728x90 AdSpace

  • Latest News

    20 November 2011

    Catatan #12 Adinda, Rindu Berat

    oleh Pipih Suyati
    [Kelas IX SMPN Satap 3 Sobang. Pemeran Adinda Dewasa di pementasan drama Saijah Adinda.]
    Hari Jumat, 13 Mei 2011
    Pagi-pagi sekitar jam 05.15 aku sudah bangun tidur. Dan aku pun langsung mengambil air wudhu lalu shalat. Selesai itu, aku bantu-bantu orang tua, tapi bantu-bantunya juga tidak seperti biasanya. Biasanya mah aku pagi-pagi selalu cuci piring tapi sekitar minggu-minggu ini aku tidak. Karena di rumah ada bibi. Ketika aku mau cuci piring selalu saja melarangnya. Jadi paling-paling juga aku hanya jemur pakaian doang. Dan setelah itu aku mandi sambil cuci pakaian. Tapi ketika aku nyuci agak begitu ribet soalnya nyucinya lumayan banyak. He…he…he… maklumlah sekarang ini jadi keluarga besar. Karena rumah bibi aku dibangun. Jadi untuk sementara mereka tinggal di rumah, sebelum rumahnya selesai.
    Setelah pulang mandi aku lihat jam hampir pukul 7 tapi aku santai-santai saja lagian sekolah juga tidak belajar. Dan aku pun siap-siap mau ke sekolah tapi aku sarapan dulu. Setelah itu lalu aku berangkat ke sekolah.
    Berangkat ke sekolah aku jalan sendirian. Soalnya teman-teman dari Cangkeuteuk belum muncul-muncul. Jadinya aku ke sekolah sendirian deh! Tak terasa aku sudah nyampe sekolah. Pas aku datang, aku tengok-tengok ke sana ke mari tapi kelas IX tidak ada. Pas aku melihat kea rah lapangan ternyata ada.
    Di lapangan ada Jarti, Rini, Supi, Suhanah, aku samperin mereka dan aku pun berjabat tangan. Aku ngobrol-ngobrol dengan mereka. Tidak lama kemudian Ila, Suharni, dan Yuyun datang. Kata aku, Eh, Nyunyun gimana ni kabarnya? Katanya bae-bae aje! Mang ke mana? Enggak tahu! Lalu kataku, Eh, teman-teman kita ke warung Teh Piah yuk? Kata mereka, Yuk ah!
    Kami pun ke warung Teh Piah tapi Jarti, Suhanah, Supi, dan Rini tidak. Jadinya kami aja deh. Aku, Yuyun, Ila, dan Suharni. Setelah sampai di warung Teh Piah kami pun jajan. Sambil makan jajanan kami duduk di depan warung Teh Piah. Tidak lama kemudian, dagang seorang pedagang jepit, mainan kayak gitu! Tapi kami tidak membelinya. Karena aku jajannya beli kerupuk. He…he… kerupuk kayak anak kecil ya?
    Aku makan kerupuk sambil mendengarkan pak pedagang jepit curhat waktu dia masih remaja. Pak pedagang namanya, Pak Uyu, sering dipanggil Mang Uyu. Maklum pedagang sering dipanggil Mamang.
    Aku dan teman-teman tertawa. Soalnya katanya Mang Uyu belum punya istri dia itu banyak pacarnya. Mang Uyu ini katanya tinggal di Co’o. Dia punya pacar atau kenalannya orang Pasir Nangka, Hanjuang, Jakarta, atau yang lainnya. Tapi pas dia menikah dengan orang sekampung. Kata dia, kalau tahu gini buat apa aku harus punya pacar sana sini kalau akhirnya punya istri ama orang setempat saja. Mungkin aku akan jadikan dia dari kecil jadi pacar aku. Ha…ha…kami pun tertawa. Kata aku kan jodoh itu tuhan yang ngatur. Kita mah tidak tahu dia jodoh kita atawa tidak. Tidak lama kemudian kami pun ke sekolah karena katanya ada Ibu Ade takut ada informasi.
    Sesampai di sekolah, kami bersalaman kepada Ibu Ade dan aku pun bertanya. Ibu sudah ada informasi kelulusan, kapan ya, Bu? Ibu Ade pun menjawab, gak tahu tu, kayaknya belum. Kata aku, oh..belum ya, Bu? Setelah itu kami disuruh belajar bernyanyi. Biasanya nyanyi Ririungan buat entar acara kenaikan. Setelah belajar kami pulang.
    Pas pulang kami berpencar ada yang pulangnya ke Cigaclung, Ciparahu, Cireundeu. Cuma aku, Yuyun, Suharni, dan Ila pulangnya sama soalnya rumah kami searah. Di jalan biasa kami ketawa sambil bercanda. Tak terasa ternyata sudah nyampe ke Ciseel. Itu kampung halamanku. Pas di rumahnya Kang Acip. Itu rumah yang dikontrak Pak Ubai. Kami bertemu sama Pak Ubai. Dan aku pun bertanya, kata aku, pak udah dari tadi datangnya? Kata Pak Ubai, udah, udah dari pagi-pagi. Aku bertanya sambil bersalaman. Kami disuruh mampir dulu sama Pak Ubai. Katanya, ayo mampir dulu. Kata aku sama teman-teman, gimana ni kita mampir dulu, Yun? Kata Yuyun, ayo, kalau mau mampir dulu mah.
    Ketika masuk ternyata ada istrinya Pak Ubai. Aku bertanya sama Pak Ubai, pak, emang tamunya sudah pada datang? Pak Ubai pun menjawab, ya, ini, katanya.
    Aku : Emang tamunya cuma ada satu orang?
    Pak Ubai : Enggak, yang lain masih di perjalanan.
    Aku : Owh
    Yuyun : Emang sekarang bakalan ada tamu, ya, Pih? (sambil bisik-bisik)
    Aku : Iya.
    Yuyun : Emangnya mau ada acara apa gitu?
    Aku : Ini mau ada acara hajatan karena reading Multatuli udah selesai. Jadi, Pak Ubai mengadakan acara hajatan sastra Multatuli. Ayo, Yun, kan ke Rangkas itu kan besok hari Sabtu, ke Baduy hari Minggu. Katanya kamu mau ikut. Eh, tapi kami kalau mau ikut tanda tangan dulu ke Pak Ubai.
    Yuyun : Iya, sih aku mau ikut. Kapan kamu tanda tangannya?
    Aku : Sudah lama. Kapan ya, aku dah lupa, Yun.
    Yuyun : Emang mobilnya berapa?
    Aku : Kata Pak Ubai sih cuma satu.
    Yuyun : Satu? Mungkin gak bakalan muat kalau cuma satu mah.
    Aku : Gak tahu tuh. Mungkin saja. Soalnya katanya yang ikutan bakalan banyak.
    Yuyun : Gak tahu ya. Aku ikut enggak.
    Aku : Ya, kalau mau ikut mah bilang aja ama Pak Ubai.
    Yuyun : Gak ah, aku malu.
    Aku pun mengobrol tentang apa saja sama teman-teman. Sedangkan Pak Ubai beberapa kali menyuruh kami makan kue-kue. Karena di hadapan kami ada kue-kue. Pasung, lapis, dll. Tapi kami cuma menjawab. Iya pak, iya pak, aja. Dan aku bertanya sama Pak Ubai.
    Aku : Pak, kita nanti tampil drama Saijah dan Adinda jam berapa? Pak Ubai menjawab.
    Pak Ubai : Oh iya sekitar jam 3. Dan bajunya juga, Pih sudah ada ni. Pak Ubai sambil mengambil yaitu semacam kebaya merah dan sampingnya juga katanya sudah ada. Tadi juga sudah dicoba sama Suryati tapi kegedean. Gak apa-apa ya, ditilepkan aja pas tangannya.
    Aku : Ya, pak.
    Dan gak henti-hentinya aku dan Yuyun, Ila, Suharni bisik-bisik bau samara nih. Karena di dapurnya Ma Hewi banyak ibu-ibu yang masak buat menyediakan makan tamu-tamu yang akan datang. Tidak lama Ila berbisik, kita pulang yuk? Aku menjawab, pulang? Oh iya… entar tamu-tamu datang kalau kita masih ada di sini entar kita malu. Yuyun pun ikut ikutan ngomong, iya, yuk! Sedangkan Suharni mah hanya senyum. Dan kami pun berpamitan kepada Pak Ubai karena kami mau pulang. Pas di pintunya Kang Acip, Ila berkata, Yun, aku mah mau lihat Pipih main drama. Kata Yuyun, Iya, iya. Emangnya kamu Pih berperan sebagai siapa? Aku menjawab, enggak. Aku cuma main sebagai Adinda sewaktu besar dan gak ngomong apa-apa lagi. Karen pas bagian aku ceritanya Adinda sudah mati. Teman-teman aku pun ketawa. Kasihan. Yuyun bertanya lagi emang Adinda kecilnya siapa? Kata aku, Suryati. Ila pun berkata, wah, bagus sekali kan kamu itu mirip sama adikmu. Dan tak terasa karena kami jalan sambil ngobrol ternyata sudah ada di hadapan rumah aku. Kata aku mampir dulu ya.
    Aku buru-buru makan. Setelah makan aku bertanya sama Mama aku, Ma, Suryati sudah mandi belum? Kata Mama aku sudah. Aku bertanya lagi ke mana mandinya? Mama aku menjawab, tidak tahu. Mungkin ke Sungai Cipicung. Setelah itu aku mengambil ember sabun sama pakaian yang mau dicuci.
    Kalau soal mandi aku selalu ketinggalan sama adikku, Suryati. Aku mandi sambil bawa cucian. Aku mandinya ke Sungai Cipicung. Aku mencuci pun agak terburu-buru takut ketinggalan. Soalnya aku mendengar suara miks. Aku takut acara sudah dimulai dan aku takut Pak Ubai mengumumkan supaya yang ikut drama harap berkumpul. Tetapi pas aku pulang, datang ke rumah ternyata bukan. Ternyata… Mas Sigit lagi sulap. Itu Mas Sigit dia dari Swiss. Aku sudah tahu karena dia sudah pernah ke sini dulu. Jadi dia mah sudah dua kali dengan yang sekarang.
    Setelah pakai baju atau yang lainnya, aku memakai kerudung. Aku pakai kerudung pun sambil jalan karena ingin cepat-cepat melihat. Pas aku di rumahnya Ka Pajru ternyata sudah ramai. Aku melihat ke sana ke mari mencari tempat agar aku bisa melihat sulapnya Mas Sigit dengan nyaman. Pas aku melihat rumahnya Ibu Eroh. Ah, mau ke sana aja kayaknya jelas kalau melihat di sana nyaman lagi. Aku pun berjalan menuju rumahnya Ibu Eroh. Setelah dekat ternyata Mama aku juga di sana. Aku pun yang tadinya berjalan biasa. Kini aku jadi lari.
    Setelah aku sampai di rumahnya Ibu Eroh. Aku terengah-engah soalnya kan lari. Mama aku pun sampai bertanya. Ada apa, Pih sampai ngos-ngosan gitu. Kayak ada apa aja? Aku hanya nyengir tidak menjawab karena aku langsung melihat Mas Sigit yang lagi sulap.
    Pas aku lihat ke Mas Sigit aku keheranan. Kok Mas Sigit beda tidak seperti dulu. Aku menatapnya karena ingin jelas ini Mas Sigit apa bukan. Ternyata, iya Mas Sigit Cuma dia pakai hidung palsu. Setelah aku sadar aku ketawa. Ha…ha… dikira aku siapa saja.
    Mas Sigit sulap dengan begitu pintarnya. Dia bikin penonton ketawa dan bertepuk tangan. Mas Sigit sulapnya beda-beda loh. Tidak seperti dulu. Dulu mah cuma buku kosong tidak ada gambarnya jadi ada gambarnya. Aneh, kan? Dan uang disimpan di kertas putih ketika ditutup gelas uangnya hilang. Mau tahu rahasianya, tanya aja sama Mas Sigit. He…he…
    Mas Sigit sedan sulap, aku melihatnya tidak sadar aku ketawa sambil tepuk tangan. Pas sadar aku malu sendiri, bisik aku. Aku kok kayak orang gila ya. Ketawa-ketawa sendiri, tepuk tangan. Aku melihat sulapnya Mas Sigit, yang paling aku heran ketika Mas Sigit sedang sulap ada sebutir telur di dalam wadah lalu ditutup. Ketika dibuka telurnya hilang. Entah ke mana. Itu kan heran banget. Ketika dibuka lagi sambil membaca mantra, bim salabim. Jadi ada lagi. Aku tercengang karena heran. Kok bisa ya? Ketika dia tutup lagi dan dia buka lagi hilang lagi telurnya. Dan dia pun bertanya kepada penonton, penonton coba jawab ke mana ya, telurnya kok hilang? Ternyata telurnya ada di kantong celananya. Wah…wah…wah… aku keheranan. Mas Sigit pun mengganti sulapnya lagi. Ada tuyul mandi, dengan air dingin dan air panas. Ketika mandi air dingin tidak berubah. Ketika mandi air panas, tuyulnya membesar. Mas Sigit banyak banget sulapnya.
    Setelah Mas Sigit selesai sulapnya, Pak Ubai mengumumkan kepada yang bertugas drama diharap siap untuk berangkat, karena drama bukan di panggung di sini tapi di sekolahan di MI Al Hidayah. Aku pun mencari teman-teman. Untung Rohanah, Sumyati, dan Nur Halimah ada di depan rumah Ibu Eroh. Aku pun langsung ngajak mereka yu…ah kita berangkat—kami pun berangkat. Karena kami yang akan tampil drama Saijah Adinda.
    Aku mampir dulu ke rumahnya Kang Acip karena baju aku untuk tampil drama di Pak Ubai. Takut belum disiapin dan tidak ada yang membawa. Pas aku di pintu pagarnya Kang Acip, Pak Ubai pun langsung ngomong. Pih, baju sudah disiapin tuh sudah dibawa. Aku tadinya mau nanya jadi nggak sempat. Soalnya, Pak Ubai langsung memberi tahu aku. Aku langsung berangkat ke sekolah MI. aku tidak bawa apa-apa, kan alat-alat buat aku mah sudah dibawa. Di jalan aku ngobrol sama teman-teman juga ketawa-ketawa. Apa lagi ketika melihat Sumyati dan Rohanah karena dia mah udah dangdan udah pake bajunya dan juga tudung. Tinggal tampil aja.
    Tak terasa ternyata kami sudah sampai dan kami pun disuruh masuk ke ruangan kelas satu. Untuk memakai baju dan lain-lain. Aku memakaikan baju Suryati dulu sebelum aku karena aku mah kan terakhir tampilnya. Kalau Suryati awal. Suryati sebagai tokoh utama sebagai Adinda kecil kalau aku Adinda besar. Yang lain juga sibuk berdandan. Apalagi istrinya Pak Ubai, Ibu Linda memakaikan baju dan celana kepada Yani sebagai Saijah kecil, kepada Dede juga sebagai Demang Wiranatakusumah. Tempat dramanya di lapangan pinggir sekolah. Ternyata acaranya sudah mulai kudengar sorak sorai penonton. Aku kira gak bakalan ada penonton tapi ternyata tidak seperti yang aku kira.
    Malahan penonton banyak banget. Aku tanya sama Rohanah, sudah dimulai ya. Kata Rohanah sudah. Aku menengok dari kaca ternyata iya sudah dimulai. Kalau aku mah belum pakai baju untuk drama. Soalnya aku mah tampilnya paling akhir. Aku ditanya sama Ibu Linda, kok kamu belum dipakai bajunya. Pipih mah entar akhir tampilnya. Kata ibu, oh.
    Aku lihat Pak Ubai juga sibuk ngatur-ngatur, setelah ini siapa yang tampil. Aku mau tanya juga tidak sempat karena kelihatannya sibuk banget. Setelah itu aku lihat Pak Ubai tidak begitu sibuk, aku pun langsung memanggilnya. Pak…pak ke sini dulu sebentar. Ada apa, Pih, kata Pak Ubai. Pak, kalau Pipih nanti langsung tergeletak saja. Kata Pak Ubai, iya, kan Pipih mah ceritanya sudah meninggal. Oh iya, Pak, kata aku. Terima kasih ya, Pak. Iya, sama-sama, kata Pak Ubai. Aku mencari Nurhalimah. Tidak ada. Ternyata dia mah sudah tampil. Tidak lama dia datang. Aku bertanya gimana, Nur. Nur pun menjawab, sudah loh, aku mah tinggal santai. Rohanah dan Sumyati juga belum, kata aku. Tapi tidak lama dipanggil. Kata aku, Roh, tuh dipanggil kamu sama Pak Ubai. Rohanah dan Sumyati pun ke sana. Tidak lama mereka sudah kembali. Aku pun bertanya, gimana Roh. Wah, Pih banyak benget penonton aku malu, Pih. Apalagi penampilanku kayak gini, kata Rohanah. Kami pun ketawa.
    Apalagi ketika aku melihat Neng Elah lebih kencang ketawa. Soalnya dia kan sebagai nenek-nenek dan penampilannya persis banget seperti nenek-nenek. Aku pun bertanya bisa tidak Neng bicara nenek-nenek. Kata dia, gak tahu. Coba Pipih pengen dengar. Gak mau ah, malu, kata Neng Elah.
    Tidak lama Neng Elah dipanggil oleh Pak Ubai. Dan dia pun ke sana. Aku berpikir, mungkin aku sebentar lagi. Tidak lama kemudian Neng Elah pun sudah kembali dan kudengar Pak Ubai menyanyi bersama rekan-rekan saat Saijah menunggu Adinda di bawah pohon ketapang. Itu…seru dramanya. Dan tidak lama aku dipanggil oleh Pak Ubai. Pih…Pih, mana Pipih. Kata aku, Iya, Pak. Ayo, siap, kata Pak Ubai. Giliran aku, Pak. Pak Ubai pun menjawab. Ya.
    Aku, Cecep, Pupuh, Azis langsung ke lapangan di mana teman-teman aku bermain drama. Ketika aku sudah datang di tengah-tengah lapangan aku langsung tergeletak saja. Kan ceritanya aku mati dibunuh sama orang Belanda. Tidak lama, Ali datang. Dia sebagai Saijah. Dia langsung bersujud meratapi dan menangis tersedu-sedu sambil memanggil Adinda. setelah itu, Ali diam sebentar. Aku ngomong kepada Ali tapi bisik-bisik sih ngomongnya takut kedengaran oleh penonton.
    Ali kalau nanti sudah aku kasih tahu ya. Soalnya nanti Cecep sama temen-teman sudah bangun aku belum nanti aku jadi malu. Ali pun menjawab, iya, katanya. Kayaknya banyak sekali ni penonton pikirku. Aku sih tidak tahu penonton banyak atau tidak. Soalnya aku ketika datang ke lapangan langsung tergeletak saja. Aku sih tidak begitu malu karena aku langsung pejamkan mata. Kan ceritanya aku mati. He…he… Seandainya aku mati beneran. Gak deh. Aku belum siap. Ya, Allah. Kok jadi kepikir gitu ya. Ih seram.
    Tidak lama Sangsang, Sanadi, Pulung, dan teman-temannya datang. Tidak aku ceritakan. Soalnya tidak kelihatan yang lainnya. Kan aku kadang pejamkan mata kadang tidak. Mereka itu pasukan Belanda. Setelah itu aku dengar suara Yani dia berkata. Edan, ternyata masih ada yang hidup. Pikir aku oh ternyata ada Yani juga. Ali langsung berdiri sambil berkata. Dia berkata begini dalam bahasa Sunda ya. Aranjeun anu geus maehan Adinda, rasakeun babales ti aing. Wow pikir aku seram banget. Kalau bahasa Indonesianya begini. Kalian yang sudah membunuh Adinda rasakan balasan dari aku.
    Dan tidak lama aku mendengar yang menjerit aaaah…seperti kesakitan. Ehem, mungkin mereka sudah bertarung ya? Setelah yang menjerit diam, ada yang berkata, pasang bayone. Serang dia beramai-ramai. Mungkin dari pasukan Belanda mau menyerang Saijah. Aliyudin sebagai Saijah pun rubuh. Sambil berkata Aaa..din…da… drama Saijah Adinda pun usai.
    Aku yang tergeletak di atas tanah yang tanpa alas langsung berdiri. Aku tidak menyangka ternyata penonton banyak banget. Aku langsung tunduk karena malu. Aku dan teman-teman yang ikut drama Saijah dikumpulkan. Lalu berbaris dengan rapi dan kami di foto sama wartawan dan tamu-tamu Pak Ubai. Kami difotonya sama Mbak Esther, Mas Daurie, Mas Husni. Pokoknya seru deh.
    Aku dan Aliyudin yang berperan Saijah Adinda difoto berdua. Di foto sama Mbak Esther, Mbak Leni. Mas Daurie juga karena kata mereka pengen difoto sama Saijah dan Adinda. Ya, udah kami pun menurutinya. Lagian difoto itu tinggal eksen aja.
    Setelah foto-foto kami langsung pulang. Di jalan, aku, Rohanah, Mbak Esther ngobrol. Mbak Esther bertanya, De, ini latihan drama Saijah Adinda kira-kira belajarnya berapa bulan ya? Dan aku pun menjawab, kira-kira tiga minggu, Mbak. Hah, tiga minggu, Mbak Esther kayaknya kaget banget. Dan aku pun menjawab lagi. Iya, Mbak tiga minggu. Tidak berturut-turut, tidak setiap hari. Dalam satu minggu paling juga dua kali. Tapi pernah juga sih dalam satu mingu 3 kali. Ya ampun, kalian ini pinter-pinter ya, kata Mbak Esther. Aku melirik ke Rohanah.
    Tidak terasa ternyata kami sampai ke rumahnya Kang Acip. Aku, Rohanah, dan teman-teman lainnya di suruh mampir dulu sama Pak Ubai. Dan kami pun mampir. Kami masuk ke rumahnya Kang Acip. Ternyata banyakan. Dan aku sama teman-teman ngobrol. Dan tidak lama Kang Acip memanggil dari dapur. Dia berkata dengan begitu pelan, wey ke sini, katanya. Sambil melambaikan tangannya. Aku, Rohanah, Siti Nurhalimah, Siti Nurajijah menghampirinya. Ada apa, bisik aku. Ini, ini bawa ke sana. Sambil menunjuk makana. Ternyata, kami disuruh membawa makanan untuk makan para tamu. Dan aku pun sama-sama melakukannya.
    Setelah selesai, aku berbisik kepada teman-teman. Kita pulang, yuk. Di antara mereka pun ada yang menjawab, ayo. Dan kami pun pulang. Setelah kami keluar dari rumah. Pak Ubai muncul, Pak Ubai memanggil. Eh, mau pada ke mana. Aku menjawab, mau pulang, Pak. Pulang, jangan, kita makan bersama. Terima kasih, Pak. Kami mau pulang aja.
    Oh iya, kata aku. Ini baju mau dicuci dulu ya. Kata Pak Ubai, biarin, Pih. Tidak usah. Tapi pak ini kotor. Ya, sudah kalau mau dicuci dulu mah. Ya, pak, kata aku. Aku langsung pulang. Ketika datang ke rumah. Aku langsung ambil ember sabun dan ternyata ibu aku juga belum mandi. Akhirnya, kami mandi bersama ke Sungai Cipicung sambil bawa cucian bekas main drama tadi. Setelah datang ke sungai aku pun mencuci terus mandi. Setelah selesai mandi ibu aku berkata, ternyata seru ya, katanya. Kalau tidak nonton bakalan nyesel.
    Aku pun mencuci membantu ibuku. Selesai mencuci aku langsung mandi. Setelah mandi aku dan ibu langsung pulang. Selama di perjalanan aku dan ibu kehujanan. Gerimis-gerimis gitu. Sesampai di rumah aku langsung memakai baju. Aku memakai baju putih, rok hitam, dan kerudung putih. Aku keluar dari rumah aku duduk di sompang rumah. Aku duduk santai.
    Aku merenung. Eh, ternyata aku kan disuruh jadi pembawa acara. Acara buat nanti malam. Aku turun dari sompang. Mengambil sandal lalu memakainya sambil berkata, ah, mau ke rumah Teh Hindun dulu. Aku mau sambil pinjam sandal. Aku sama Teh Hindun walaupun saudara sudah agak jauh. Tapi aku dekat malah aku anggap dia sebagai teteh kandung aku. Aku turun dari rumah jalan tangga sebelah masjid. Dan ketika berjalan, aku berbisik sendiri, ya ampun, ini pedagang sudah lain-lain aja.
    Pas di depan rumah Teh Hindun aku langsung ke rumahnya. Aku jalan pintu belakang. Soalnya pintu depan ada pedagang bakso. Aku langsung membuka pintu sambil memanggil Teh Hindun. Teh Hindun sudah mandi belum? Aku langsung ke depan. Tidak diam di dapurnya. Apa katanya, udah dong.
    Aku langsung berkata apa yang kumaksud. Teh minjem sandal, soalnya Pipih jadi pembawa acara. Ya, udah, katanya, ambil saja. Aku langsung mengambilnya. Sambil berkata, teh kita ke rumahnya Kang Acip yuk. Soalnya malu kalau sendirian mah. Kenapa mesti malu, katanya. Ih, kan banyak tamu. Oh iya, bentar dulu aku mau pake kerudung dulu, kata Teh Hindun. Sambil menuju kamar. Aku tidak lama menunggu Teh Hindun keluar. Setelah itu anaknya datang, Neng Yani. Dia merengek pengen beli bakso. Mama, pengen beli bakso, katanya. Kamu apa-apa ah, belum ada juga baksonya. Ada, katanya, itu ada di depan rumah kita, kata Yani. Itu mah belum apa-apa, baru bawa kompornya. Belum dipasak, katanya. Yani terdiam dan dia keluar lagi. Teh Hindun berbisik sama aku, Teh Anak harus di situ lagi dagangnya, Pih. Bisa-bisa si Yani mah pengen beli bakso mulu. Aku hanya tersenyum. Dan aku langsung mengajaknya ke rumah Kang Acip. Yuk, ah, kata aku. Teh Hindun pun menjawab, ayo. Keluar rumah dan berjalan menuju rumahnya Kang Acip. Sampai di jembatan, Teh Hindun pun berkata, Pih itu Pak Ubainya juga ada di depan kami berdua. Aku langsung tanya, Pak mau ke mana? Kata Pak Ubai mau ke sana. Oh ya, Pak gimana buat nanti acara-acaranya sudah dibuatkan. Oh ya, nanti sesudah maghrib, Pipih langsung ke sana. Pak nanti malam acaranya pake organ? Kata Teh Hindun. Pak Ubai pun mengobrol. Oh iya, nanti jangan lupa disiapkan. Teh Hindun pun mengangguk sambil tersenyum.
    Pak Ubai langsung ke tujuannya. Dan kami berdua masih di jembatan. Kata aku, Teh kita ke mana. Ke rumah kembali saja. Sampai di rumahnya Teh Hindun, dug-dug-dug-dug. Ternyata sudah maghrib. Teh, aku langsung pulang aja, kata aku. Iya, kata Teh Hindun.
    Aku langsung pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah aku langsung mengambi air wudhu dan langsung shalat. Setelah shalat aku bertanya kepada adik aku yaitu Suryati. Yati, kamu sudah tulis buku hariannya? Belum, katanya. Tulis, jangan lupa! Iya, kata dia. Aku langsung memakai kerudung lagi. Setelah itu aku berkata sama mama. Ma, mau ke rumahnya Pak Ubai ya. Iya, kata mama. Aku langsung keluar. Ternyata di luar sudah ramai. Anak sudah pada ke sana ke mari dan terang jalannya. Soalnya Pak Ubai bikin lampu dari botol bekas minuman. Botol itu diberi minyak tanah dan dikasih sumbu. Lalu dikasih api. Ya udah, jadinya terang. Kalau di kampung aku, itu namanya damar. Maklum belum ada listrik.
    Aku memakai sandal dan berjalan menuju rumah Pak Ubai dan tidak mampir di rumah Teh Hindun. Soalnya banyakan teman aku langsung ke rumah Pak Ubai saja. Setelah tiba di sana ternyata sudah banyakan teman sudah ada. Aku langsung masuk saja soalnya pintunya terbuka. Aku bertanya sama Nurhalimah. Lagi ngapain, kata aku. Dia pun menjawab. Lagi mau nonton drama tadi. Emangnya diputar, kata aku. Iya, kata dia. Oh, mana-mana pengen lihat tuh ke sini. Kata Nur. Pas aku tengok ternyata iya. Ada Yudin di laptop sedang berjalan. Aku pun ketawa. Ha…ha… Yudin…Yudin.
    Setelah itu ada Pak Ubai entah dari mana. Soalnya pas aku ke dalam, dia tidak ada. Aku pun dipanggil. Eh, Pipih, sini dulu, kita bikin acaranya. Katanya, Eh, ngambil buat alasnya dulu, kata aku. Ya udah, katanya. Kata aku, alas buku yang mana ya? Gak, apa-apa yang mana aja. Aku langsung mengambil buku. Dan aku langsung menulis Pak Ubai yang mendiktenya. Katanya, ini acaranya. Kata aku, Pak biasakan pendahulunya. Iya, katanya.
    Setelah itu aku menghapal buat pembukaannya dan Pak Ubai pun bertanya. Gimana, Pih siap? Siap, pak. Sekitar jam 7.30, Pih, kata Pak Ubai. Setelah itu aku menghapal lagi. Teman-teman aku yang ada di sana ketawa-ketawa soalnya mereka menonton drama itu. Tapi aku gak. Kang kita mulai acaranya, sekarang? Kata Pak Ubai ke Kang Acip. Ya, tidak apa. Emangnya kenapa? Gak apa-apa, soalnya besok kan mau jalan-jalan. Jadi kita mulainya sekarang dari sore dari sore agar selesai acara ini tidak terlalu malam. Pak Ubai pun melihat ke arah aku sambil berkata. Gimana, Pih? Iya, kata aku. Ya udah, ayo, katakan.
    Pak Ubai pun beranjak dari duduknya dan keluar rumah. Aku mengikutinya dan kulihat di jalan sangat ramai. Mungkin menunggu acaranya agar cepat dimulai. Aku berjalan menuju panggung. Setelah tiba di depan panggung. Aku langsung naik dan setelah itu aku meminta miksnya sama Pak Kosim. Karena di atas panggung ada Pak Kosim dan Pak Udil.
    Aku langsung mengucapkan salam. Aku kayak bergetar sedikit malu karena penontonnya banyak. Dan aku membaca acara selanjutnya, yaitu pembukaan. Lalu dilanjutkan dengan pembukaan lagi oleh Pak Usman dengan cara memukul tongtong (baca: kentongan). Tongtong terbuat dari bambu. Memukulnya sebanyak tiga kali. Lalu dilanjutkan Pak Udil. Pak Udil bercerita tentang kerbau. setelah itu kosidah. Aku pun memanggil rombongan kosidah. Yang kosidahnya, yaitu Teh Hindun, Mama Juju, Ibu Arum, Ibu Rukayah, Ibu Lomrah, Ibu Katih, Ibu Darni. Setelah menyanyikan tiga lagu, rombongan langsung pamitan.
    Lalu dilanjutkan dengan cerita yang dibawakan Nurdi. Judulnya ya ampun aku lupa. Payah ya aku. Lalu dilanjutkan dengan pembacaan puisi 4 bahasa. Aku langsung memanggil yang bertugas, yaitu Aliyudin, Sumyati, Mariah, dan Dedi Kala. Kami sering menyebut Dedi Kala, Ameng. Ameng yang membuat bahan tertawaan soalnya dia pake kacamata.
    Dan dilanjutkan ke gegendeh. Aku memanggil group gegendeh. Dan mereka pun langsung naik. Ternyata group gegendeh sangat lucu-lucu. Mukanya dipelongan pake bedak dan sedo. Setelah group gegendeh lalu buat formasi untuk difoto. Dan group gegendeh pun mengucapkan salam. Acara group gegendeh pun langsung dimulai. Kang Acip naik ke panggung lalu membenahi alat gegendeh, yaitu lesung sama alu atau penumbuk yang terbuat dari kayu. Gegendeh pun dimulai. Suaranya begini tek-tok-tek-dung. Pokonya rame.
    Group gegendeh pun selesai. Lalu menutup dengan salam. Dan setelah itu turun dari panggung. Lalu dilanjutkan ke acara ngagondang. Aku pun memanggilnya. Mereka agak lama sebab harus dandan dulu. Tiba-tiba muncullah group ngagondang naik ke panggung. Ngagondang ada cowoknya. Kalau gegendeh mah hanya cewek doing. Ini mah ada cowoknya apalagi pake kumis. Ibu Lomrah memperkenalkan diri dan rekan-rekannya yaitu Pak Mista, Pak Uding, Pak Otong, dan ternyata Aliyudin ikutan. Itu cowoknya. Ceweknya yaitu Ibu Lomrah, Ibu Katih, Ibu Arum, Ibu Rukayah. Mereka berpasang-pasangan. Aku sama Pak Kosim ketawa-ketawa aja. Soalnya Pak Masita sama Ibu Lomrah mah lucu. Pantatnya digitek-gitek sambil bertanya jawab. Dan ngagondang pun selesai. Lalu membacakan salam.
    Selanjutnya aku membacakan acara diskusi sastra, yaitu akan dibawakan oleh Mas Daurie dan Mas Sigit. Aku pun memanggilnya dan Mas Daurie pun langsung naik panggung. Lalu naik juga Mas Sigit. Setelah Mas Sigit dan Mas Daurie pun selesai lalu aku naik lagi. Aku naik panggung dengan Teh Hindun dan Nurhalimah. Di panggung kami mengambil langsung mengambil miks dari atas piano. Begitu juga Teh Hindun. Kita berduet ya, kata aku. Nur pun mengambil miks lagi. Kata Pak Kosim, lagu apa? Kata Teh Hindun, Rindu Berat, katanya.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Catatan #12 Adinda, Rindu Berat Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top