. Kereta yang bagus, menurut Kang Ubay, adalah yang jam delapan pagi. Oleh karena itu, tanpa menunda, kami langsung menuju Tanah Abang. Mas Sigit mengajak kami berlima naik bajaj warna biru.
Formasi di dalam bajaj adalah : Tommas dengan dua M bukan H di samping abang bajaj. Di belakang, ada saya, EM, Mas Sigit dan Mbah Jamali. Di dalam bajaj, terjadilah percakapan antara Mas Sigit dan Abang Bajaj, yang kalau saya tidak salah ingat bernama Joko. Percakapan menggunakan bahasa Jawa Banyumasan karena ternyata si Abang Joko ini berasal dari Jawa (sebutan orang-orang Jakarta untuk daerah Jawa Tengah, dan mungkin juga Jawa Timur). Menurut saya, si Abang Joko ini mirip seorang pemain figuran sebuah film yang entah kapan pernah saya lihat.
Asyik sekali menelusuri jalanan protokol Jakarta yang sepi di pagi itu. Rasanya masih kayak di Jogja saja. Sesampai di Tanah Abang, Mas Sigit pun tukeran nomer hp dengan Abang Joko, janjian untuk ketemu di Senin siang, untuk membawa kami jalan-jalan naik bajaj keliling Jakarta. Untuk menegaskan pertemuan, kami lalu foto bareng.
Di Tanah Abang, kami bertemu dengan Kang Husni dan Mbak Ita Siregar. Kami langsung merangkai perjalanan menuju Ciseel dimulai dari Tanah Abang, Rangkasbitung, Terminal Ciminyak, dan kemudian pangkalan ojeg sebelum Ciseel. Kereta dari Tanah Abang menuju Rangkasbitung lumayan bagus. Benar kata Kang Ubay. Untuk kereta berongkos tiga ribu rupiah, dengan perjalanan sekitar tiga jam penuh, kami agak keheranan juga. Murah banget. Sesampai di Rangkasbitung, kami naik angkot menuju Terminal Ciminyak. Dalam perjalanan, kami bertanya kepada penumpang lain mengenai jalur terbaik yang bisa kami tempuh menuju Ciseel. Di sinilah Kang Husni mempraktikkan bahasa Sunda-nya. Sangat membantu.
Di Ciminyak, beberapa sopir sudah menunggu. Ini terminal sepi juga. Hanya ada beberapa bis kecil parkir menunggu penumpang. Sekali lagi Kang Husni bernegosiasi dengan salah seorang sopir. Para sopir saling ngobrol entah tentang apa. Sayup-sayup saya dengar, “Mau ke Chikago? Chicago? Naik ini aja,” (dalam bahasa Sunda). Saya dan EM tertawa geli. Belakangan saya tahu, Chikago yang dimaksud adalah Cikadu, jalan terakhir yang bisa ditempuh kendaraan roda empat menuju Ciseel. Saking bersemangatnya, saya menjadi sedikit kurang konsentrasi...
Setelah itu, kami naik ojeg. Saya tidak tahu berapa lama perjalanan naik ojeg menuju Ciseel. Tapi rasanya, saya seperti telah duduk berjam-jam dan ingin segera turun. Bukan cuma kaki yang tegang, tangan juga ikut tegang bahkan sempat tak sengaja mencubit bahu si abang tukang ojeg, saking kagetnya saya dengan rute yang kami tempuh. Di beberapa tanjakan, saya memaksa untuk turun dan jalan kaki, karena takut motornya terbalik ke belakang. Kami melewati medan mulai dari jalan aspal, jalan bebatuan, jalan tanah selebar kira-kira tiga puluh sentimeter, hingga jalan setapak di pinggir rumah penduduk. Sebagian besar jalanan diapit oleh jurang yang dalam. Saya semakin erat berpegangan. Abang tukang ojeg pun tampaknya kesulitan dan berusaha keras menjaga keseimbangan motornya. Untuk menutupi ketegangan, ia berulang kali bertanya, “Nggak apa-apa Neng?” Tak kuasa berkata-kata, saya hanya mengangguk sambil merapal doa dalam hati.
Siang itu, saya lupa jam berapa kami tiba di Ciseel. Yang saya ingat, seorang laki-laki, yang kemudian saya kenal adalah Kang Ubay, menyambut kami dengan hangat di Taman Baca Multatuli, tujuan akhir kami hari itu, sambil menyuguhkan makanan kecil beserta minum. Saya juga ingat, ada semacam kelegaan, akhirnya bisa sampai dengan selamat. Rasa lelah akibat perjalanan sehari semalam beserta rasa laparnya, menguap sudah.
Saijah dan Adinda
Sebelum mengikuti acara ini, saya sempat meminjam buku Max Havelaar di Perpustakaan Daerah Yogyakarta. Namun, hingga acara dimulai, saya baru membaca sampai halaman 30 saja. Bagian yang menceritakan Saijah dan Adinda, belum saya temukan. Jujur, saya kenal nama Multatuli sudah lama dari buku sejarah, tapi menyentuh novelnya baru saja terakhir ini. Alhasil saya buta mengenai kisah yang katanya menyayat hati itu.
Memang, saya sempat ngobrol dengan Kang Sigit via jejaring sosial mengenai Saijah dan Adinda, sekitar dua hari sebelum keberangkatan. Ia mewanti-wanti saya untuk peka, jika nanti ketika tiba di Lebak, Banten, saya merasa pernah ke tempat itu sebelumnya, maka kemungkinan saya adalah reinkarnasi Adinda yang dulu hijrah ke Lampung, Pulau Sumatra.
“Tapi kan saya bukan dari Lampung,” bantah saya.
“Yang penting Sumatra, bisa jadi dulu Adinda dari Lampung menuju Nias (kota kelahiran saya), lalu kamu adalah reinkarnasinya. Nanti, jika ada seseorang yang menunggu di bawah pohon ketapang, dan memanggilmu Adinda, mungkin dia adalah Saijah,” begitulah teori mas Sigit.
Saya pun berpikir sebentar dan memutuskan sebuah hal, “Baiklah. Kalau begitu, saya tidak usah membeli tiket pulang dulu. Siapa tahu memang benar.”
Sepanjang perjalanan ke Ciseel, saya memang agak familiar dengan daerah itu. Pohon-pohon di pinggir jalan, jalan setapak, rumah-rumah, orang-orang, hingga bau hutan. Semuanya mengingatkan saya dengan Nias, kota kelahiran. Situasinya tidak jauh beda. Saya serasa pulang ke rumah. Tapi saya juga masih agak ragu menyebut diri sendiri sebagai reinkarnasi Adinda.
Pentas Saijah dan Adinda, berlangsung sukses. Anak-anak sangat antusias. Demikian juga para penonton, yang terdiri dari kami, rombongan yang baru datang, dan orang tua-orang tua yang ingin melihat aksi anak-anak mereka. Kerbau Saijah – yang kemudian tiap ketemu dengan setiap kerbau di manapun, selalu diteriaki ‘Kerbau Saijah’ – adalah pemeran pembantu yang hebat.
Malamnya, acara diskusi dan kesenian. Saya tidak mengikuti keseluruhannya karena kondisi badan yang mulai terasa tidak enak. Di tengah-tengah, saya segera menelusup ke tempat tidur dan mulai terbang ke dunia mimpi. Di luar, masyarakat Ciseel masih riuh, menikmati hamburan sinar bulan yang eksotis.
MCK dan Sinyal
Pagi-pagi sekali, anak-anak Ciseel sudah rame di depan Taman Baca Multatuli. Mereka menunggu sesi selanjutnya dari acara sastra Multatuli. Saya, yang baru saja terbangun akibat ojeg shock theraphy kemarin, mendapati teman-teman lain baru ngeteh, ngopi, dan ngemil dengan muka baru bangun tidur. Ternyata sama saja..
Pagi itu, kami menuju dataran yang lebih tinggi, jalan kaki sekitar lima belas menit, menelusuri aliran air pegunungan. Ada pipa-pipa yang mengalirkan air menuju perkampungan. Di beberapa tempat, air terlihat melimpah ke luar, mungkin tidak sanggup menampung luapan air yang demikian deras. Saya dan EM menyesal tidak membawa alat mandi. Lumayan juga. Kesegaran pegunungan yang sudah lama hilang bisa didapatkan dengan cuma-cuma. Terlalu sayang untuk dilewatkan. Lagipula, kamar mandi di Taman Baca, bergaya topless – ini istilah EM – jadi kita harus mandi sambil jongkok. Jika berdiri, sama saja mempertontonkan bagian atas tubuh kepada ibu-ibu yang sedang sibuk di dapur memasak jengkol. Tommas, dengan dua M, bukan H, mengatakan, “Baru kali ini aku mandi harus ekstra konsentrasi…”.
Untuk urusan kamar mandi ini, saya dan EM pun diberitahu bahwa ada MCK (mandi, cuci, dan kakus), di ujung jalan. Itu sebagai alternatif jika ingin melaksanakan kewajiban lainnya tiap pagi. “Kalau nggak di situ ya ada sungai,” Jadi kami lebih memilih MCK.
Namun, ada saat dimana MCK kekurangan air. Biasanya itu terjadi saat hujan deras baru saja melanda Ciseel. Saat Sabtu sore mau mandi di MCK, para penduduk menjelaskan, air di MCK sedang nyusut. “Kalau mau, itu di masjid masih ada air,” usul mereka. Kami mencoba melihat dan mendapati bahwa yang dimaksud bukan kamar mandi, melainkan tempat wudhu. Memang luas, lagipula gelap juga, karena listrik tidak ada. Tapi tetap saja kami memilih MCK. Kami mencoret alternatif satu itu. Bagaimana mungkin? Hehe.
Selain MCK, hal lain yang membuat saya dan EM (juga Tommas dengan dua M bukan H), serta mungkin teman-teman lain lumayan kaget adalah urusan sinyal. Sebenarnya, saya juga sudah diberitahu bahwa sinyal memang susah ditemui di Ciseel. Saya ikhlas saja. Toh, saya sedang tidak menunggu apa-apa dan siapa-siapa saat itu. Saya kadang-kadang berusaha untuk menjauhkan diri dari benda bernama handphone untuk menjaga batin tetap bersih dan tenang (hadeh, gayane, rek..).
Namun EM dan Tommas dengan dua M bukan H, rupanya tidak sama dengan saya. Malam-malam, mereka, dan saya mengikuti dari belakang, menuju ujung jalan. Kata Mas Ubay, ia sering nongkrong di sana untuk menelpon. Penduduk lain juga sama. Benar. Memang bisa. Tapi itu hanya untuk provider tertentu. Provider punya saya, di sudut desa manapun, sama sekali tak menemukan sinyalnya. “Sekalian mengunjungi kamar mandi,” begitulah kami bertiga duduk sambil menunggui satu-persatu menunaikan kewajibannya.
Menuju Kantor Bupati Lebak
Sabtu, 14 Mei 2011. Hari ini, peserta reading group Multatuli, bersama kami, akan menyusuri jejak Multatuli di Lebak, Banten. Kami berangkat dari Ciseel sekitar pukul delapan pagi. Jalan kaki. Saya merasa jalan yang kami tempuh jauh sekali. Naik turun, jalan batu, dan tanah merah. Namun, udara segar pagi hari cukup menghibur. Pada akhirnya, kami bertanya kepada Kang Ubay, apakah masih jauh perjalanan kaki itu, ia hanya menjawab, lima menit lagi sampai. Percaya saja, kami terus melangkah. Eh, sepuluh menit, lima belas menit, tetap saja tidak ada tanda-tanda kehidupan di depan kami. Berulang kali kami beristirahat sambil menarik napas dalam-dalam. Kaki rasanya kemeng. Tanjakan maupun turunan, sama saja berat dilewati. Mbak Ita, yang ikut rombongan kelelahan itu, menggumam, “Mana nih Kang Ubay, katanya lima menit lagi…” Kang Ubay sudah jalan duluan. Mungkin tidak ingin ditanyai lagi.
Menuju Lebak, kami naik truk bak terbuka warna kuning. Biasanya truk ini mengangkut barang-barang, bukan orang. Saya baru pertama kali naik truk macam begini. Anak-anak Ciseel sudah mengambil posisi, kami yang baru datang juga kemudian naik.
Naik truk bak terbuka adalah pengalaman menarik sekaligus mendebarkan. Awalnya saya, EM, dan semua orang di atas truk, berdiri untuk menikmati hembusan angin dan pemandangan. Makin lama eh jalannya makin meliuk-liuk dan kami kesulitan menjaga keseimbangan tubuh. Saya menyerah dan memilih untuk duduk saja. Ada sejumlah batu yang juga ikut menemani perjalanan kami saat itu, masih dilumuri tanah merah. Saya pun mencari posisi duduk yang enak di tengah dempetan orang-orang. Berkali-kali saya terantuk sana-sini, berusaha untuk tidak menjepit adik-adik yang ukuran tubuhnya lebih kecil (tentu saja) dari saya.
Perjuangan itu berakhir di Kantor Bupati Lebak, Banten. Kami turun dan makan siang di sana. Sehabis makan siang, jadwalnya adalah mengunjungi sisa-sisa sejarah peninggalan Multatuli, tidak jauh dari Kantor Bupati Lebak.
Sebelumnya, saya dan EM berkeliling di Kantor Bupati itu. Iseng-iseng, saya merebahkan diri di sebuah kursi panjang, agak jauh dari rombongan. Saya mencoba menutup mata, dan menyamankan diri dengan angin semilir yang berhembus pelan-pelan. Bangun-bangun, sekeliling sudah sepi. Saya agak sedikit kaget. Bukan apa-apa, saya tidak membawa handphone, tidak membawa dompet, dan sendirian di tempat asing. Bagaimana cara pulang? Untunglah, masih ada anggota rombongan yang tertinggal, Mbah Jamali, Mas KEF, dan kemudian datang Mbak Ita, dan Mbak Endah. Sopir truk juga masih menunggu beserta truknya. Amaaannn..
Hujan dan Mie Rebus Pake Telor
Perjalanan pulang dari Lebak adalah perjuangan yang berbeda lagi. Memang rombongan kini sudah dibagi dalam dua kendaraan, satu truk bak terbuka, satu lagi pick up kecil warna hitam. Jadinya, kami semua bisa berpegangan di tepi truk atau di kepala truk menghadang angin. Bagian tubuh yang harus diperhatikan ketika menumpang di truk bak terbuka adalah : KEPALA. Hati-hati dengan kepala. Apalagi jika berdiri di depan atau di pinggir. Bila kurang konsentrasi, maka ranting-ranting pohon yang menjulur ke tengah jalan bisa menampar muka kita. Saya merasakannya sekali, sungguh tidak enak. Sejak itu, mereka yang duduk di belakang, selalu berteriak, “Awas kepala.. kepalaaa… kiriii!” Artinya, di sebelah kiri ada ranting, kepala harap menunduk.
Truk bak terbuka juga berarti, kita siap diterpa angin, panas, dan hujan. Angin dan panas sudah terasa sejak keberangkatan. Hujan, baru mengguyur saat perjalanan pulang. Memang mendung. Saat mau pulang pun sudah mulai rintik. Di tengah jalan, hujan bertambah deras. Masing-masing menyelamatkan barang-barang pribadinya yang rusak jika terkena air. Di dalam truk ada karpet warna biru yang akhirnya kami bentangkan dengan susah payah. Untuk menutupi badan dari hempasan air hujan. Anak-anak lebih senang main hujan. Akibatnya terjadi kesenjangan, sebelah kanan tertutup, sebelah kiri tidak. Namun, semua merasa senang diberi pilihan.
Turun dari truk bak terbuka bukan berarti selesai. Kami harus menempuh perjalanan darat dan air (melewati sungai) kala malam sudah mulai turun. Hujan di hulu berarti air bisa saja melimpah. Dibantu oleh anak-anak Ciseel, kami pun menyeberang. Agak susah juga karena arus sudah lumayan deras. Apalagi gelap. Harus hati-hati sekali, dan saling berpegangan tangan.
Hujan masih turun, jalanan licin. Saya sampai bingung, mau pakai sendal atau nyeker saja. Dasar kurang persiapan, ke Ciseel hanya bawa satu sandal jepit. Tapi tidak sepatu. Namun, sama saja, pakai sandal, atau sepatu (kecuali sepatu khusus untuk trekking) licin sekali. Nah, mau nyeker, kaki rasanya seperti ditusuk-tusuk. Pedih euy. Jadi, saya memutuskan, di jalan yang ada tanahnya saya nyeker, sementara jika bebatuan, saya akan pakai sandal lagi. Tommas dengan dua M bukan H, ikut bingung, “Dilepas lagi, dipakai lagi…” Saya cuma nyengir saja.
Sesampainya di Ciseel, saya melewati jalanan kampung dengan gagah. Bagaimana tidak merasa gagah, hingga kini, inilah rekor perjalanan saya yang paling panjang dan paling melelahkan. Mulai pagi hingga malam - Meski tentu saja, belum ada apa-apanya dengan suku Baduy Dalam yang tiga puluh tahun lempeng wae (jalan terus).
Kami melewati kampung yang mulai ramai mempersiapkan acara selanjutnya. Sebentar harum mie instan rebus menyeruak ke hidung EM. Ia pun memberi usul agar kami mampir di warung itu, demi mendapatkan semangkok mie instan hangat. Tentu saja saya setuju. Hawa dingin akibat kehujanan membuat saya juga lapar. Dengan badan masih memakai pakaian basah setengah kering, kami duduk di lantai sebuah rumah, menyendok satu demi satu kuah mie instan hangat plus telor sambil tertawa-tawa membicarakan kembali petualangan hari itu.
Baduy Dalam
Besoknya, Minggu, 15 Mei 2011, kami menuju Kampung Cikeusik, tempat tinggal para suku Baduy Dalam. Tentu saja, perjalanan dimulai dengan jalan kaki, naik turun gunung, menarik nafas dalam-dalam, menyeberang sungai yang airnya sudah menyusut, hingga naik truk bak terbuka (lagi).
Kali ini perjalanan naik truk bak terbuka terasa lebih lama dari sebelumnya. Saya, EM, Tommas dengan dua M bukan H, Kang Ervin, Kang Erlang, Mbak Ade, dan beberapa yang lain berada dalam satu truk. Sekali-kali saya berdiri di tepi truk, dan selanjutnya duduk lagi, pasrah pada sopir yang begitu lihai membawa truknya menuju Cijahe, perbatasan dengan Cikeusik. Kali ini, yang harus diperhatikan dan dijaga adalah, maaf, bagian belakang tubuh yang disebut bokong. Jalanan, selain meliuk ke sana kemari, juga tidak rata alias banyak yang bolong. Akibatnya, ketika truk melewati lubang-lubang tersebut, maaf, bokong terasa ditusuk-tusuk. Apalagi jika sampai terantuk. Waduh. Pokoknya lumayan.
Dari Cijahe, diteruskan dengan jalan kaki sekitar dua jam kurang lebih. Kali ini kami melewati jalanan panjang bertanah merah. Saat berangkat tidak ada masalah. Saat pulang, tanah merah ini lengket di kaki, lengket di sandal, lengket di celana. Karena hujan terlebih dulu menghajar. Kami harus hati-hati jika tidak mau terpeleset.
Kampung Baduy Dalam, memang masih alami. Rumah-rumah masih terbuat dari kayu. Penghuninya masih memakai pakaian kebanggaan mereka, putih agak kusam. Tanpa alas kaki, tanpa alat elektronik. Kepala suku, yang dipanggil puun, tinggal di rumah paling ujung, dibatasi oleh sebuah bambu panjang yang dibentangkan. Tidak sembarang orang bisa melewati batas itu. Kami, yang disambut seorang warga asli hanya melihat-lihat keadaan sekeliling.
Selanjutnya, kami menyusur jalan pulang, ditemani hujan deras hingga gerimis. Sebelum kembali naik truk bak terbuka, saya, EM, Kang Husni, Tommas dengan dua M bukan H, Mas Sigit, Kang Ervin, dan Mbak Linda, istri Mas Ubay, mampir di sebuah warung kecil yang menjual pernak-pernik suku Baduy. Saya membeli gelang seharga lima ribu rupiah, yang lain membeli kaos, dan kain khas suku Baduy.
Pulang Pulang Pulang
Hari Minggu itu belum usai, masih dilanjutkan dengan menonton film Max Havelaar. Rencana kami untuk mengulangi kesuksesan mie instan hangat tidak jadi, karena dengan segera kami sudah mendapati hidangan makan malam yang asoy geboy jengkol pete. Pete adalah pendatang baru, sebelumnya kami ditemani oleh jengkol dan ikan asin. Makan malam terakhir ini, ditandai dengan tandasnya berenteng-renteng pete mentah, makanan yang katanya sangat disukai oleh Tommas dengan dua M bukan H. Tidak ada kata malu bagi kami, semua sikat habis. Untung saja, Tommas dengan dua M bukan H, tidak benar-benar melaksanakan niatnya untuk membawa pulang si pete.
Setelah film Max Havelaar, katanya masih dilanjutkan dengan film Wiro Sableng dan Roma Irama. Saya tidak sempat mengikuti karena kembali terkapar di tempat tidur.
Esok paginya, kami bersiap pulang ke tempat masing-masing. Saya, EM, Mas Sigit, Tommas dengan dua M bukan H, Kang Husni, serta Mbah Jamali adalah rombongan terakhir. Tadi malam Mbak Ita, Mbak Endah, Mas KEF, Pak Natsir, Vito, Pak Rahardi, Ibu Retno, Mas Wahyu sudah duluan pulang. Sementara Kang Sutan masih tinggal mengumpulkan tenaga.
Kembali kami naik ojeg, naik angkot, naik kereta, naik bajaj dan akhirnya naik kereta lagi (kecuali Kang Husni yang tinggal di Jakarta). Di Senen, saya berpisah dengan rombongan lain, langsung menuju Jogja.
Selamat tinggal Ciseel, sampai ketemu lagi. Terimakasih Kang Ubay, apakah permintaan Mbak Endah untuk ikut pembacaan Max Havelaar sesi kedua telah dipertimbangkan? Tapi, kata Mbak Endah, ia hanya mau menunggu di Rangkasbitung saja hehe. Suatu saat nanti, mudah-mudahan kita semua dipertemukan kembali, entah bulan depan, tahun depan, atau bertahun-tahun kemudian. Yang penting tetap saling mengingat dan terus membaca. Hidup Puun Ubay. Hidup Puun Rahardi. Hidup semua puun di dunia ini. Merdeka!
0 komentar:
Post a Comment